7
Sepanjang sisa hari, aku merasa gelisah. Benarkah Arini sudah melahirkan? Bagaimana wajah putra? Kenapa ia tidak mengabari sama sekali? Sampai akhirnya pukul sepuluh malam, kuputuskan meluncur menuju kediaman Arini. Tarni yang membuka pintu. Terdengar suara Arini bersenandung di dalam kamar.
Sejenak aku terdiam namun akhirnya melangkahkan kaki pelan. Kutatap ia di pintu kamar. Mata kami bertemu, matanya langsung berkaca. Seketika aku menyadari kesalahan terbesar yang sudah kulakukan. Dan ini takkan termaafkan seumur hidup. Tapi Arini seolah tidak mempermasalahkan apapun. Saat aku melangkah masuk, barulah ia berkata.
"Mandi dulu, Mas."
Aku menurut meski ada rasa penasaran saat melihat bayi yang tengah berada dalam gendongannya. Arini bangkit kemudian menyerahkan sebuah handuk. Selesai mandi kudekati keduanya. Kutatap wajah bayi yang benar-benar terlihat tampan itu. Kukecup kening halusnya pelan sekali. Takut mengganggu tidurnya yang lelap. Ada rasa haru dalam hati mengingat apa yang sudah kulakukan. Kini aku benar-benar sudah menjadi seorang ayah. Namun, esok atau lusa aku bukan lagi suami ibunya. Sejahat itu aku.
"Siapa namanya?" tanyaku ditengah haru dan rasa bersalah yang memenuhi rongga hati.
"Ibrahim Aditya. Panggilannya Baim."
"Kamu tidak menaruh nama keluargaku dibelakang namanya?"
"Mas tidak pernah membicarakan itu."
Aku mengangguk, penyesalan semakin besar. Tidak tahu dimana tempatku berdiri sekarang.
"Boleh kugendong?"
Ia mengangguk. Kemudian menyerahkan Ibrahim ke dalam tanganku. Kucium kembali keningnya yang wangi. Tak terasa air mataku mengalir deras. Aku sudah sah memiliki keturunan. Bagaimana kelak mengatakan betapa bejat ayahnya di masa lalu?
"Dia memanggilmu apa?"
"Bunda."
"Kalau begitu ia akan memanggilku dengan sebutan ayah. Apa dia sehat?"
"Ya."
"Minum susunya kuat?"
"Ya."
Aku kehabisan kata-kata. Terlihat mata Arini kembali berkaca.
"Aku minta maaf, atas seluruh kesalahan yang sudah kulakukan. Terima kasih sudah melahirkannya."
"Aku sudah memaafkan. Boleh bertanya sesuatu?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana dengan pernikahan kita. Siapa yang akan menggugat cerai?"
Seketika bahuku luruh. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula ia masih dalam masa nifas.
"Nanti saja kita bicarakan." jawabku akhirnya.
Lama aku menggendong Ibrahim. Wajah kami sangat mirip. Saat ia terbangun, kutatap matanya yang bulat. Persis milik Arini.
"Mas sudah makan?"
"Sudah, tadi. Aku menginap."
Arini hanya mengangguk. Kuserahkan kembali Baim padanya untuk disusui. Terlihat bayiku dengan lahap menyusu. Sayang sekali, nak. Ayahmu seorang bastard yang tidak akan bisa mengajarkan apapun. Kelak belajarlah pada ibumu, bagaimana menjadi laki-laki sejati. Karena ayah takkan sanggup menjadi teladan untuk kamu.
Malam ini akan menjadi terakhir kali aku menginap di sini. Karena setelahnya Arini tidak akan menjadi istriku lagi. Aku tak bisa tidur, kutatap Baim sepanjang malam. Ingin kugenggam tangannya, sayang tubuhnya terbungkus. Sebelum pulang keesokan harinya, kuberikan sebuah kartu ATM.
"Belilah seluruh kebutuhan Baim dengan uang yang ada dalam ATM ini. Aku akan jarang datang. Tapi kirimlah pesan kalau terjadi sesuatu dengan dia. aku minta maaf."
Arini hanya mengangguk, ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya matanya yang terus berkaca dan sesekali menghapus air mata. Rasa sesak semakin membuncah saat aku meninggalkan rumah itu. Sesuatu yang akan selalu kuingat seumur hidup. Aku tidak layak untuk mereka.
***
Kulepas kepergian Rangga pagi ini. Entah kenapa aku merasa ia menyembunyikan sesuatu. Matanya menyiratkan kesedihan dan kegelisahan mendalam. Ia tidak berani menatap mataku seperti biasa. Kujemur Baim sambil berjalan di depan rumah. Beberapa tetangga menyapa. Mereka tampaknya sudah paham mengenai kondisi rumah tanggaku. Mungkin dari cerita Rianty atau teman yang lain. Sehingga tak banyak bertanya. Pun ketika Rangga datang tengah malam dan pulang saat masih pagi sekali.
Selesai berjemur, kumandikan Baim. Kami bermain cukup lama sampai ia mengantuk dan minta kususui. Ponselku berbunyi, pesan dari salah seorang sepupu.
Rin, apa kamu tahu, Adelia akan menikah dengan suamimu hari minggu nanti? Apa sudah diberi ijin?
Beruntung Baim sudah tidur. Aku hanya bisa menangis. Kali ini jauh lebih keras. Mungkin ini arti tatapan Rangga. Ia sama sekali tidak memberitahukanku. Tapi apa memang ini penting bagiku? Sama sekali tidak. Sejak dulu juga aku tahu kalau ini akan terjadi.
Kutatap wajah bayi mungil yang tak berdosa. Sepahit inikah hidup Baim, nak? Bunda janji, akan menjaga dan membesarkan Baim sendirian. Jangan berharap tentang ayah. Karena kita hanya ditakdirkan berdua.
