1. Lagi-lagi, Rindu
Aku bosan!
Iya, lagi-lagi sudah pasti mereka akan menugaskanku untuk kembali dinas luar. Audit internal gudang-gudang cabang di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kadang aku berpikir, padahal sudah jelas aku ini lagi salah jalan. Ini bukanlah pekerjaan yang kuimpikan sejak dulu. Namun, buktinya aku bisa bertahan lebih dari dua tahun ini untuk apa? Apa yang kucari?
Aku juga nggak tahu.
"Rindu, berangkat minggu depan ya. Seperti biasa Kamis, Jumat, Sabtu. Pilih rute ternyaman kayak biasanya. Yang penting tiga hari empat gudang selesai semuanya."
Seperti itu. Baru juga aku membatin.
"Kalau dua bulan sekali saja gimana, Pak? Toh administrasi di gudang sana juga udah baik?" tanyaku, kali aja beliau bisa sedikit luluh.
Informasi saja, sudah tiga bulan berturut-turut ini aku yang selalu ditugaskan dinas luar. Mungkin, kebanyakan orang melihat bahwa dinas luar itu suatu yang mewah. Kesempatan untuk mendapatkan entertainment yang nggak bakal diperoleh ketika kita ngadep depan komputer doang di kantor.
Gimana nggak? Tiket kereta eksekutif, tak jarang juga pakai pesawat kalau jadwal lagi padet banget. Menginap di hotel berbintang. Makan tiga kali sehari, di mana uang makan bulanan di kantor cuma terjatah satu kali. Belum lagi yang lain, misal klien memberikan entertain tambahan. Rejeki nggak sepatutnya ditolak.
Makanya banyak orang yang iri. Banyak pula yang berburuk sangka. Karena sebuah perjalanan dinas seperti ini rentan sekali manipulasi. Terutama saat laporan cash advance ketika usai dinas. Naudzubillah.
Meski aku ini anak kos, tapi amit-amit deh makan uang haram dari hasil utak-atik LPJ* perjalanan dinas begini. (*Laporan Pertanggung Jawaban).
Sebenarnya alasan keberatanku bukan karena malas dibicarain sama orang-orang. Udah kebal kalau itu mah. Lebih ke capek aja sih. Bayangin aja, ketika kita dinas luar maka kerjaan utama di kantor jadi mangkrak, boro-boro ada yang gantiin. Kedua, capek di jalan, tiga hari empat gudang itu gimana ceritanya?
"Rindu ... Saya nggak mau ya kejadian kayak bulan-bulan lalu terulang lagi. Jangan ambil risiko, ah."
Risiko kan memang selalu ada. Hidup tanpa risiko itu apa toh? Ya nggak hidup namanya, Pak!
Itu tadi Pak Fikri, chief akunting di kantorku. Kerjaanya ya memang seperti itu. Tinggal tunjuk siapa yang berangkat audit, padahal harusnya kalau dihitung-hitung bulan ini adalah jadwal beliau untuk berangkat.
Risiko yang dibilang Pak Fikri tadi adalah karena pernah beberapa bulan yang lalu itu, kiriman barang dari pabrik pusat, tempat kantorku bekerja saat ini, sedang overload. Permintaan customer di wilayah sana sedang tinggi. Namun kesiapan para awak gudang benar-benar buruk. Maka, terjadilah administrasi gudang yang morat-marit nggak karuan. Banyak sekali ditemui kasus. Nanti akan kukasih contohnya.
Ya, aku Rindu Amaya Kinasti. Seseorang seperti yang kubilang di awal, sebuah kesalahan dulu menjebloskan diri ke perusahaan ini. Sebuah perusahaan FCMG yang bergerak di bidang vetenary. Sederhananya, grup perusahaan tempatku bekerja saat ini adalah perusahaan peternakan ayam, mulai dari penjualan bibit ayam (orang menyebutnya DOC), penjualan ayam itu sendiri, sepaket dengan pakannya (feed product), hingga sampai hasil akhir berupa Food Product. Contohnya ya semua frozen food olahan yang biasanya kita konsumsi, mulai dari nugget, sosis, ayam beku berbumbu, dan sejenisnya. Komplit kan? Dan tiap sektor itu dipecah menjadi sebuah perusahaan yang berbeda-beda.
