17

Seperti biasa pagi ini kami arisan bersama sahabat-sahabatku. Sengaja mengambil waktunya pagi. Karena waktu kami akan kosong setelah anak-anak berangkat sekolah.

"Rin, kamu kok tambah cantik, sih?" goda Erna.

"Biasa saja." jawabku.

"Enggak, aura kamu berbeda. Sedang bahagia, ya." kejarnya.

"Kamu kayaknya sedang jatuh cinta nih." Kali ini Tiar yang berbicara sambil menyipitkan matanya mencoba menelisik.

"Kayaknya aku tahu dengan siapa." balas Rianty tak mau kalah.

Aku hanya tersenyum. Rianty pasti tahu, karena sering melihat Edwin berkunjung. Banyak yang mengatakan kalau aku tambah cantik? Apakah benar? Mungkin kini perasaanku yang berbeda. Sejak Edwin mendekati, aku merasa lebih nyaman dan tenang. Saat sedang kesulitan dalam menjalankan bisnis, ia selalu mampu memberikan solusi. Sehingga aku tidak panik lagi.

Edwin sangat perhatian pada hal kecil. Kadang ia mengirimkan makanan, Meski bukan sesuatu yang mewah hanya martabak atau gorengan. Kadang juga saat datang, ia akan mengganti bola lampu putus atau sekedar memperbaiki engsel jendela yang rusak.

Teman-temanku masih bergurau. Sementara aku seperti biasa memilih diam dan mendengarkan. Pesan dari Edwin kembali masuk.

Selamat bersenang-senang mbak.

Ia tahu kalau aku dan para sahabatku bertemu pagi ini. Karena itu tidak menggangu. Ia memang selalu memberikanku ruang untuk menjalankan aktivitas seperti biasa.

Terima kasih

Selesai membalas, aku menutup ponsel. Ingin fokus pada obrolan temanku. Topik pembicaraan kami bisa bermacam-macam. Dari resep masakan, tentang hukuman pada anak-anak yang kadang membangkang. Sampai gossip di Instagram yang sedang hangat.

Karenanya kadang waktu tiga jam tidak pernah cukup. Tak jarang kami harus memesan makanan sekali lagi. Aku sendiri sangat menyukai pertemuan kami. Karena bisa keluar dari rutinitas rumah dan pekerjaan. Mendengar pengalaman sahabat-sahabatku dengan masalah mereka masing-masing. Meski tahu, bahwa kami tidak selalu memiliki kisah hidup yang sama. Setidaknya semua bisa menajdi pelajaran.

***

Pagi ini aku demam. Kepalaku sakit dan akhirnya muntah-muntah. Baim sedang bersama ayahnya. Akhirnya Mbak Tarni mengantar ke rumah sakit dekat rumah. Sampai di sana aku harus dirawat. Memang lambungku juga sepertinya bermasalah.

Sampai siang aku hanya berbaring, rasanya bosan sekali. Dokter mengatakan setidaknya aku harus menginap tiga hari. Kubayangkan pekerjaan yang menumpuk. Tapi mau bagaimana lagi? Sengaja aku tidak menghubungi siapapun. Namun sorenya para sahabatku mengunjungi. Mereka tahu dari Mbak Tarni. Kami mengobrol cukup lama. Sampai kemudian mereka pulang.

Yang membuatku terkejut adalah, kedatangan Edwin saat jam besuk hampir habis. Wajahnya terlihat khawatir.

"Kok nggak bilang kalau sakit?"

Aku hanya tersenyum, "Takut merepotkan."

"Mbak apaan sih, aku sama sekali tidak merasa repot. Ini saja tadi aku mau antar jus. Kata Mbak Tarni, mbak dirawat di sini."

"Terima kasih sudah mau datang."

Ia tersenyum. Jujur penampilannya malam ini sedikit berbeda. Mungkin karena mengenakan kacamata, jadi terlihat lebih dewasa. Ia membawa beberapa roti.

"Mbak mau makan sesuatu?"

Aku menggeleng, namun Edwin segera menyodorkan sebuah roti. Kali ini kuterima, karena dokter sudah mengatakan kalau aku harus sering makan dalam porsi kecil.

"Baim sudah tahu, mbak?"

