18
Yang penasaran dengan Arini.... sudah tersedia di playstore yaaa....
Pastinya lebih banyak dari versi wattpad.
Please jangan beli yang bajakan...🙏🙏
***
"Belum, masih pendekatan sih."
"Siapa?" Suara mama lebih terdengar seperti teriakan. Ia terlihat sangat excited.
"Kita bicarakan setelah makan." jawabku akhirnya. Ini akan menjadi pembicaraan yang sensitif. Jadi kupikir harus menunggu waktu yang tepat.
Selesai makan malam, kami duduk di ruang tengah. Di sebuah kursi anyaman rotan yang sudah dilapisi busa dan kain berwarna hijau, warna favorit mama.
"Siapa dia?" tanya mama antusias.
"Aku akan cerita, tapi berharap papa dan mama tidak terkejut. Dan jangan menyela sebelum aku selesai bicara."
Keduanya mengangguk. Kutatap mereka sambil tersenyum.
"Namanya Arini. Aku jatuh cinta padanya sekitar enam tahun yang lalu. Saat ini kami dekat. Tapi belum bisa dikatakan pacaran juga. Dia sangat berhati-hati. Masih berusaha menemukan sisi nyaman dari sebuah hubungan. Hanya saja, kami memiliki banyak perbedaan yang mungkin tidak layak menurut pendapat kebanyakan orang."
Kali ini mama menatapku serius. "Perbedaan apa?"
"Usia, dan dia sudah divorced. Punya satu anak."
"Berapa usianya sekarang?"
"34."
"Wow, kalau kamu serius berarti harus menikah secepatnya." Hanya itu komentar papa. Sementara mama masih belum mengalihkan tatapannya dari wajahku.
"Boleh tahu alasan kenapa dia sampai divorced?" tanya mama penasaran.
"Diceraikan suami, tanpa sepengetahuannya."
"Memang bisa begitu?" tanya mama bingung.
"Aku rasa dia yang lebih layak untuk menceritakan yang sesungguhnya."
"Lalu anaknya?"
"Weekday tinggal bareng dia, kalau Weekend bareng papanya, Ma."
"Mereka ada ribut tentang hak asuh anak?"
"Setahuku tidak sama sekali. Arini sangat dewasa dan matang. Jadi dia bisa mengambil sikap yang paling bijaksana."
"Kamu yakin dengan dia?"
"Kalau tidak yakin, aku tidak akan sampai bercerita pada mama dan papa."
"Buat mama tidak masalah, selama dia adalah perempuan baik-baik. Maksudnya, mama tidak suka ke luar malam kamu pahamlah bagaimana perempuan jaman sekarang. Tapi perbedaan usia kalian apa tidak akan menjadi masalah buat kamu? Perempuan kan ada masa menopause?"
"Tidak, aku cari pasangan hidup. Jadi akan cari yang seimbang. Kalau tentang menopause kan sekarang ada obatnya, ma."
"Kenalkan pada mama kalau kalian sudah yakin. Bagi mama selama kamu merasa bahagia dan nyaman. Tidak masalah. Papa?"
Papa menatapku intens. "Sama dengan mamamu. Hanya saja ada beberapa pertanyaan. Apa kamu sudah siap dengan masa lalunya? Apa tidak akan cemburu dengan mantan suaminya? Karena pasti mereka akan terus berkomunikasi. Ada anak yang harus dibesarkan bersama."
"Aku sudah memikirkan itu semua. Dan buatku tidak masalah. Setiap orang memiliki masa lalu sendiri-sendiri."
"Jangan abaikan anaknya. Kalau suka pada ibunya, dekati juga anaknya. Dan kamu harus menerima kehadirannya diantara kalian. Kalau kamu abaikan, dosa nanti."
"Apa dia bekerja?" tanya mama.
"Tidak, dia memiliki usaha sendiri. Bergerak dibidang fashion."
"Bagus itu, kalian bisa saling mendukung." Celetuk papa.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ini yang membuatku tidak ragu mendekati Arini. Karena kedua orang tuaku berpikiran terbuka. Juga yang membuatku sanggup menjalankan bisnis di Jakarta meski jauh dari mereka. Kami tetap menjalin komunikasi. Setidaknya aku selalu meluangkan waktu untuk saling bertukar kabar.
