14. Rindu Memulai Kembali

Seminggu setelah kedatangan Mas Hanif ke rumah, sejujurnya tidak ada yang berubah dari hubungan kami. Dia masih belum menghubungi via Whatsapp layaknya hal yang seharusnya dilakukan jika memang mau mendekati dengan serius to?

Gini, gini, maksudku, jika dia kemarin menunjukkan ke-iya-annya untuk meminta restu ayah ingin mengenalku lebih dekat, lantas usaha apa yang ia lakukan selanjutnya? Karena sampai sekarang pun aku belum merasakan perubahan itu.

Rahay, orang yang ada di balik acara seminggu yang lalu, akhirnya menjadi sasaran pertama untuk ku-interogasi habis-habisan terkait aksi rahasianya kemarin.

Bagaimana bisa, kita yang sebelumnya sempat nongkrong berdua, meet up kemudian cerita dari ujung sana sampai ujung sini, dan si Rahay sama sekali tidak menunjukkan gelagat rencana muslihat akan ada acara datang ke rumahku bersama sepupunya itu.

Rasanya pengen kutoyor aja si Rahay lepas kami menghabiskan makan siang di hari Minggu kemarin.

Tentunya, teror itu masih kuserangkan kepada Rahay ketika sampai saat ini dia masih melakukan aksi bisu tidak mau membocorkan cerita asal muasal kejadian kemarin.

Anak geng esempe yang lain sampai saat ini belum tahu hanya jika si Rahay beneran amanah dengan ancamanku untuk tidak mengabari mereka terlebih dahulu. Menurutku, itu hanya akan bikin heboh dan jelas mereka menuntut penjelasan lebih.

Lah sementara aku aja belum juga mendapat penjelasan dari berbagai pihak yang terlibat di acara .... Mmm ... Acara apa ya menyebutnya?

Lamaran? Khitbah?

Astagfirullah. Tolong ingatkan aku untuk tidak terlalu ngarep.

Acara minggu kemarin hanya sebuah acara perkenalan, that's it. Karena jika memang yang dimaksudnya adalah khitbah/lamaran, mengapa ia hanya membawa sepupunya? Tidak keluarga inti seperti orang tuanya? Sesederhana itu, pikirku.

Lima dari tujuh malamku sepekan ini rasanya benar-benar terkuras hanya untuk memikirkan Mas Hanif yang aku sendiri tidak yakin apakah dia juga memikirkan kegalauan yang sama.

Kenapa lima malam? Karena dua malamku berhasil tidur nyenyak setelah dipaksa lembur oleh Baginda Fikri untuk menggarap closing bulanan. Berhasil tidur nyenyak it's mean kecapekan, bukan karena aku terlalu nyaman dibuai oleh rangkain mimpi indah. Apalagi mimpiin Mas Hanif. Plak!

Sampai akhirnya ruang chat di grup Geng Esempe kembali ramai oleh obrolan anak-anak yang ternyata setelah kubuka sudah mencapai ratusan massage unread.

Hmm, ada bahan gibah apa sampai grup yang cuma lima orang ini begitu ramai?

Mari kita lihat.

Rahay
Gengs. Datang ya ke acara empat bulananku. Besok minggu. Di rumah Sby. Tasyakuran, selametan, doain semoga ponakan kalian sehat2 sampai lahir.

Fita
Kon hamidun dan gak ngomong2?

Arini
sumpah on, Ray?

Diva
kon gendeng a Ray, wes 4 bln dan gak ngomong2. Tuego!

Rahay
sorry2, sorry banget ya gengs. Bukan gamau kasih kabar bahagia ini ke kalian. Tapi kata mamas, pamali kalau belum waktunya. Well yeah, inilah waktu yang tepat menurutku. Jadi aunty2, maafin yaa. Dan doain mommy sama debaynya sehat.

Fita
mbuh kah, Yuk. Aku ngambek karo kon!

Rahay
wes ta aunty Fita, berdamailah. Gak sakno aku taaa? Please, datang ya besok minggu.

