8

Rangga akhirnya datang hanya sebulan sekali. Tapi tetap mentransfer sejumlah uang padaku. Juga ATM yang sedianya untuk membiayai Baim selalu terisi. Komunikasi kamipun berhenti begitu saja. Aku bagai janda, meski dengan status yang jelas.

Hari-hariku diisi dengan mengurus Baim. Kadang mengajarinya tentang hal baru. Sering ia terlihat menatap anak tetangga yang bermain bersama ayah mereka. Ia yang sudah mulai pandai bicara pernah juga bertanya, di mana ayahnya. Kujawab, sedang bekerja.

Aku tidak bisa melakukan apa-apa. karena tidak ingin mengganggu rumah tangga Rangga dan Adelia. Sudah cukup dulu aku merusak semua. Biarlah aku menanggung karma. Hanya saja, kadang tidak tega melihat Baim. Tapi kini, setiap kali Baim berulang tahun, Rangga akan datang. dan dialah yang selalu sibuk mengurus segala sesuatunya.

Aku bersyukur, ia tidak tumbuh menjadi anak yang cengeng. Kadang, suami sahabatku mengajaknya bermain. Atau bahkan menginap di rumah mereka. Saat itulah Baim merasakan punya ayah. Karena mereka paham keadaan kami sebenarnya. Apalagi sahabatku kebanyakan juga memiliki anak tunggal. Sehingga kehadiran Baim di ruma mereka bagaikan anak bungsu. Sepulang menginap, Baim akan bercerita bagaimana para omnya mengajak bermain atau bersepeda. Aku bisa melihat kebahagiaan dimata putraku. Tidak ada yang tahu bahwa dalam hati aku menangis.

Biasanya kuucapkan rasa terima kasih pada para sahabatku. Tidak berani menyampaikan langsung pada suami mereka. Segan, posisiku sangat rawan untuk dicurigai dan dicemburui. Bahkan jika suami Rianty ada di rumah, aku tidak pernah berkunjung ke sana. Aku sangat takut jadi bahan omongan orang. Siapa yang akan menjagaku kalau bukan diriku sendiri.

***

Hari terus berganti, tak terasa sudah empat tahun berlalu. Seperti biasa aku naik motor ke sebuah pusat grosir perlengkapan menjahit. Hari ini harus berbelanja cukup banyak. Beberapa saat setelah Baim lahir, Kak Tiar mengagumi sebuah jepit rambut milikku dan bertanya beli di mana. Kujawab, membuat sendiri.

Ia kemudian memesan satu. Diikuti sahabatku yang lain. Awalnya aku tidak menerima uang dari mereka. Karena selama ini selalu membantu kalau aku butuh sesuatu. Aku menganggap sebagai ucapan terimakasih. Tapi mereka bersikukuh untuk membayar. Meski berat hati akhirnya kuterima.

Kak Tiar memiliki sebuah toko tas. Dia biasa berbelanja ke luar negeri. Pelanggannya banyak, ada di seluruh Indonesia. Tak jarang ia ikut mempromosikan asesoris buatanku. Entah itu kalung, bros maupun hiasan rambut. Dan aku harus bersyukur, karena peminatnya cukup banyak. Aku jadi punya uang sampingan sambil membesarkan Baim.

Selain itu diwaktu senggang aku berjualan beberapa jenis kripik yang kubuat sendiri. Kujual secara online. Kadang juga dibeli oleh orang kompleks sini. Sesekali berjualan makanan basah seperti pempek. Biasanya kujual dengan sistim open PO. Lumayanlah untuk menambah jenis kudapan Baim. Anakku sangat suka makan.

Bagiku sekarang, Baim adalah prioritas utama. Dia sudah bertambah besar, dan wajahnya sangat mirip dengan Rangga. Rambut mereka juga sama-sama ikal dan hitam tebal. Hanya matanya yang mirip denganku. Ia juga sudah semakin terbiasa tanpa Rangga. Meski kadang saat bertemu, Rangga membeawanya ke wahana permainan anak-anak. Tapi mereka selalu berdua, aku tidak pernah ikut.

