13. Rindu yang Tertuntaskan
Minggu ini sebenarnya aku nggak pengin pulang karena memang seminggu yang lalu aku baru saja pulang. Lagi pula aku ada janji mau ketemuan sama Arini dan Diva mumpung Diva lagi ke Surabaya. Sebenarnya pengin sama Rahay juga, tapi Rahay bilang ada urusan keluarga, jadilah yang bisa ketemuan cuma orang tiga.
Eh, rencana memang hanya sebatas wacana, alih-laih menepati janji ke mereka, aku justru diharuskan untuk pulang ke Aloha oleh sang baginda Ratu Bundaku tersayang.
Bunda mengultimatumku untuk wajib pulang Minggu ini, segala pakai ngancem bakal ngambek kalau sampai aku nggak pulang. Lagi-lagi kalau sudah begini nggak ada yang bisa kulakukan selain menurut.
Aku membatalkan janji dengan anak-anak geng Esempe. Kemudian memilih pulang di Minggu pagi, nggak sempat pulang semalem karena orang kantor ngajakin keluar ada acara traktiran ulang tahun geng Januari, ya lumayan kan, lagi pula nggak enak kali nolak rezeki, hahaha.
Aku sampai rumah belum terlalu siang, pukul setengah tujuh pagi lah. Ketika aku masuk rumah, ternyata rumah sudah rapi dong. Bunda juga lagi masak besar sepertinya. Wah penyambutan yang sangat nggak biasa, bukan?
"Assalamualaikum, Bun. Kakak sampai nih," sapaku sambil mencari Bunda yang ternyata sedang di dapur.
Bener ternyata, Bunda sedang masak besar dibantu Zia.
"Waalaikumsalam, alhamdulillah akhirnya sampai juga," jawab Bunda sambil tangannya tetap mengolah sesuatu di atas penggorengan.
"Widih, ada angin apa nih, tumbenan kakak pulang dimasakin enak, banyak lagi? Nggak usah repot-repot lho Bun," candaku sambil menciumi pipi beliau dari samping. Tubuh yang berkeringat dengan aroma dapur terebut memang tiada dua tandingannya, candu, ah syedap. Bunda.
"Jangan ge-er, Kak. Bunda nggak masakin kakak kali," celetuk Zia yang lagi merajang bawang-bawangan di atas talenan.
"Akan ada tamu, makanya kamu Bunda suruh pulang," sahut Bunda.
Aku mengernyit sejenak. Hmm, pantesan.
Eh, tapi tamu siapa sih sampai dimasakin spesial begini? Saudara jauh? Atau siapa?
"Emang siapa sih, Bun, yang mau datang?" tanyaku mulai kepo, sambil ikutan ambil alih biar nggak dikira cuma mandorin Bunda dan Zia doang.
"Wes ta, Kak. Mending sekarang mandi, habis itu bantuin bunda nata makanan, biar gantian Bunda yang mandi setelah itu."
Bunda mengambil kembali sutil yang tadi kupegang, memberi isyarat untukku segera naik ke kamar dan melaksanakan titah beliau.
"Iya deh, iyaaa, Kakak mandi." Aku nurut aja deh daripada panjang.
---00O00---
Begitu kelar mandi, aku sudah dihadapkan dengan hidangan yang siap untuk ditata di piring saji. Bunda menyerahkan hal itu kepadaku dan Zia. Tanpa tanya-tanya sebenarnya tamunya siapa, aku segera menyelesaikan pekerjaan tersebut selagi Bunda sedang mandi.
Ayah dan adik-adik cowok juga udah pada rapi, sumpah deh sebenarnya aku kepo banget, siapa sih pakai segala berpakian rapi? Nggak biasanya tuh dua cowok itu nurut gitu aja. Ical dan Aufar adalah orang paling males kalau disuruh berpakaian rapi dan formal apalagi untuk menghadiri acara semacam kondangan. Eh, mereka sekarang nurut lho, ganteng lagi.
Ketika kutanya ke para krucil, sebenarnya kita bakal ketamuan siapa, mereka cuma mengendikkan bahu tak acuh begitu aja. Kan gemes, rasanya pengin nampol satu-satu. Awas aja kalau mereka sebenarnya tahu tapi menyembunyikan sesuatu dariku. Ancaman uang jajan bakal melayang!
Nggak selang beberapa lama, Bunda juga udah rapi, pakai gamis panjang dan khimar, pokoknya udah cantik dan rapi banget lah. Beneran kayak kondangan, Zia pun juga begitu.
