6

Saya mau merevisi MATA ELANG... Siap-siap yaaaa....

***

Kepergian Papi Allu membawa sebuah perubahan besar atas hubunganku dengan Adel. Kini kami tak perlu menyembunyikan apapun lagi dari dunia luar. Keinginan Tante Gita agar kami segera menikah semakin kuat bahkan ia sudah bicara dengan mami. Tapi aku masih menolak. Menunggu sampai Arini melahirkan.

Hingga akhirnya pagi ini sebuah berita, kembali menghantamku. Adelia hamil! Artinya aku harus kembali bertanggung jawab. Sebelum semua jauh lebih berantakan. Mami dan calon mertuaku segera memulai persiapan. Ini membuatku bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Bagaimana caranya mengatakan pada Arini? Sebentar lagi dia akan melahirkan. Aku tidak mau dia kepikiran.

Akhirnya sore itu aku mengarahkan mobil menuju kediamannya. Seperti biasa, rumah terlihat sepi. Kuketuk pintu, dan dia membuka dengan mata sembab.

"Kamu habis menangis? Kenapa?"

Ia mengangguk. "Ingat paman. Aku tidak sempat bicara dengannya di saat terakhir."

"Kamu kan bisa ke makamnya?"

"Sudah."

"Kapan?"

"Waktu hari pemakaman."

"Aku tidak melihat kamu di situ?"

"Aku menunggu di mobil Kak Tiar. Dia dan Mbak Damai mengantarku ke sana."

"Ya, aku harus mendampingi Adel dan Mami Gita kemarin. Jadi tidak sempat menghubungi kamu."

"Nggak apa-apa." jawabnya. Lama kami saling diam, aku tidak tahu harus berkata apa. melihat wajah muramnya, kuurungkan untuk membicarakan apa yang ada dalam pikiranku. Nanti sajalah. Tak lama berada di sana. Aku cukup tenang, ia tidak lagi sendiri. Ada seorang pembantu yang menemaninya. Kutinggalkan setelah memberikan sejumlah uang untuk membeli keperluan bayi. Tidak lupa meminta agar ia lebih berhati-hati.

Kepalaku terasa sakit, terbayang jika saat ini aku membicarakan tentang perceraian. Maka ia akan lebih terluka lagi. Kuputuskan menunda semua. Tidak tega melihatnya bersedih. Entahlah ada satu sisi dalam hatiku yang berkata. Bahwa dia membutuhkan perlindungan. Dan saat ini hanya aku yang bisa memberikan itu.

***

Tekanan dari keluargaku maupun Adelia untuk mulai mengurus perceraian dengan Arini semakin gencar terdengar. Semua takut kalau kehamilan Adelia semakin besar, artinya akan banyak yang tahu. Padahal kalau kupikir, kelak juga orang akan menghitung waktu. Sampai akhirnya aku menyerah. Kuhubungi Ramon, salah seorang teman lama.

"Lo, bisa bantu urus perceraian gue?"

"Sejak kapan lo nikah?" tanya Ramon heran.

Aku menceritakan seluruh permasalahanku tanpa mengurangi apapun. Agar ia lebih paham untuk mencari jalan keluar terbaik.

"Lo yakin? Karena ada banyak kasus, setelah bercerai pihak perempuan sudah move on tapi laki-lakinya malah balik mengejar. Dari wajah lo kelihatan banget kalau nggak kepingin melepas salah satunya."

"Keluarga gue dan Adel sudah menuntut terus. Dan nggak ada jalan lain."

"Sebenarnya itu nggak terlalu sulit, yang penting lo tanggung jawab secara materi. Atau begini, coba bicarakan sama dia, minta ijin untuk menikah lagi. Kasihan anak lo nanti."

"Adel nggak mau diduakan, Mon. Dan ini benar-benar salah gue. Sejak awal."

"Pikirkan anak lo."