Akhirnya motorku berhenti di depan sebuah toko langganan. Kubeli beberapa rol pita dan manik-manik import. Juga bahan lain yang menurutku penting untuk stok di rumah. Selesai semua, aku segera pulang. Cuaca sangat panas, membuatku ingin segera tiba di rumah. Namun tiba-tiba sebuah mobil melaju dan mendahului motorku dengan jarak sangat dekat. Aku panik, seketika motorku oleng hingga akhirnya terjatuh. Beruntung sebelah kaki masih bisa kujejakkan di atas trotoar. Pengemudi mobil itu segera berhenti dan turun. Seorang anak muda yang sepertinya masih anak sekolah. Ia segera membantuku untuk bangkit.

"Maaf, mbak. Saya tadi nggak sengaja. Apa ada yang luka? Atau sebaiknya kita ke rumah sakit saja?"

Kutatap wajahnya sambil meringis. Ada ketakutan di sana.

"Hanya tergores sepertinya, dek. Nggak apa-apa kok. Lagian tadi nggak kena sama sekali. Saya saja yang terlanjur panik."

"Tapi mending kita ke rumah sakit saja mbak. Takutnya nanti kenapa-kenapa."

Aku segera mencoba bangkit. Beberapa orang mulai mendekati kami. Aku takut kalau-kalau anak muda ini nanti menjadi sasaran amukan massa yang tidak paham masalah sebenarnya.

"Benar, saya nggak apa-apa kok. Ini mau langsung pulang."

"Begini saja mbak, nomor ponsel mbak berapa? Nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi saya."

Kusebutkan nomorku dan akhirnya dia menelfon kembali.

"Nama saya Edwin mbak. Maaf tadi saya terburu-buru karena mau mengejar les."

"T idak apa-apa. Terima kasih dek." Ucapku. Aku segera pergi. Sebenarnya aku berbohong. Lutut terasa sakit akibat menahan beban motor sekaligus tubuhku. Tapi karena memang kendaraan anak muda itu tidak menyentuh sedikitpun. Aku tidak ingin menimpakan rasa sakit ini padanya.

Saat tiba di rumah aku langsung masuk dan mengoleskan salep. Ternyata kakiku memar. Malamnya, pemuda itu menghubungi. Bertanya tentang keadaanku. Kujawab Aku baik-baik saja.

***

Pernikahanku dengan Adelia sudah berjalan enam tahun. Kami memiliki seorang anak perempuan. Sayang, ternyata Miranda menderita Autis. Ini yang membuat mami sedikit resah. Karena aku tak kunjung memiliki anak laki-laki darinya. Sudah beberapa kali tampaknya mami bicara dengan Adel agar kami program. Namun istriku belum merespon. Sepertinya hubungan mereka tak kunjung membaik. Tapi aku sadar, mengurus Amanda saja sudah cukup sulit.

Sebenarnya kami tidak menggunakan kontrasepsi. Entahlah, mungkin ini kutukan untukku yang menyia-nyiakan Baim. Meski dalam hati aku masih terus mengingatnya. Hanya tidak ingin Adel marah-marah tidak jelas. Ia selalu cemburu jika aku bertemu dengan putraku.

Aku sendiri memilih tidak menanggapi secara berlebihan. Karena setengah dari diriku merasa bersalah. Sampai saat ini Arini tidak tahu kalau aku sudah menceraikannya. Ini menjadi salah satu alasan juga, kenapa aku jarang ke sana. Takut kalau aku khilaf. Atau jika ia bertanya tentang status pernikahan kami.

Ada rasa marah yang besar pada diri sendiri saat menatap mereka berdua. Arini yang sederhana dan setia. Juga Baim yang selalu merindukanku. Aku tidak ingin kehilangan mereka. Apalagi sampai menyakiti Arini. Rasa bersalah yang kutanggung terasa semakin besar saat harus pulang dari rumahnya. Baim akan melambaikan tangan sambil tersenyum sedih. Dibelakangnya Arini mendampingi. Sampai kapan aku sanggup melihat itu?

Mami sendiri tidak pernah menganggap kehadiran Arini, meski mulai bisa menerima Baim. Berbeda dengan Adel. Nama putraku tidak boleh diucapkan di rumah. Sementara Sepanjang hari ini, entah kenapa aku begitu merindukan putra sulungku. Rambut ikalnya dan juga tubuh yang gemuk.

