15. Rindu bertemu (calon) keluarga
Sebelum baca, jangan lupa tekan ⭐ dan spam komentar sesuka kalian. Hope you like this. Enjoy!!
🍊
🍓
🍊
🍓
🍊
🍓
Sejak acara empat bulanan si Rahay, hubunganku dengan Mas Hanif bisa dibilang semakin baik. Dalam artian, kini berkomunikasi dengannya tidak sesulit sebelumnya. Dia kerap kali menanyakan kabar via WhatsApp mulai dari hal-hal sederhana seperti sudah makan atau lagi apa sampai menghabiskan waktu sepulang kantor dengan bercerita panjang kegiatan apa saja yang seharian ini kami lalui.
Namun, untuk urusan bertemu jujur saja baik aku maupun mas Hanif sama-sama saling membatasi. Selain karena kami saling menjaga karena kami sadar bahwa berduaan saja adalah hal yang tidak dibenarkan, alasan lain adalah karena memang kami sama-sama sibuk. Mas Hanif dengan jadwal praktiknya yang padat dari Senin sampai Jumat, begitu juga denganku yang nggak pernah bisa bernapas sejenak dari huru hara perkara audit yang nggak kelar-kelar.
Sekelumit Surabaya saja kami harus LDR.
Eungh ... Mohon maaf, LDR? Oh, bahkan kami tidak pernah pacaran.
Plak!
Seperti hari ini, sepulang kantor di hari Jumat, aku sengaja nggak pulang ke Aloha karena rasanya badanku remuk setelah lembur tiga hari berturut-turut ngejar target audit. Pengin istirahat di kosan aja rencananya. Tapi, niatku untuk istirahat sepertinya harus urung ketika Mas Hanif menghubungiku tepat setelah aku selesai beberes.
Video call, itu artinya aku harus segera menyamber kerudung sebelum menerima panggilan tersebut. Setelah memastikan kerudung terpasang rapi barulah kugeser tombol hijau untuk menyapa si empunya di ujung sana.
"Assalamualaikum," sapaku sambil memasang headset dan duduk senyaman mungkin di kasur dengan berpangku bantal.
"Waalaikumsalam," balas Mas Hanif.
Aku mengerutkan kening, sepertinya Mas Hanif baru pulang dan masih dalam perjalanan.
"Mas Hanif di jalan?" tanyaku.
"Iya, baru keluar parkiran RS ini."
"Yauda, matiin aja dulu, bahaya!" kataku khawatir. Tapi apa, di sana dia malah tekekeh nggak mengindahkan kata-kataku. Yaweslah, sekarep, Mas, yang penting aku udah ngingetin.
"Insyaallah nggak papa, Rin. Sambil nemenin saya pulang ya, di depan situ macet banget pasti. Bosen kalau nggak ada suara di mobil," katanya sambil tetap fokus mengemudi dengan pandangan ke depan.
Ya kan ada radio ya. Bisa aja deh cari alasan!
Kuduga sih, ponsel Mas Hanif sedang diletakkan di holder di atas dashboard, makanya dia masih bisa mengendalikan mobil dengan baik. Ya sudahlah, terserah dia.
"Kamu pulang jam berapa tadi?" kata Mas Hanif melihatku sekilas, kemudian kembali melihat ke depan.
"Magrib sampai kosan. Buyar dari kantor jam lima."
"Tak kira hari ini lembur juga."
"Alhamdulillah nggak, jadi bisa pulang cepet." Memang kemarin aku bilang ke Mas Hanif kalau hari ini masih lembur, makanya nggak pulang ke Aloha karena kayaknya bakal pulang malam. Tapi beruntunglah Baginda Fikri sedang berbaik hati untuk menyuruh kami menyudahi acara pusing-pusingan itu. Katanya, sekali pun kita lanjutin juga nggak bakal kelar, jadilah beliau memutuskan untuk kembali berpusing ria di Hari Senin besok. Ya sudah, beruntunglah kami, urusan Senin mah ya Senin aja, yang penting sekarang welcome weekend, yey!
