12. Sekian Rindu


Pertarungan paling sengit sebenarnya adalah pertarungan melawan diri sendiri. Tentang bagaimana mengalahkan ego dan kerasnya hati. Sudah tiga bulan ini aku dirundung dilema tak menentu soal hal yang bisa dikatakan baru bagiku. Sebuah kewajiban, aku tahu perihal itu. Terlambat memang, tapi bolehkah jika aku yang terlambat ini berusaha sangat keras untuk bisa beradaptasi dengan diriku yang baru?

Jujur, ini sulit. Ketika di awal aku sangat yakin memutuskan hal ini, tapi yang terjadi selanjutnya ternyata memang nggak semudah yang kubayangkan sebelum itu. Hati dan diriku mengalami pergolakan dahsyat dalam fase adaptasi tersebut. Nggak nyaman, risih, pandangan orang lain yang tiba-tiba berubah, ruang lingkup yang nggak sebebas dulu, dan perubahan-perubahan ekstrem lainnya.

Kaget? Jelas, sangat kaget dengan respon sekitar yang sangat beragam. Banyak sekali dukungan, tapi nggak sedikit juga yang mencibir seolah proses hijrahku ini hanyalah sebuah pencitraan belaka. Sakit hati? Bukan lagi, rasanya kemarin aku ingin memutuskan untuk kembali ke diriku yang dulu. Tapi bersyukurnya dukungan orang-orang tersayang jauh lebih besar dari ketidak percayaan diriku sendiri.

Ketika aku memutuskan untuk berhijab, beruntungnya aku memiliki mereka, support system yang bekerja sangat luar biasa untuk meyakinkanku bahwa memang inilah yang harusnya kulakukan sejak dulu. Keputusan yang tepat meskipun mungkin aku sangat terlambat. Mereka pula yang membuatku tegar menghadapi ocehan para haters. Ayah, Bunda, adik-adik, juga anak-anak geng Esempe yang senantiasa menguatkanku untuk tetap istiqomah sampai saat tiga bulan telah berlalu ini.

Masih segar diingatan ketika aku memberitahu kabar bahagia ini ke salah satu personil geng Esempe, si Rahay, satu bulan yang lalu. Kala itu jujur aku belum siap untuk bertemu mereka. Tapi Rahay ngotot untuk mengajakku ketemuan katanya kangen dan mau ngobrolin suatu hal penting. Aku kemudian mengiakan ajakan Rahay.

Bertempat di salah satu kafe di mana kami biasanya ngumpul, Rahay yang saat itu sendirian, lagi nggak sama suaminya, cukup kaget dengan penampilanku yang benar-benar baru. Mengenakan kulot panjang berwarna coklat, atasan blouse kasual dibalut jilbab pashmina, aku berhasil membuat Rahay begitu terbelalak dengan new look yang benar-benar berbeda.

"Rindu, sumpah ini kamu?" tanya Rahay segitu histerisnya sampai dilihatin orang-orang sekafe.

Aku buru-buru membekap Rahay kemudian memeluknya sangat erat karena memang saat itu bisa dibilang pertemuan pertama kami sejak terakhir waktu di nikahan dirinya.

Kemudian yaaa, sebuah senyuman lega dariku juga Rahay cukup sebagai bukti bahwa Rahay pun haru dengan keputusan yang kubuat ini.

"MasyaAllah, Rind. Aku sampai nggak tahu mau ngomong apa saking speechless-nya. Kisah inspiratif apa sampai temenku yang egonya keras banget itu akhirnya lunak juga? Kamu kudu cerita, Rind!" Rahay mendadak antusias.

Melupakan tujuan awal Rahay bertemu denganku, kala itu justru aku yang larut menceritakan banyak hal kepada Rahay.

Aku nggak munafik bahwa keputusan ini memang nggak luput dari tamparan seseorang yang sangat keras di waktu yang ternyata menjadi waktu perpisahan terakhir kami. Aku terlalu cepat menyimpulkan bahwa pertemuan demi pertemuan yang terjadi di antara kami kusebut sebagai sebuah takdir. Karena nyatanya, setelah itu, kami tidak lagi saling terhubung satu sama lain. Mungkin, hanya rinduku yang sesekali kusampaikan pada-Nya.

Aish, iya, iya aku tahu aku terlalu mengkhayal. Oke, mari kita lupakan soal itu karena inti dari proses pengambilan keputusan ini sebenarnya tidak terletak pada dia.

