11. Momen yang Dirindukan. Tapi Tidak untuk 'Kapan'

🍐
🍊
🍐
🍊
🍐
🍊

Semalam pulang kerja Bunda menyuruhku pulang ke Aloha, katanya mau ada acara, dan aku wajib ikut. Ketika kutanya acara apa, Bunda nggak jawab, biar tahu sendiri ketika sampai, bilangnya. Mungkin Bunda khawatir kalau kasih tahu duluan aku bakal batal pulang pas tahu acaranya nggak penting-penting amat kali ya. Hmm, aku tahu sebenarnya Bunda cuma kangen, tapi selalu beralibi dengan kedok mau mengajakku ke sebuah acara. Ya, ya, ya, saking aku jarang pulang. Padahal nih, hitungannya dari kosan ke rumahku itu nggak sampai satu jam lho, apalagi kalau motoran. Tapi sekali lagi, alasanku ngekos bukan cuma soal jarak kan?

Jadilah pagi ini, di hari Sabtu, hari favoritku karena udara akhir pekan yang selalu menenangkan bisa kuhidu dengan damai sepanjang perjalanan pulang menuju rumah. Ah, aku bahkan lupa, kapan terakhir kali aku bisa menikmati akhir pekan pagi hari tanpa perlu mikirin kerjaan di kantor yang rasanya nggak rela kutinggal saking banyaknya.

Masa bodoh soal garapan segala macamnya yang belum kelar itu, hei, ini weekend lho, bukankah haram untuk menyinggung persoalan kerjaan di hari libur begini?

Jadi, mari kita lupakan.

Aku menuju Aloha menggunakan ojek online seperti biasa. Nggak sampai sejam bahkan, karena jalanan pukul setengah enam begini memang masih lengang dari huru-hara padatnya Surabaya di akhir pekan.

Pukul enam lebih dua puluh menitan, aku sudah sampai di depan rumah, setelah memastikan pembayaran ojek terpenuhi, segeralah aku masuk ke dalam istana yang begitu kurindukan. Dua minggu atau tiga minggu yang lalu ya terakhir aku pulang? Itu lho pas nikahannya si Rahay, ya itulah kayaknya. Itupun nggak bisa full quality time kan karena harus kondangan ke Rahay. Kali ini aku mau menebus itu.

"Assalamualaikum," sapaku langsung masuk rumah karena pintu depan terbuka.

"Waalaikumsalam. Loh, Mbak, pagi banget?" tanya Rizal, adikku yang nomor satu tepat di bawah aku.

Dia cowok, lebih sering disapa Ical sih. Dia kerja di salah satu perusahaan IT, di Surabaya juga. Bedanya dia nggak ngekos kayak aku, jadi tiap hari ya pulang-pergi Aloha-Surabaya.

"Ayaah, Ndaa, aku pulang nih." Nah kalau ini, adikku nomor dua, cewek, namanya Zia.

Dia lagi kuliah di Malang, cuma sekarang lagi musim liburan, makanya pulang.

"Bawa apa, Mbak?" Ini si bontot, yang selalu menadahku tiap kali aku pulang.

Namanya, Aufar, dia masih SMA, si manja yang selalu rese tapi bisa dibilang paling dekat denganku. Apalagi kalau aku habis gajian, beuh, deketnya kebangetan saking ada maunya. Hahaha, sekalipun gitu, aku tulus sayang ke mereka. Toh, untuk apa sih kita kerja kalau nggak untuk mereka juga?

Ya, aku pernah dengar, mohon maaf aku lupa sumbernya. Intinya begini.

'Tidak akan berkurang hartamu jika untuk membelanjakan keluargamu.'

Jadi, kalau udah berhubungan dengan mereka bertiga, aku paling nggak bisa buat istilahnya 'perhitungan'. Selagi aku ada dan selagi kemauan mereka realistis, pasti bakal kuturutin kok.

"Nih," kataku, menyerahkan satu kresek berisikan makanan yang sempat kubeli di pasar kaget pagi hari di sekitar kosku tadi.

"Eh, anak Ayah." Ayah datang dari halaman belakang, sepertinya habis berkebun, dan hmmm, ini anak bertiga malah enak-enaknya selonjoran di ruang tengah dengan hape miring semua. Terlalu!

"Ayaaaaah." Aku lari meluk ayah, meski ayah menghindar-hindar, "eh, eh, Kak. Ayah kotor."

"Berani kotor itu baik, Ayah."

"Heleh, ngomong ae kon durung adus, Mbak, makane wani kotor-kotoran." sambar Ical, kalau ngomong emang suka bener.