"Udah makan?" tanya Mas Hanif lagi, singkat dan jelas.
"Belum, tadi mau beli sekalian udah keburu magrib. Ini mau keluar taunya Mas telepon."
"Owalah, yauda kalau gitu, beli makan sana. Ntar dilanjut." Nada Mas Hanif mulai berubah, aku tahu nih kalau begini. Bau-bau merajuk karena aku sengaja ingin mengakhiri sambungan. Dasar!
"Nggak, selesaikan dulu, mau ngomong apa, abis itu aku baru keluar."
Mas Hanif kemudian mengarahkan wajahnya ke layar, menatapku sedikit serius. Dia menyandarkan punggungnya di kursi kemudi. Sepertinya mobil sedang berhenti, atau mungkin sedang berada di lampu merah? Aku hanya menduga-duga.
"Besok main ke rumah, ya?" katanya pelan tapi cukup terdengar sangat jelas di telingaku. Menjadikanku mendelik seketika, yang langsung dibalas dengan ekspresi memicingkan mata dari si empunya.
Astagfirullah, bukannya gimana-gimana. Aku cukup kaget aja mendengar ajakannya. Terlebih selama beberapa minggu berkomunikasi intens, Mas Hanif sama sekali nggak pernah menyinggung untuk mengajakku ke rumahnya. Hanya sekali ketika dia telepon kemudian disambungkan oleh mama dan papanya. Hanya percakapan ringan kala itu, menanyakan kabar dan yaaa, udah, nothing special. Mama Mas Hanif juga nggak memintaku untuk ke sana. Ya walaupun pas di acara Rahay Mama Mas Hanif pernah berbasa-basi sih, tapi bukan berarti hal itu serius kan?
"Kenapa gitu? Nggak mau?" selidik Mas Hanif yang bingung dengan ekspresiku.
"Kenapa mendadak?" tanyaku balik.
Aku bukan nggak mau, cuma bingung harus mempersiapkan diri bagaimana. Aku tahu ini hanya acara main biasa. Cuma main kan? Tapi bolehkah ekspektasiku yang terlalu tinggi itu membayangkan bahwa ketika seseorang membawamu ke rumahnya, mengenalkanmu pada keluarganya, apakah itu cukup menjelaskan bahwa dia ingin serius terhadapmu? Atau aku yang terlalu pede? Bisa jadi mengajak teman-teman perempuannya main ke rumah adalah hal biasa? Segala presepsi dan tetek bengeknya memenuhi pikiranku yang menjadikanku bergulat dengan spekulasiku sendiri.
Siapakah aku? Dan aku harus bagaimana nanti ketika di sana?
"Kamu nggak bisa ta? Kalau nggak bisa ya nggak papa, kapan-kapan aja, nunggu kamu bisa," ucapnya dengan raut wajah kecewa.
"Bisa," balasku cepat yang langsung dibalas dengan seringaian senyum puas ala Mas Hanif.
Ya ampun.
💐🌿💐🌿💐🌿
Jadilah Sabtu pagi ia sudah menyatroni kosku, padahal aku sudah menolaknya dengan dalih akan ke sana sendiri tapi sepertinya dia nggak akan membiarkanku melakukan hal tersebut.
Aku sebenernya cukup kaget sih ketika dia bilang bakal menjemput di kos. Karena ya itu tadi, kami udah sama-sama komitmen untuk sebisa mungkin menghindari bertemu hanya berdua aja. Apalagi segala pakai acara jemput di kos, di mana sebelumnya dia sendiri yang ngomong kalau dia nggak suka ketemu atau jemput aku di kos, lebih baik di rumah aja. Tapi kali ini, dia nekat.
