10. Rindu Kamu, Mas

Surabaya adalah rumah, ke manapun aku berpetualang, tempatku kembali adalah kota ini. Meski bukan di kota ini aku dilahirkan, tapi Surabaya adalah jantung sekaligus napas yang selalu kuembus tiap harinya.

Keceriaan masa sekolah, kenakalannya, rasa ingin tahu yang begitu tinggi dengan segala eksperimen coba-coba khas anak SMA, menjajal tiap tempat hits baru dari ujung Surabaya sampai bertemu ujung lagi. Tempat paling mudah untukku ngabur kalau bosan di rumah yang ada di Sidoarjo. Dekat sih, jadi jangan salahkan aku kalau bisa dibilang aku lebih tahu seluk beluk kota Surabaya ketimbang kota tempatku dilahirkan. Mulai dari penjual rujak cingur dengan petis terkhas, sampai penjual lontong balap teryahud, aku tahu semuanya.

Meskipun aku sempat berpisah dengan kota ini selama empat tahun kemarin, ketika memutuskan kuliah ke Malang, tapi ujung-ujungnya sekarang balik lagi kan? Karena sungguh, gimana pun juga aku beneran nggak bisa pisah dari kota ini.

Dan petualanganku di Cirebon kemarin juga pada akhirnya memulangkan aku ke kota ini. Surabaya penuh cerita.

Tadi pagi begitu aku masuk kantor, Pak Fikri langsung memanggilku untuk menghadap. Biasalah langsung diinterogasi dari apa sampai apa. Termasuk tentang kenapa aku baru inspeksi ke gudang hari besoknya setelah aku tiba. Alasan sakitku dimentahkan gitu aja, katanya kalau cuma sekadar 'sedang bulannya' kan bisa minum obat bla-bla-bla. Tahu nggak sih, rasanya saat itu juga pengin banget Pak Fikri jadi cewek, biar ikut ngerasain dan nggak asal nge-judge.

Beruntungnya, ketika aku membeberkan hasil selidikku di sana, Pak Fikri sedikit bisa kalem, dan cenderung ikutan mumet. Bahkan beliau menyanggupi untuk membantu melanjutkan penyelidikan berbekal data-data beserta barang bukti penunjang yang sudah kuhimpun kemarin. Aku juga sudah ngobrol dengan Sherly terkait beragam permasalahan yang kutemui di sana. Nanti biar ditindak lanjuti Pak Fikri dan tim sales lah, yang penting tugasku udah kulaksanakan, tinggal tindak lanjut aja dari baginda Fikri yang terdaulat itu.

Jadilah sekarang aku bisa sedikit lega karena satu bebanku 'sedikit' terangkat. Sedikit ya, karena tumpukan kerjaan lain yang kini sedang nangkring cantik di meja dalam kubikelku sudah mengantre untuk kusapa. Hai, long time no see! Do you miss me?

Bah!

Kerjaan yang paling kentara untuk segera kupegang adalah jelas garapan AR Invoice dari timnya Mbak Tyas beserta dedengkotnya. Belum-belum aja ketika tadi aku baru datang, aku sudah dihadang sama si Ridho, pakai mengingatkan, 'Mbak jangan lupa, ya, aku punya surprise di meja sampeyan.'

Ya, surprise yang cukup berhasil karena aku benar-benar terkejut. Gimana nggak? Ar Invoice dari tiga hari yang lalu, hari terakhir sebelum aku berangkat ke Cirebon, belum tersentuh sama sekali lho. Daebak! Ini orang-orang beneran pada sibuk banget sampai nggak ada yang bisa nge-back up kerjaanku?

Mau protes ke Pak Fikri tuh kok ya nggak enak, baru aja aku melakukan aksi perdamaian dengan menyerahkan semua tugas tentang audit Cirebon, masak sekarang ngajak war lagi?

Yaweslah, ya nasib emang begini, mau bagaimana lagi?

Nggak usah ngeluh, Rind. Noh, waktumu kebuang sia-sia hanya untuk meratapi gawean yang mangkrak di depanmu saat ini.