"Sudah, tapi kularang menginap di sini, dia sedang bersama ayahnya. Sebentar lagi wanti akan datang untuk menemani."

Edwin hanya mengangguk, kemudian berkata.

"Mbak istirahat saja. Saya tungguin sampai dia datang."

"Ini terlalu merepotkan kamu."

"Enggak kok, supaya cepat sembuh mbak."

Edwin duduk di kursi di samping ranjang. Aku merasa sedikit tenang. Setidaknya ada yang bersamaku di sini. Sangat tidak nyaman sendirian di rumah sakit. Akhirnya aku memejamkan mata.

***

Siang ini kutunggui Arini sambil duduk di sofa dan mengontrol keuangan beberapa café. Sampai kemudian Baim datang. Aku segera memberikan senyum.

"Baim sudah pulang sekolah?" sapaku.

"Sudah, bunda sebenarnya sakit apa, om?" tanyanya setengah berbisik.

"Menurut dokter tifus. Sekarang bunda kamu sedang beristirahat. Sama siapa kemari?"

"Diantar Tante Rianty. Om sudah lama?"

"Belum terlalu, tapi tadi bunda kamu sudah makan siang dan minum obat. Kamu mau mandi dulu? Om antar pulang mau?"

"Nggak usah, sebentar lagi Bu Tarni akan bawain baju ganti."

Aku hanya mengangguk. Kami kembali diam. Beberapa kali ia terlihat melirik ke arahku. Masih dengan raut tak suka. Ini bukan yang pertama, dan aku tahu ketidaksukaannya. Aku memang tidak pernah memaksakan diri agar kami dekat. Lebih suka kalau semua natural saja. Aku menghargai hubungan baiknya dengan ayahnya.

"Baim masih suka main bola?" tanyaku.

"Jarang, lebih sering main game sekarang."

"Sayang sekali, main bola bagus lho untuk kesehatan kamu."

"Susah cari waktunya, Om."

"Atau sesekali mau ikut om main futsal? Biasanya om sama teman-teman mainnya malam."

"Nggak bakal dibolehin bunda."

"Seminggu sekali saja. Sekadar menjaga kesehatan. Nanti om akan minta ijin sama bunda kamu. Nggak waktu weekend kok."

Ia menatapku serius. Terlihat kebimbangan dimatanya.

"Nanti aja aku kabarin kalau bisa, Om."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. "Om tunggu kabar kamu."

Kami kembali saling diam, sampai kemudian Arini bangun lalu aku pamit. Aku tahu, Baim menatap tajam saat aku menjabat tangan bundanya. Ada ketakutan di sana. Tapi aku memilih bersikap santai. Paham bahwa remaja sepertinya akan curiga bila ada yang mengganggu privasinya. Yang pasti aku memiliki niat yang baik dan mencintai bundanya.

***

Sore ini aku sudah boleh ke luar dari rumah sakit setelah seminggu lebih dirawat. Edwin mengantar pulang. Meski setelah itu ia segera pergi dengan alasan pekerjaan. Sebenarnya aku senang, karena akhirnya bisa menghabiskan malam minggu bersama Baim.

"Baim mau makan sesuatu?" tanyaku.

"Bunda kan habis sakit, istirahat saja."

"Bunda sudah sembuh kok."

"Tapi kan kata dokter harus istirahat." Baim sedikit menaikkan intonasi suara.

"Kamu nggak apa-apa nggak ke rumah ayah?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Enggak, aku kan harus menemani bunda juga. Ayah ngerti kok."

Kali ini aku memilih diam. Akhirnya aku masuk ke kamar. Menjelang tidur, sebuah pesan dari Edwin masuk.

Jangan tidur malam-malam, mbak. Supaya lekas sembuh.

Terima kasih, Win.

Aku tersenyum. Meski menahan diri untuk tidak terlihat ke-geeran, tapi jujur mulai menyukai setiap perhatiannya. Setiap hari ia berkunjung ke rumah sakit. Paham bahwa tidak ingin teman-temanku tahu, maka ia datang malam atau lewat tengah hari. Biasanya menjelang jam besuk habis. Membawakan beberapa jenis roti dan buah. Bertanya tentang kabar, juga apa yang kuinginkan.

