5

Panggilan dari Adelia mengganggu tidurku di tengah malam.

"Ada apa Del?"

"Aku baru landing di Jakarta. Pesawat delayed terus. Kamu di mana?"

"Apartemen." jawabanku jelas bohong.

"Kangen banget sama kamu, aku langsung ke sana ya? ini masih nunggu bagasi."

Panik mendengar permintaannya. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan buru meraih kunci mobil. Pada Arini aku pamit pulang. Pada Adelia aku mengatakan akan menunggu. Beruntung ini tengah malam. Jarak apartemenku ke bandara cukup jauh. Apa dia tidak bersama keluarganya?

Kukebut mobil dengan kecepatan 120/jam. Aku benar-benar ketakutan. Jangan sampai Adel tiba duluan. Beruntung satu jam lebih sedikit aku tiba di apartemen. Segera kunyalakan AC lalu mandi dan mengganti pakaian. Setengah jam kemudian Adel tiba. Aku segera memeluknya erat.

"Sorry ganggu tengah malam. Kebetulan papi dan mami langsung ke Jogja. Jadi kita bisa berduaan."

Aku mengangguk. Adel segera mencium bibirku dengan rakus. Aku hanya bisa mencoba mengimbangi. Karena sebenarnya tenagaku sudah terkuras saat bersama Arini dua malam ini.

***

Kutatap hujan deras pagi ini dari balik kaca. Meresapi kesendirian yang kembali datang. Salahkan aku yang pada awalnya sedikit berharap? Saat Rangga tiba-tiba datang menemui. Apakah perempuan lain juga akan memiliki perasaan yang sama sepertiku? Namun semua hanya semu, karena saat Adelia menelfon, suamiku langsung pergi.

Kuhembuskan nafas pelan. Sebaiknya memang tidak memupuk harapan. Rangga milik Adelia, dan aku hanya penumpang gelap diantara hubungan mereka. Kembali kuelus perut yang sudah mulai membuncit. Buat ibu bertahan ya, nak? Meski kita hanya berdua. Bunda akan berusaha selalu ada untuk kamu.

Kembali kulangkahkan kaki menuju dapur. Menyiapkan sarapan. Tak lupa meminum vitamin. Hari ini tidak akan kemana-mana. Kutatap sekeliling rumah yang sudah terisi oleh beberapa barang baru. Terasa benar-benar sebuah tempat tinggal. Tapi sampai kapan?

Entahlah, Rangga tidak berkata apa-apa tentang rumah ini. Yang artinya aku harus menyadarkan diri. Untuk bersiap-siap pergi. Meski tidak tahu kapan.

***

Kutatap Adelia yang baru selesai mandi. Ia tengah berdandan untuk siap-siap ke kantor. Di luar sana hujan sangat deras. Sekilas terpikir tentang Arini. Aku langsung pamit tadi malam tanpa mengatakan apa-apa. karena memang panik. Ada sedikit rasa bersalah padanya. Tapi akhirnya kugelengkan kepala.

"Kapan kira-kira Arini melahirkan?" tanya Adel

"Aku tidak tahu, kenapa?"

"Aku mau, kamu langsung menceraikannya begitu anaknya lahir."

"Kalau menurut hukum, harus menunggu selesai masa nifasnya."

"Empat puluh hari doang, kan? Nggak masalah menunggu lagi. Tapi kamu laki-laki. Begitu bercerai, besoknya bisa langsung menikah lagi. Info ini kudapat dari seorang teman yang pengacara. Kita tidak mungkin begini terus."

"Akan kuusahakan."

"Dan ingat satu hal, aku tidak ingin kamu berhubungan dengan anak itu lagi. Sudah cukup aku menoleransi kesalahan kamu dulu. Sudah bicara dengan dia, siapa yang merawat anak itu nanti? Dia, kan?"

"Aku belum belum tahu. Tapi sepertinya hak asuh akan jatuh kepadanya."

"Semoga setelah ini dia benar-benar pergi dari kehidupan kita."

Aku memilih diam. Paham bagaimana emosinya Adel bila mendengar nama Arini.

***

Kumasuki rumah mami yang besar setelah beberapa hari tidak pulang.

"Dari mana saja kamu?" tanya mami dengan pakaian yang sudah rapi.

"Nginap di apartemen."

"Jangan lupa, sore nanti ada pertemuan keluarga besar. Ajak Adel."

"Sudah kusampaikan."

"Oh ya, sudah tahu jenis kelamin bayinya?"

"Belum, kenapa?"

"Kalau boleh, langsung kamu ambil saja hak asuhnya. Perempuan seperti itu hanya akan menjadi benalu. Jangan sampai nanti malah menjadikan anak sebagai senjata. Mami banyak kenal perempuan seperti itu. Kamu harus tegas sejak sekarang."

"Nanti akan kubicarakan."

"Tawarkan saja sejumlah uang dan rumah yang ditempatinya sebagai imbalan. Dia tidak punya apa-apa kan? Setelah itu legalkan status anak itu."

"Status anakku tetap legal, mi. pernikahan kami sah."

Mami memantapku tak suka. "Maksud mami, untuk pernikahanmu dengan Adel kelak. Ingat, kamu hanya dua bersaudara. Keturunan kita tidak ada yang memiliki banyak anak. Jadi kalau punya anak dua atau lebih tidak akan jadi masalah. Itu salah satu pertimbangan mami saat mengijinkan kamu menikah."