[Durung= belum, adus= mandi, wani= berani]

"Emange kon wes? Sesama rembes gausah teriak. Kecuali situ ganteng!"

[Rembes= muka-muka belum mandi]

"Aku ganteng ket lahir!" Dih! Pede banget tuh anak.

[Aku ganteng dari lahir, kuingatkan kalau kamu lupa].

"Opo ae sih, masih pagi lho." Bunda menyahut dari dapur. Ah, iya, Bunda. Aku bahkan sampai lupa belum menemui Bunda. "Kak, kok nggak nyari Bunda to?" Nah, kan. Sudah feeling nih kalau baginda Ratu bakal merajuk kayak begini.

"Ahhh, Bundaaa. Kangeeen." Aku langsung beralih ke Bunda, memeluknya, menciuminya, dan kemudian mendusel sambil menghirupi wangi khas yang menguar dari tubuh beliau. Ah, sekalipun Bunda itu istilahnya habis berkutat di dapur dan urusan rumah tangga lainnya, tapi aromanya itu lho, justru malah bikin candu. Ahh, syedaaap.

"Hmm, disuruh pulang semalam, malah pulang pagi-pagi begini. Nggak kurang pagi ta? Kenapa nggak subuh tadi aja?" Bunda mulai mengomel.

"Ya ampun, Bun. Kemarin tuh Rindu lembur, baru pulang jam delapanan, mau langsung pulang ke sini udah nggak kuat. Mata udah sepet banget. Yauda langsung ke kosan. Tadi aja subuhnya bablas setengah enam. Hehehe, langsung ganti baju terus order ojek deh." Aku nyengir tanpa dosa, sementara Bunda sudah geleng-geleng lihat tingkahku.

"Mbak beneran belum mandi?" Zia membelalak. Seolah tadi yang kubilang ke Masnya cuma guyonan semata.

"Iya, kenapa, nggak kelihatan kan? Tetep cantik kan?"

"Nggak sih, aku cuma sakno sama Abang driver-e, semoga ae nggak mabuk yo, Mbak." Aufar ikutan nyamber.

[Sakno = kasihan].

"Hahaha, iyo kan, Far?" Seperti mendapat umpan, Ical kembali menyabet, menyetujui pernyataan adiknya itu.

Hadeh! Anak-anak ini kalau sudah ngumpul begini, paling nggak bisa diam. Pasti ada aja bahan untuk saling melempar candaan satu sama lain.

Eits, tapi tahukah kalian, justru dengan candaan receh dan saling ledek begini, justru itu bisa jadi bonding di antara kami.  Cielah, istilahnya.

Sementara Ayah dan Bunda kalau kami lagi begini, mereka sih jadi penonton di luar ring aja, nggak ikut-ikutan tapi saling mesem dan geleng-geleng. Tapi aku yakin itu adalah bentuk ekspresi kebahagian mereka kalau kami lagi lengkap kumpul berempat begini. Ramai, dan rumah jadi hidup.

"Bunda masak apa nih? Rindu laper."

"Eh, Bunda nggak masak lho, Kak. Adikmu Bunda suruh beli pecel sama nasi kuning di gang depan tadi."

"Lah, kenapa lho? Bunda belum belanja?" tanyaku sambil membuka kulkas, melihat persediaan bahan.

Eh, masih penuh lho, ada daging, ada ayam, tempe tahu, dan sayuran juga masih ada. Tumbenan baginda ratu nggak masak. Padahal bisa dibilang beliau ini anti beli makanan di luar selagi masih bisa masak lho.

"Kenapa to, Bun? Tumben, padahal Rindu kan pulang. Adek-adek juga pada di rumah. Biasanya Bunda masak besar kalau lagi ngumpul begini?" tanyaku sambil duduk di meja makan dan membuka salah satu bungkusan nasi.

"Eh, kok Rindu, duluan? Ayah udah makan?" tanyaku pada Ayah.

"Duluan, Kak. Nanggung nih, Ayah bersihin kolam," sahut ayah dari teras belakang.

"Heh, tuh cowok dua, berhenti mainan hape. Bantuin ayah sana!" kataku kepada Ical dan Aufar.

Meski dengan desahan berat, tapi pada akhirnya mereka manut. Emang kudu diperintah dulu tuh anak baru berangkat, sementara Ayah tipikal orang yang nggak mau nyuruh-nyuruh, situ mau bantuin ya silakan, nggak yowes. Hhh.

"Ihh, Bun, kenapa nggak masak?" tanyaku ke Bunda lagi karena merasa belum mendapat jawaban.

"Itu lho, Kak. Yang Bunda bilang kalau kita ke acara."