Nah di manakah aku berada?
Yap, aku hanyalah satu makhluk kecil yang keberadaannya nggak penting-penting amat di kantor ini. Tapi dibutuhin. Cungpret lah katakanlah. Di bawah naungan Bapak Fikri Daulatlah aku berada. Dipercaya menghandle pengawasan bagian pengiriman di sektor Feed Product. Khususnya pengiriman ke gudang-gudang depo*.
(*Gudang cabang untuk menjangkau customer di wilayah kerja tertentu yang tidak memungkinkan untuk mengambil barang secara langsung ke pabrik karena jarak).
Aku adalah anak akunting yang berhasil bertahan selama hampir tiga tahun berjalan meski tanpa background akunting sama sekali.
Walaupun kalau kadang aku merasa jenuh, merasa kembali tersesat, aku tetap menghubung-hubungkan bahwa background keilmuanku mau digimanain tetep nyambung kok.
Anak Gizi Pangan jadi tim audit Pakan Ternak? Nyambung ah, setidaknya aku merasa bertanggung jawab terhadap gizi ayam-ayam melalui pakan yang dikonsumsi. Kalau ayam-ayam itu sehat, dagingnya pun juga sehat kan nanti. Daging ayam adalah salah satu komoditas pangan yang paling berpengaruh.
Oke, tidak penting.
Aku belum terima jika pada akhirnya harus kembali dinas luar.
"Bulan ini bukannya jadwal Bapak ya yang berangkat?" tanyaku kepada Pak Fikri, sudah siap bukti jadwal tertulis, kalau-kalau Pak Fikri mengelak.
"Iya, Rindu. Tapi ada orang pajak mau ke sini. Masak saya tinggal? Terus kamu yang nemuin orang pajak?"
Nah, kalau elakan model begini, apa aku bisa kembali memberikan serangan balik?
Oke dicoba lagi.
"Ya nggak, Pak. Akunting kan banyak. Nggak cuma saya toh yang harus berangkat."
Benar, orang akunting nggak cuma aku. Harusnya mah semua kebagian ngerasain gimana dinas luar tuh. Biar nggak cuma komen bilang enak-enak aja.
"Siapa lagi? Mbak Vita anaknya masih kecil. Tega kamu nyuruh dia yang berangkat? Pak Berry nggak saya bolehin. Biar fokus ngerjakan PPH."
Mereka selalu punya alasan. Sementara alasanku cuma dianggap angin lalu.
"Benar-benar deh bapak ini." Aku gondok, memilih kembali ke kubikel.
Percuma, tetep aku yang berangkat! Catat!
"Biar kamu nggak bosen kantor-kosan terus, Rin. Cuma kamu yang nggak punya tanggungan anak dan suami. Lagian kali aja ketemu jodoh di sana."
Masih terdengar teriakan Pak Fikri dari kubikel besarnya.
"Aamiin. Saya aminkan, Pak. Tapi saya tetep nggak suka," kataku lirih, sambil nahan gondok yang nggak udah-udah.
Baru sampai di meja, baru aja mendaratkan ke kursi, suara line telepon yang berdering keras berhasil mengangetkanku. Dan berhasil merusak mood-ku. Terima kasih.
"Halo dengan Rindu di sini ada yang bisa dibantu?" sapaku tetap kalem, seolah sedetik yang lalu nggak ada badai.
"Saya minta Mbak Meli untuk booking tiket kereta dan hotel ya. Kamu tinggal terima beres. Atur rutenya. Nanti tak sampaikan Mbak Meli." Oke, itu suara Pak Fikri.