Sejak Nadzira dilamar, nggak tahu kenapa aku jadi memikirkan banyak hal. Tentang sebenarnya apa sih yang kucari selama hampir dua puluh lima tahun hidupku berlangsung? Dan apakah aku sudah menemukan hal itu? Lalu puaskah aku? Selanjutnya apa yang aku lakukan jika aku sudah menemukan tujuanku itu? Masih banyak pertanyaan terkait saling berkesinambungan yang bercokol di pikiran.

Bermalam-malam aku susah tidur, nggak tenang karena dihantui rasa penasaran yang belum juga kutemukan jawabannya. Pertanyaan paling santer dan mendominasi jelas tentang perkara jodoh. Melihat Nadzira, melihat teman-teman seusiaku yang lain sudah pada menemukan jodohnya, lantas mengapa aku belum? Apakah ada yang salah dari diriku sehingga aku tampak berbeda dari yang lain?

Memangnya kamu siap menikah, Rind?

Kembali aku menanyakan hal serupa dalam diriku.

Ada jeda yang cukup lama untuk memikirkan hal tersebut.

Memangnya aku siap menikah? Sementara ketika Mas Luthfi menyinggung sedikit bahasan mengarah ke sana saja aku cenderung menghindar yang justru berakibat ilang feeling seorang Luthfi Hulaefi terhadapku.

Apakah jika ada sekali lagi orang yang mengajakmu untuk menikah kemudian kamu akan mengiakan? Lagi-lagi dalam hatiku memberontak. Pecundang, ya, it's me.

Aku bahkan tidak tahu tujuan hidupku yang sebenarnya itu apa.

Nadzira bercerita panjang lebar beberapa hari setelah acara pertunangannya itu. Ia ke Surabaya, sengaja menemuiku karena kami belum sempat ngobrol banyak hal ketika bertemu di rumah kemarin. Aku benar-benar terenyuh dengan kisah perjalanan Nadzira hingga ia sampai di titik ini. Sebelumnya Nadzira bekerja di salah satu perusahaan di Surabaya, ia meng-handle jabatan penting di bagian Pajak. Istilahnya, saat ia sedang on the top, ia kemudian rela melepaskan jabatannya itu hanya karena kantornya tidak mengizinkan Nadzira menikah dalam waktu dekat. Sebuah keputusan yang aku yakin sangat berat. Bagaimana pun aku tahu bahwa Zira begitu mencintai pekerjaannya tersebut. Tapi ia mantap memutuskan semua kiprah yang telah ia bangun hampir tiga tahun ini.

Bisa dibilang karier Zira sirna, tapi justru ia mendapatkan pengganti yang sangat tidak ternilai. Pendamping hidup, penyempurna setengah agamanya. Aku sampai merinding ketika Zira dengan haru menceritakan hal itu. Terlebih, ada hal besar lagi yang ia ambil beberapa minggu sebelum lamaran tiba.

Ia memutuskan untuk hijrah, memenuhi kewajiban-Nya untuk lebih taat dalam syariat agama. Ia panjangkan khimarnya hingga menjuntai ke bawah. MasyaAllah, perubahan besar Zira benar-benar membuatku tercengang sekaligus menamparku sekali lagi.

Lantas aku jadi berpikir, kenapa hanya untuk memenuhi kewajiban yang memang sudah shahih, dan itu adalah kebutuhan dasar, aku justru masih berpikir seribu kali? Aku yang butuh Dia, dan Dia sudah menyediakan semua itu, lalu kenapa aku masih berkilah dengan segala asumsi bodong yang kubuat sendiri?

Berbenah, benar, sudah bukan waktunya untuk aku terus berkubang dengan kebenaran yang kubuat sendiri. Aku harus mengalahkan ego, melunakkan hati yang keras karena tujuan duniawi yang menguasai. Kalau aku masih begini saja, bisa jadi Dia sang Maha masih enggan untuk memberikan apa yang kumau. Boleh jadi karierku bisa dibilang sudah sattle, tiga tahun menjadi bagian dari Finance Akunting, kemudian tinggal selangkah lagi label seorang senior auditor akan kudapat. Tapi apakah aku puas akan pencapaian itu? Nggak akan puas, jika itu urusan duniawi semata. Lantas sampai kapan aku mau diperbudak oleh belenggu iming-iming semu dunia? Sementara ada dimensi yang lebih kekal menungguku untuk mempersiapkan semuanya.

"MasyaAllah, aku pengin nangis dengernya, Rind." Rahay memelukku sambil menyeka sudut matanya.

Baru bisa bertemu Rahay kali ini, selama ini kami hanya bertukar kabar di sosial media. Rasanya melegakan bisa berbagi hal yang mungkin nggak semua orang mengerti akan keputusanku ini.