Indekosku itu termasuk salah satu kosan yang memperhatikan banget kenyamanan penghuninya. Karena selain dekat industri dan perkantoran, kawasan tempat tinggal singgahku tersebut juga dekat dengan area kampus. Jadi, bisa dibilang yang ngekos di sini nggak cuma orang pekerja melainkan juga para mahasiswa. Itu juga yang bikin aku akhirnya memutuskan menempati kosan ini karena mengkhususkan untuk penghuni perempuan. Nah, di kosku itu ada semacam ruang tamu bersama. Jadi ketika ada tamu, penjaga kos yang akan menerima kemudian menghubungi anak kosan yang ketamuan. Aku tahu Mas Hanif sudah datang pun dari bapak penjaga kos, karena dia sama sekali tidak memberitahukan bahwa dia sudah datang baik itu melalui pesan singkat, ataupun telepon. Keterlaluan kan?
Untung saja aku sudah bersiap, jadi nggak butuh waktu lama lagi, aku segera mengambil clutch, mematut penampilan sedikit di depan cermin, memastikan krudungku tertata rapi, dan segera menemui seseorang yang sudah nangkring di ruang tamu bawah.
"Assalamualaikum ....," salamku kepadanya, tapi harus kujeda, begitu tahu dia membawa seseorang. "Mmm ... Mas, ini siapa?" tanyaku melihat seseorang itu, yang jelas bikin aku sedikit terkejut. Pasalnya Mas Hanif sama sekali nggak ngomong kalau mau bawa seseorang kan.
"Waalaikumsalam. Kenalin, Rin. Ini Keisha. Keisha kenalan dong, ini tante Rindu."
"Haiii, nama tante Rindu," dengan sedikit canggung aku berusaha mengakrabi seseorang yang dibawa Mas Hanif tersebut, tak lain adalah seorang anak kecil yang kuperkirakan berumur satu atau dua tahunan.
"Anteee," sapa gadis mungil itu, kemudian meraih-raihku, lalu kuminta ia dari gendongan Mas Hanif kemudian memindahkan ke dalam gendonganku.
Aku mendadak gemas, gadis cilik ini dengan lucunya menepuk-nepukkan kedua tangan seolah sudah akrab sekali denganku. Lebih jauh lagi, ketika Mas Hanif mencoba untuk kembali menggendong, Keisha dengan sangat jelas menolaknya, ia menggeleng, kemudian mengeratkan pelukannya kepadaku. Ya Ampun, menggemaskan sekali.
"Kayaknya udah ada yang langsung klik ini," kata Mas Hanif sambil cengir-cengir puas.
"Siapa dia Mas?" tanyaku sambil terus menggoda gadis kecil di gendonganku ini.
"Anakku, Rin." Aku melotot seketika.
Tapiiiiiii .... Orang yang mengaku sebagai bapak dari anak ini malah sibuk terkekeh sambil keluar kosan menuju ke mobilnya.
"Jangan tegang dong, Rin. Kayak aku mau bawa ke mana aja. Ayo masuk, Mama udah nunggu di rumah."
Astagfirullah.
Kok bisa-bisanya sekarang dia main-main kayak gitu, pakai acara ngerjain aku segala. Sejak kapan dia punya keahlian seperti itu hey?!!!
"Nunggu apa? Seenggaknya saya nepatin janji bahwa kita nggak akan berduaan semobil. Ada Keisha. Jadi kamu tenang aja."
Ya tetep aja! Keisha masih kecil. Mana ngerti dia Ya Robbi!
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya nggak ada perbincangan yang istimewa di antara kami. Hanya beberapa candaan kecil bersama si cantik Keisha yang super lucu ini.
Sekalipun aku tahu bahwa Mas Hanif itu bercanda soal Keisha adalah anaknya, tapi tetep aja, aku sedikit was-was jika ternyata bahwa pernyataan tersebut adalah fakta.
Apa mungkin benar bahwa Keisha adalah anak Mas Hanif? Kalau memang iya, oh ya ampun, secetek itu aku mengenalnya.