Dan gondok itu makin membulat, hhhh rasanya gemesh. Mau tutup telepon langsung itu kok ya nggak sopan. Gimana pun Pak Fikri kan atasan langsungku sebelum Pak Vincent selaku FAM*, kalau aku berani nanti malah kualat. Amit-amit.
(*Finance Accounting Manager)
"Baik, Pak. Terima kasih atas perhatiannya," balasku lemah lembut, padahal asli ini sambil nahan biar kagak teriak di gagang telepon. Astagfirullah. Maafkan hambamu ini.
"Jangan lupa minum, Rindu, apalagi cuaca lagi panas gini."
Ya tolong ini kepanasan juga karena siapa, Pak?
Mbuhlah! Sekarep Bapak aja.
Udah, selesai, aku matiin teleponnya, nggak mau panjang-panjang lagi.
Dengar sendiri kan bagaimana beliau mengusahakan kepergianku untuk tetap berangkat Dinas? Rela nyuruh mbak Meli buat nyiapin semuanya. Mbak Meli itu orang HRD btw, jadi sebenarnya ya wajar sih kalau minta bantuan Mbak Meli untuk menyiapkan.
Beginilah derita jadi anak paling bontot. Nggak bisa menolak permintaan dan udah hukum alam kalau dijadiin kalah-kalahan.
Apalagi pakai bahas masalah status. Mentang-mentang hanya aku di antara orang akunting yang belum menikah, mereka menggunakan status kebebasanku itu untuk alasan pergi-pergi. Lalu, nggak jarang ujung-ujungnya bahas jodoh.
Jodoh.
#"$@?($&¥®%¢'}
Oke, nampaknya deskripsi selanjutnya tidak terdetek mari lupakan sejenak pembahan soal itu.
Lebih baik Anda segera menyiapkan data-data untuk keberangkatan Anda, Rindu! Kusodorkan kaca tepat dimukaku. Fokus! Ikhlas, niatkan sebagai ibadah. Bismillahitawakaltu alallah. Udah gitu aja.
📙📗📘📙📗
Sebagai anak rantau yang memilih mburuh di kota orang, kita dituntut untuk multitalent. Apalagi kalau anak kos, kudu punya skills dewa dalam urusan rumah tangga. Seperti masak nyambi ngepel, nyuci nyambi nyetrika. Atau hal lain yang nggak bakal bisa dilakuin oleh anak-anak rumahan kesayangan Mimi Pipi.
Jadi, kalau Anda, ibu-ibu yang sedang cari menantu? Saya siap baradu.
Kalau Anda, Mas-mas yang cari istri? Saya adalah orang yang pas.
Sangat ideal.
Tapi....
Kok ya hilal belum ketemu.
Huft!
Oke, skip.
Itu tadi seperti kataku, kalau udah jam pulang kantor begini, waktunya berubah peran dari cungpret menjadi upik abu.
Tidak ada kenaikan kasta pemirsa!
Setelah sedikit beberes kamar, aku beralih nyiapin makan malam. Sederhana saja, telur dadar, tempe goreng, sambal bawang dan lalapan. Nggak perlu mewah yang penting nikmat. Apalagi memasuki tanggal-tanggal krisis, tanggal dua puluhan ke atas begini. Rasanya hidup segan mati juga jangan dulu deh ya Allah.
Semuanya udah kelar ketika adzan magrib berkumandang. Alhamdulillah, seharian puasa nggak kerasa meski tadi sempat tersulut emosi oleh baginda Raja Fikri yang terhormat. Urusan puasa diterima atau tidak, aku nggak punya kuasa, yang penting Lillah.
Aku memilih salat dulu ketimbang muasin nafsu para cacing-cacing yang udah kelaparan di dalam sana.
Menghamba, sujud, meletakkan diri kita serendah mungkin di hadapan sang Rabb. Lalu, mengingat kembali kejadian seharian ini.
Astagfirullah.