Aku mulai ngecek kemudian tanda-tanda tangan AR dari back date terlama, tiga hari lalu. Satu hari itu aku tanda tangan AR bisa mencapai tujuh puluh bahkan seratus lembar kalau penjualan tim sales lagi banter-banternya. Apalagi pas high session seperti hari kecepit di antara libur nasional kemarin. Beuh, sehari kadang pernah tanda tangan AR sampai 130-an lembar. Berasa artis kan?

Tinggal mengalikan saja tiga hari, mamam tuh tumpukan kertas AR yang rasanya bisa kupakai bantal saking tebelnya.

Di saat orang-orang hidup di hari ini, aku kudu hidup mundur dari tiga hari lalu kalau begini caranya.

Itu baru AR doang lho, belum laporan PPH/PPn, belum lagi ngecekin tagihan ongkos angkut dari tim sales, dan belum lagi kerjaan lain yang nggak bakal habis kujabarkan di sini.

Banyak, saking banyaknya aku sampai nggak sadar kalau sekarang udah siang. Baru ngeh pas bel istirahat bunyi, ngelihat jam ternyata memang udah pukul dua belas siang. Baik.

Ini AR sehari aja belum rampung. Apa kabar dua hari setelah itu.

Urusan ntar, mending sekarang ngadem dulu, biar nggak ngepul saking panasnya manteng setengah hari tanpa jeda barusan.

Aku mutusin ke lantai tiga. Mau nggak mau sih, meski sebenarnya males banget, tapi tubuhku butuh rehidrasi yang seger-seger. Kayaknya aku masih punya simpanan nutribery deh di lemari pantry, bikin itu dikasih es betu sepertinya beneran seger.

"Tumben, Rind, naik?"

Nah, ini nih, aku nggak suka nih sekalinya masuk ke ruang makan terus ada yang ngatain gitu. Itu tadi si Via, itu lho anak Purchasing yang lambenya lamis, biasalah kalau nggak ngejeplak mungkin bibirnya gatel.

"Nggak boleh ta?" balasku sambil nyelonong ke pantry.

"Yeee, ya nggak gitu. Nggak usah mbleyer balese. Woles ae sih."

Jadi antara ruang makan dan pantry itu ada sekat, sementara aku lewat gitu aja di antara meja-meja mereka yang sedang makan. Bodoh amat dah jadi perhatian orang-orang di sekitar, termasuk ada gerombolan anak lantai tiga yang juga udah nempatin kursi mereka masing-masing.

Aku nggak peduli, lanjut aja ke pantry buat bikin nutrybery dikasih es batu. Uugh, kebayang sih ini seger banget. Setelah itu aku mutusin buat keluar ruang makan aja dan milih cari tempat lain yang lebih cozy. Karena seriously, bagiku, kini, ruang makan itu toksik banget. Acara mereka nggak jauh-jauh dari menggibah sana-sini. Mungkin salah satunya termasuk aku yang sering jadi bahan obrolan mereka. Ya udah lah ya, aku nggak peduli.

Aku menuju ke salah satu sudut di lantai tiga. Di sini ada bangku-bangku yang didesain sedemikian estetik biar penghuni kantor ini jadi betah dan nggak suntuk karena monoton kerjaan yang berulang tiap harinya.

Dari tempat ini jarak lima meter terdapat spot tenis meja. Nah spot ini semacam udah diakuisisi mutlak oleh anak-anak lantai tiga. Seperti sekarang ada dua orang yang lagi main, dan tiga orang lainnya sebagai penonton.

Termasuk aku di sini lagi nontonin mereka diam-diam.

Sejauh ini aman, if you ngeh what I mean, belum ada tanda-tanda bahwa Mas Luthfi ikut berseliweran di antaranya. Aku termasuk cupu jika sampai saat ini masih menghindarinya tiap kali ke lantai tiga. Ya gimana, ya, nggak mudah, Sis. Gimana pun kemarin-kemarin kami pernah sedekat nadi sebelum akhirnya sejauh matahari seperti sekarang.

Namun, sepertinya rasa amanku cukup sampai di sini, karena saat ini aku bisa melihat bayangannya dengan amat jelas baru saja keluar dari ruang kantor lantai tiga. Dan bisa setepat itu dia langsung menemukanku kemudian senyum ke arahku.

Oh, oh, bahkan saat ini dia sedang berjalan ke arahku.

Demi apa? Kemudian aku harus apa?

Kalem, Rind.