"Heem. Emang mau ke kondangan siapa?"

"Bukan kondangan. Belum. Tapi ini Budemu, Bude Retno, bilang kalau Mbakyumu, Zira, mau dilamar seseorang hari ini."

Sendok yang hampir aja masuk ke mulut mendadak kuurungkan begitu mendengar pernyataan Bunda. Satu suapan nasi kuning gagal masuk ke pencernaan.

Zira?

Lamaran?

Bahkan aku nggak tahu.

Zira, atau Nadzira, adalah salah satu sepupuku dari pihak Bunda. Sepupu yang bisa kubilang satu-satunya di antara sepupu lain yang seumuran denganku. Selain ada lagi Si Vanya yang umurnya satu tahun di bawah kami berdua. Aku, Zira, dan Vanya, karena jarak umur kami yang hampir seumuran, jadilah kami yang paling dekat di dunia persepupuan.

Nah, udah sejak lama, sepertinya sejak kami sibuk mengejar karier masing-masing, rasanya, nggak tahu deh terakhir kapan kami bersinggungan untuk sekadar bertukar kabar. Rumah sama-sama di sini aja, tapi sekali lagi, nggak tahu kenapa atau entah saking apanya, kami bahkan hampir bisa dibilang miss contact satu sama lain.

Miris, tapi itu yang terjadi.

Jadi, aku cukup kaget dengan pernyataan Bunda barusan. Karena nggak ada kabar lho bahwa Zira lagi dekat dengan siapa, atau lagi jalan sama siapa. Ya itu tadi mungkin, karena kami udah nggak saling bersinggungan lagi kali ya. Nemen, ini sangat kebangetan!

"Bunda, sejak kapan Zira punya cowok?"

"Untuk dilamar kan nggak harus punya cowok dulu, Kak," balas Bunda.

"Maksud, Bunda, Zira taaruf?"

"Kata Budemu sih semacam itu. Zira dikenalkan sama temannya teman kantornya. Kenalannya langsung ke rumah. Katanya langsung klik. Tiga bulanan inilah. Bude, Pakdemu juga mantep banget katanya. Terus yauda deh, hari ini pihak laki-lakinya mau datang nyambung silahturahmi sama menyampaikan niat katanya."

Nyesss ... rasanya.

Aku nggak tahu ya, kalian pernah merasakan seperti ini atau nggak. Tapi inilah yang aku alami sekarang. Rasanya punya sepupu yang bisa dibilang sahabat lah, kami dekat, hanya akhir-akhir ini aja bisa dikatakan renggang. Selama ini katakanlah nggak ada satupun rahasia di antara kami bertiga yang nggak kami ketahui satu sama lain. Mereka tempat curhatku ketika aku lagi nggak bisa curhat soal hal-hal tertentu ke Fita, Arini, Diva, maupun Rahay. Dan yaa, untuk kabar besar dan sebahagia ini aja, Zira nggak kasih tahu aku.

Bahkan Bunda yang ngasih tahu aku duluan?

Rasanya sakit, tapi aku nggak bisa nyalahin Zira juga.

"Bahkan Rindu nggak tahu soal ini, Bun."

"Itulah yang Bunda nggak suka dari kamu, Kak. Kamu itu kalau udah sibuk, nggak pernah nyempatin waktu untuk nyambung silahturahmi. Nggak usah deh Zira, Bunda aja lho, kalau nggak Bunda duluan yang hubungin apa kamu sempat kasih kabar ke Bunda?" Di situ rasanya terlalu nyelekit sih, Bun.

Aku diam udah nggak bisa nanggapi lagi kalau udah skak mat begini. Memilih melanjutkan sarapan nasi kuning meski rasanya nggak sesuai ekspektasiku bahwa nasi kuning depan gang biasanya enak.

Kali ini anyep.

Apa karena campur perasaanku yang mendadap pengap?

Aku masih nggak habis pikir aja soal Zira. Tapi, kenapa rasanya aku semarah ini mendengar Zira akan dilamar?

Apakah aku iri?

Iri lalu mengkambinghitamkan Zira yang luput mengabariku perihal ini? Picik sekali kamu, Rindu.

Setelah anak geng Esempe (read: Arini, Fita, Diva, dan Rahay) sudah pada sold out, kali ini menyusul si Zira. Sementara Vanya, mungkin juga akan nyusul juga mengingat dia juga udah punya pacar yang bisa dibilang serius karena sudah mengenal Om dan Tante, orang tuanya Vanya.

Lalu, tinggal aku, yang bahkan, seseorang aja nggak punya.

Yang bahkan hampir punya tapi dianya malah mau nikah sama orang lain.