"Keisha benar anak kamu, Mas?" tanyaku lagi begitu kami kembali saling terdiam.
"Kalau emang iya kenapa?"
"Ibunya mana?" tanyaku lagi, meski sampai di titik ini aku merasa ingin loncat keluar mobil, karena nggak siap mendengar cerita selanjutnya.
"Ada di rumah." Oke, tetap kalem, Rindu. Yakinlah bahwa saat ini kamu baru saja mengetahui bahwa Mas Hanif ternyata punya selera humor yang sangat tidak lucu. Aku meliriknya sekilas, smirk wajahnya nampak sangat-sangat puas melihat raut mukaku yang pias karena pernyataannya.
Sesaat kemudian, ...
Bwahahaha
Tawa yang ditahannya sedari tadi akhirnya jebol. Benar-benar puas dan menjengkelkan.
"Nanti aku kenalin ya." Mas Hanif masih terkekeh sementara aku diam tak menanggapi. Males! Awas aja kamu, Mas!
💐🌿💐🌿💐🌿
"Akhirnya kamu main ke sini sayang, mama tuh udah ngarep-ngarep dari kemarin. Eh Mas Hanifnya aja yang sok sibuk, belum sempat jemput kamu katanya," sapa mama Mas Hanif begitu aku masuk ke dalam rumahnya.
Sambutan hangat sangat kentara diberikan oleh Mama Mas Hanif tersebut. Beliau menyambutku seperti aku adalah anaknya yang merantau jauh dan baru pulang setelah sekian lama. Pelukannya begitu menenangkan.
"Rindu kenalin ini Papa, kemarin waktu di rumah Ayu papa kan nggak ikut kamu malah ngiranya si om adalah papa. Ini lho Pa, Rindu yang waktu itu mama ceritain."
"Oalah ini yang namanya Rindu. Alhamdulillah, akhirnya bisa ketemu." Aku menyalimi Papa Mas Hanif, beliau juga menyambutku dengan hangat.
Papa Mas Hanif begitu tegap, gagah, dengan postur tubuh yang tinggi, perawakan yang sangat sukses menurun kepada Mas Hanif.
Om Ruslan, begitu beliau mengenalkan diri tadi, begitu akrab mengajakku berbincang. Mulai dari bercerita kesehariannya yang kutahu bahwa ternyata beliau juga seorang dokter sama seperti Mas Hanif. Hingga menanyakan keseharian Ayah, Bunda, tentu tentangku juga. Meski sama-sama dokter, Om Ruslan dan Mas Hanif tidak bekerja di satu instansi yang sama. Om Ruslan yang merupakan dokter spesialis jantung tersebut kerja di rumah sakit daerah Karangmenjangan sana. Sementara Mas Hanif sejak kelulusannya internship di Cirebon, dia langsung mendapatkan pekerjaan di RSAL yang kebetulan ada slot kosong dokter umum kala itu. Sementara tentang Tante Ratih, mama Mas Hanif, beliau dulu adalah seorang perawat, satu rumah sakit dengan Om Ruslan, tapi memilih resign karena mau mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengurus suami dan anak-anaknya. How sweet they are?
Aku juga pengin seperti itu. Tapi nanti. Ketika aku sudah sangat siap.
Nggak lama setelah itu, dari luar rumah datang dua perempuan yang langsung meramaikan seisi rumah ini.
"Assalamualaikum ... Wah udah datang. Ini ya Mbak Rindu," satu dari dua perempuan itu langsung berhambur menyalamiku kemudian cipika-cipiki khas pertemuan dua perempuan seperti biasa.
"Waalaikumsalam, iya, Rindu," kataku memperkenalkan diri.
"Aku Shakina, Mbak. Adiknya Mas Hanif."
"Oh, iya."
Kemudian perempuan satunya yang kuperkirakan umurnya di atasku, juga ikut mendekat kemudian menyalami.
