15

Mohon maaf lahir dan bathin.🙏

***

Tak lama makanan kami datang. Kupersilahkan dia untuk makan. Sesekali kutatap wajah yang sepertinya sangat kelaparan. Aku suka caranya mengunyah. Beberapa kali juga ia minum. Sampai akhirnya aku bertanya.

"Mbak, apa aku boleh tanya sesuatu yang bersifat pribadi?"

"Ya."

"Apa mbak sekarang single? Maaf kalau saya salah. Karena tidak pernah melihat suami Mbak Arini ada di rumah."

Ia menghembuskan nafas pelan. Wajahnya sedikit memucat, namun akhirnya menjawab. "Ya, kami sudah berpisah."

"Maaf, kalau pertanyaan saya membuat mbak sedih. Saya hanya sekedar bertanya. Apalagi kita makan berdua seperti sekarang. Tidak enak kalau nanti menimbulkan fitnah dari orang lain."

"Waktu kamu ajak saya ke outlet kemarin? Memangnya enggak tahu?"

"Ketika itu saya hanya sekedar ingin menjamu. Lagi pula ada Mbak Tarni, kan? Hari ini jelas berbeda. Saya tidak ingin membuat mbak berada dalam masalah."

Ia menggeleng. "Saya malah takut kalau pacar kamu yang akan marah karena cemburu."

Aku tertawa sambil meneguk minuman. "Saya single mbak, susah cari pacar yang paham akan kesibukan saya."

"Masak sih? Bukannya justru lebih mudah? Kamu punya semuanya."

"Sayangnya orang banyak menilai dari sisi baiknya saja. Misal tentang nama, kesuksesan dan uang. Tapi tidak banyak yang paham, untuk ini semua butuh kerja keras. Sehingga saya tidak punya banyak waktu untuk kehidupan pribadi."

"Bisa seperti itu, ya?"

"Ya, saya pernah mencoba mbak. Tapi dia tidak mengerti kesibukan saya. Lama-lama kasihan juga anak orang."

"Lalu kamu mencari yang seperti apa?"

Dalam hati ingin kujawab, seperti Mbak Arini. Tapi tidak mungkin kan?

"Setidaknya ia paham akan mimpi saya yang belum terwujud. Dan bisa menerima kekurangan saya."

"Seharusnya kamu juga memberi waktu dong. Masak sih hanya ingin dimengerti?" ucapannya jelas menyindirku, meski disertai tutur yang halus. Membuatku tidak merasa diintimidasi. Mirip dengan mama.

Aku tersenyum, sepertinya Arini sudah mau lebih terbuka. "Aku kerja keras juga kan buat kami nantinya mbak. Tapi aku punya target kok. Setelah nanti penghasilanku ada di level sekian, aku akan sedikit mundur. Karena ingin memiliki kehidupan pribadi yang lebih baik."

"Iya sih, laki-laki memang memiliki tanggung jawab untuk itu. Kamu masih muda."

"Tapi aku berencana menikah muda mbak."

"Oh ya? hebat menurutku, kalau ada laki-laki yang berani seperti itu."

"Ya, berdua akan lebih baik daripada sendiri, Kan? Apalagi jika sudah menemukan pasangan yang tepat."

Kami masih berbincang tentang banyak hal. Sampai kemudian makan siang selesai. Setelah aku membayar kami berpisah.

***

Kukunci pagar setelah tiba di rumah. Seharian berada di luar membuat tubuhku lengket. Baim sedang bersama ayahnya. karena kebetulan sekolah libur. Ini yang kadang aku tak suka. Baim lebih suka bersama ayahnya daripada aku. Rumah terasa sepi tanpanya. Beginilah resiko memiliki anak tunggal. Apalagi laki-laki.

Kemarin sudah kucoba menahan keinginannya, tapi ia bersikeras karena ada janji bersepeda. Akhirnya aku menyetujui. Berharap agar putraku tidak meninggalkanku kelak. Aku kemudian mandi, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menjelang tidur, Baim menghubungiku.

"Bunda sedang apa?"

"Baru selesai mandi, ini mau tidur"

"Kok mandinya malam? Nanti bunda sakit."

"Bunda baru dari luar. Ke butik Om Michael tadi. Habis itu cari bahan buat asesoris. Baim sudah makan?" Sengaja aku tidak menyinggung tentang makan siang bersama Edwin. Karena Baim pasti tidak suka.