Mama dan papa cenderung tidak pernah ikut campur dengan urusan pribadiku sejak dulu. Termasuk pilihan untuk berbisnis. Bahkan papa memberikan uang muka untuk kredit mobil, padahal aku masih berusia tujuh belas tahun. Meski saat itu masih dibeli atas nama papa. Mereka memberikan kepercayaan sepenuhnya, dan aku takkan menyia-nyiakan itu. Apalagi tentang pendamping hidup. Aku tidak mau main-main. Bagiku menikah cukup sekali, seperti kedua orang tuaku.
***
Minggu sore aku kembali ke Jakarta. Membawa oleh-oleh buatan mama khusus untuk Arini. Sebuah mocca butter cake. Mama sangat ahli membuat kue-kue khas Eropa. Ia mendapatkan resep turun temurun dari nenekku yang memang berkebangsaan Belanda.
Arini memotong dan memberikan sepiring kecil padaku. Setelah mencoba ia berkata.
"Ini enak banget, takarannya pas sekali."
"Mamaku juga suka masak, dia khusus membuat ini untuk Mbak Arini."
Seketika wajahnya memerah. Terlihat sangat cantik.
"Kamu cerita tentang aku?"
"Ya, agar mereka tahu. Tapi aku masih bilang, kalau kita dalam tahap penjajakan."
"Tanggapan mereka?"
"Papa dan mama adalah orang yang tidak pernah menilai orang latar belakang atau suku, Mbak. Dalam keluarga besar kami ada banyak perbedaaan warna kulit, etnis, agama, dan usia. Semua biasa-biasa saja. Kalau lagi ngumpul ya gabung. Jadi hal yang mbak takutkan tidak masalah buat keluarga kami."
Ia menatapku seolah malu sambil menyuap cakenya. Aku suka rona wajahnya. Bisa-bisa tidak tidur nanti malam.
"Baim belum pulang?" tanyaku.
"Sebentar lagi, tadi lagi di jalan katanya."
"Pak Rangga yang mengantar?"
"Ya. mau siapa lagi? Bulan depan mereka akan liburan ke Bali."
"Mbak nggak ikut?"
Arini menggeleng. "Mereka bersama keluarga besar Rangga." ucapnya sambil tertunduk. Aku membiarkan suasana hening. Sampai akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Mbak mau cerita?"
Ia kelihatan ragu, seakan masih menimbang. Kukira ia tidak mau bercerita namun akhirnya bisa kudengar suaranya lagi.
"Mereka tidak tidak pernah menerimaku. Tapi syukur bisa menerima Baim."
Aku hanya mengangguk. Tidak bertanya lebih jauh lagi, karena takut memberikan luka yang lebih dalam. Matanya sudah berkaca. Seakan ini adalah hal yang sulit untuknya.
"Kehidupan kami rumit. Saat ini aku tidak ingin kalau Baim tahu semua. Aku belum siap. Takut ia kecewa dan membenci ayahnya."
"Simpanlah, kalau sesuatu itu tidak layak untuk dibicarakan dengan orang luar seperti aku. Tapi kalau ingin bercerita, aku akan mendengar." Dan Arini memilih diam. Kuhargai pilihannya, lagi pula aku tidak mungkin memaksa. Ia pasti memiliki alasan sendiri untuk merahasiakan beberapa hal. Setelah menghabiskan teh, aku pamit pulang
***
Sepeninggal Edwin, aku kembali masuk ke kamar. Banyak hal yang tidak sanggup kuceritakan pada siapapun. Tentang rahasia masa lalu antara aku dan Rangga. Salah seorang keluarga akhirnya mengatakan, kalau dulu, ia membuat surat kematian atas namaku agar bisa menikahi Adelia dengan cepat. Kuselidiki dan ternyata benar. Bahkan aku sampai harus mengurus surat-surat kependudukan kembali. Betapa teganya Rangga. Sedikitpun tidak peduli pada perasaanku.
Aku tidak mengatakan pada siapapun karena malu. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang berstatus sebagai suami melakukan hal itu? Apapun alasannya, bukankah semua bisa dibicarakan baik-baik? Aku benar-benar tidak ingin membuka kenangan tentang masa lalu. Namun setiap kali melihat Rangga, ada rasa sesak yang tak bisa kuhilangkan. Rasa marah atas semua tindakannya. Itu tidak mudah dilupakan, meski ia tetap menghidupi aku dan Baim.