Namun, belum juga dia sempat memperkenalkan diri. Mas Hanif mengambil alih, "kalau yang ini Ibunya Keisha, Rind."
Deg.
Kemudian perempuan yang kata Mas Hanif adalah ibunya Keisha tersebut, menyalamiku sambil tersenyum.
"Hai, Rindu. Aku Atiqa, panggil aja Mbak Tiqa. Bener, aku ibunya Keisha. Kulihat kalian udah lengket aja ya. Keisha itu jarang lho bisa deket sama orang baru. Itu artinya kamu hebat bisa mencuri hatinya."
Aku tersenyum getir.
Lalu apa artinya aku di bawa kemari. Atau memang aku harus segera sadar bahwa tujuannya membawaku ke sini adalah untuk mengenalkannya dengan seluruh keluarganya, termasuk istri dan anaknya.
Aku yang salah, dia tidak bercanda dengan ucapannya. Ternyata benar bahwa Keisha adalah anaknya. Ada ibunya ini, lalu fakta apa lagi yang bisa kusangkal?
Mbak Atiqa dan Keshia, tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Keshia, gadis mungil, imut, lucu, dan menggemaskan, betapa aku dibuat jatuh cinta mendadak dengannya. Sementara Mbak Atiqa, sosok perempuan yang keibuan sekali, memang sangat cocok dengan Mas Hanif, bahkan struktur wajah mereka hampir sama. Kalau jodoh memang begitu, Rind. Dan harusnya kamu sadar untuk menyudahi semua harapanmu.
Tetaplah di sini. Setelah pulang bolehlah kamu menangis sejadi-jadinya.
"Jadi masak sekarang, Mam?" tanya Mbak Atiqa sambil berlalu menuju dapur.
Astagfirullah, aku baru saja melamun. Sebisa mungkin kuenyahkan segala pikiran-pikiran itu. Kini, aku harus menjadi tamu yang baik setidaknya.
Kuat, Rind.
"Loh ayok. Itu lho, Rindu diajak."
"Ayok Mbak Rin." Kali ini Kina yang sudah menggandengku untuk menuju ke dapurnya.
Memang sesuai rencana pas kami bertemu pertama kali di rumah Rahay, tante Ratih pengin banget masak-masakan bikin kue atau apapun denganku. Makanya mengundangku ke rumahnya. Tapi, siapa sangka bahwa undangannya justru adalah ajang perkenalan keluarga besar dari seorang Hanif Zarchasi. Oke, aku jadi mengenal keluargamu kan, Mas. Lengkap dengan istri dan anakmu. Kamu terbaik memang.
Dengan sisa-sisa hati yang masih bercecer, kuteguhkan diriku sendiri untuk tetap kuat berada di tempat. Mereka begitu baik, mengajakku mengobrol apapun, menanyakan segala hal tentangku yang kubalas sekadarnya.
"Jadi kerjaanmu itu bisa dibilang kayak detektif dong, nduk? Menyelidiki kasus-kasus gitu ya? Kenapa kok bisa gini, asalnya dari mana. Gitu-gitu ya?" tante Ratih yang kini sedang menakar tepung sepertinya begitu tertarik untuk tahu seluk beluk tentang keseharianku.
Aku tersenyum, "iya, Tante. Seperti itu kurang lebih."
"Pasti sibuk banget ya." Lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan senyuman yang kuusahakan sekuat tenaga.
"Kalau nikah nanti harus pinter-pinter bagi waktu ya, nduk. Jangan sampai gara-gara kerjaan di kantor, terus suami dan rumah terbengkalai."
Aku menghirup panjang udara di sekitar. Rasanya mendadak engap. Entah karena Tante Ratih membahas soal nikah, atau konteks bahasan yang tiba-tiba sedikit melukai egoku.
Maksudku, kenapa ada bahasan seperti ini di momen yang begini?
