16. Rindu dalam dilema

💐
🌺
💐
🌺
💐
🌺

Pertemuan pertama dengan keluarga Mas Hanif ternyata langsung disambut baik oleh seluruh keluarga. Tak tanggung-tanggung, bahkan mereka menanyakan langsung kesanggupanku untuk menerima khitbah dari Mas Hanif. Jujur, rasanya belum sepenuhnya percaya bahwa proses ini akan berjalan begitu cepat. Tapi kata Zira, ketika ada niat, Allah bahkan tak akan segan mempermudah semuanya.

Setelah selesai pertemuan singkat itu, Mas Hanif mengantarkan pulang ke Aloha sesuai permintaanku. Padahal sehari sebelumnya aku enggan pulang. Nggak tahu kenapa rasanya kali ini aku butuh pulang untuk mencurahkan segala kegundahanku. Apalagi ketika sedikit mencuri dengar obrolan orang tua Mas Hanif dengan Ayah Bunda via telepon tadi. Rasanya pengin ikut nimbrung tapi kutahan. Setidaknya aku harus tahu diri batas kesopanan itu, nggak elok juga menyela perbincangan orang tua.

Banyak hal yang sebenarnya membuatku dilema. Bukan karena aku nggak senang dengan niatan baik tersebut, tapi tidakkah ini terlalu cepat dan terburu-buru? Apalagi, banyak yang mendadak kupertimbangkan dan kupikirkan untuk kelangsungan hubungan kami jangka panjang nanti.

Terlebih aku dan Mas Hanif belum benar-benar saling mengenal satu satu sama lain.

****

Sampai di rumah, Mas Hanif hanya mampir sebentar untuk menyapa Ayah dan Bunda kemudian pamit karena hari sudah petang, nggak enak bertamu malam-malam katanya.

Tentu saja Ayah dan Bunda langsung memandangku penuh selidik, kenapa tiba-tiba aku pulang sementara kemarin sudah izin untuk tidak pulang. Mereka bahkan sempat curiga bahwa aku dan Mas Hanif sedang berseteru karena Mas Hanif yang nggak mampir lama. Padahal kan nggak, memang ada-ada saja mereka.

Setelah selesai beberes, dan dirasa waktu sudah sangat pas untuk bercerita, kami ada di ruang tengah sambil ditemani televisi yang sedang menonton kami. Suara lirih dari sinetron hidayah kesukaan bunda menjadi backsound acara 'curhat dong, Mah' kali ini. Mungkin ayah sebagai Abdel, bunda sebagai Mamah Dedeh, dan aku sebagai ibu-ibu jamaah pengajian.

"Jadi kamu kenapa, Rind? InsyaAllah kami siap kapan pun jika keluarga nak Hanif mau datang," ucap Bunda langsung pada intinya.

Aku mengambil napas panjang, bersiap menceritakan semua kegelisahan hatiku selama perjalanan pulang tadi. Bahkan, maafkan aku Mas Hanif jika tadi sempat mendiami, karena sejujurnya aku bingung dengan hatiku yang berdegub tak beraturan, dilema yang tak menentu.

Semua cerita itu kemudian mengalir. Mulai dari bagaimana latar belakang keluarga Mas Hanif, bagaimana mereka begitu menerimaku dengan baik, dan tentang mereka yang juga sudah tahu keluarga kami melalui ceritaku. Ayah hanya mengangguk-angguk sambil memikirkan sesuatu, Bunda pun demikian.

"Lalu apa yang kamu bingungkan, nak?" kini Ayah yang menanyakan hal tersebut.

Aku terdiam sebentar, menyelami pikiranku yang kian ruwet dengan spekalusi yang kubangun sendiri. Mereka memang menerima, tapi apakah cukup hanya menerima kemudian semua bisa berjalan dengan semestinya?

Menikah, adalah penyatuan dua dalam banyak hal. Dua sifat yang mungkin saling bertolak, dua latar belakang yang tak selalu sama, dua ego dengan keteguhan masing-masing, dan yang paling penting adalah penyatuan dua keluarga besar.

Aku masih teringat perkataan Mama Mas Hanif bagaimana beliau begitu ingin tahu tentang pekerjaanku, dan sepertinya beliau tipikal wanita yang berpegang teguh pada prinsip menjadi istri yang mengabdikan diri sepenuhnya pada suami dan keluarga. Rasanya, bolehkah aku berburuk sangka bahwa tante Ratih kurang setuju dengan pekerjaanku?