Tindakannya membuatku hancur. Setega itu dia? Apa salahku? Selama ini aku tidak menuntut apapun. Bahkan selalu menurut semua yang dikatakannya. Saat itu sebenarnya aku sangat takut dicerai. Karena tidak ingin Baim mengalami masa kecil yang suram. Dan kalau benar-benar jadi janda artinya aku akan sendirian.
Kebenaran membuatku jatuh untuk kesekian kali. Seandainya ia meminta agar aku minta cerai meski sedang hamil besar, akan kulakukan. Tapi kenapa harus dengan cara seperti itu? Ia sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Lalu untuk apa harus mengingat Rangga? Selain bahwa ia adalah ayah kandung Baim tentu saja.
Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Mencoba melupakan masa lalu. Terbayang kembali wajah Edwin. Ia tampan, meski masih muda namun terlihat dewasa. Apakah aku mulai menyukainya? Apakah kelak ia juga akan sama dengan Rangga? Ataukah aku harus menghentikan semua sampai di sini? Ini tidak mudah buatku.
Edwin yang mulai mengisi hari-hariku dengan perhatian dan sapaan. Obrolan kami disaat menjelang tidur membuatku tak lagi merasa sendiri. Tapi apakah ini sudah benar? Aku takut kalau semua hanya mimpi. Yang jika kelak saat terbangun, kurasakan sakit yang sama.
Aku takut, pada masa depan. Takut pada orang-orang yang datang dan selalu melukai. Aku bingung sekarang.
***
Sore itu, aku mengunjungi Arini, saat Baim sedang duduk di lantai carport.
"Sepedanya kenapa, Im?"
"Rantainya lepas, Om."
Kugulung lengan kemeja dan ikut berjongkok di dekatnya. Ini adalah hal mudah buatku, karena saat kecil dulu sering membantu teman-teman di kompleks untuk membetulkan rantai sepeda. Tak lama semua selesai. Baim tersenyum kembali.
"Terima kasih, Om. Tangan om jadi kotor banget."
"Sama-sama, nanti kan bisa cuci tangan. Bundamu ada?"
"Ada. Masuk saja." jawabnya kemudian langsung pergi.
Kumasuki teras rumah, di sana sudah ada Arini menunggu.
"Baim ke mana?" tanyanya.
"Nggak tahu, tadi setelah aku betulkan sepedanya. Dia langsung pergi."
"Masuk, Win."
Aku mengangguk, kemudian duduk di ruang tamu. Hari ini aku datang untuk membantu Arini menggunakan online store-nya. Aku sudah membuat profil dan web design-nya minggu lalu.
"Aku suka perpaduan warna pink dan biru yang kamu gunakan. Kesannya girlie sekaligus tangguh gitu."
"Iya, menggambarkan karakter mbak, kan? Mana foto-foto produk terbaru?"
Ia membuka sebuah file yang sudah berisi foto beberapa produk. Kuteliti satu persatu. Kemudian meng-edit beberapa agar terlihat lebih menarik. Baru kemudian meng-upload. Butuh waktu cukup lama sampai semua selesai."
"Kalau nanti aku mau menjual produk yang sale, bagaimana? Karena tidak selalu produk tersebut langsung habis."
"Nanti kita buatkan ruangan khususnya. Memangnya sisa produksi banyak?"
"Selama ini sih belum. Kan buatnya tidak banyak. Tapi setiap seri selalu ada beberapa pieces."
Aku mengangguk. Tak lama terdengar suara pintu terbuka, dan ucapan salam dari Baim.
"Bunda lagi ngapain?"
"Ini, mengaktifkan online store untuk produk bunda."
Baim tidak berkata apa-apa lagi, kemudian masuk ke kamar. Dan seperti biasa tidak ke luar sampai aku pulang. Arini menghembuskan nafas Panjang ketika mengantar sampai garasi. Aku paham perasaannya. Itu selalu terjadi kalau aku datang dan kami kedapatan sedang berdua. Meski hanya di ruang tamu atau ruang tengah. Kami memang tidak pernah melampaui batas. Aku bertanggung jawab menjaga nama baik Arini.
Padahal di sini ada banyak orang, termasuk beberapa karyawan Arini. Ketidaksukaan Baim semakin jelas. Meski tetap tidak bicara. Akhirnya aku pamit.
"Maafkan Baim." ucap Arini pelan.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Dia masih remaja, mungkin dia takut kalau aku akan merebut mbak, atau mengambil seluruh perhatian."
"Dia ingin aku kembali bersama ayahnya."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
9621
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top