"Mama apa-apaan sih. Rindu pasti udah mikirin hal itu lah. Mama nggak usah khawatir, lagian sekarang banyak kok wanita karier yang bisa nyeimbangi kodratnya sebagai ibu rumah tangga," Mbak Tiqa menyela, menengahi obrolanku dengan Tante yang mungkin dirasa membuatku tidak nyaman.
Terima kasih, Mbak. Aku jadi semakin kagum dengan sosok Mbak Tiqa ini, begitu bijak dengan kata-katanya. Benar-benar nggak salah jika Mas Hanif ....
Ah, kamu jahat, Mas!
"Rindu, Maaf ya kalau perkataan Mama ada yang nyakitin kamu." Tante Ratih menghentikan aktifitasnya, kemudian mendekatiku, lalu mengelus punggungku pelan.
Untuk kesekian kalinya, aku hanya mampu tersenyum membalasnya. "Nggak papa Tante, nggak ada yang salah, justru Rindu makasih sudah diingatkan. Biar jadi bekal Rindu kelak jika berumah tangga."
"Udah ah, kok jadi maaf-maafin sih, serasa lebaran aja." Kali ini giliran Kina yang menengahi kami. Kemudian kami melanjutkan proses bikin kue dengan menggunakan resep ala tante Ratih.
Aku diminta menguleni adonan kue yang sudah ditakar oleh tante Ratih. Ya walaupun hitungannya jarang bikin, tapi jangan ragukan aku soal hal beginian. Bukan ahli, tapi bisalah. Trust me, hahah.
"Oh ya, Mbak. Kata Mbak Rindu tadi adiknya kuliah di Malang juga. Di Malang mana mbak? Aku kan juga kuliah di sana." tanya Kina.
"Di kampus jalan Veteran itu lho, Kin," jawabku sambil terus menguleni.
"Oya? Angkatan berapa dan jurusan berapa, Mbak? Sama banget dong, aku juga di sana." Mendadak Kina begitu antusias ketika mengetahui bahwa ternyata dia satu kampus dengan adikku, Zia.
"Biasa aja tanyanya. Nggak usah mrepet kayak oplet gitu" di tengah-tengah keantusiasan Kina, Mas Hanif ke dapur, mengambil air dingin di kulkas lalu menghentikan Kina yang sedang asyik ngobrol denganku. Jahil, dia mencubit gemas pipi adiknya itu.
"Iiih, Mas, gangguin aja deh. Sanaaaa, boboin tuh Keisha."
"Iya, boboin gih Keisha. Udah ngantuk itu," sambung Mbak Tiqa.
Ehem, nyeri itu masih berlanjut.
"Eh, gimana tadi, Mbak, adik Mbak Rindu jurusan apa, angkatan berapa? Kali aja Kina kenal." Kina melanjutkan rasa penasarannya yang sempat terputus.
"Semester empat sekarang. Ambil Farmasi dia." Aku pun berusaha mengalihkan lagi distraksi yang sempat mampir sejenak tadi. Kuabaikan Mas Hanif yang kini beneran menidurkan Keisha dalam gendongannya. Sungguh kebapakan sekali. Sosok suami idaman yang begitu sayang anak dan istri.
"Serius, Mbak? Siapa namanya? Aku juga di Farmasi lho, Mbak."
Setidaknya, aku senang ada Kina saat ini. Dia benar-benar bisa menghiburku.
"Nazla Adzia," jawabku singkat. Kemudian nggak disangka saja Kina mendekat lalu memelukku erat.
"Ya ampun, dunia sesempit itu. Nazla itu teman dekatku, Mbak. Ke mana-mana kami itu bareng."
"Beneran, Kin?" Tante Ratih kembali ikut bersuara.
"Bisa jodoh gitu ya." Begitu juga dengan Mbak Tiqa.
"Oalah, Zia pernah cerita sih, kalau punya sahabat rumahnya di Sby. Sering pulang bareng kan kalian?"