Untuk resign, aku belum ada pikiran sampai ke situ. Karierku sedang menanjak, aku baru saja selesai dipromosikan sebagai senior auditor. Bisa jadi satu tahun lagi aku mendapatkan promosi untuk menempati chief auditor, siapa yang tahu? Dan siapa yang nggak ingin berharap demikian?

Ambisi? Ya, tidak menampik bahwa aku memilikinya. Tiga tahun sudah aku merangkai semuanya dari nol, dari aku yang seorang Sarjana Gizi, kemudian banting setir memasuki dunia akunting, menjadi junior auditor, dari mulai staff magang hingga diangkat menjadi karyawan tetap. Lalu kini, label seorang senior auditor baru saja aku cicipi, nikmat mana yang kudustakan? Nggak ada. Allah telah begitu baik denganku.

Meski aku dan Mas Hanif belum membahas ini, tapi kekhawatiran tetap saja ada. Khawatir jika Mas Hanif sepemikiran dengan mamanya. Bisa jadi Mas Hanif mengidolakan mamanya dan menjadikan beliau role model tipe istri idaman versinya. Aku belum siap untuk membahas hal-hal mendalam seperti itu.

"Istikharah, Rind. Minta petunjuk yang di Atas. Yakinkan hatimu jika memang sudah siap. Jangan permainkan suatu hubungan, Rind. Usiamu bukanlah suatu hal di mana kamu anggap remeh niat baik seseorang." Ayah menasihatiku dengan nada yang begitu tenang tapi menyimpan sedikit kecemasan. Mungkin cemas jika aku terlalu menjadi perempuan pemilih.

"Subhanallah, Yah, Rindu nggak pernah menganggap remeh. Rindu tahu arah hubungan ini walaupun mungkin Mas Hanif belum pernah mengutarakan langsung. Bahkan Rindu tahu keseriusan Mas Hanif melalui laku yang ditunjukkan itu lebih dari ungkapan sayang ataupun cinta. Rindu juga sudah mengidamkan bangun rumah tangga seperti teman-teman Rindu yang lain, Yah."

"Lantas apalagi yang menganggumu, nduk? Kalau masalah pekerjaan seperti ceritamu itu, cobalah berkaca pada Zira. Mungkin kamu bisa belajar darinya."

Nadzira, benar memang bahwa Zira bisa jadi panutan untukku saat ini. Tapi ketika aku kembali berkaca, aku masih jauh dari yang namanya berhijrah kemudian istiqomah. Aku masih gini-gini aja, belum seperti Zira yang begitu ingin mendalami agama ini. Begitu ingin lebih dekat dengan-Nya dan itu benar-benar dibuktikan bukan cuma diucapkan. Aku kadang malu dengan diriku sendiri, terlebih Rabb-ku.

*****

Ayah dan Bunda masih menunggu jawabanku. Pun dengan kedua orang tua Mas Hanif, mereka bertanya-tanya, tunggu apa lagi hingga sampai saat ini aku belum menyanggupi kunjungan mereka ke rumahku. Jika hanya sekadar bersilaturahmi, mungkin itu wajar-wajar aja, tapi ini bukan hanya silahturahmi. Mereka datang dengan membawa niatan baik untuk disampaikan, lalu, apa mungkin aku tega jika menolaknya hanya karena kegalauan hatiku yang tak kunjung reda?

Istikharah sudah kulakukan, tapi hatiku masih belum membuat keputusan. Entah aku terlalu menyangkal sinyal-sinyal yang mungkin dikirim Rabb-ku, atau memang hatiku terlalu keras dalam menentukan sikap. Aku nggak tahu.

Jujur, aku merasa bersalah dengan Mas Hanif, karena itu pula, komunikasi kami tidak seintens kemarin. Kami kembali seperti awal kenalan. Saling jaim, gengsi untuk menghubungi duluan. Entahlah, aku hanya menikmati alur yang kubuat sendiri.

"Rind, bisa ke ruangan saya sebentar?" ucap Pak Fikri membuatku berjingkat kaget.

Astagfirullah, aku baru aja melamun, dan ini masih jam kerja.

Tidak mau membuat Baginda Fikri dalam mood yang jelek, aku segera menuruti beliau untuk ke ruangannya di akurium besar.

"Permisi, Pak," aku mengetuk sebentar sebelum masuk.

"Silakan duduk, Rind," beliau mempersilakanku masih dengan tangan yang sibuk membelai kertas demi kertas di hadapannya.

"Maaf, Pak, apa ada sesuatu?"