Arini
di rumahmu atau di rumah masmu, Ray?

Rahay
di rumahku Rin. Dateng yo. Ditanyain mama lho kalian.

Diva
insyallah, Ray. Aku tak bilang suamiku dulu ya. Semoga jadwalnya gak bentrok biar bisa ke sby.

Arini
lakone endi yo, gak muncul blas rek @Rindu

Rahay
tenang ae Rindu pasti datang. Tak jamin!

Fita
ealah, yo ngunu, Rindu wes mok kasih tahu duluan.

Rahay
belum, dia juga paling kaget baca ini. Tapi tak jamin dia pasti datang. Jadi, kalian semua juga wajib datang kalau nggak kepengen ketinggalan satu lagi kabar bahagia.

Fita
????

Arini
???? (2)

Diva
???? (3)

Aku yang dari tadi masih scrolling dari atas sampai bawah hanya bisa geleng-geleng membaca percakapan mereka.

Dan tentunya, Rahay berhasil mengejutkanku sekali lagi.

Ray, kemarin kamu bertamu bawa sepupumu. Sekarang kamu hamil empat bulan dan aku nggak tahu? Bahkan pertemuan terakhir kita pun harusnya kamu bisa menceritakan soal ini. Sungguh terlaluhhhhh!

Akhirnya aku iseng-iseng bergabung dengan respon inonsense tanpa dosa yang tiba-tiba muncul

Anda

???? (4)

Fita
heh @rindu kon muncul2 idem tok ae!

Arini
staga anak gadis, akhirnya muncul juga kau dari peradaban. Apa kabar kau kisanak? 

See? Hanya dengan sebuah copy paste empat tanda tanya saja, berhasil memancing mereka menjadi semakin ricuh. Kubiarkan mereka terus berceloteh memanggil-manggilku lagi.

Kini, justru kegalauan lain menyergapku.

Jadi, kalau aku hadir ke acara empat bulanan si Rahay, apa secara otomatis akan bertemu dengan Mas Hanif?

Lalu, apa yang akan kulakukan jika bertemua dengannya? Terlebih sudah barang tentu di sana akan ada keluarga besar Rahay, yang itu berarti tidak menutup kemungkinan keluarga besar Mas Hanif juga berada di situ.

Kalau-kalau kamu lupa, Rind. Rahay dan dan Mas Hanif ada di dalam satu keluarga besar yang sama.

Hmmm, baiklah.

🔰🔰🔰🔰

Tidak selang beberapa lama dari perenungan yang tiada berujung itu. Ponselku bergetar, menampilkan nama ....

... Ya Ampun! Masih aktifkah nomor dengan kontak bertuliskan Hanif Zarchasi itu????

Hanif Zarchasi
📞

Hei, kukira selama ini dia hilang ditelan bumi itu karena nomornya sudah berganti atau paling tidak hapenya hilang atau entahlah sehingga aku bisa menerima alasan logis menghilangnya dia kemarin itu.

Nyatanya, enggak!

Nomor itu masih sama.

Oke, jadi ini diapakan?

Diangkat, jangan?

Sebelum kalian menjawab angkat, nyatanya tanganku secara naluriah bergerak mengambil ponsel tersebut dan menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum, Rindu," sapanya di ujung sana dengan suara teduh yang ternyata masih sama.

Kirain.

Kan kirain, lama gak teleponan suara dia berubah. Meski seminggu yang lalu secara live suara dia ya kayak gitu. Masih sama. Tegas, tapi teduh. Aish, nggak usah dideskripsikan lah.

"Waalaikumsalam, iya, Mas?" balasku dengan bahasa  yang lugas dan penuh kekaleman.

Tolong lupakan galau akutku beberapa sesaat tadi. Karena nyatanya saat ini aku sedang berupaya istighfar berulang kali agar gak kalap dan akhirnya teriak di gagang telepon sambil bilang, 'heh! Kemana aja lo! Mau lo apa sih? Baperin anak orang trus nggak tanggung jawab! Heran deh!'.

Astagfirullah, Rindu. Nyebut, Rind. Sing eling!