Yang bahkan, hampir dekat sama seseorang yang ditemuinya di kereta, dengan pertemuan-pertemuan nggak sengaja itu, tapi malah lost contact karena saling gengsi nggak ada yang ngalah mau hubungi duluan lagi.

Mas Hanif, kamu apa kabar?

"Rindu, ayo siap-siap. Acaranya jam Sembilan. Budemu sudah WA Bunda buat segera ke sana. Bantu-bantuin."

"Iya, Bunda," jawabku lemas, mendadak punya pikiran, boleh nggak aku balik aja ke kosan?

🍐🍊🍐🍊🍐

Nyatanya keinginanku untuk kembali ke kosan hanya sekadar wacana. Karena sudah barang tentu, Ayah, Bunda, serta adek-adek udah pada antusias untuk datang ke rumah Bude. Nggak mungkin aku menggagalkan dengan aksi mogokku minta balik ke kosan kan?

Dengan Ical yang menyetir mobil, Ayah di depan, Aku dan Bunda di tengah, sementara Aufar dan Zia di bangku belakang, kami tiba di rumah Bude yang jaraknya sekitar sepuluh kilo dari rumah kami di Aloha. Mungkin memakan waktu setengah jam kalau dihitung macet dan kejebak traffic light.

Ayah langsung bergabung bersama Pakde dan para sanak saudara lain yang pria. Ical, Aufar, sudah ketemu sepupu cowok yang lain. Sementara Aku, Bunda, dan Zia, langsung masuk ke dalam rumah.

"Ziraaa," teriakku begitu melihat perawakan Zira yang baru aja selesai make up.

"Rinduuuu, akhirnya, kamu datang juga. Tak kira bakal nggak datang."

"Maunya sih nggak datang, karena nggak diundang sendiri sama calon manten," sindirku sarkas.

"Iya tuh, Rind. Aku ae juga baru tahu tadi dari Mama," Vanya menyahut dari dalam.

"Nyak! Udah lama?" sapaku ke Vanya.

"Sejam yang lalu sih," jawab Vanya sambil menata jajanan di gelaran ruang tamu.

"Sorry, gengs, Beneran sorry. Aku nggak sempat ngabarin kalian. Semua serba mendadak. Dan aku masih nggak percaya aja kalau ternyata hari ini."

"Ancen kamu tuh jahat, Zir!" kataku sungguhan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Hahaha. "Eh, tapi kok bisa?" cercaku.

Dan yaa, mengalirlah semua cerita itu dengan singkat yang justru membuatku dihujani berjuta-juta rasa iri yang begitu menyayat.

"Kamu cantik, Zir," kataku, kali ini tulus.

Zira dibalut dengan kebaya pastelnya dan riasan minimalis look, dan oh, jilbab sederhana yang ia kenakan, itu bikin Zira terlihat elegan dalam sederhanya.

Cantik, manis.

Pengiiiin!!!!

"Ntar kamu juga bakal ngerasain, Rind jadi cantik di hari bahagiamu."

"Doain ya, Zir."

"Ya pastilah, Rind. Tak doain, biar kamu segera nyusul. Sama Vanya juga nih, segera minta mamasmu buat ke rumah Tante," ucap Zira sambil menunjuk pacarnya Vanya di luar sana.

"Iya, iya, habis ini deh," balas Vanya.

Uugh, jleb. Nyesss, buugh!

Hantaman perasaan random hari ini benar-benar terlalu menyesakkanku.

Aku cuma harus kuat, dan bertahan di sini untuk menyaksikan kebahagian sepupuku satu itu.

Sampai acara dimulai, calonnya Zira beserta rombongan pada akhirnya datang. Aku dan Vanya masih mendampingi Zira di kamar. Mereka masih melakukan pembukaan dan perkenalan sebelum akhirnya Zira diminta untuk keluar. Aku dan Vanya mengantarnya, Zira duduk di antara Budd Pakde dan orang tua dari calon Zira.

Calonnya Zira, aku bahkan nggak nyangka Zira berani mengambil langkah besar dengan proses taaruf. Menurut cerita, Zira hanya berbekal diceritakan soal calonnya ini oleh teman kantornya. Calonnya nggak mau ketemu sebelum ada kata 'iya, bersedia untuk taaruf' dari mulut Zira. Ketika sudah iya, calonnya langsung mendatangi rumah Zira, dan langsung memperkenalkan diri saat itu. Selama tiga bulan tersebut, tidak ada istilanya mereka saling jalan berdua. Yang ada mas calonnya Zira ini selalu datang ke rumah untuk memperdalam proses penjajakan satu sama lain. Itu pun selalu didampingi kalau nggak teman kantornya Zira yang menjodohkan tersebut atau pihak keluarga dari Mas calonnya Zira. What a beautiful moment ketika aku membayangkan proses tersebut.

