9
Hari baru, tanggal baru, bulan baru. Semangat semua, dan jalani dengan penuh suka cita.
***
"Siapa Edwin?" tanyanya penuh curiga.
Aku menghembus nafas pelan, mencoba menenangkan situasi. "Tadi sudah kukatakan, pemilik café tempatku menitip keripik."
"Sesering apa dia kemari?"
"Hanya kalau ingin mengambil keripik."
"Apa dia baik, Im?" kali ini pertanyaan pindah ke Baim.
"Baik Yah. Sering bawa makanan dan kopi buat Bunda."
Rangga terlihat menyenderkan punggungnya di kursi. Aku memilih melanjutkan pekerjaan. Tidak merasa bersalah, tapi tetap merasa tidak enak. Setidaknya aku adalah istrinya. Lagi pula hubungan kami hanya sekedar bisnis.
***
Entah kenapa aku tidak suka mendengar jawaban Baim tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin menekan Arini. Emosiku bisa saja membuatnya semakin jauh. Aku menertawai diri sendiri. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Tidak tahu. Aku sudah terlalu letih dengan hidup yang kupilih.
Sementara di rumah Adel terasa semakin jauh. Rumah tangga kami tidak seperti yang kuharapkan. Seolah kami hanya bertemu untuk memenuhi gengsinya, agar terlihat harmonis di media sosial. Juga memberikan kebahagiaan untuk anak. Tidak ada lagi cinta yang menggebu seperti dulu. Bahkan kini seks kami juga hambar.
Aku semakin jarang mengunjungi mami. Terutama karena beliau semakin sering memaksa untuk bergabung ke pabrik kayu lapis. Malas bila harus ke sana. Itu adalah perusahaan keluaga. Terlalu banyak intrik di dalamnya. Apalagi antar kami para sepupu. Semuanya terlihat baik dipermukaan. Tapi aku tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam sana.
Terutama dari garis keturunan laki-laki. Aku bahkan berencana akan menjual seluruh saham bila nanti mami sudah tidak ada. Lebih suka berkutat di perusahaan yang kubangun bersama teman-teman. Setidaknya aku bisa mempersiapkan Baim untuk kelak menggantikanku. Biarlah Arini tidak tahu tentang apapun yang terjadi sebenarnya.
Sepulang dari rumah Arini, Adel menghadang di depan carport.
"Kamu dari mana?" tanyanya sambil melipat tangan di dada. Seolah hendak memberi hukuman.
"Mengunjungi Baim." jawabku akhirnya.
Matanya seketika melotot. "Berapa kali aku harus bilang. Ngapain kamu ke sana?"
"Mengunjungi anakku. Kenapa?"
"Dan jangan lupa, ibunya sudah mantan istri kamu."
Aku memilih diam dan pergi ke kamar. "Miranda mana?"
"Sedang les."
"Kenapa nggak kamu antar?"
"Ngapain aku bayar kakak asuhnya kalau masih aku yang repot ke sana kemari."
Malas berdebat dengan Adel, kuputuskan untuk mandi. Masih terbayang wajah Baim saat bercerita tentang Edwin. Bagaimana sebenarnya wajah pria itu? Berapa usianya? Seberapa kuat pesonanya hingga bisa membuat Baim tersenyum dan terus mengingatnya?
***
Kuracik kopi pesanan pembeli dengan teliti. Ini adalah salah satu bisnis yang mulai berkembang. Sampai hari ini kami sudah memiliki tiga outlet. Tersebar di beberapa tempat. Salah satunya tepat di depan kampusku. Sehingga paling sering kukunjungi.
Selain harganya yang bersaing, aku juga menjual beberapa kudapan teman minum kopi yang ramah dikantong mahasiswa. Ada keripik, risoles, dan juga sus. Kudapatkan dari beberapa teman yang memiliki bakat dibidang kuliner.