Aku memejam sebentar, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Kalem, Rind. Kalem.

"Maaf baru hubungi. Kemarin-kemarin saya sibuk banget di Rumah Sakit."

Oh iya, baik. Saya hampir lupa lho kalau anda ini dokter. 

"Eh, iya nggak papa, Mas. Lagian juga sama, aku di kantor lagi sibuk-sibuknya." Sangat kontras dengan kata hatiku yang sedang sibuk menjerit karena rindu dengan suaramu ini, Mas.

Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang masih terlalu lemah menerima godaan dari berbagai arah ini.

Nyatanya, proses hijrah itu tidak seinstan dan semudah yang terlihat. Hijrah tutur kata, hijrah perilaku, bahkan hijrah hati pun, aku masih jauh dari kata itu.

Buktinya? Kelakuanku yang kegirangan mendapat telepon dari lawan jenis notabenenya dia adalah orang yang kuharapkan slash tentunya dia tetap aja orang asing slash bukan mahram ... Edited: belum mahram. Yang artinya, walla taqrabu zina, Nak. Aku berusaha mengontrol emosi dan mengembalikan kesadaranku agar tak terlalu berlarut-larut dalam buaian sapaan dari pemilik suara di ujung sana.

"Rind, kamu sudah dikabarin Rahay tentang acara tasyakurannya?" tanyanya lagi.

"Udah, Mas." Jawabku tanpa tambahan kalimat apapun di belakangnya.

Meski sebenarnya pengin banget kutambahi, 'kenapa, Mas? Mau ngajak bareng? Hayuk!'

Ya Rabb, sesungguhnya aku makin tidak waras akibat kejadian seminggu lalu yang begitu tiba-tiba dalam nalarku.

"Saya jemput ya? Sekalian saya mau mengenalkan kamu ke mama dan papa."

Blarrr!!!

Mati kon, Rind! Terus aku harus jawab apa? Siapa tadi yang nantangin?

"Rind?" tanyanya lagi, merasa belum mendapat balasan dariku.

"Eh, iya, Mas," jawabku spontan diikuti dengan anggukan kepala yang kutahu dia di sana nggak akan bisa melihat tingkah konyolku ini.

Oke sekian lama dia menghilang, dan seminggu kemarin dia datang lagi secara tiba-tiba, jadi sudah siapkah aku untuk memulai kembali?

Artinya, kembali ngarep, kembali baper, dan kembali menaruh ekspektasi dan harapan tinggi atas semua kejadian ini.

Bedanya, sekarang tolong ingatkan aku untuk tidak lupa selalu melibatkan Allah di dalamnya. Karena kuyakin, Dia pasti punya rencana tak terduga lainnya. Tugasku hanya terus merayu-Nya agar keinginanku sejalan dengan ridho-Nya. Heheh.

🔰🔰🔰🔰

Kali ini ucapannya menjelma nyata. Minggu pagi sekitar pukul sembilanan, Mas Hanif beneran datang untuk menjemputku di rumah Aloha. Iya, semalam aku pulang, selain karena aku nggak pengin dia menjemput di kosan, ayah dan bunda juga memintaku untuk pulang. Entahlah, akhir-akhir ini mereka sepertinya menginginkanku untuk pulang tiap minggu.

Jelas hal tersebut disambut dengan suka cita oleh ayah. Seperti ingin menunjukkan, ini lho pilihan ayah nggak salah. Buktinya, ngajakin jalan dengan menjemput di rumah pamit sama orang tua. Bukan ketemuan di gang depan komplek sambil mengendap-endap ala anak SMA.

Setelah morning tea dengan sedikit pembahasan yang aku nggak tahu, kami pamit kemudian memutuskan untuk segera berangkat ke rumah Rahay. Takutnya jika kami berangkat siang dikit saja bakal kejebak macet di Waru. Daerah yang nggak pernah lelah dengan kebisingan dan segala kesemrawutannya. Apalagi akhir pekan seperti sekarang.