Terus aku kan jadi minder ya, gaes. Haruskah aku juga ganti serapi mereka? Mengingat pakaianku selesai mandi masih mengenakan baju rumah, belum rapi-rapi macam mereka. Sontak Bunda dan Zia semacam memandangku aneh sih.
"Kenapa gitu, Bun?"
"Mau gitu aja kalau ada tamu?" kata Bunda sambil mengernyit heran memandangku.
"Ya enggak sih, oke, oke, aku bakal ganti juga, kok," kataku sambil beralih menuju kamar.
Serius, sejujurnya mereka semua benar-benar aneh hari ini. Baiklah semoga siapapun tamunya bakal bawain oleh-oleh yang banyak dan enak-enak.
Ya elah, Rind!
Aku langsung menuju kamar dan berias seadanya, toh juga nggak keluar rumah, cuma nemuin tamu di rumah ini. Berhubung Bunda dan Zia pakai gamis, aku juga ikutan, kebetulan ada setelan gamis lengkap dengan khimarnya yang barusan kubeli, pas banget kembaran sama Zia. Kalau nggak salah dia tadi juga pakai itu deh. Ya meski niatnya mau pakai ini di acara kajian yang akan datang, nggak apa-apalah kalau kupakai sekarang. Itung-itung tes model gitu.
Sesingkat mungkin, karena dasarnya aku nggak suka ribet, aku segera kembali ke bawah. Eh ternyata ada suara mobil parkir di depan, mungkin tamunya sudah datang. Suara ramai khas orang salaman sambil menyapa satu sama lain sudah terdengar begitu aku baru saja menuruni tangga.
"Itu Mbak Rindu, Bun," celetuk Aufar yang sontak membuatku menoleh ke arah mereka, tepat banget ternyata mereka semua sedang memandangku.
Ayah, Bunda, Zia, Ical, Aufar, dan tamunya yang—loh!
Rahay, suami Rahay, dan ...
... Mas Hanif.
Oh, shit!
Aku terdiam di tiga anak tangga terakhir, seperti mendadak beku dan urung melanjutkan perjalanan turun ke bawah.
Kaku.
Stagnan di tempat.
Sek, sek, bentar, ini aku sedang nggak mimpi kan?
Aku mencoba menyadarkan diri dengan mencubit lenganku sendiri.
Aduh! Sakit, ih.
"Rind, kok bengong? Kamu nggak seneng aku main ke sini?" teriak Rahay menyadarkanku dari lamunan.
"Ya elah, maaf ya Mbak Rahay, Mbak Rindu emang suka lemot kalau kaget," kata Zia yang menyusulku ke tangga dan menuntunnya untuk ke ruang tamu bergabung dengan mereka.
Kemudian pandanganku langsung mengarah ke laki-laki itu, laki-laki yang kini duduk di sebelah Mas Kenas, suami Rahay. Tepat di detik yang sama, tatapan kami bertemu, dia juga sedang mengarahkan pandangannya tepat mengenai irisku. Sesaat setelahnya, ia menyimpulkan satu senyum aduhai yang bikin aku makin kejer panas-dingin.
Begini, gais. Bahwasanya aku sudah lama tidak bertemu dengannya, bisa dikatakan bahwa aku sedang proses dalam menghapus memori apapun terkait dengannya. Bukan semata-mata aku ingin memutus silahturahmi, bukan. Aku hanya berusaha mengendalikan diriku agar nggak terbelenggu dalam kamuflase rasa yang berujung nafsu duniawi semata. Nafsu ingin memiliki, nafsu ingin kembali menghubungi dia terlebih dahulu, padahal belum tentu bahwa dia masih mengingatku. Pun jika ternyata dia masih ingat, itu tetap nggak diperbolehkan, bukan? Apapun bentuknya, sekecil-kecilnya, munafik jika niatku tidak melibatkan nafsu dunia yang bernama cinta. Aish!
Jadi bolehkah kusebut reaksi ini adalah sebuah kewajaran melihatnya kembali hadir di saat aku hampir menghapusnya?
Deg-degan, tiba-tiba telapak tanganku dingin, kemudian entah kenapa aku jadi berkeringat dan mulas, padahal AC di ruang tamu sudah disetel sedang. Oh, ini buruk sekali.
"Rind, kok diem aja sih aku ke sini?" Rahay kembali mencairkan dengan mengajakku bicara.
"Eh, Ray, kok kamu ke sini nggak ngabari dulu, katanya nggak bisa ketemuan karena ada acara keluarga?" tanyaku, mengabaikan semua rasa yang sedang bertubrukkan melanda diriku.
"Lah iya, ini acara keluarga kan, Rind. Sama suamiku, sama Mas sepupuku juga."
Iya sih, benar sekali, Rahay emang nggak salah.
