3
Kutinggalkan Arini sendirian di rumah itu. Mami sudah memberi ultimatum. Ia tidak ingin berada satu rumah dengan menantu yang sangat tidak diinginkan. Meski perempuan itu tengah mengandung anakku. Lalu kenapa aku masih menikahinya? Bisa saja sebenarnya memberikan uang untuk menghidupi perempuan itu. Tapi mengingat ini adalah perintah papi Allu, aku tidak sanggup menolak.
Bagaimanapun aku masih ingin menikahi Adelia. Perempuan yang sangat kuinginkan. Jangan sampai karena kasus ini kemurkaannya bertambah. Apakah aku menyesal? Sangat! Terbayang kembali kejadian malam itu. Aku memang suka melihat bentuk tubuhnya. Bahkan selama ini sering mencuri pandang. Sebagai laki-laki dewasa, aku sudah sering melakukan hubungan badan. Bahkan bersama Adelia, kami melakukannya dengan rutin.
Tapi tetap saja, Arini berbeda. Ia memiliki bentuk tubuh khas perempuan Indonesia. Bokong dan pinggul lebar namun pinggangnya kecil. Juga buah dada yang membusung. Kalau ia merawat diri dan berani berpakaian seksi. Tidak akan kalah dengan Adriana Rodriguez.
Malam itu ia minum dihadapanku. Melihat leher jenjang dan putih, aku tidak tahan. Rumah sedang sepi, apalagi hujan sangat deras. Aku memasuki kamarnya selama lima belas menit takkan ada yang tahu. Diam-diam aku menuju kamarnya. Beruntung pintu tidak dikunci. Ia sudah terlelap. Maka terjadilah peristiwa itu.
Kini aku harus menanggung akibatnya. Pernikahan dengan Adelia ditunda, dan harus menikahi Arini. Entah kenapa, melihat tatapan mami dan sikap takut Arini. Aku merasa kasihan pada perempuan itu. Ia akan sangat tersiksa jika tinggal bersama kami. Karenanya aku meninggalkannya di rumah yang selama ini sudah kubeli. Meski niat awalnya hanya sebagai investasi.
Bagamana perasaanku hari ini? Jawabannya, kacau! Tidak tahu harus bagaimna. Bagiku yang penting satu masalah sudah selesai. Toh tidak ada yang tahu tentang pernikahanku. Yang penting anak itu kelak lahir dalam kondisi legal. Anak? Aku menggelengkan kepala. Aku belum siap menjadi ayah.
***
Kepergian Rangga membuatku merasa sepi. Tidak tahu harus bagaimana. Kuelus perut yang masih rata. Meski sebenarnya berteman dengan kesepian tak pernah membuatku takut. Karena selama ini juga tidak pernah punya teman. Kulepas sanggul dan kebaya. Kutatap tubuh di kaca. Aku seperti istri yang tak diharapkan. Kisahku mirip tayangan yang sering kutonton di ruang khusus pembantu di dapur.
Selesai mandi, aku berkeliling rumah. Setidaknya kini sudah lepas dari rumah paman. Meski tidak bekerja seperti rencana semula. Nantilah, kalau anakku sudah lahir. Aku tidak mungkin berharap belas kasihan Rangga terus menerus. Bisa saja rumah ini nanti akan diambilnya kembali. Atau malah sebenarnya dikontrak. Karena ia tidak mengatakan apapun tentang kepemilikan.
Kukunci pintu depan dan membuka pintu belakang. Tidak ada apa-apa di sana selain berbatasan dengan tembok tetangga. Kubayangkan, besok atau lusa, halaman ini akan kutanami bumbu masak dan sayuran hijau. Pada dindingnya akan ada tanaman merambat. Meski sama sekali tidak tahu berapa lama akan tinggal disini. Setidaknya aku akan merasa nyaman.
Sore sampai malam, beberapa mobil terlihat parkir di halaman dan jalanan tetangga. Sepertinya mereka orang-orang yang bekerja. Perutku lapar. Kumasak mie instant hasil belanja di warung ujung jalan. kebetulan sebelum sampai di rumah tadi aku melihatnya.
Aku takut? Tidak tahu! Karena memang belum menjalani. Yang pasti malam ini aku sendirian. Setelah menyalakan lampu teras, aku berkurung di kamar. Adalah sebuah kebahagiaan saat mendengar suara motor atau mobil yang lewat. Rasanya tidak benar-benar sendirian.