"Banget, Mbak. Cuma kali ini Nazla nggak bisa pulang. Makanya kemarin Kina dewean."
Kemudian mengalirlah cerita tentang persahabatan Kina dan Zia. Rasanya begitu menyenangkan mendengar Kina bercerita dengan semangat dan cerianya. Benar-benar mirip Zia. Ya manjanya, cerewetnya, apapun itu. Ah, mungkin aku bakal punya adik lagi kalau begini caranya.
Dengan begini, setidaknya hadirku ke sini tidak menyakitkan banget lah.
Kue yang kami buat sudah masuk tahap baking. Adonan yang sudah tercetak sekarang dimasukkan ke dalam oven. Sembari menunggu matang, aku, Kina, dan Mbak Tiqa sedang beres-beres dapur, biar ketika kuenya matang kami pun tinggal mengemas lalu bersantai sejenak.
Di saat kami sibuk membereskan dapur, terdengar suara orang lain lagi bagiku.
Di ruang tengah terdengar riuh suara Keisha yang sedikit rewel mungkin karena terbangun tiba-tiba. Kami ikut bergabung ke ruang tengah. Benar, bahwa ada satu orang lagi yang wajahnya baru bagiku.
"Loh, siapa ini?" tanya Mas-mas tersebut yang kini menggendong Keisha.
"Oh iya, kenalin yang, ini Rindu." Mbak Tiqa mengenalkan. Aku menyalami mas-mas tersebut.
"Aku Danar, oalah ini yang namanya Rindu. Kok keren seleramu, lur," ucapnya kurasa kali ini ditujukan ke Mas Hanif.
Sejujurnya aku kurang mengerti pembicaraan mereka. Mulai dari Mbak Tiqa memanggil Mas Danar ini yang, hingga percakapan Mas Danar dan Hanif yang nggak sepenuhnya ku mengerti.
"Jadi kapan ini, Rind. Kamu jangan mau di PHP terus sama Hanif. Lebih cepat lebih baik," kata Mas Danar kepadaku.
Aku mendadak gagu, sebenarnya apa maksud Mas Danar ini? Mungkin kalau situasinya sebelum aku tahu bahwa Mas Hanif telah beristri dan beranak satu, maka aku bisa sepenuhnya paham maksud pembicaraan ini. Tapi, sekarang. Sudahlah.
"Itu kan tergantung Rindunya," jawab Mas Hanif cuek.
"Benar itu Rindu. Nggak usah lama-lama lagi. Nggak baik kalian bersama tanpa adanya ikatan. Hanif sudah menceritakan semuanya, tentang kamu, dan nasab kamu. Kamu tadi juga sudah cerita sendiri kan. Hanif juga sudah ke rumah menemui orang tuamu kan, Rind?" Kali ini Om Ruslan yang angkat bicara.
Aku masih terdiam, menunduk, belum ingin terlibat dalam obrolan ini.
"Kapan kiranya orang tuamu senggang dan bisa kami bertamu ke sana, Rin?" Tante Ratih duduk mendekatiku, memegang tanganku yang entah kenapa jadi berkeringat dingin.
Aku sejujurnya mengerti arah pembicaraan ini, tapi ...
"Maaf Tante, untuk apa, nggih?" tanyaku pelan, begitu pelan takut menyinggung semua pihak.
"Ya untuk silahturahmi lah, sayang. Sekalian menindaklanjuti niat baik Mas Hanif yang kemarin sudah diutarakan ke orang tuamu. Niat baik itu harus disegerakan. Apalagi yang kalian tunggu? Kami ingin mengkhitbahmu, memintamu dari orang tuamu untuk Mas Hanif," jelas Tante Ratih dengan masih menggenggam tanganku.
Kemudian aku spontan melihat Keisha yang begitu nyaman dalam gendongan Mas Danar. Setelah itu pandanganku beralih ke Mbak Tiqa yang duduk di samping Mas Hanif.