"Oh iya, kamu mau ngobrolin apa minta aku ketemu ini?" Mendadak aku ingat kalau Rahay pengin ngobrolin sesuatu entah apa.

"Eh, Oh, bentar." Tapi anehnya Rahay justru celingukan melihat sekeliling kafe seperti mencari seseorang.

"Kenapa sih, Ray?" tanyaku, penasaran sih dengan sikap Rahay yang mendadak aneh.

"Bentar, bentar," katanya yang kini sedang mengutak-atik ponselnya.

Aku mengernyit heran.

Ada apa sih?

"Ooh, aku? Ya nggak ada obrolan khusus sih, Rind. Intinya aku kangen banget sama kamu. Dan aku seneng dengerin kamu cerita kayak tadi. Dan sekarang, waktunya kita selfie ... aku kudu punya foto sama the new Rindu 2019."

Aku masih memandang Rahay heran, seperti ada yang Rahay urung sampaikan. Kini, Rahay justru mengajakku berswafoto berdua. Seperti kebiasaan kami ketika ngumpul waktu dulu-dulu.

"Jangan upload IG," ancamku.

"Lah kenapa?"

"Nggak mau aja, Ray. Aku sedang mengurangi ketergantunganku dengan media sosial itu. Pengin detoks aja, karena menurutku IG tuh toksik banget, nggak sehat," jelasku.

Salah satu keputusan besarku yang lain adalah mengurangi intensitas penggunaan sosial media yang menurutku sudah mencapai batas tidak sehat versiku. Sadar atau nggak sadar sosial media itu memiliki andil besar dalam pembentukan karakter manusia. Semua hal ada di sana. Dan kita seakan terbiasa dijejali asupan berbagai macam yang naasnya lebih sering kita telan mentah-mentah gitu aja.

"Yee, itu sih tergantung yang gunain. Ibarat gini, self control itu perlu, kalau yang kamu ikutin adalah akun-akun nggak sehat, maka feed, explore dan lingkup IG-mu ya pasti seputaran itu. Sama kayak lingkungan pertemanan, Rind. Filter, itu perlu dan penting."

Benar, mungkin kita bisa melakukan self control, dan proses filtering. Tapi pernah nggak kalian dengar soal nomophobia? Aku hanya nggak pengin sampai terjangkit penyakit itu. Di mana seseorang sama sekali nggak bisa lepas dari yang namanya gadget.

Pernah nggak sih kalian berpikir bahwa hampir sebagian waktu senggang kita dihabiskan untuk berselancar di dunia maya? Bangun tidur, hal pertama yang dilakukan adalah mencari keberadaan ponsel dan mengeceknya. Aku mengalami itu.

Misal sedang di transportasi umum, coba perhatikan sekeliling, hampir setiap orang sedang menekuri gawainya masing-masing. Mereka sibuk berinteraksi dengan dunia maya sementara dunia nyata yang ada di samping mereka terabaikan begitu saja. Ini parah. Aku pun nggak memungkiri bahwa aku juga begitu kok misalnya ketika di bus kota, atau di kereta, atau di transportasi umum lainnya.

Dan aku pengin coba mengurangi ketergantungan yang nggak sehat itu. Pengin berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Siapa tahu dari sana aku menemukan banyak hal baru. Termasuk ... ah, sudahlah.

"Udah, udah, btw kamu ke sini sama siapa, Ray? Kok nggak sama masmu?" tanyaku yang penasaran sedari tadi tumben Rahay berani keluar sendiri tanpa suaminya.

"Oh, nganu... Itu ... si Mamas lagi dinas, biasa. Aku ngegrab tadi." jawab Rahay sambil celingukan.

Aku jadi penasaran, apa sih yang coba Rahay sembunyikan dari aku? Aku tahu banget gestur Rahay kalau lagi nggak tenang begini. Mau menanyakan lebih takutnya Rahay nggak nyaman. Ah, ya udahlah ya.

Termasuk aku urung untuk menanyakan sepupunya. Hal yang pengin banget aku tanyakan sejak awal Rahay mengajakku ketemuan kemarin.

Sepupunya, orang yang telah menghilang, tapi aku masih berharap untuk mendengar kabarnya sekali lagi. Setidaknya, sedang apa dia sekarang?

"Ya udah ya, Rind. Kayaknya aku harus cabut deh. Mas Bojo pesen nggak boleh lama-lama, takutnya kalau sorean dikit keburu hujan."

"Iya deh. Aku juga mau balik ke kosan. Udah pesen grab?" tanyaku.

"Ini mau pesan, bentar juga nyampe. Aku tunggu di luar aja."

"Ya udah bareng aja. Aku juga mau pesen grab kok."