Sambil berbaring aku berpikir, apa yang akan kulakukan setelah ini? Bagaimana caranya supaya aku menghasilkan uang? Aku merasa tidak punya keahlian apapun. Juga tidak punya jaringan pertemanan yang luas. Hidupku hanya seputaran rumah, kampus dan pasar.
Bagaimana kalau kelak aku harus menghidupi anak-anakku sendirian? Sanggupkah aku? Bagaimana dengan sekolah mereka? Entah kenapa airmataku menetes. Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku? Lelah berpikir dan menangis, akhirnya aku tertidur.
***
Rangga benar, keesokan harinya. Sebuah motor matic diantar ke rumah. Pembelian dilakukan atas namaku. Ini adalah benda mahal pertama yang kumiliki. Sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih. Tapi akhirnya batal, mengingat ia sudah mengingatkan sebelumnya.
Saat akan memasukkan motor ke dalam rumah, seorang perempuan berambut ombak dan berkacamata menyapaku dengan ramah dan suara nyaring dari rumah sebelah.
"Hai, tetangga baru ya."
"Iya mbak," jawabku sambil mendekati gerbang rumahnya. Ia tengah menyuapi seorang anak laki-laki kecil. Dari bentuk tubuhnya aku tahu ia tengah mengandung.
"Kenalkan, saya mamah Rea. Nama mbak siapa?" ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Saya Arini, Mbak."
"Baru pindah?"
Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Mbak nggak kerja?" tanyanya lagi.
"Enggak." jawabku singkat. Tapi seketika semakin takut. Bagaimana cara menjawab pertanyaan selanutnya? Apalagi jika menyangkut tentang siapa suamiku dan sebagainya?
"Saya juga, semenjak punya anak jadi ibu rumah tangga. Nanti kalau ada waktu main kemari ya."
"Iya, mbak." Jawabku sambil pamit. Setidaknya percakapan pagi ini selesai. Tap tunggu dulu, ada sesuatu yang aku lupa hingga membuat langlahku kembali.
"Mbak, di sini pasarnya di mana?"
"Lumayan jauh sih, nanti setelah anak-anak selesai makan, saya mau ke pasar. Tapi nunggu yang jaga mereka datang. Kita bisa bareng nanti."
Aku kembali mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar beranjak. Sedikit lega, semoga ia bukan orang yang suka mengulik tentang masa laluku.
***
Kumasuki kantor seperti biasa. Beberapa karyawan menyapa dengan ramah. Tidak ada yang berbeda. Kecuali kasak-kusuk beberapa orang karena pernikahan dengan Adelia ditunda. Itu menjadi keputusan bersama. Tidak ada satupun orang di kantor ini yang tahu kalau sebenarnya kemarin aku sudah menikah.
Melangkah menuju meja kerja, kutatap gambar yang sudah masuk. Bersama beberapa orang teman kami membangun studio arsitektur ini. Sebenarnya karena sama-sama lelah bekerja dibawah perintah orang lain. Dan yakin bahwa kami sudah memiliki nama di luar sana. Aku satu-satunya orang yang tidak bergabung dalam bisnis keluarga, yakni kayu lapis.
Sebuah pesan memasuki ponselku, dari Adelia. Seperti biasa ia mengucapkan selamat pagi. Kubalas dengan emoc kiss. Aku memang bukan pria romantis yang suka berbalas pesan. Segera kubuka gulungan kertas pertama. Belum selesai teringat akan sesuatu. Segera kuhubungi seorang teman yang bekerja di sebuah dealer motor.
"Har, ada matic buat perempuan?"
"Ada dong. Untuk perempuan atau laki-laki?"
"Mau beli buat orang yang kerja di rumah. Sekedar ke pasar. Kalau begitu kirimkan gambarnya. Bisa kirim sekarang juga."
"Bisa banget."
Tak lama permintaanku dipenuhi. Setelah memilih yang kira-kira cocok untuk Arini, segera kutransfer sejumlah uang dan minta di kirim. Kulanjutkan pekerjaan sampai makan siang. Sekaligus menunggu Adelia datang. Kami memang ada janji.
***
Aku sedang menanam beberapa jenis bunga dan sayuran di halaman belakang. Kemarin sudah membeli tanah dan juga polybag. Lumayanlah, kalau nanti malas ke pasar. Semua kulakukan untuk mengisi waktu.