"Gue akan tetap tanggung jawab. Tapi gue mohon satu hal. Bisa nggak perempuan itu nggak tahu kalau sudah diceraikan."

"Lo udah gila? Apa memang mau dua-duanya?"

"Gue nggak mau memperpanjang masalah. Buat sesuatu yang paling masuk akal dan tidak berbelit-belit. Jadi nggak butuh waktu lama. Adelia sedang hamil."

Ramon menatapku sambil menggeleng kepala.

"Bener-bener ya, lo. Di sini mau, di sana juga."

"Istri gue akan melahirkan. Dan nggak mungkin langsung gue cerai. Sementara Adel nggak mungkin nggak gue nikahi. Bisa panjang urusannya."

"Bisa sih, tapi nanti urusan di belakang bisa lebih panjang lagi. Setahu gue ada juga yang melakukan ini. Apalagi kalau istri lo yang sekarang menuntut. Bisa masuk penjara."

"Gue yang akan menanggung semua akibatnya. Gimana caranya?"

"Buat aja istri lo yang sekarang meninggal. Dengan cara begitu tidak ada sidang atau mediasi segala macam!"

Seketika wajahku pias!

"Lo nyuruh gue bunuh dia?"

"Bukan, gue nggak segila itu. Buat surat kematian dia. dengan surat itu lo akan aman. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu dikemudian hari. Elo yang akhirnya mati."

***

Kutatap wajah bahagia Adelia dan Mami Gita. Meski sebelah jiwaku tidak di sini. Ada rasa sedih dan gelisah mengingat betapa beraninya aku mengambil keputusan sepihak. Bagaimana kalau kelak Arini tahu? Jujur aku tidak ingin semakin menyakiti. Tapi bagaimana jika ini satu-satunya jalan keluar? Semoga saja segala surat-surat selesai setelah kelahiran anakku.

Kepada mami dan seluruh keluarga, kukatakan tidak ingin membuat pesta besar. Mengingat Papi Allu yang baru meninggal. Kali ini mereka setuju. Seluruh persiapan sudah hampir selesai. Tinggal menunggu hari pernikahan.

Selama itu pula aku tidak berani mengunjungi Arini. Ada rasa bersalah yang sangat besar terhadapnya. Satu lagi, aku tidak ingin proses melahirkan terganggu dan terjadi sesuatu yang buruk padanya.

Sementara di sini, Adel, dan Mami Gita sibuk membenahi rumah baru kami. Aku sendiri tidak ikut-ikutan. Menanggung beban karena mengatakan barhwa Arini sudah meninggal saja membuatku tak bisa tidur.

***

Tadi pagi aku melahirkan putra pertamaku. Diantar oleh Kak Damai dan Kak Tiar. Kebetulan Rianty juga baru saja melahirkan, jadi tidak bisa mengantarku ke bidan. Kupeluk bayi laki-laki yang tertidur lelap. Wajahnya terlihat putih dan sedikit memerah. Dibungkus kain berwarna biru. Aku suka hidung dan pipinya yang gembil.

Melahirkan secara normal membuatku sedikit lebih mudah bergerak, meski terlihat masih kesusahan. Mbak Tarni yang menemani. Ia yang sudah pernah punya anak memberi nasehat agar aku tidak banyak bergerak. Agar jahitan tidak lepas. Aku hanya menurut.

Seluruh sahabatku memberi ucapan selamat. Mereka juga membawa berbagai hadiah yang sebelumnya tidak kupikirkan. Seperti thermoter bayi. Sampai sore ini aku belum menghubungi Rangga. Teringat bahwa tidak diijinkan untuk menghubungi terlebih dahulu. Ada rasa sedih dalam hati, melihat bayi tampanku belum bertemu ayahnya. Tapi semua kutahankan. Ini adalah salahku.

Sampai hari ketiga saat diijinkan pulang, Rangga tak juga datang. Dengan sedih aku kembali ke rumah. Kali ini Mbak Erna yang menemani. Rasanya ingin menangis. Namun Kak Damai kembali menguatkanku.