Tidak ada yang istimewa selama perjalanan. Kamu justru cenderung saling diam menyelami isi pikiran masing-masing. Atau nggak tahu mau mulai bahasan seperti apa.

Mengingat, pertemuan terakhir kita berujung perpisahan yang penuh kecanggungan.

Sampai kami tiba di rumah Rahay. Sesaat sebelum aku membuka pintu mobilnya, Mas Hanif memintaku untuk tidak turun sebentar.

"Rin, tunggu," katanya yang membuatku urung membuka mobil kemudian menoleh ke arahnya.

"Makasih karena udah mengizinkan saya."

Aku tidak merespon. Mungkin hanya tautan alisku yang membuatnya dia membalas hanya sedang kekehan senyumnya yang merekah. Jujur, aku masih bingung harus menanggapi Mas ini dengan bagaimana.

Ya sudah lah, let it flow.

Kemudian kami masuk ke rumah Rahay yang tentunya sudah ramai banyak orang yang kuduga mereka pasti sanak keluarga Rahay. Beruntungnya tidak butuh waktu lama untuk aku menemukan bocah satu itu sebelum aku mati canggung dilihatin orang-orang karena masuk rumah barengan dengan Mas Hanif.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu. Akhirnya nongol juga," sapa Rahay yang muncul dari dalam dengan mengenakan setelan gamis putih.

Dan aku lebih terbelalak  ketika di belakang Rahay muncul gerombolan  anak-anak yang lain. "Masak Aloha kalah cepet sama yang dari Malang dan Lumajang?" Diva menyahut sambil mesem-mesem sendiri nggak jelas.

Aku curiga sesuatu.

Apa jangan-jangan Rahay sudah cerita yaaa?

Aku cuma nyengir sambil garukin jilbab yang kupakai walau nggak gatel sama sekali. "Itu tadi nunggu ...," kataku nggak jadi melanjutkan.

"Nunggu Abang grab? Atau Abang sayang?" celetuk Arini yang berhasil membuatku misuh dalam hati. Cuks! Astagfirullah.

"Kenalin tho, Rin. Meskipun kita wes kenal. Tapi biar tambah afdol gitu lho." Fita mengeplak lenganku sambil ekspresi gemasnya.

Oke, aku pasrah aja kalau setelah ini bakal ada sesi interogasi habis-habisan.

Mana setelah itu Mas Hanif datang nyamperin kami berlima. Menimbulkan suara deheman serentak sok pura-pura batuk satu sama lain.

"Hai, ketemu lagi," ucap Mas Hanif kepada mereka.

"Sepupunya Rahay kan? Yang waktu itu di nikahannya Rahay? Siapa namanya, Mas? Lupa aku," kata Arini sambil menyalami. Naas, Mas Hanif hanya membalas dengan mengatupkan tangan plus senyuman andalannya.

"Saya Hanif."

"Oh, iya Mas Hanif. Sehat, Mas? Ternyata kalian beneran lanjut, tak kira kemarin cuma bercandaan aja. Makasih lho mas, udah nerima temanku ini. Ojok kamu sakiti lho."

Aku menelan ludah mendengar penuturan Arini yang begitu ceplas-ceplos. Sementara Fita dan Diva juga tak kalah ingin menjahili mas Hanif yang kini mukanya udah merah padam karena digodain seperti itu.

"Saya dokter kalau kalian ingin tahu. Jadi saya pastikan saya nggak akan nyakitin teman kalian. Justru saya akan nyembuhin lukanya dia."

Plak! Setelah mukanya memerah macam tomat busuk kini Mas Hanif justru memelintir mereka dengan balasan guyonannya.

Ah, nggak tahu lagi deh perasaanku saat ini seperti apa.

Kalian tahu, ketika kita lagi dekat dengan seseorang dan semesta di sekeliling kita bersekutu seolah turut menyatukan dan memberikan restu? Kesemsem, sebuah rasa yang menimbulkan gejala setengah gila yaitu senyum-senyum sendiri dengan perut seperti dikelitik oleh kupu-kupu yang terbang di sekitarnya. Ya Ampun!