Salahkah aku jika sudah mulai goyah dengan tembok yang selama ini kubangun? Aku perempuan normal, yang membutuhkan perhatian. Seumur hidup, tidak pernah ada yang memperlakukanku seperti Edwin. Hanya saja statusku juga usia kami yang jauh berbeda menjadi penghalang. Tidak ingin terluka dengan segala perbedaan kami. Karena itu aku masih memilih bertahan tidak ingin menaikkan status hubungan.

***

Kulangkahkan kaki menuju kediaman papa dan mama di daerah Dago. Sejak papa pensiun, mereka tinggal di sini. Sebuah rumah model tahun 60-an yang memiliki banyak jendela dan halaman yang luas. Terletak di sudut jalan, di mana masih ada beberapa pohon tua dan besar. Tanaman koleksi mama terawat dengan baik. Mereka hanya tinggal berdua. Seminggu tiga kali akan ada pembantu yang datang untuk membersihkan rumah dan halaman.

Kedua orang tuaku masih sehat karena rutin berolahraga. Setidaknya berjalan kaki di pagi hari. Mereka juga saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Seolah sekaranglah waktu untuk pacaran. Mungkin karena dulu papa selalu bertugas dan kerap harus meninggalkan mama. Papa yang pertama kali melihat kedatanganku.

"Hei, anak muda. Tumben datang nggak bilang-bilang?"

"Surprise, pa." jawabku sambil memeluknya. "Mama mana?"

"Sedang di dapur, tadi sibuk mau buat dim sum. Katanya itu makanan kesukaan kamu. Eh, malah jadi datang beneran. Sudah janjian sama mamamu?"

"Belum, kami pakai bahasa kalbu jadi pasti nyambung." balasku santai. Benar saja, mama terlihat tengah mengisi kulit pangsit. Ia segera bangkit dan memeluk saat aku memasuki area dapur. Tidak peduli pada tangannya yang kotor. Aku segera membalas pelukan itu dengan erat.

"Kamu, mah. Semenjak jadi orang Jakarta lupa sama Bandung." Komentar mama dengan logat sunda yang kental.

"Enggaklah ma. Ini juga baru dua minggu kan nggak pulang."

"Mandi heula."

"Sebentar ma, masih capek."

"Jangan malas mandi, ini sudah sore. Sebentar lagi mama kukus dimsum-nya. Supaya kamu bisa makan hangat-hangat."

Akhirnya aku menurut sambil tersenyum. Selesai mandi, ruang makan sudah ditata rapi oleh papa. Aku segera membuatkan teh untuk kami bertiga.

"Bagaimana kabar bisnis kamu?" tanyanya saat kami sudah duduk.

"Lumayan baik."

"Papa kangen sebenarnya mau ke Jakarta. Tapi malas, karena macet."

"Iya sih, lagipula udaranya kurang baik. Mending di sini."

"Kamu jarang pulang sekarang."

Aku hanya tersenyum kecil. Ya, akhir-akhir ini waktu akhir pekan banyak kuhabiskan bersama Arini. Kelihatannya ia sudah mulai terbuka meski kami belum bicara lebih jauh. Tak lama mama sudah datang dengan aneka dimsum yang menggoda. Sup pangsit yang mendahului. Kami bertiga segera makan.

"Punya mama juara banget. Bagi resepnya dong."

"Malas ah, nanti kamu jual sama orang. Ini resep rahasia."

"Tega amat sama anaknya."

"Kamu kan dari dulu apa-apa selalu dijual." Protes mama yang segera membuat kami bertiga tertawa.

"Carikan mama menantu, nanti mama kasih resepnya sama dia. Karena ini resep turun temurun."

Aku hanya tertawa mendengar omongan mama.

"Sepertinya sih, anak muda ini sudah menemukan." Sela papa.

Aku menatap papa sambil tersenyum. Mama yang sadar melihat kami saling bertatapan segera melanjutkan.

"Benar? Kamu sudah punya pacar?" Mata mama terlihat bercahaya.

Kuletakkan sumpit dan sendok di mangkok. Rasanya ini adalah saat untuk jujur, meski Arini belum menjawab.


***

Happy reading

Maaf untuk typo

7621

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top