"Kamu nggak boleh mengikutkan suasana hati. Ingat sekarang ada bayi yang sepenuhnya bergantung padamu. Dia tidak bersalah, lihat. Ganteng banget, kan? Kamu harus bertahan dan kuat demi dia. lagi pula kamu harus rileks agar Asimu keluar lancar."

Aku hanya mengangguk. Tapi rasa sesak selama tiga hari ini ternyata tidak bisa kutahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya saat seluruh teman-temanku pulang. Mbak Tarni hanya diam di sudut kamar. Sepertinya ia paham akan perasaanku. Beruntung bayiku tidak rewel. Ia lebih banyak tidur.

Keesokan harinya beberapa tetangga datang berkunjung. Aku menerima dengan wajah pura-pura bahagia. Meski si hatiku benar-benar kacau. Beruntung tak ada yang bertanya tentang Rangga. Meski aku tahu mereka semua sangat penasaran.

Akhirnya kuputuskan memberi nama putra sulungku. Ibrahim Aditya. Aku suka nama itu. Semoga kelak ia menjadi laki-laki yang baik. Keesokan harinya kuminta bantuan Kak Damai untuk mengurus akte kelahiran Baim. Itu jauh lebih penting dari pada masalahku. Baim harus mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik padanya.

Hari ketujuh, aku sudah jauh lebih sehat. Seperti kebiasaan di kompleks ini, kukirimkan makanan kepada tetangga. Kupesan secara online. Kusematkan sebuah kartu berwarna biru atas nama Baim, nama panggilan dari putraku. Aku suka dengan motifnya. Kusimpan satu untuk menjadi kenang-kenangan bagi putraku di masa depan.

Sore harinya ponselku berdenting. Kiriman uang dari Rangga. Tidak kubalas sama sekali. Rasanya aku harus menyiapkan diri untuk hal yang lebih besar dan menyakitkan. Entah dari mana perasaan itu muncul.

***

Pernikahanku dengan Adel akhirnya tinggal seminggu lagi. Ada sedikit kelegaan tapi sebenarnya lebih banyak sesaknya. Rasa takut bila kelak ini semua terbongkar. Seperti biasa kukirimkan uang bulanan untuk Arini. Tapi memang sama sekali tidak mengabari apapun. Aku harus mulai menajuh darinya.

Sore ini aku baru saja selesai bertemu dengan seorang klien. Sekaligus ada janji bertemu dengan Adelia. Saat melihat Tiar salah seorang tetangga Arini. Kami pernah bertemu saat aku berkunjung. Ia tidak menyapaku. Tapi dari tatapannya, ia sedang melecehkanku.

Niat menghindarinya, tak bisa di lakukan. Mobil kami parkir bersebelahan. Entah sengaja atau tidak, dengan lantang ia berkata pada anaknya.

"Tolong kado untuk anaknya Tante Arini nanti di taruh di tengah ya, nak."

Langkah Adel berhenti seketika. ia menatap Tiar dengan tajam. Namun perempuan itu tidak peduli. Segera memasuki mobil.

"Sepertinya dia sengaja menyebut nama itu di dekatku."

"Nama Arini kan tidak satu orang. Lagian dia kan tidak kenal kita?"

"Apa Arini sudah melahirkan?"

"Aku kurang tahu."

"Kamu selalu begitu kalau kutanya. Jelas sekali pembohong."

"Jadi aku harus bagaimana? Kalau kamu nggak percaya kan susah."

"Aku nggak mau kamu masih berhubungan dengan dia dan anak itu. Ingat aku sedang hamil keturunan SastraWinata."

Aku memilih diam. Tapi jujur, setengah hatiku kembali gelisah. Apa Arini benar-benar sudah melahirkan? Apakah ia sudah mengurus akte kelahiran anak itu? 

***

Happy reading

Maaf untyk typo

25421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top