"Oh, oke."

Meski gelagat Rahay makin mencurigakan tapi kami pada akhirnya keluar kafe bareng. Aku nunggu pesanan grab datang. Sementara Rahay sedang mengangkat telepon, sepertinya dari grab pesanannya.

"Eh, Rind, mobil grabku kelewatan. Dia di ujung sana tuh, mau puter balik susah. Aku duluan ya," pamit Rahay sambil cipika cipika.

"Oh, iya hati-hati, Ray," kataku sambil memperhatikan Rahay pergi.

Sampai ia masuk ke salah satu mobil fortuner putih. Wih, beruntung juga si Rahay dapat grab fortuner.

Eh, kayak nggak asing dengan fortuner putih. Siapa ya?

"Mbak Rindu, ya?"

Astaga, lamunanku buyar begitu grab yang kupesan sudah parkir tepat di depanku. "Iya mas, saya Rindu," kataku sambil masuk ke dalam mobil.

Ah hari ini, intinya aku bersyukur bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangiku dengan tulus. Bahwa sahabat yang baik adalah ia yang membawamu menuju kebaikan yang semakin baik. Aku beruntung memiliki kalian.

---oOo---

Tiga bulan absen audit, tidak lantas menjadikanku purna bertugas audit di gudang luar. Karena hari ini, tiga bulan setelahnya aku kembali mengemban tugas tersebut.

Rute berubah, kini menggunakan jalur selatan. Kali ini aku nggak sendirian. Ada Sherly yang menemaniku. Pertimbangan menyertakan anak Sales adalah sejak kisruh masalah gudang yang nggak kelar-kelar bulan-bulan lalu. Jadi setelah Pak Fikri memecahkan kasus tersebut, beliau lebih strict lagi perihal audit di gudang luar. Termasuk mengetati orang Sales agar lebih aware lagi dengan administrasi mereka.

Hari pertama terlewati di Solo dengan kunjungan ke dua gudang sekaligus, beruntungnya kedua gudang tersebut berjalan lancar tidak ada kendala yang berarti. Malamnya kami langsung otw ke Purwokerto, destinasi ketiga yang akan kami kunjungi. Nggak banyak waktu karena keesokan harinya kami langsung tempur. Gudang Purwokerto itu riskan sebenarnya, mirip lah dengan gudang Cirebon, makanya kami membutuhkan waktu yang lama untuk proses audit di sana. Ya seperti biasa, ditemukan beberapa kasus yang perlu dikroscek ulang. Karena nggak bakal selesai juga kalau kami tetap kekeh untuk menyelesaikan di sana.

Sorenya kami ke Cirebon.

Nah ini, destinasi terakhir sekaligus paling menantang. Sejujurnya aku masih trauma untuk audit di Gudang Cirebon mengingat last record perjalananku ke sana meninggalkan kesan yang nggak enak. Ya semoga aja kali ini tidak.

Malam harinya begitu kami sampai di Cirebon, seperti biasa kami langsung ke hotel untuk beres-beres. Cari makan di sekitaran hotel saja karena benar-benar capek setelah seharian bergelung di Gudang Purwokerto.

Dan sampailah kami di hari terakhir, hari penentuan, dan semoga menjadi hari yang baik.

"Mbak Rindu kalau ke sini sendirian biasanya ke mana aja?" tanya Sherly saat kami sedang perjalanan ke gudang.

"Nggak ke mana-mana sih, palingan kulineran."

"Nah itu, Mbak. Ntar ajakin aku ya," bujuk Sherly dengan antusias.

"Emang kalau sama Pak Fikri nggak pernah diajakin kulineran atau jalan ke mana gitu?"

"Dih, enggak! Boro-boro jalan. Makan aja di stasiun. Parah banget kan, Mbak."

Haha, baru tahu aja dia bagaimana Baginda Fikri berulah. Biar tahu rasalah si Sherly ini, biar nggak manja-manja cantik di kantor melulu. Sesekali dia harus ngerasain terjun melihat sendiri kondisi pakan-pakannya itu. Pakan juga punya dia, kenapa sini yang ribet yak sebenarnya. Jadi, keputusan untuk melibatkan anak Sales dalam proses audit adalah keputusan yang tepat. Sekian.

Kami sampai di gudang, dan langsung menjalankan proses audit seperti biasa. Dibantu Pak Miskad dan Elis tentunya. Kali ini gudang agak lapang, jadi sepertinya audit nggak akan makan waktu lama. Tinggal proses cocokan aja, semoga one shoot cocok sehingga kami masih punya waktu untuk jalan-jalan sembari menunggu jam keberangkatan kereta balik ke Surabaya.