Amarah, dengki, kesal, itu hanya nafsu syetan yang berhasil membelenggu kita.
Tidak seharusnya begitu.
Terkait penugasan itu, harusnya aku bisa lebih legowo. Benar kata Pak Fikri, anggap saja sebagai refreshing biar nggak jenuh di kantor melulu. Meski pada akhirnya capek fisik juga capek hati (kalau nemuin kasus di sana).
Istighfar, dzikir, mohon pengampunan, oh Rindu sayang.
Ponselku berdering tepat ketika aku selesai menutup doa dengan amin. Satu nama penyejuk membuat bibirku melengkung.
Ah, inilah obatku.
'Bundaku sayang' begitulah nama yang tertera di layar ponsel. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung mengangkat kemudian salam.
"Waalaikumsalam, Kak, udah makan?" Pertanyaan pembuka yang selalu sama.
Ah Bunda tuh gitu. Kan kalau diteleponin begini bawaannya jadi cengeng, trus kangen pengin pulang. Padahal pas kuliah di Malang dulu juga nggak pulang tiga bulan oke-oke aja. Sekarang makin dekat rumah kok malah home sick-an begini. Nggak oke.
"Belum, Bun. Baru kelar salat. Bunda, Ayah, adik-adik emangnya udah?" tanyaku balik.
"Belum juga, nunggu ayahmu selesai jamaah."
"Nah itu tau, baru juga lepas magrib. Ini mukena masih Rindu pake."
Terdengar tawa di seberang sana. "Hahahah, iya, Kak. Alhamdulilah anak sholehah bunda."
Itu sindiran! Nyatanya aku jauh dari definisi kata bunda barusan.
"Eh, kenapa, Bun?" tanyaku, nggak biasanya Bunda telepon habis magrib. Sehari-hari bunda emang nggak luput tanya kabarku, tapi biasanya pagi sebelum aku berangkat kantor.
"Ya nggak papa tho, Kak. Emange Bunda nggak boleh telepon anak wedhok, Bunda?" Kan, baru ditanya begitu langsung keluar sungutnya.
Oh Bundaku sayang. Jadi makin kangen.
"Boleh, Bun, boleh. Kakak cuma tanya ih."
Lalu beliau terkekeh. "Oiya, Kak, temenmu SMP si Rahayu, tadi datang ke rumah sama calonnya, nganter undangan."
"Oh iya si Rahay, tadi juga ngabarin lewat WA kok, Bun. Sabtu minggu pertama bulan depan, kan?"
"Oalah, kamu udah tahu tho?"
"Ya tahu, Bun. Dijapri juga sama Rahay. Ada di grup alumni juga."
"Kamu pulang trus dateng tho?" tanya Bunda. Halah sebenarnya mah intinya Bunda tanya 'kapan kamu pulang tho, Kak?'
"Insyaallah, Bun. Rindu bilang akan mengusahakan. Tapi ya Rindu nggak janji. Semoga nggak ada halangan aja."
"Aamiin. Trus kamu mau dateng sama siapa Kak rencananya?"
Nah ini ni, aku tahu pembicaraan menjurus ke mana.
"Ya sama temen-temen, Bun. Janjian rame-rame kok," balasku udah mulai agak sewot.
"Bukan, maksud bunda ... Gandengan."
Benar kan?
"Alhamdulillah kaki Rindu cukup sehat untuk jalan sendiri, nggak perlu digandeng ah, Bun. Kayak nenek-nenek aja," ketusku.
"Rindu, nggak usah mengalihkan. Kamu tahu apa maksud Bunda." Bunda di sana juga menaikkan satu oktaf nadanya. Kesal kali dengan jawabanku.
Ya gimana, aku nggak suka kalau udah mulai bahas beginian.
"Bunda juga tahu kan Rindu bakal jawab apa."
Ada helaan napas terdengar jelas di ujung telepon. "Kak ... Sampai kapan kamu begini? Bunda juga pengin lho ditamuin laki-laki berani terus minta izin ngambil anak bunda."