Baru setelah itu Pak Fikri menurunkan kertas tersebut dari tangannya, kemudian memandangku serius.

Aku mendadak takut, pandangan beliau nggak seperti biasanya. Dengan Baginda Fikri aku biasanya bisa santai nggak kikuk dan tegang seperti ini, nggak tahu kenapa kali ini auranya beda. Akuarium biasanya menjadi tempatku berlama-lama menumpahkan segala keluh kesah tentang pekerjaan, tapi kali ini atomosfer di sekitar mendadak mencekam.

"Kamu ada masalah, Rind?" tanya beliau kembali fokus dengan kertas dan bolpoinnya.

Aku menelan ludah.

Apakah beliau punya side job sebagai cenayang? Kenapa Baginda Fikri selalu menebak isi pikiran seseorang dan kebanyakan benar?

"Nggak ada masalah, Pak. Nggak ada yang perlu di khawatirkan," jelasku.

"Kita seperti baru kerja bareng satu hari aja, Rind. Saya mengenalmu dari kamu baru brojol sarjana, dari kamu yang selalu nasihatin saya untuk aware tentang makanan yang saya konsumsi, sebagai penasihat gizi saya, sampai sekarang saya berhasil menyulap kamu sebagai auditor kesayangan semua orang. Kamu saat ini sedang berbohong, Rind. Mata kamu menjelaskan semuanya."

Aku diam, tak menanggapi apapun.

"Apa kamu butuh istirahat, Rind? Saya bisa kasih kamu cuti kalau kamu mau? Mungkin saja kamu sedang bosan dan suntuk, sedang berada di titik terjenuh. Iya?"

Kali ini aku cepat menggeleng, "sama sekali bukan, Pak."

"Lalu apa jika kerjaanmu banyak yang salah, Rind?"

"Maaf, Pak? Apa saja, nggeh? Saya selalu memastikan bahwa apa yang saya kerjakan itu sudah tepat dan benar. Mohon maaf kalau masih ada yang terlewat, Pak."

Kemudian beliau menyerahkan tumpukan AR, dan laporan pajak. Beliau menunjukkan bagian mana saja yang bisa-bisanya aku tidak teliti. Tidak hanya satu dua, lebih dari itu, membuatku meminta maaf berkali-kali. Beliau menyampaikan bahwa Pak Vincent, selaku FAM bahkan menegurku via Pak Fikri. Karena itu Pak Fikri memanggilku untuk menanyakan hal tersebut langsung kepadaku.

Astagfirullah, aku beneran nggak menyangka bahwa dampak galau bisa sepanjang ini.

Rasanya baru kemarin aku mendapati keusilan dari Mas Hanif, kemudian di waktu yang sama aku dilambungkan begitu tinggi oleh bahagianya mengenal keluarga baru yang langsung bisa menerimamu pada pertemuan pertama.

Namun kini, mengapa justru menyakitkan memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kubuat pusing sendirian.

Nggak ingin ini larut berkepanjangan, aku memutuskan untuk menghubungi Mas Hanif duluan. Sebuah pesan whatsapp kukirimkan kepadanya.

Anda
Assalamualaikum, Mas. Semangat kerjanya, bentar lagi jam istirahat, jangan lupa makan siang.

Terdengar klise dan sangat standar, tapi semoga saja bisa sedikit berkesan di hati Mas Hanif.

Kami memang nggak berantem, tapi kami juga mendadak merenggang. Karena itu, salah satu harus ada yang mengalah. Mungkin, karena aku yang mulai duluan, maka kudu aku yang harus menyudahi duluan. Menyudahi acara saling diam ini, dan kembali menyapanya lagi.

Belum ada tanda-tanda pesanku dibaca. Mungkin Mas Hanif sedang sibuk sehingga nggak sempat membuka ponselnya. Kualihkan saja lah, sebentar lagi juga istirahat. Aku ingin menenangkan diri dari serangan Pak Fikri tadi.

Dengan langkah gontai, aku naik ke lantai tiga untuk salat dhuzur. Rasanya pengin kupindahkan saja musala ini ke lantai bawah, biar nggak capek-capek naik ke atas. Tapi jangan bercanda di saat seperti, Rind. Segera wudhu dan dinginkan kepalamu.

Saat selesai berwudhu, aku berpapasan dengan anak lantai tiga, Diyah namanya.

"Mbak Rindu, datang kan Minggu besok?" tanyanya sambil merapikan kerudung di depan kaca besar samping tempat wudhu.