Tapi ini sungguh konyol, Ray, untung saja aku nggak punya riwayat jantung. Kan nggak lucu kalau aku kaget terus pingsan berdiri. Dih!
"Bunda sama ayah ditanyain gitu kok nggak jawab sih kalau tamunya Rahayu?" lirihku ke Bunda dan Ayah di samping.
"Rind, tamunya sebenarnya Mas Hanif, aku mah nganterin aja. Udah ih, lagian aku yang minta tante dan om merahasiakan ini dari kamu," sahut Rahay lagi.
Jdeer, itu backsound yang sedang menggema di ruang tamu rumahku. Telingaku mendadak kebas kesetrum petir di Minggu pagi setengah siang begini.
"Rindu, kedatangan saya ke sini ..." Jeng-jeng tiba-tiba Mas Hanif yang sedari tadi cuma diam saja kali ini ambil bagian dalam obrolan.
Aku meneguk ludah mendengar kalimat pertamanya yang kemudian dijeda. Perasaanku mendadak jadi gusar.
"Saya ke sini ingin menyambung lagi silahturahmi di antara kita sekaligus mau menyampaikan niat baik."
Glek!
Beneran, aku pengin loncat dari sofa kemudian lari keluar rumah dan kabur kalau bisa.
Hei, ini apa-apaan deh? Kenapa dia begitu lancang sementara sebelum ini saja dia menghilang bak tanpa kabar selayang pun. Gila!
Aku masih diam tak menanggapi meski Zia di sebelah sudah menyikutku, memberi isyarat untuk angkat bicara.
"Silakan dilanjutkan saja, Nak Hanif," kata Ayah berasa sudah kenal baik banget sama orang bernama Hanif ini.
Kapan mereka kenalannya coba?
"Iya, Om. Seperti niatan saya sebelumnya, saya ingin mengenal lebih jauh lagi putri Om, Rindu, tentunya sesuai syariat dalam agama saya. Sebelum nantinya jika niat baik ini terlaksana, dan Rindu setuju saya akan melanjutkan niatan selanjutnya dengan membawa kedua orang tua saya."
Jeng-jeng .... Musik ... mainkan.
Ayah mengangguk-angguk, Bunda semringah, Rahay udah meringis senyum-senyum sendiri. Dan aku tetap tanpa ekspresi.
"Gimana, Rind?" tanya Rahay dengan ekspresi harap-harap cemas.
"Mohon maaf, Mas Hanif, Rahay, dan Mas Kenas. Saya minta waktu untuk mengobrol sebentar dengan Ayah dan Bunda di belakang ya. Nggak papa, kan?"
Rahay kemudian melihat ke arah sepupunya itu, mungkin mencari jawaban dari sang empunya. Sesaat setelah itu, Mas Hanif mengangguk mantap dan mempersilakanku untuk berbicara dengan Bunda dan Ayah.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku mengajak Ayah dan Bunda untuk minggir sebentar ke ruang tengah. Serius, banyak hal yang menurutku perlu diluruskan dari pertemuan serba tiba-tiba begini. Aku nggak suka.
"Apa to, Kak? Nggak sopan ah ninggal tamu begitu," kata Bunda yang tampak risih dengan sikapku.
"Yang Seharusnya tanya itu Rindu. Ini apa sih, Yah, Bun? Kenapa Ayah dan Bunda nggak cerita terlebih dahulu? Ini bukan suatu hal yang perlu dirahasiakan kemudian jadi surprise begini. Ini bukan guyonan, Yah, Bun. Nggak lucu sama sekali."
"Lah siapa yang menganggap guyonan ta, Kak? Mereka itu tamu. Ya apa salahnya kalau kita jamu?" jawab Bunda.
"Tamu khusus, iya? Tanpa Rindu tahu siapa tamunya dan untuk tujuan apa datang bertamu? Kalau sudah begini Rindu harus jawab apa? Rindu kayak dipermalukan, Yah, Bun. Kayak orang bego yang nggak bisa menanggapi apapun saking nggak tahunya maksud pertemuan ini."
Di saat atmosfer yang makin panas, nadaku juga makin meninggi karena sesungguhnya aku mulai hilang kendali, Bunda hanya mengelus punggungku untuk menenangkan. Kemudian Ayah mulai menceritakan awal mulanya.
Bahwa ternyata ini bukan pertemuan pertama mereka. Laki-laki itu sudah beberapa kali mengunjungi rumah kami dan berkenalan sendiri dengan sosok Ayah dan Bunda. Ia mengenalkan diri sebagai Hanif, sepupu Rahay, sekaligus temanku, teman yang baru berkenalan di acara nikahan Rahay. Benar. Itu benar.