Dan acara guyonan tersebut baru berakhir ketika tasyakuran Rahay dimulai. Suasana pun berubah menjadi haru dan syahdu. Kami tenggelam dalam doa-doa penuh khusyuk yang kami panjatkan bersama kepada sang Khalik. Semoga Rahay dan calon baby-nya senantiasa diberikan kesehatan.

Acara tersebut dilanjutkan dengan acara makan bersama dan setelahnya ramah tamah dengan keluarga besar. Di bagian ini, momen canggungku kembali menyergap. Diva, Fita, dan Arini sudah pamit terlebih dahulu. Karena mereka memang dari awal bilang tidak bisa lama-lama mengikuti acara tasyakuran sampai selesai. Sementara aku, jelas akan ditahan oleh Rahay sampai acara benar-benar beres. Terlebih seseorang yang membawaku ke sini juga masih betah bercengkerama dengan sanak saudaranya yang lain.

Tadi di awal aku sudah dikenalkan oleh keluarga intinya, ada mama, papa, dan adik perempuannya. Sementara bude atau tantenya yang lain belum begitu ngeh jika aku adalah seseorang yang sengaja dibawa oleh Mas Hanif untuk dikenalkan. Mereka tahunya aku teman dekat Rahay karena dari tadi kami berlima memang renyah bercengkerama.

Begitu acara selesai dan ruang keluarga tidak menyisakan banyak orang. Mas Hanif memanggilku untuk mendekat ke arahnya di mana ada mama dan papanya di sana. Aku yang semula masih dengan Rahay akhirnya beringsut menghampiri mereka.

"Mas Hanif sudah cerita banyak tentang kamu lho, Rin. Dan akhirnya kita dipertemukan di sini. Kapan mau main ke rumah? Mama pengen ngobrol-ngobrol banyak." Mamanya Mas Hanif, yang kutahu bernama Risma saat perkenalan tadi, memintaku untuk dekat di sampingnya.

Kali ini aku deg-degan serius. Rasa gugup tak terbendung lagi. Untuk kali pertama atau entahlah mungkin jika pernah aku lupa kapan terakhir berbicara dengan orang tua teman dekat laki-lakiku.

Masalahnya adalah, memangnya Mas Hanif teman dekat? Bahkan tidak.

"Insyaallah, Tan. Nanti saya akan main ke rumah."

"Mama seneng akhirnya Mas Hanif nemuin perempuan yang srek di hati. Pesan Mama, jadikan masa perkenalan ini untuk memahami satu sama lain terlebih dahulu. Sambil terus istikharah minta yang terbaik. Pokoknya Rindu harus sabar kalau ngadepin Mas Hanif," tante Risma menggenggam telapak tanganku sambil ditepuk sesekali.

Rasanya hangat. Dan tanpa direncanakan senyuman semringahku otomatis mengembang. Bahagia. Tentu.

Di sisi yang lain kulihat Mas Hanif juga tampak senyum pemperhatikan kami berdua tanpa ingin menganggu interaksi dua wanita ini.

"Ya sudah, Mama mau pulang dulu, soalnya Papa habis ini pulang dinas. Gaenak kalau mama nggak di rumah." Tante Risma kemudian berdiri dan pamit kepadaku.

Ah, aku bahkan baru saja sadar kalau Mas Hanif tidak mengenalkanku dengan papanya. Ternyata beliau tidak ikut. Pantas saja.

"Kamu jangan pulang sendiri. Mas Hanif yang jemput itu berarti dia harus tanggung jawab mulangin kamu." Aku terkekeh kecil melihat petuah mama Mas Hanif ini.

"Ya nggak lah, Ma. Hanif berani bawa pergi anak orang harus berani balikin. Kecuali nanti kalau udah resmi jadi milik Hanif." Ya ampun, bahkan kini Mas Hanif menimpali guyonan mamanya dengan kalimat yang bikin aku nggak habis pikir.

Kok bisa-bisanya. Pede sekali anda, Pak!