Aku sedikit berpikir, datang ke mana?

"Emangnya ada acara, Diy?" tanyaku balik.

Diyah tersenyum singkat, terlihat menyesal menanyakan hal itu. "Maaf ya, Mbak. Aku nggak maksud," katanya.

"Maksud apa sih, Diy?"

"Hari Minggu besok kan acara resepsinya Mas Luthfi."

Oh.

Merasa nggak enak, Diyah mengelus punggungku sebentar sebelum masuk musala terlebih dahulu, meninggalkanku yang masih mematung di depan cermin. Benar, seminggu lagi adalah tanggal yang tertera di undangan yang diberikan langsung oleh si mempelai.

Kenapa Diyah harus nggak enak segala sih? Aku lho sudah biasa aja dengan hal itu.

Pertanyaan tentang datang atau tidaknya aku ke acara pernikahan Mas Luthfi kembali diulang oleh orang yang berbeda. Kini Sherly, setelah usai salat dan hendak masuk ke kubikel lagi, ia mencegatku, "Mbak Rind, datang sama siapa besok ke Asrama Haji?" tanyanya, menyebutkan nama tempat acara dilangsungkan.

"Lihat ntar, Sher," jawabku setenang mungkin, meskipun di dalam hati ragu untuk datang.

"Sama aku ta, Mbak?" tanyanya lagi.

"Nggak usah, nanti kita ketemu di sana aja, InsyaAllah," balasku kemudian aku beringsut masuk kubikel.

Bukan perkara aku yang mungkin nggak tatag untuk hadir menyaksikan acara bahagia tersebut. Tapi, masalahnya dengan siapa aku akan ke sana? Orang kantor sudah pasti akan datang dengan pasangan masing-masing. Sementara kalau barengan anak-anak lantai atas, yang kuperkirakan mereka lebih memungkinkan kondangan rombongan cewek-cewek, aku nggak sedekat itu dengan mereka. Lalu, kalau aku memilih nggak datang, bukankah mereka akan  menganggap aku belum ikhlas? Apa semengenaskan itu diriku?

Astagfirullah, lagi-lagi pikiranku terlalu mengawang jauh.

Aku kembali menekuri gawean di meja, sambil sesekali mengecek ponsel. Pesanku kepada Mas Hanif sudah terbaca, tapi sampai saat ini sepertinya si penerima pesan tidak tertarik untuk membalas.

Ya sudah.

****


Pukul setengah lima tepat aku segera mengemasi kerjaanku dan bergegas untuk check lock. Pengin pulang ontime kali ini, rasanya tubuh dan pikiranku perlu diistirahatkan biar nggak makin korslet.

Saat di depan mesin finger print, tiba-tiba Mbak Tyas dari arah parkiran balik lagi ke arah kantor sambil sedikit berlari.

"Eh, Rind, ada yang jemput di depan, cepetan. Kata Pak Satpam udah nunggu lama," kata Mbak Tyas kemudian kembali lari menuju parkiran karena takut ditinggal rombongan.

Jadi, sebenarnya aku bisa aja sih pulang bareng mereka, rombongan orang-orang tebengers, alias orang-orang yang nggak modal untuk bawa kendaraan sendiri. Caranya ya dengan nebeng mobil mereka yang pulangnya searah, seperti yang dilakukan Mbak Tyas dan yang lain. Tapi aku? Entahlah, aku lebih nyaman bersama kang ojek ketimbang satu mobil dengan mereka yang ujung-ujungnya di dalam mobil pasti menggibah sana sini.

Sesuai informasi Mbak Tyas, aku sedikit mempercepat jalanku untuk sampai di gerbang depan. Siapa yang menjemput? Perasaan aku belum pesan ojek online? Karena kupikir ya nanti saja sambil nunggu di pos satpam.

"Udah ditunggu tuh, Mbak. Ee cie, tumben banget dijemput," kata Pak Anang, salah satu security yang berjaga di pos depan.

"Nggak usah gosip, Pak. Saya duluan, Assalamualaikum."

Dan, aku melihat mobil fortuner putih terparkir di badan jalan depan kantorku, demi apa?

Kaca kemudi terbuka, menampilkan si empunya pemilik mobil tersebut sambil tersenyum ke arahku. Kemudian dia membukakan pintunya dari dalam.

Aku langsung masuk tanpa menunggu dia mempersilakan. Nggak enak aja jadi bahan tontonan orang-orang yang pada bubaran kerja.