Hanya saja, tidak banyak orang muda yang benar-benar serius terjun ke bisnis. Sebagian masih mengatakan sekedar hobi. Padahal keuntungan yang diperoleh tidaklah main-main. Beberapa kali aku mengajak teman mahasiswi menitipkan kue, sayang sebagian besar dari mereka malah merasa terganggu dengan jadwal pacaran atau hangout bersama teman. Mungkin karena mereka tidak kekurangan uang.
Sedikit menoleh kebelakang, aku sudah mulai suka mencari uang sendiri sejak SD. Awalnya menyewakan komik milikku pada beberapa teman. Hasilnya untuk kubelikan komik lagi. Jadilah ketika itu aku memiliki perpustakaan sendiri. Yang sampai sekarang masih ada di rumah orang tuaku di Bandung.
Kadang aku juga menjual mainan atau gambar-gambar yang sudah membuatku bosan. Namanya juga anak-anak. Beruntung, orang tuaku tidak pernah complain. Karena aku tidak membelikan hal yang tidak penting. Kadang malah uangnya sengaja ditabung. Pada saat lebaran kubelikan oleh-oleh untuk kakek dan nenek saat kami mudik. Ada rasa bangga yang tidak ternilai, melihat mereka suka pada benda yang kubeli.
Apa saja kulakukan untuk bisa memiliki uang sendiri. Waktu SMU aku berjualan donat sampai kaos untuk seragaman. Keinginan untuk membuka Warung kopi juga tidak sengaja. Pertama karena memang aku suka kopi. Kemudian merasa bahwa banyak orang muda juga suka. Memang banyak warug kopi yang dibuka. Tapi aku percaya setiap orang akan memiliki selera sendiri.
Warung kopi pertama kurintis bersama empat orang sahabat setahun lalu. Kami mengerjakan semua sendiri. Termasuk membeli kursi dan juga mendesain ruangan. Lokasinya kami cari di dekat kampus. Karena biasanya banyak anak kos juga yang mengejar wifi gratis.
Saat ini aku sedang mengincar mendirikan outlet minuman sehat sebagai bisnis pribadi. Karena orang-orang mulai peduli dengan apa yang mereka makan dan minum. Termasuk jus tanpa gula. Aku sadar, harga jualnya cukup tinggi. Sehingga lebih menyasar para pekerja kantoran yang sudah memiliki gaji tetap. Sebagai tahap awal, rencana aku akan membuat outlet di salah satu warung kopi. Kalau pasar bagus, akan baru cari tempat sendiri.
Dari berbagai bisnis kecil-kecilan, sejak SMU aku mampu membayar kredit mobil sendiri. Meski uang mukanya dibayarkan oleh papa. Sebagai hadiah ulang tahunku ke tujuh belas. Dengan target seperti itu, justru aku semakin tertantang untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi.
Rutinitas kuliah dan berbisnis membuatku sampai saat ini belum pernah menjalin hubungan serius dengan perempuan. Kupikir akan mengganggu sekali jika kesibukanku harus jeda dengan keingin pacar untuk dijemput atau diantar. Karena pacar pertamaku sangat manja. Dan selalu meminta waktu untuk berbincang di malam hari. Sementara aku sudah sangat lelah karena sibuk bekerja seharian.
Jujur aku suka perempuan seperti mama, yang sangat mandiri. Papaku dulu adalah seorang angkatan laut. Yang bertugas disalah satu KRI. Sehingga membuatnya harus berbulan-bulan jauh dari rumah karena tugas. Tapi mama sama sekali tidak pernah merepotkan papa. Saat aku sakit, mama sendiri yang tengah malam menyetir mobil dan membawaku ke rumah sakit. Merawat sekaligus mengurus semua sendirian.
Mama juga tidak cengeng. Padahal aku tahu, sering kali saat Hari Raya Idul Fitri, papa tidak bisa pulang. Tapi yang selalu kudengar saat mereka bertelfon adalah,
"Mas bekerja saja. Yang di rumah tidak usah dipikirkan, aku bisa handle semua."