Apa mungkin Mas Hanif mengerjaiku?
Tak ingin terus-terusan terjebak dalam spekulasi yang kubuat sendiri, aku ingin menuntaskan rasa penasaranku. "Maaf tante, gimana dengan Mbak Tiqa?" tanyaku melihat Tante Ratih kemudian beralih ke Mbak Tiqa.
Mbak Tiqa hanya mengernyit, mungkin heran kenapa harus melalui pertimbangannya.
"Kenapa denganku, Rind? Jelas aku sangat setuju lah kalau adikku mau menyempurnakan separuh agamanya. Apalagi sama orang yang dicintainya."
Pupilku melebar seketika. "Aaa ... Adik?"
"MasyaAllah, apa jangan-jangan kamu menganggap serius omonganku tadi, Rind? Kamu percaya?" Mas Hanif yang dari tadi cuma diam kini akhirnya bersuara.
"Omongan apa, Hanif?" tanya Om Ruslan.
"Maafin aku, Rind. MasyaAllah aku nggak ada maksud ... Begini lho, Pa, Ma, jadi waktu tadi Hanif jemput Rindu kan bawa Keisha, Rindu tanya Keisha itu siapa, ya Hanif jawab aja Keisha itu anakku. Terus dari tadi juga Mbak Tiqa nggak nyebut kan kalau Hanif itu adiknya. Tadi kenalannya malah Mbak Tiqa ibunya Keisha. Ya emang benar sih, tapi mungkin Rindu jadi salah paham."
Dan sontak aku pun menjadi bahan guyonan orang serumah. Rasanya saat itu juga aku gondok parah sama Mas Hanif. Bisa ya dia begitu? Sumpah, nggak habis pikir.
Awalnya memang aku mengira dia bercanda. Tapi ketika aku ketemu Mbak Tiqa dan dia membenarkan bahwa dia adalah ibunya Keisha, coba tolong siapa yang pikirannya nggak macam-macam.
Aku masih gregetan. Masih diem, senyum masam, dan melempar tatapan dendam ke arah Mas Hanif. Awas saja.
"Wah, parah kon, Nif. Ngambek tuh anak orang." Mas Danar ikutan ngomporin. Sementara Mas Hanif masih ngakak karena puas banget bikin shock.
Tolong ingatkan aku untuk bikin prank balasan!
"Udah, udah, sekarang kita makan dulu yuk. Rind. Abis itu kalau mau pulang baru deh biar dianter Masmu," ajak tante Ratih.
Kami semua beralih menuju meja makan. Kina masih ikutan ngakak ketika tahu bahwa seharian tadi aku nahan sakit hati karena mengira Mbak Tiqa adalah istri Mas Hanif. Mbak Tiqa hanya geleng-geleng melihat kelakuan adiknya yang absurd. Sementara orang itu, jangan ditanya. Dia melirikku masih dengan senyum jahil kepuasaan.
Dan, acara makan siang tersebut diwarnai dengan penuh candaan mengenai kepolosanku seharian tadi. Nggak lupa, melanjutkan bahasan tentang ... Bismillah.
Iya, Bismillah, Tante Ratih dan Om Ruslan meminta untuk disambungkan dengan Ayah dan Bunda via telepon. Aku dan Mas Hanif masih di ruang makan ketika selesai, sambil mendengarkan mereka berbincang.
Rasanya, keinginanku untuk menangis di kosan sudah tak terelakkan lagi, tapi bedanya, kali ini adalah tangis haru karena nggak nyangka bakal secepat ini.
Bismillahirrahmanirrahim.
Laa haula walla quwwat illa billah.
Kupasarahkan semuanya kepada-Mu Ya Rabb.
_______selamat merindu kembali______
Outfit Rindu ketemu camer
Terima kasih telah bersedia menanti.
Jangan lupa untuk merindu lagi.
Kangen gengss 😘😘😘
Lav
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top