Kemarin juga ketua warga kompleks kami datang ke rumah. Menanyakan tentang asal usulku. Kuberikan bukti identitas diri juga fotokopi buku nikah. Paling tidak orang tahu bahwa aku bukan istri simpanan. Padanya kukatakan bahwa suamiku tengah bertugas di luar kota dan akan jarang pulang. Beruntung beliau percaya.
Menjelang makan siang, semua selesai. Aku makan sendirian. Cukup dengan bening bayam dan sambal telur. Sebagai buah kubeli alpukat dan pisang. Katanya baik untuk ibu hamil. Aku harus berhemat. Setidaknya jika kelak Rangga menceraikanku, masih ada sedikit uang yang kusimpan.
Kemarin dia mentransfer enam juta rupiah. Kuhitung, berarti perhari dua ratus ribu. Jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup satu orang. Aku membeli beras, gula dan minyak goreng sekaligus belanja seminggu hanya habis 350 ribu. Untuk membeli bahan bercocok tanam aku menghabiskan 150 ribu.
Aku ke pasar bersama Mamah Rea yang akhirnya kuketahui bernama Rianty. Orang Jawa tapi suaminya berasal dari sumatera. Dalam hati timbul rasa kagum melihat keahliannya menyetir. Tapi memang sepertinya dia sangat beruntung. Katanya aku juga akan diperkenalkan dengan sahabatnya ibu-ibu satu kompleks. Meski takut akhirnya kuiyakan.
Beruntung kehamilanku tidak menyulitkan. Bahkan sama sekali tidak mual. Tapi aku tetap menjaga gerak. Karena kalau sampai aku terpeleset atau jatuh, siapa yang akan menolong? Tidak ada! Kuelus perutku yang sudah kenyang. Baik-baik didalam ya, nak.
***
Tak ada yang berubah setelah seminggu pernikahan. Rangga tetap tidak pernah datang. Aku berusaha mengisi waktu luang agar tetap sibuk. Selesai dengan tanaman, kini aku punya waktu luang untuk merajut. Pada awalnya dari bahan tali. Sebagai gantungan pada pot bunga. Sebuah keahlian yang dari dulu kumiliki. Hasil belajar dari youtube. Beberapa ibu-ibu tetangga terlihat tertarik untuk membeli. Namun aku hanya tersenyum karena tidak berani menjual.
Aku juga diperkenalkan Rianty dengan ibu-ibu kompleks yang juga sahabatnya. Ada Erna yang Betawi asli. Juga Tiar yang orang Batak. Dan terakhir adalah Mbak Damai, berasal dari Nias. Aku suka mereka semua yang bisa menerimaku apa adanya. Meski belum menyampaikan siapa aku sebenarnya.
Siang itu, aku disibukkan dengan merajut topi bayi. Benang wol kudapat dari sebuah toko keperluan menjahit. Rianty tadi mengajariku cara berbelanja secara online. Tapi aku belum berani. Setelah menghitung kembali pengeluaranku yang cukup besar karena harus membeli beberapa kebutuhan peralatan dapur.
Bunyi ponsel menghentikan kegiatan. Kutatap di layar. Ternyata Rangga.
"Ya, Mas?"
"Bagaimana kabar kamu?"
"Baik."
"Uang kamu masih ada?"
"Masih, Mas."
"Motornya bisa dipakai?"
"Bisa, terima kasih banyak, bagus sekali."
"Kamu sudah cek kandungan?"
"Belum, jadwalnya masih minggu depan. Aku akan ke bidan dekat sini saja."
"Ya sudah, sebentar lagi kutransfer untuk biaya pemeriksaan kandungan kamu."
"Terima kasih, Mas."
"Oh ya, aku sedang mencari pembantu untuk menemani kamu. Supaya tidak sendirian."
"Terima kasih. Tapi kurasa belum perlu. Nanti saja kalau sudah mau melahirkan."
"Tidak apa-apa. dari pada kamu nggak ada yang menemani dan aku juga tidak bisa ke sana."
Aku terkesiap mendengar pernyataan terakhir. Dia benar-benar menegaskan statusku. Akhirnya sambungan telfon diputus. Dan tak lama kemudian ia mengirimkan uang sebesar dua juta. Entah kenapa aku tetap mengucap syukur. Setidaknya tabunganku bisa bertambah.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
17421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top