Beberapa kali kami pergi ke sebuah area permainan. Ia senang sekali kuajak naik mobil-mobilan. Atau bermain basket. Ia akan dengan setia menunggu stiker-stiker hadiah keluar dari mesin game. Berteriak girang saat aku mendapatkan banyak angka. Kami akan memakan es krim bersama.

Adrenalinku naik saat menggendongnya di bahu. Ia akan berteriak seolah tengah naik pesawat. Sesuatu yang tidak pernah dinaikinya. Aku tahu Arini tidak pernah membawanya berlibur jauh. Sementara aku dan Adel selalu membawa Miranda putriku berlibur di luar negeri setiap akhir tahun.

Baim sudah TK B sekarang. Ia semakin pintar. Arini mengajarinya dengan tekun dan telaten. Diam-diam aku membuatkannya asuransi pendidikan dalam bentuk dollar. Setidaknya, agar nanti bisa kuliah tanpa terbentur biaya. Aku tidak tahu sejauh mana kelak bisa membantunya. Meski ada rasa sakit setiap kali menyadari bahwa ia tidak menyandang nama besar keluargaku.

Arini pun tidak pernah menuntut apa-apa. sepertinya ia sudah pasrah dengan kehidupannya. Kini mantan istriku itu sudah mulai berbisnis. Aku tahu bahwa masakannya enak. Kadang aku juga memesan. Dengan menggunakan nama samaran tentunya. Entah bagaimana kalau kelak ia menemukan pria selain aku. Sanggupkah aku melepasnya?

***

Kuletakkan ponsel sambil tersenyum. Kini aku dan Edwin berteman. Padaku ia mengatakan tengah belajar berbisnis bersama beberapa temannya. Yakni membuka gerai kopi kekinian.

Aku suka melihat semangatnya, juga cerita-cerita yang ada dibalik bisnisnya. Tentang keberhasilan, kadang juga kegagalan. Bagaimana ia bangkit dari keterpurukan. Setidaknya sekali dalam seminggu ia akan menghubungi. Sekedar bertanya tentang kabar. Kujawab aku baik-baik saja. Saat tahu bahwa aku sering membuat keripik dan rempeyek, ia menawarkan untuk menitipkan di cafenya. Dengan syarat harus memperbaiki kemasan.

Sebuah masukan yang cukup baik untukku. Ia juga mengajari bagaimana membuat logo stiker. Katanya agar keripik buatanku naik kelas. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada dalam pikiran. Kalau dulu aku menjual hanya iseng, kini meningkat menjadi produksi kecil-kecilan. Aku juga merekrut putri Mbak Tarni untuk bekerja membantu produksi.

Kami sudah memiliki jadwal tetap membuat kripik dan asesoris. Aku cukup senang karena usahaku menunjukkan peningkatan. Dengan demikian, kiriman Rangga hanya mengendap di dalam tabungan. Kecuali yang khusus milik Baim, aku selalu mengambil untuk kebutuhan sekolah.

Suara mobil di halaman menghentikan lamunanku. Baim yang tengah berlarian di sekeliling rumah segera berteriak girang.

"Ayah datang!" teriak putraku.

Kubiarkan mereka berdua berpelukan lalu bermain bola di jalanan depan rumah. Sementara aku sibuk menyiapkan camilan. Kuserahkan segelas milky mango pada Rangga.

"Kamu buat sendiri?" tanyanya setelah mencicip.

"Bukan, aku beli di Mbak Erna."

"Rasanya enak."

Aku hanya tersenyum dan kembali ke pekerjaanku semula. Sementara itu Mbak Tarni datang membawa beberapa puluh kripik yang sudah ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah plastik khusus. Aku segera memanaskan mesin sealer.

"Kamu buat kripik juga?"

"Iya, sekalian titip di beberapa café."

"Kamu mengantar sendiri?"

"Ya, kadang juga yang punya café datang buat menjemput."

"Yang punya café teman kamu?"

"Kebetulan iya."

"Namanya Om Edwin. Sering kemari." jawab Baim.

Wajah Rangga seketika berubah. Ia menatapku tajam  

***

Happy reading

Maaf untuk typo

28421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top