Mupeng? Iyalah!

Baper? Bukan lagi.

Iri, udah berkali-kali kusebut, bahwa aku nggak memungkiri kalau aku iri kepada sebuah proses yang Zira jalani saat ini. Begitu berani, penuh risiko, tapi dengan niat, tekad, dan keberanian itu, rasanya Zira tinggal menerima buah manis. Sebuah proses sesuai syariat, nggak neko-neko. Aku salut sama Zira.

Aku duduk melebur dengan sanak saudara yang lain. Sementara Vanya juga duduk di sisi yang lain. Vanya sesekali melirik ke arah luar rumah, di mana ada cowoknya yang lagi berbaur bersama adiknya Zira, Ical, dan Aufar.

Sementara aku, "Rindu, Zira udah, habis ini kayaknya si Vanya nih bau-baunya nyusul. Lah kamu kapan?" terjebak dalam sebuah kejulidan ibu-ibu.

Mereka ini tetangganya Zira, ya bisa dibilang kerabat dekat Bude dan Pakde lah. Kenal Bunda, aku, dan keluarga yang lain. Kenal sih, tapi nggak dekat.

Jadi apakah sekadar kenal menjadi wajar untuk bertanya hal-hal yang menurutku sangat menusuk itu?

Ibu-ibu tidak mengenal istilah bahwa pertanyaan magis berupa kalimat yang diawali kata 'kapan' itu bisa membumihanguskan perasaan iri yang sedang mati-matian kujaga agar aku bisa bertahan sampai akhir mengikuti acara ini. Sudah kurapal dalam hati sedari tadi agar aku nggak menemui pertanyaan seperti itu. Eh, keluarlah juga pertanyaan sejuta umat untuk memulai sebuah basa basi yang bagiku teramat basi tersebut.

"Kapan apanya, Bude?" tanyaku balik berusaha sewoles mungkin.

"Ya, kapan nyusul. Kok pakai tanya kapan apanya."

"InsyaAllah, kalau nggak Sabtu, ya Minggu kayak begini, Bude. Biar semua bisa kumpul dan hadir," jawabku sok bijaksana padahal di dalam sudah memendam gondok luar biasa.

Dasar bude-bude, nggak bisa lihat orang lagi diam dikit aja.

"Loh emangnya udah punya calon?" pakai diperjelas lagi.

Padahal di tengah sana acara lagi sakral dimulai. Aku sampai nggak kusyuk menyimak sekarang sedang prosesi apa.

Kulihat sekilas, Mas calonnya Zira sedang mengambil kendali bicara untuk menyampaikan niat baiknya. Kuabaikan bude disampingku yang masih menyenggol mengkodeku untuk menjawab pertanyaannya. Rese.

"Apa sih, Bude?" tanyaku mulai risih.

"Siapa calonnya?"

"Mohon doa restunya aja, Bude. Nanti kalau udah waktunya Bude juga tahu, kok," jawabku sewot, cenderung sedikit keras karena bikin orang-orang yang mulanya kusyuk menyimak acara jadi beralih perhatian ke arahku.

Aku menduduk sambil nyengir dikit, minta maaf ceritanya. Bunda yang di sebelah Bude, Ibunya Zira juga lihatin aku sambil kasih tanda jangan berisik.

Daripada aku merusak acara, aku akhirnya milih minggir, keluar dari forum sambil permisi melewati bude-bude dan tante-tante yang duduk di sebelahku tadi.

Hhhh! Kesel. Kesel banget.

Oke, sejak saat ini, aku memutuskan untuk membenci kata 'kapan' dan kalau bisa dihapuskan saja kata 'kapan' dari kamus besar Bahasa Indonesia. Karena satu pertanyaan mengandung 'kapan' itu bisa menyakiti pihak-pihak semacamku.

Sakit! Tapi nggak berdarah.

Kesal! Pakai banget!


__________ __________






Rindu datang lagi.

Jadi syaratnya mudah, cukup tekan 🌟 dan berkomentarlah sesuka kalian.

Oh, kalau mau follow silakan lho, biar kalian tidak ketinggalan segala info update cerita saya yang lain.

Terima kasih telah ikut Merindu sejauh ini.

Selamat Merindu kembali, jangan dengerin Dilan bahwa Rindu itu berat.

Pokoknya, tungguin Rindu lagi yaw.

Terima kasih.

Lav

Chaa ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top