Kata Ayah, Mas Hanif juga menceritakan bahwa kami bertemu secara tidak sengaja beberapa kali ketika di perjalanan hendak ke Cirebon, bahkan ketika kami sudah di Cirebon. Mas Hanif tahu rumah kami karena waktu itu memang Mas Hanif pernah mengantarkanku pulang selesai kondangan Rahay, jadi ia memberanikan diri untuk menemui Ayah dan Bunda sendirian tanpa mengabariku terlebih dahulu.
Ayah dan Bunda awalnya memang terkejut, tapi Mas Hanif ternyata sudah melakukan pendekatan intrapersonal dengan sangat baik kepada kedua orang tuaku. Mas Hanif beberapa kali mengunjugi rumah untuk mengakrabkan diri dengan Ayah terutama, sambil menanyakan banyak hal tentangku, katanya.
Aish, dan sudah sejauh itu Ayah dan Bunda baru cerita sekarang.
"Bukankah dia bagian dari ikhtiarmu, Kak?" pertanyaan skakmat dari Ayah ketika beliau usai bercerita.
Ayah tahu sejauh itu? Darimana mereka tahu sedangkan aku sama sekali belum pernah menumpahkan isi hatiku ke mereka berdua?
"Tapi setidaknya Ayah dan Bunda cerita ke Rindu. Ini perkara besar, Yah, Bun, Rindu berhak tahu. Harus tahu malah. Bukan tahu pas Hari-H begini," balasku masih kesal dengan Ayah dan Bunda, sejujurnya.
"Sekarang gini aja. Sejauh nak Hanif beberapa kali ke rumah. Ayah sudah bisa setidaknya menilai dia lah. Dia orang baik, punya niatan baik yang nggak main-main. Dia juga sepupunya Rahayu kan? Kamu juga udah mengenal dia kan, Kak??" tanya Ayah yang kujawab dengan anggukan. "Dan Ayah nggak akan mengiakan niatnya, mengambil keputusan besar ini tanpa pertimbangan," lanjut Ayah.
"Jadi, kalau Rindu masih bimbang dengan hati Rindu. Bisakah Rindu percayakan hal ini kepada Ayah? Jalani dulu, toh nak Hanif baru mengajak taaruf. Artinya kalian hanya perlu penjajakan, jika dalam masa itu kalian ada hal yang nggak cocok, segala keputusan masih bisa berubah. Sambil kita terus istiqoroh minta petunjuk yang Di Atas," ucap Ayah, lagi.
"Gimana, sayang? Mau kakak sendiri yang memutuskan atau Ayah yang menjawabnya?" kini Bunda yang masih mengelus pundakku sambil menyalurkan segala kekuatan.
Aku menghela napas panjang, mengambil oksigen sekitaran dengan dalam.
Ya Allah, kemarin aku memang meminta kepada-Mu. Apakah memang ini jawaban dari-Mu? Secepat ini Ya Rabb?
MasyaAllah, lalu aku masih bekelit dengan nikmat-nikmat yang jelas tersaji di depanku ini?
"Yuk kak, balik ke ruang tamu." Bunda kemudian menggandengku untuk kembali ke depan dengan Ayah yang sudah lebih dulu.
Bismillah.
---00OO00---
"Bismillah, nak Hanif, saya Ayahnya Rindu, mewakili Rindu untuk menjawab niat Nak Hanif tadi. InsyaAllah, Rindu bersedia menjalani proses perkenalan dengan nak Hanif."
"MasyaAllah, barakallah. Alhamdulillah." Kudengar dia langsung meraup wajahnya sambil mengucapkan kalimat syukur. Sementara aku masih tetap diam duduk di samping ayah.
Aku deg-degan, bahkan sampai saat ini perasaanku masih tak karuan. Campur aduk jadi satu. Jujur saya.
Mas Hanif, kemarin aku baru saja akan melupakanmu, saking aku frustasinya kehilangan kabarmu.
Tapi hari ini aku tahu kabarmu, Mas. Bahwa kamu baik-baik saja. Bahwa dokter Hanif yang sudah lulus internship itu memang penuh dengan keajaiban.
Benar, aku nggak mengenalmu sebelumnya. Aku masih buta apapun tentangmu.
Jadi, izinkan aku setelah ini, untuk mengetahui luar dalam. Jalankan proses ini sesuai syariat. InsyaAllah, jika Allah berkehendak dengan niat baik ini, InsyaAllah akan ada jawaban terbaik dari yang paling baik.
Bismillah.
________Rindu juga rindu kalian______
Thanks u, next.
😍😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top