Aku mengangguk, meski tidak yakin. Kemudian beranjak menuju lift. Aku sangat lelah, karena itu akan ke kantor siang hari saja. Kalimat mami sedikit banyak mengganggu pikiranku. Kembali terbayang wajah lembut Arini dan sikapnya yang keibuan. Apakah aku akan tega?

***

Aku tengah merajut kaus kaki bayi saat Rangga menelfon.

"Bagaimana kabar kandungan kamu?"

"Baik."

"Sore nanti kita ke dokter. Jangan ke Bidan terus. Sekalian USG. Aku akan mengantar kamu. Siap-siap jam lima sore."

Aku hanya mengiyakan. Setelah sekian lama, akhirnya ia bersedia mengantar ke dokter. Kandunganku sudah semakin besar. Memasuki bulan ke enam. Kuelus perut yang kini benar-benar membuncit. Sering kurasakan tendangan halusnya. Kadang saat menikmati gerakannya aku berpikir, seperti apa wajahnya kelak?

Sorenya, Rangga datang masih mengenakan pakaian kantor. Ia terlihat tampan, dan aku baru menyadari itu. Tapi segera menahan diri untuk tidak berkata apa-apa. Kami kemudian berangkat. Ternyata tempatnya sedikit ke kota.

Kami memasuki ruang periksa yang terlihat mewah. Ada banyak gambar yang menunjukkan kebahagiaan ibu hamil juga perkembangan janin. Ada sisi hatiku yang terasa teriris. Kapan terakhir kali aku bisa tersenyum lepas seperti perempuan dalam gambar? Namaku kemudian dipanggil untuk sekedar pemeriksaan tekanan darah dan menimbang berat badan.

Setelahnya barulah kami dipanggil masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Sampai akhirnya aku diminta berbaring dan semua mata kami menatap ke arah layar besar di depan.

"Cowok nih." ucap sang dokter. Mata Rangga seketika berkaca saat melihat sosok janin yang ada di sana.

"Semuanya bagus, tidak perlu dikhawatirkan."

Setelah selesai, kami kembali pulang. Dalam perjalanan aku mulai berpikir, bagaimana kehidupan kami kelak. Apakah anakku bisa tumbuh seperti anak-anak lain?

"Kamu mau makan apa?" tanya Rangga membuyarkan lamunanku.

"Aku sudah makan. Kalau mas mau, aku temani."

Mobil berhenti di sebuah restoran. Dan kami segera turun. Tempatnya cukup ramai. Beruntung masih ada meja yang kosong. Setelah memesan, Rangga berkata.

"Mana hasil USG tadi?"

Kuserahkan selembar kertas berisi foto itu. Ia tersenyum saat menatap.

"Untukku, ya."

Aku mengangguk, karena itu memang haknya.

"Besok aku akan mencari seseorang untuk menemani kamu. Setelah ini kamu sudah boleh membeli segala pernak pernik bayi. Aku yang akan membayar."

Aku hanya mengangguk. Kami kemudian makan bersama. Rangga terlihat sangat lahap seolah tengah kelaparan. Selesai makan, ia kembali mengantarku pulang. Kali ini tidak menginap.

***

Pagi ini aku dikejutkan dengan sebuah berita, Paman Allu meninggal karena serangan sakit jantung. Aku menangis seharian. Sampai-sampai beberapa sahabat baruku, yakni Kak Damai dan Kak Tiar menemani. Karena aku tidak bisa berhenti menangis.

Banyak kenangan yang tidak bisa kulupakan. Meski terkesan pendiam, tapi setidaknya paman sudah menguliahkan aku. Meski sebagai balasan aku malah mempermalukan kelaurganya. Ia jarang marah, masih teringat ia menyusulku yang diusir Tante Gita dari

"Atau kamu mau ke sana? Biar kami antar."

"Aku mau, tapi takut Tante Gita akan marah melihatku di sana. Terakhir kali sebelum keluar dari rumah itu dia benar-benar murka."

Aku memang sudah menjelaskan kepasa mereka mengenai status dan masa laluku. Keduanya menghembuskan nafas kasar.

"Kalau begitu, nanti kami temani ke pemakamannya. Cari tahu saja tempatnya, Rin."

Aku mengangguk. Melalui seorang sepupu aku mengetahui bahwa paman dimakamkan di San Diego Hills.

***

Kutatap acara pemakaman dari jauh. Sejak tadi aku tidak bisa mendekat. Banyak sekali orang yagn mengantarkan paman. Kulihat Rangga juga ada di sana. Ia memeluk bahu Adelia dengan erat. Bahkan saat mereka pulang terlihat Adel berada dalam pelukannya.

Kak Tiar dan Kak Damai menatap dengan penuh amarah. "Dasar laki-laki bejat." Omel Kak Tiar. Aku hanya diam. Tidak ingin menanggapi apa-apa. kepergian paman yang mendadak sudah cukup membuatku hancur. Siapa kini yang akan melindungiku? Masih ada rasa bersalah yang besar karena sudah mempermalukan keluarganya.

Setelah semua pulang, aku keluar dari mobil. Menatap nama yang tertera di nisan. Dengan susah payah aku berjongkok. Tidak tahu akan seperti apa kehidupanku tanpa paman kelak. Selama ini ia yang membelaku. Termasuk memaksa Rangga untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Terima kasih paman. Karena sudah membesarkan dan melindungiku sampai sejauh ini." bisikku sebelum pergi.

Kutinggalkan makam dengan sebelah hati yang tertinggal di sana. Beberapa orang menatapku penuh rasa kasihan. Tapi aku tak peduli.

***

Happy reading
Maaf untuk typo

23421

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top