"Nggak makan siang, Rind?" tanyanya, yang langsung mengambil tempat di salah satu bangku kosong sebelahku.

"Ini," kataku sambil menunjukkan gelas berisikan es nutrybery tadi.

"Hahah, kamu ini. Oh iya, aku mau kasih kamu sesuatu, tunggu ya." Mas Lutfhi tiba-tiba aja beranjak lagi dan masuk ke ruang kantor.

Kenapa? Ada apa?

Nggak memakan waktu lama, karena nggak sampai satu menit dia sudah kembali lagi membawa sebuah ...

"Ini, Rind, buat kamu." Sebuah undangan berpita dengan bungkus plastik bening diangsurkannya kepadaku.

Hahaha, tolong izinkan aku ketawa sejenak.

Oke, sudah. Terima kasih.

Aku menerima undangan itu kemudian membukanya perlahan. Dia juga kembali duduk di bangku yang ditempatinya tadi.

"Aku nggak tahu kamu mau datang atau nggak. Tapi, mohon doa restunya untuk kelancaran pernikahanku nanti ya, Rind."

Bahkan, saat ini, aku nggak tahu harus menunjukkan ekspresi aja selain bergeming berpura membaca tiap detail di kertas itu yang rasanya cukup membuat hatiku berdenyut nyeri.

Kemudian kami sama-sama diam. Baik aku maupun Mas Luthfi tiba-tiba saja saling membisu. Aku mutusin buat meneguk es nutrybery-ku saja ketimbang mati mampus karena kejebak awkward momen begini.

"Dulu, Mas Luthfi pernah bilang, 'Jangan pernah undang aku ke nikahanmu kecuali namaku ada di dalam undangan itu.' Sekarang lucu ya, justru kamu duluan yang ngundang aku," lirihku masih dengan memandangi setiap inchi kalimat dalam undangan berwarna toska tersebut.

"Kamu masih ingat, Rind?"

"Masih, kenapa nggak?" tanyaku balik.

"Rindu, Maaf."

Kemudian, nggak tahu kenapa aku otomatis ketawa dengan sarkasnya. Mungkin Mas Luthfi jadi merasa tidak enak, apalagi beberapa temannya yang main pingpong di sebelah sana auto-nengok begitu melihat kelakar tawaku.

"Buat apa, Mas?" tanyaku.

"Buat semuanya. Semua hal yang udah selesai padahal belum sempat kita mulai."

Lucu, gimana aku nggak boleh ketawa? Oke, mungkin ketawaku akan terlihat mengenaskan. Tapi, ya gimana, ya. Sekali lagi, aku nggak tahu harus berekspresi seperti apa. Momen ini tadi nggak ada kebayang dalam pikiranku. Kukira ya okelah jika pada akhirnya aku ketemu Mas Luthfi lagi kalau naik ke lantai tiga, mungkin aku akan biasa aja cuma sekadar say hello. Eh, nggak lho, kami ngobrol dong. Ngobrolnya soal beginian lagi, segala pakai nyebar undangan. Baik, baik, ini sungguh baik, dan manis.

"Ngerasa nggak sih kalau kita mendadak saling canggung tiap kali ketemu? Rasanya pantes nggak sih, kita kerja satu atap, tapi nggak saling sapa, saling melengos tiap kali papasan?" cercaku.

"Aku sadar, itu salahku."

"Nggak ada yang salah. Ini cuma soal ego yang sama-sama nggak ada yang ngalah. Aku pengin nyelesain ini."

"Sama. Jadi, aku harus gimana, Rind?"

Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "InsyaAllah, aku bakal datang nanti," kataku pelan, sambil senyum ke Mas Luthfi. "Bahagia ya, Mas," tambahku.

Mungkin boleh jadi kalian bilang aku terlalu munafik. Beberapa detik yang lalu aja aku masih terang-terangan mengakui bahwa masih merasa nggak aman tiap kali ke lantai tiga karena was-was bertemu laki-laki ini. Tapi izinkan aku sedikit berbohong sebagai bentuk pengendalian diriku, aku berusaha melawan rasaku sendiri, memaksa hatiku untuk berusaha mengikhlaskan walau nyatanya belum. Karena ikhlas tidak butuh pengakuan, ia lahir dari hati, bukan ada karena digembor-gemborkan ke mana-mana. Bahwa ikhlas tidak lagi mengungkit, tapi berusaha bangkit.