🔰🔰🔰🔰

Setelah tadi Mama Mas Hanif pulang dengan drivernya, kemudian aku juga menyusul pamit ke Rahay dan keluarganya. Ada beberapa keluarga Rahay yang sebenarnya ngeh kalau aku ini 'seseorangnya' Mas Hanif yang berujung di cie-ciein dengan segala macam godaannya. Karena tidak ingin terus-terus diledekin akhirnya Mas Hanif membawaku segera keluar dari kediaman Rahay. Dan di sinilah aku sekarang, di mobil fortuner putihnya yang mulai membelah jalan protokol kota Surabaya di sore menjelang malam ini.

"Hahaha, ada-ada aja deh mereka," kelakar Mas Hanif masih teringat jahilnya para sepupunya tadi, termasuk Rahay.

Sementara aku terdiam. Ada hal yang sebenarnya pengin banget aku tanyakan tapi masih ragu.

"Kamu kenapa, Rind?" tanyanya melihat aku tak merespon tawanya itu.

"Mmm ... Mas, kok bisa?"

Dia menengok ke arahku sejenak. Kemudian kembali fokus mengemudi. "Bisa, ada Allah dan kuasa-Nya."

"Kamu kemarin ngilang tanpa kabar sama sekali. Terus tiba-tiba datang ngagetin kayak gini. Mau kamu apa sebenarnya?"

Ada helaan napas di sana sebelum ia kembali menjawab. "Nggak ngilang, Rind. Seperti kataku waktu itu saya lagi berbenah. Dan saya nggak nyangka kalau kamu juga sedang melakukan hal yang sama. Dan bener kan kalau kita ketemu jodohnya barengan?"

Aku menautkan alis, masih belum paham seutuhnya maksud kalimat tersebut.

'Ketika saya dikabari Ayu bahwa kamu berhijab, pas itu saya sebenarnya pengin basa basi nanyain kamu ke Ayu. Tapi ternyata Ayu malah ngageti dengan ngirimi fotomu. Apalagi ketika kalian bertemu berdua beberapa minggu yang lalu. Saya sebenarnya pengin ikut gabung, tapi saya tahan. Akhirnya saya hanya nunggu Ayu di mobil sampai kalian selesai "

Tunggu-tunggu.

Jadi, waktu itu ....

Astaga, fortuner putih. Ya pantes aja aku familier dengan mobil ini. Mobil yang kukira grabnya si Rahay dan aku hanya membatin beruntungnya si Rahay dapat grab enak.

Ternyata orang ini.

Kemudian dia mengatakan bahwa Rahay menceritakan proses hijrahku ini kepadanya. Hingga ia memantapkan sesuatu, katanya.

"MasyaAllah, Rind. Asal kamu tahu, sejak itu aku jadi benar-benar mantep untuk berbenah. Makanya sebisa mungkin aku batasin hubungan dengan kamu..agar kita sama-sama fokus memperbaiki diri masing-masih dulu." Sampai di sini aku masih menyimak.

"Kamu inget nggak kamu pernah ikut kajian di Masjid Akbar kan?"

"Iya? Mas tahu?" Aku terbelalak, gimana pun sejak niatku itu, aku jadi sering minta Zira untuk mengajakku jika ada kegiatan semacam itu. Belum sering sih, baru beberapa kali rasanya. Dan salah satunya benar bahwa aku pernah mengikuti kajian di Masjid Al-Akbar.

"Saya tahu, dan saya lihat kamu. Kamu tahu, rasanya saya pengin nyamperin kamu saat itu juga. Tapi saya tahan-tahan, Rind. Beneran saya udah komit untuk nggak berinteraksi denganmu sebelum niat baik ini terlaksana."

"Mas, aku nggak tahu harus ngomong apa." Satu kalimat pertama dariku setelah dia berceloteh panjang.

"Seperti itu Allah menuntun saya untuk kamu, Rind."

Rasanya mulutku terlakban nggak bisa berucap sepatah kata pun.

Terima kasih, Mas, sudah membuatku hilang kata.

_______________semoga tidak putus sabar untuk menunggu_______________



Lav,

Chaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top