"Mas Hanif kok nggak ngabarin dulu sih?" kataku sedikit nggak terima dia menjemputku diam-diam.

"Kupikir, kalau kita menghindari untuk berduaan, kenapa aku justru nggak rela jika kamu berduaan saja dengan kang ojek menggunakan motor bahkan kadang tubuh kalian tidak sengaja saling bersentuhan. Maaf ya, Rind. Bukan maksudku untuk melanggar apa yang telah kita sepakati dulu. Tapi ini demi kebaikan bersama. Kebaikanmu juga hatiku," ucapnya panjang, dengan sedikit candaan yang ia lemparkan.

Apasih? Orang ini, orang yang kuharapkan balasan pesannya sedari siang, lalu kini tiba-tiba muncul gitu aja. Terkadang aku ggak habis pikir.

"Matiin Ac, biarin jendelanya terbuka, aku nggak mau ada fitnah, Mas."

"Siap, sesuai instruksi, Tuan Putri," katanya. Kemudian ia mulai menjalankan mobilnya.

Aku masih diam, masih malas memulai pembicaraan jika ternyata usahaku untuk mulai malah dicueki begitu aja. Siapa yang nggak keki. Meski sekarang dia bikin kejutan dengan menjemputku, tapi tetap aja kan?

"Jangan mendiamiku, Rind. Katakan jika aku ada salah," ucapnya sambil fokus mengemudi.

Aku bahkan baru sadar, dia mengganti sapaanya yang semula menggunakan saya sekarang sudah aku-akuan. Kesambet apa sih nih orang?

"Mas Hanif ngigau?"

Dia mengernyit heran.

"Kayak bukan Mas Hanif," cicitku.

"Aku sadar seratus persen. Aku pengin mengenal lingkungan kerjamu, Rind. Sambil membiasakan. Tadi sempat ngobrol-ngobrol dengan Pak Satpamnya, beliau ramah-ramah. Tadi juga papasan dengan beberapa temanmu yang keluar lebih dulu."

Aku mendelik.

Ya ampun! Dari mana orang ini punya pikiran untuk melakukan hal-hal yang nggak kuduga.

"Mas aku nggak suka!" tandasku langsung pada intinya.

Dia kembali mengernyit, memandangku sebentar kemudian kembali fokus ke depan. "Kenapa? Maaf ya kalau aku terlalu lancang. Tak kira kamu seneng kujemput gini. Aku pengin ngajak makan di luar. Pengin ngobrolin sesuatu, Rind."

"Nggak seharusnya Mas tiba-tiba jemput tanpa konfirmasi dulu. Pertama, tentang komitmen kita untuk tidak berduaan saja, tolong Mas, bukannya Mas sendiri yang ngajak aku untuk berbenah? Dengan gini ini aja artinya kita udah melanggar."

Mas Hanif nggak menanggapi, memilih diam sambil memainkan setir bundarnya tersebut.

"Kedua, aku nggak suka ketika Mas Hanif jemput dan itu akan menimbulkan pertanyaan orang-orang. Aku nggak mau jadi bahan gosip, Mas," jelasku dengan suara yang menahan kesal nggak lagi bisa kubendung.

"Jika nggak mau semua ini jadi gosip, makanya Rind, izinkan aku untuk segera menghalalkanmu. Biar tiap pertemuan kita nggak jadi beban dan menghasilkan dosa, biar berkah dan berujung pahala," katanya dengan nada dingin dan datar.

Aku nggak bisa menanggapi balik jika nyatanya semua yang dia katakan mampu membungkamku.

Kamu emang selalu bisa, Mas.

****

Acara makan sore menjelang malam pun menjadi tidak selera karena perbincangan di mobil tadi. Aku kembali memilih diam, begitu pun dengan Mas Hanif.

Kami hanya bersuara ketika waitress datang menanyakan menu apa yang akan kami pesan. Selama menunggu makanan datang pun kami lebih memilih menyibukkan diri dengan gawai masing-masing.

Allah, kenapa malah jadi begini?

Untung saja nggak butuh waktu lama makanan yang kami pesan telah sedia. Aku mengangsurkan makanan yang dipesan Mas Hanif dengan minumannya sekaligus. Lalu, kami pun menikmati santap sore kali ini dengan hening, hanya ditemani oleh denting sendok garpu yang saling bersaut.

Usai makan, Mas Hanif izin untuk salat Magrib dulu di musala resto, katanya gantian aja kalau mau salat, biar ada yang jaga tas. Aku cuma mengangguk untuk mengiyakan.