Harapanku terkabul, hanya dua jam kami meyelesaikan audit kali ini.

"Elis, saya senang kondisi gudang jauh lebih baik dari sebelumnya," kataku kepada Elis.

Elis pun semringah, tampak lega tidak seperti tiga bulan lalu terakhir kami ketemu. "Elis juga seneng pisan, Mbak. Nuhun ya, Mbak Rindu, Mbak Sherly."

"Sama-sama Elis, Makasih ya udah bantuin Sherly selama ini," ucap Sherly kepada Elis.

Kemudian kami pamitan ke Elis dan Pak Miskad karena grab yang kami pesan telah datang. "Eh Mbak Rindu dijemput temannya lagi yang waktu itu?" tanya Elis membuat Sherly memandangku curiga.

"Oh, nggak. Grab aja, Lis. Itu sudah datang. Kami langsung aja ya, mangga, Lis, Pak," ucapku sambil melambaikan tangan ke mereka.

Elis, tahukah kamu bahwa aku hampir saja lupa bahwa punya 'teman' di sini seperti yang kamu bilang tadi? Tenggelam tiga hari dalam kesibukan audit membuatku lupa bahwa sebenarnya tidak dipungkiri juga aku ingin mencarinya. Terima kasih untuk Elis untuk sudah mengingatkanku.

"Temen siapa, Mbak?" tanya Sherly penasaran.

"Ada, temen kuliah," jawabku ngasal.

"Oh, kok sekarang nggak minta jemput. Karena ada Sherly, ya?"

"Nggak, dia lagi sibuk. Mmm, Sher, kalau misalnya kita mampir ke suatu tempat dulu gimana?" pintaku ragu-ragu.

"Eh ya boleh lah, Mbak. Kan tadi Sherly bilang, ajakin Sherly jalan-jalan mumpung sama Mbak Rindu."

Aku tersenyum kemudian mengarahkan driver ke rumah sakit di mana aku pernah ke sana bersama Elis dan Pak Miskad. Jelas Sherly heran, alih-alih membawanya ke tempat wisata atau kulineran, aku justru mengajaknya ke tempat tak lazim untuk kami kunjungi saat ini.

"Udah, habis ini aku ajakin makan semaumu deh. Tapi please untuk sekarang nggak usah tanya-tanya dulu ya, Sher," ucapku.

Meski agak ragu, tak urung akhirnya Sherly mengangguk mengiakan.

Ruang Administrasi, hal pertama yang langsung kutuju begitu masuk rumah sakit.

"Iya, ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas admin.

"Mbak, Dokter Hanif praktik nggak, ya?" tanyaku balik.

Ya, benar sekali tebakan kalian semua bahwa aku tempat ini untuk mencari laki-laki itu. Setelah segala pertimbangan dan pikiran yang berkali-kali kurevisi. Iya, tidak, iya tidak, akhirnya, kuputuskan untuk Bismillah, aku hanya pengin menyambung silahturahmi yang sempat terputus kemarin. Bagaimana pun orang itu adalah orang yang membantuku banyak hal ketika aku di kota ini sendirian beberapa waktu yang lalu. Aku memutuskan untuk langsung menemui ke tempat kerjanya ketimbang mengabarinya dulu lewat WA. Nggak tahu kenapa, justru kalau aku WA duluan, rasanya nyaliku belum seberani itu untuk memulai.

"Dokter Hanif? Dokter Hanif siapa ya, Mbak?"

"Oh, itu, namanya Dokter Hanif Zarchasi," ucapku baru ingat nama panjang Mas Hanif.

"Dokter iship itu, yang barusan lulus bulan lalu itu lho," celetuk salah satu rekan dari Mbak Admin itu dari belakang.

Seketika aku membeku.

"Oh, benar, Mbak. Dokter Hanif sudah selesai masa internshipnya. Jadi sekarang sudah nggak praktik di rs ini."

Sekian, mari kita pulang, Sher. Aku akan menuruti kemana pun kamu mau sesuai janjiku tadi.

Bahwa jodoh tidak sesederahana tiga bahkan lima kali pertemuan tanpa sengaja itu, ada kuasa Sang Maha yang mengaturnya.

Sampai di sini paham, Rind?

Sekian, Rindu, sekian. 


_________  ___________


Selamat merindu kembali.

Jangan bosan rindu, jangan percaya Dilan bahwa rindu itu berat, karena Rindu nggak gendut.

Boleh tekan 🌟 dan hujani dengan komen-komen manja kalian.

Thank u, next.

Chaa~

Keep in touch
Ig : risaliaicha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top