Satu lagi yang membuatku kagum, mama tidak pernah terlibat hubungan dengan pria manapun. Sejak kecil akulah yang menemani, jika mama ingin pergi ke suatu tempat. Bahkan ke pesta. Dengan bangga mama memperkenalkanku pada siapapun yang ditemui.
Meski tidak bekerja secara formal, mama tidak pernah kekurangan uang. Yang aku tahu, dulu mama sering berjualan sarapan di depan rumah dinas. Kadang juga membuat kue-kue pesanan orang. Selebihnya mama aktif dipersatuan Jalasenastri. Yakni perkumpulan khusus untuk para istri angkatan laut. Mama cukup aktif disana.
Papa juga selalu mengajarkanku untuk menghormati mama. Sepanjang hidup aku tidak pernah melihat langsung mereka bertengkar. Meski papa sangat tegas, tapi mama bisa mengimbangi dengan kelembutannya. Itulah yang kukagumi pada sosok mama, sehingga kelak ingin mendapatkan perempuan seperti dirinya. Karena aku akan banyak di luar rumah.
Selama ini, ada satu orang perempuan yang menurutku sangat mirip dengan mama. Namanya Arini. Tapi sepertinya sudah istri orang, meski tak sekalipun aku pernah melihat suaminya. Beberapa kali ingin bertanya, tapi waktunya belum tepat. Pada awalnya aku pernah hampir menabraknya saat terburu-buru ingin ke tempat les. Saat itu aku baru mau ujian masuk perguruan tinggi.
Dia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Baim. Yang selalu menyambutku dengan girang di depan rumah. Kadang mengajak main mobil-mobilan. Sampai Arini menegurnya. Tapi aku suka menghabiskan waktu dengan Baim. Karena selama ini selalu kesepian sebagai anak tunggal. Dalam hati aku selalu berharap, agar Arini sudah janda. Tidak peduli apa kata orang tentang hubungan kami kelak. Sayangnya aku belum lulus kuliah.
***
Akhir-akhir ini, Rangga semakin sering datang ke rumah. Aku tidak tahu tujuannya selain mengorek cerita dari Baim tentang Edwin. Aneh sekali, kenapa merasa takut pada anak berusia Dua puluh tahun yang baru mulai kuliah? Jelas tidak masuk akal. Lagi pula aku menganggap Edwin itu sebagai adik.
Sampai kemudian pada suatu sore, saat aku sedang membuat beberapa jepit rambut pesanan Kak Tiar. Untuk seragaman sebuah acara pesta. Rangga kembali datang. Kali ini ia langsung mengajak Baim memasang lego. Aku membuatkannya teh, lalu kembali pada pekerjaanku.
Sampai kemudian ponselku berbunyi.
"Baim, tolong ambilkan ponsel bunda di kamar, nak."
Buru-buru putraku berdiri. "Baim selesaikan saja, biar ayah yang ambil." Perintah Rangga.
Kubiarkan saja meski tak suka. Apa yang mau dia tahu? Benar saja, Rangga berjalan kearahku sambil membaca sesuatu.
"Dari Edwin. Dia kirim pesan untuk kamu."
"Apa katanya?"
"Mbak, sore ini saya mau ambil keripik."
"Balas saja, sudah disiapkan." jawabku sambil tetap menekuni pekerjaan. Karena memang seluruh keripik pesanannya sudah kusiapkan. Namun ternyata Rangga tidak berhenti sampai disitu. Ia men-scroll ke atas. Sampai kemudian meminta Mbak Tarni dan putrinya membawa Baim bermain ke luar rumah. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan.
"Dia sering chat kamu?"
"Kadang aja."
"Sampai hampir tengah malam?"
"Kan dia sudah tanya duluan, apakah mengganggu atau tidak. Karena sering pesan kue basah."
"Kalau sudah tengah malam kan bisa dijawab besoknya saja."
"Bisnis tidak boleh begitu. Artinya aku menolak rejeki."
"Apa yang kuberikan belum cukup?"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
010521
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top