Kelar salat, Mas Hanif nggak langsung mengajakku balik, hal yang menjadikanku bertanya-tanya.

Dia kemudian memandangku serius.

"Udah cukup puasa ngomongnya. Sekarang aku mau ngobrol serius sama kamu, Rind."

Jantungku kembali berdegub kencang. Aku paling nggak suka ada orang yang mau ngomong tapi permisi dulu. Maksudku, ya langsung ngomong aja kenapa sih? Dengan begitu justru membuatku malah deg-degan karena berpikir yang macam-macam.

"Rindu, niatku untuk mengenalmu bukanlah hal yang main-main. Aku sungguh-sungguh dalam hal itu. Untuk kamu tahu, sebelum ini, aku selalu meminta pertimbangan-Nya dan hatiku selalu mengarah ke kamu sampai detik ini."

Aku menunduk terdiam, nggak berani mengintrupsi.

"Kita mungkin belum sepenuhnya saling kenal. Tapi izinkan aku mengenalmu lebih dalam ikatan yang halal, Rind."

Kurasakan detik berhenti saat ini.

"Kita sama-sama berada di usia yang bisa dibilang udah bukan lagi saatnya main-main. Kenalan lama, baper-baperan seperti anak muda lainnya. Kalau soal cinta dan sayang, aku bukanlah tipikal orang yang bisa mengungkapkan hal itu, Rind. Tapi, bolehkah kusebut perasaan khawatir, perasaan kangen ketika kamu tak kunjung mengabariku adalah salah satu bagian dari rasa sayang dan cinta?"

"Mas ... "

"Atau jika itu belum cukup, bolehkah aku belajar lebih untuk bisa memahami apa itu cinta kelak ketika kita sudah halal?"

"Tolong jangan gini, Mas ..." cicitku dengan suara nyaris tak terdengar.

Air mataku tiba-tiba luruh tanpa perintah. Aku nggak bisa mengendalikan diri. Tangis itu dengan sendirinya pecah. Isakan kecil dari bibirku justru nggak bisa menghentikan Mas Hanif.

"Bismillahirohmannirohhim, dengan niatan untuk menyempurnakan separuh Agama, mencari keridhoan-Nya, dan belajar bersama-sama untuk menuju jannah-Nya. Rindu Amaya Kinasti, bersediakah kamu jadi istriku?" Dia mengeluarkan satu kotak kecil, lalu membukanya.

Sebuah cincin paladium berwarna putih dengan aksen sederhana namun tampak begitu indah, Mas Hanif mengangsurkan ke depanku.

"Mas ..." Aku bahkan nggak tahu harus menjawab apa.

"Jangan jawab sekarang. Jawab ketika ada keluarga kita yang menyaksikan. Aku akan ke rumahmu tanpa menunggu persetujuanmu lagi. Minggu depan, Insyaallah aku udah lebih siap untuk mendengar jawaban apapun darimu, Rind."

Allah Ya Rabb.

"Udah, disimpan dulu kotaknya. Ayo kuantar ke kos. Udah malam, kamu udah kelihatan kelelahan. Habis ini langsung istirahat aja, ya. Nggak usah dipikir yang terlalu dalam. Tapi, pikirlah sambil meminta pertimbangan Allah. Istiqoroh terus ya, Rind. Sampai kamu benar-benar mantap untuk memutuskan apapun."

Pada akhirnya aku hanya mengangguk. Sedangkan Mas Hanif malah memasang senyum terbaiknya di hadapanku, membuatku makin merasa bersalah berkali-kali karena terkesan nggak serius dengan semua proses ini.

MasyaAllah, kebaikan apa yang kulakukan di masa lalu hingga kini ada orang sebaik Mas Hanif yang memintaku menjadi istrinya dengan sangat tulus?  Lalu aku? Tak bisakah hatiku langsung mengatakan iya tanpa memikirkan segala hal yang justru membuatku kian meragu?

Allah, sungguh Engkau sebaik-baik pemilik hati. Hanya Engkau yang mampu membolak-balikkan hati hamba-Mu. Berikanlah petunjuk-Mu.

______selamat merindu kembali______

Gimana part ini?

Jangan lupa tekan ⭐ yaa biar makin semangat, gratis kok, nggak bayar, kalian juga nggak rugi.

Lebih seneng lagi jika kalian meramiakan dengan spam komentar sebahagia kalian.

Mau next part di update kapan nih? Coba deh komen yang banyak.

Laav lav,
💕💕
Chaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top