Aku sedang memaksaku hatiku untuk itu.

Bisa karena terbiasa bukan? Dan terbiasa itu ada bila dipaksa.

Oke sip. Lanjut.

"Kamu baik, Rind."

"Kamu juga, Mas." Kamu memang baik, tapi baik untuknya, calon istrimu, bukan aku.

Kemudian Mas Luthfi pamit untuk gabung main tenis meja dengan teman-temannya. Sementara aku masih di sini, melihat punggungnya yang sudah sangat jelas semakin jauh untuk kugapai. Ya sudah lah.

Aku percaya gini lho, soal jodoh, jika memang bukan dia, sudah pasti Dia akan mengirimkan laki-laki lain yang tengah menungguku di tiap sujud malamnya. Nah, sekarang tinggal kapan?

Itu pertanyaan dan sejujurnya PR besar bagiku. Bahwa jodoh perlu dijemput dengan kesiapan.

Masalahnya aku sudah siap belum?

Sebentar, seperti familier dengan kata-kataku barusan? Pernah dengar tapi kapan ya?

"Percaya nggak sih, jodoh itu datang ketika kamu telah cukup dengan segala kesiapan lahir dan batin. Artinya, jika kamu masih gini-gini aja, it means tidak ada menunjukkan tanda-tanda siap hidup di gerbang selanjutnya. Misal masih stay woles, ya mana mau jodoh datang menjemput? Persiapan itu banyak hal. Bukan tentang materi, tapi lebih penting soal pemikiran dan sikap kita dalam melihat kehidupan di depan."

Astagfirullah, Mas Hanif. Kenapa tiba-tiba aku ingat dia lagi?

Jadi, paska-kejadian kemarin, aku pulang, dan Mas Hanif belum mengabariku lagi sampai saat ini. aku nggak tahu, dan aku juga nggak kepikiran buat menghubungi dia duluan karena memang ya nggak kepikiran saking sibuknya seharian tadi kan?

Lagi pula, aku harus memulai dengan bahasan apa misal aku mengubungi dia duluan?

Apalagi perpisahan terakhir kami berujung rasa sungkan satu sama lain. Pembahasan sensitif yang begitu berat. Saking beratnya aku sampai nggak tahu harus menanggapi apa obrolan Mas Hanif kemarin itu.

Kaget, jelas aku kaget. Ada seorang yang dengan lantang berani mengingatkan aku perihal itu.

Tertohok, sangat.

Malu, banget.

Tapi, Mas, bukan maksudku untuk mengabaikanmu begitu aja kemarin, tapi aku hanya butuh ruang dan waktu untuk mencerna semua hal tiba-tiba yang kamu utarakan kemarin. Demi Allah, niatmu baik, kuhargai itu, dan selamat kamu berhasil membuatku nggak tidur semalaman ketika di kereta.

Dan tahukah kamu bahwa saat ini aku sedang merindukanmu?

Kamu, seseorang yang beberapa waktu lalu mengajakku mengobrol banyak hal, bertukar pikiran, dan semacamnya. Bahkan, seseorang yang dengan tanpa sungkan menampar sanubariku terang-terangannya.

Aku tertohok, oleh suatu kebenaran yang masih saja berusaha kusangkal, walapun aku tahu bahwa hal tersebut shahih, nggak ada satupun alasan untuk membantahnya.

Lalu bolehkah, kalau sekarang tiba-tiba aku merindukan untuk beradu argumen cerdas denganmu lagi? Menghabiskan obrolan ngalur-ngidul berkualitas di dalam kereta, menikmati pemantang sawah, perbukitan, bahkan sepanjang lautan yang nantinya akan kita lewati selama perjalanan itu?

Sepertinya menarik, tapi kapan lagi?

Kalau nyatanya, untuk mengubungimu duluan saja aku ciut nyali setengah mati.

__________  _________

Rindu datang kembali.

Yang cari mas Hanif, mas Hanif absen dulu yaaaa.

Yaudaaah, sekarang giliran kalian buat nunjukin apreasiasi kalian terhadap Rindu.

Jangan lupa tekan 🌟 dan berikan komentar sebahagia kalian.

Selamat menikmati.

Dan selamat merindu kembali.

Lavvv
Chaa 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top