"Ngambiiiiil. Barang kali Rindu." Bukan Rindu kalau nggak bisa ngeles. Catat!
"Sampai kapan tho, Kak? Mau cari seperti apa?" tanya Bunda dengan nada frustasi.
Hmm, maafin Rindu deh, Bun.
Menghindari pembahasan perihal jodoh dengan Pak Fikri tadi, tidak lantas bisa terhindar selamanya.
Kali ini, bahkan lebih mendalam oleh sang ahli. Seorang wanita yang membawaku lahir ke dunia ini setelah melewati fase-fase terberat sembilan bulan dalam kandungan. Jadi bagian mana yang menghalalkanku untuk durhaka kepadanya? Tidak ada.
Menjadi wajar apabila beliau sudah mendambakan sosok menantu dan cucu di usiaku yang memasuki seperempat abad ini? Di mana teman-teman bunda udah pada nimang cucu? Menjadi nenda alias nenek muda kekinian sepertinya memang impian terdekat bunda.
Masalahnya, anak beliau belum menemukan jodoh idamannya.
Oke tentang jodoh mari kita ulik kata tersebut versi KBBI.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V, jodoh (noun) yang berarti orang yang cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup; imbangan (ada keterangan: berhati-hatilah dalam memilih)
Tolong digarisbawahi kata cocok.
Jadi nggak usah mencela orang yang belum menikah padahal mereka udah mencapai usia ideal menikah sepertiku. Bukan berarti mereka nggak mau, mereka nggak laku, atau apapun tuduhan jahat kalian!
Apalagi ditambah pertanyaan, kapan ketemu jodohnya? Kapan nikah? Tunggu apa lagi?
Hell!
Astagfirullah.
Ini bukan hanya ditujukan ke bundaku, kok. Ke siapapun. Termasuk kalian. Jangan dibiasin begitu ke teman-teman kalian yang masih single. Tolong hargai privasinya.
Mereka hanya belum menemukan seseorang yang memenuhi kriteria cocok. Seperti yang disebutkan dalam KBBI.
Juga,
Ini yang paling utama.
Allah belum mengizinkan.
Hmmm.
"Insyaallah secepatnya akan ada laki-laki yang bertamu nemuin Ayah dan Bunda untuk meminta Rindu jadi istrinya. Bunda doain ya," kataku, nurunin intonasi bicaraku.
"Ya pastilah, doa Bunda tuh selalu terlantun tiap salat untuk semua anak-anak bunda."
"Nah tuh tau." Kemudian terdengar samar suara Ayah yang sepertinya baru datang dari luar sambil menanyakan dengan siapa bunda sedang telepon.
"Yauda maem gih, Ayah udah nunggu lho. Tuh suara Ayah pulang kan?"
Aku sengaja nggak mau minta oper telepon ke Ayah. Dengan Bunda aja udah panjang, tolong jangan ditambah Ayah. Ini bukan waktu yang tepat untuk dengerin kultum. Keburu laper dan sambel bawangku keburu nggak sedap lagi.
"Kamu itu, Kak... Kak. Bisa aja ngelesnya."
"Rindu bukan bajaj, Bun." Aku terkekeh.
Heheheh, sekali lagi maafin, Rindu, ya Bun?
"Iya wes, yauda kamu juga maem ya, nak. Bunda tutup dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Klik. Selesai.
Mari kita makan dan lupakan sejenak soal jodoh.
Allah, hamba yakin bahwa tiap manusia itu sudah ditentukan tiga hal ketika Engkau mengembuskan ruh ke dalam janin. Rejeki, maut, jodoh.
Jadi, jodoh hamba ada kan?
Tapi di mana ia? Sedang apa ia?
Oh, jodoh.
Selamat makan jodohku, yang kenyang ya. Biar kuat menungguku dalam penantianmu.
___________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top