***
Pernikahanku dan Adel berlangsung tadi pagi. Hanya dihadiri keluarga dekat. Wajah-wajah bahagia terlihat pada kedua keluarga kami. Hanya aku yang menyembunyikan kegelisahan dalam hati. Rasa bersalah itu semakin menghantui.
Aku memang bajingan. Membuat surat kematian Arini agar bisa menikah tanpa harus menunggu proses lama. Sebesar itu dosaku. Berat sekali menjalani hari ini. Tapi semua harus dilewati. Aku duduk di pelaminan indah. Dikelilingi sahabat dan orang yang kukenal dengan baik. Juga istri yang benar-benar kucintai. Tapi kenapa aku tidak bahagia?
Malamnya kami menginap di rumah mami. Dengan manja Adel menggandeng tanganku ke kamar. Perutnya masih rata. Sehingga terlihat cantik dengan kebaya putih.
"Aku bahagia, akhirnya kita bisa bersama." bisiknya.
Aku hanya mengangguk namun langsung menuju kamar mandi. Aku butuh sendiri untuk mencerna apa yang sudah kulakukan.
***
Pagi itu, Aku dan Adel sarapan bersama mami. Kemudian istriku memohon ijin untuk beristirahat dengan alasan capek. Mami kemudian mengajakku ke kamarnya.
"Apa Arini sudah melahirkan?"
"Sudah, dua minggu yang lalu."
"Anaknya?"
"Laki-laki."
Mata mami terbelalak seketika. "Apa cucuku masih bersama perempuan itu?"
"Ya, dan akan selalu seperti itu."
"Kamu jangan bodoh, mami sudah bilang, ambil dia!"
"Tapi Adel tidak ingin mengurus anakku."
"Mami yang akan urus."
Kutatap mata mami tajam. " Dia akan tetap bersama ibunya. Itu sudah keputusanku. Arini pasti tahu cara membesarkannya."
"Jangan bodoh, pabrik kayu lapis kakekmu sudah menunggunya. Kamu tahu kan kalau hanya keturunan laki-laki yang bisa duduk di sana? Kamu juga tahu berapa ratus hektar kebun yang siap panen setiap saat akan menjadi bagian kalian? Jangan bodoh kamu."
"Aku tidak peduli dengan itu. Aku ingin hidup tenang dengan hasil keringatku sendiri. Mami tahu kan bagaimana caraku untuk bisa menikahi Adel secepat ini? Jadi jangan buat masalah baru. Kalau sampai nanti Arini tahu dan membongkar semuanya ke media. Kita semua akan malu."
Mami diam seketika.
***
Kubuka kulkas di dapur sepulang dari kantor. Adel segera menghampiri. Kehamilannya kini berusia enam bulan. Hasil USG kemarin menunjukkan kalau bayi kami perempuan. Mami langsung menunjukkan wajah kecewa. Meski bagiku itu sama saja.
"Kok pulangnya lama?"
"Ada beberapa klien yang complain di kantor. Jadi aku harus merevisi banyak hal untuk mereka."
"Kamu sih, kenapa nggak dengerin mami aja untuk pindah ke kayu lapis?"
"Aku lebih suka jauh dari nama besar keluarga."
"Kamu berhak duduk di sana."
"Tapi aku tak suka."
"Kalau kamu tidak mau, aku bisa menggantikan kamu."
"Tidak ada satupun diantara kita yang akan duduk di sana. Terlebih kamu sedang hamil."
"Aku heran lihat kamu, kenapa sih gengsi dipelihara?"
"Sudahlah, kita pernah membahas ini, dan kamu tahu apa jawabanku."
Adel menghembuskan nafas kesal.
"Sebaiknya kamu fokus pada kehamilanmu."
"Bagaimana kabar Arini?"
"Itu bukan urusan kamu, Del."
"Aku bertanya, dan aku berhak untuk itu."
"Setahuku dia baik-baik saja."
"Apa kamu sudah memberitahu dia tentang perceraian kalian?"
"Jangan membangkitkan macan tidur. Kamu tahu resikonya."
"Apa tidak bisa kamu ubah gitu? Anggap yang dulu perceraian karena kematian. Apa nggak bisa minta seseorang untuk merubah? Kamu sih aneh, pake acara menyetujui ide gila Ramon. Padahal kan bisa bercerai tanpa dia tahu? Wakilkan melalui pengacara. Selesai kan? Orang nggak pernah datang ke sidang perceraian juga bisa bercerai."
"Sudahlah, aku capek mendengar itu."
"Aku lebih capek lagi hidup begini. Tetap ada rasa takut kalau sampai dia tahu. Kamu sih nggak mikir panjang."
"Bukankah kamu dulu yang tidak sabar ingin dinikahi? Lalu sekarang kamu menyalahkan aku?"
"Susah ngomong sama kamu. Dengan jawaban seperti ini aku curiga. Kalau kamu sebenarnya juga suka sama Arini."
"Sudah gila kamu!" jawabku sambil berlalu.
Diluar dugaan, Adel menarik tanganku dan memaksa untuk berbalik menghadapnya.
"Aku sudah berusaha sabar menjadi istri kamu. Jangan sampai kesabaranku habis. Aku bisa menghancurkan semua."
Kutatap wajah cantik Adel yang tengah marah. Yang kukhawatirkan adalah bayi kami.
"Jaga emosi kamu. Ingat kamu sedang hamil. Kalau aku mencintai dia, maka kita takkan menikah." Kuucapkan itu ditengah lelahku. Adel tidak tahu kalau sebenarnya aku lebih ingin lagi mengakhiri semuanya. Hanya karena tidak ingin membuat malu keluarga, maka aku masih bertahan.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
27421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top