"Sudah, barusan bareng ayah. Tadi kami beli sate. Aku kangen masakan bunda."

"Setiap hari kan kamu makan masakan bunda. Catering kalian tidak datang?"

"Tadi ayah bilang bosan dengan menunya. Jadi beli di luar."

"Sekarang kamu sedang apa?"

"Ayah mau mengajarkan aku buat program."

"Apa kamu tidak terlalu kecil?"

"Yang sederhana saja, bun. Tanya ayah deh kalau nggak percaya."

"Nggak usah, bunda percaya sama kamu. Jangan tidur terlalu larut."

"Oke bunda sayang. Jangan lupa makan juga. Nanti bunda kurus. Jelek!"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar kalimatnya. Rasa sepi selalu bertambah, terutama bila Baim menginap ditempat ayahnya. aku tidak punya teman berbincang. Karena bukan pencinta sinetron atau drakor. Akhirnya aku hanya mengotak atik ponsel. Inilah yang kutakutkan sebenarnya, merasa kesepian.

Baim akan bertambah besar, dan bisa saja kelak ia meninggalkan aku. Lalu aku bersama siapa? Lelah dengan kecemasan, aku memutuskan untuk berbaring. Ponselku berdenting. Saat kubuka, ternyata Edwin.

Sudah tidur, mbak?

Sebuah pertanyaan biasa. Tapi akhir-akhir ini ia memang sering menghubungi saat malam hari. Kadang kami hanya bertukar kabar. Aku masih menyimpan ini sendirian. Tidak berani membicarakan pada siapapun. Meski dalam hati aku merasa aneh. ada apa dengan Edwin? Ia masih sangat muda.

Tidak mungkin karena suka padaku. Tapi alasan apalagi yang membuat laki-laki sering menghubungi perempuan? Apa hanya untuk sekedar teman berbincang? untuk Kugelengkan kepala, mengingat pertanyaannya ketika terakhir kali kami bertemu.

Kali ini aku merasa ragu untuk membalas. Namun begitu banyak pertanyaan dalam hati. Haruskah aku bertanya duluan? Apa nanti tidak memalukan? Akhirnya kuabaikan chat Edwin.

***

Pagi ini, Baim sudah kembali ke rumah. Rangga sendiri yang mengantarnya tadi malam. Putraku makan dengan lahap. Setelah libur bersama ayahnya semenjak kamis sepulang sekolah.

"Aku kangen masakan bunda."

"Dimakan kalau begitu."

"Masakan ayah kacau, lebih sering beli jadinya."

"Apa ayah kamu tidak punya pembantu?"

"Ada, pulang sore. Tapi dia jarang masak karena cuma untuk bersih-bersih."

"Makanya, sering-sering nginap di sini kalau libur."

"Kasihan ayah dong, bun. Sendirian terus. Kalau di sini kan, bunda ada Bu Tarni dan tante-tante."

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Bun."

"Ya."

"Kenapa nggak sama ayah lagi sih?"

Kuhembuskan nafas kesal. Pertanyaan Baim semakin aneh. "Ini yang terbaik buat kami. Nanti kalau sudah besar, kamu akan mengerti."

"Kenapa jawaban ayah nggak begitu ya?"

"Ayahmu bilang apa?"

"Ayah bilang suruh tanya bunda."

Aku kembali menghembuskan nafas kesal. Beruntung Baim tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu aku selalu enggan menjawab pertanyaan yang menyangkut ayahnya. Selesai sarapan aku mengantar Baim ke sekolah bersama anak-anak Rianty. Setiap pagi memang giliranku.

Begitu selesai mengantar anak-anak, aku kembali pulang. Ponselku berdenting. Saat kucek, dari Edwin.

Mbak, kok nggak balas chatku dua malam lalu? Apa aku ada salah?

Kuhirup nafas dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Tidak punya jawaban atas pertanyaan sederhana itu. Tidak mungkin menyampaikan pertanyaan dalam benakku. Bisa-bisa aku dianggap kegeeran. Tapi mengingat hubungan pekerjaan, memang tidak layak kalau aku mengabaikannya. Akhirnya kuparkirkan mobil di tepi jalan.

Mbak boleh tanya sesuatu?

Silahkan, mbak.

Maaf, kalau kalimat mbak tidak berkenan dihati kamu. Cuma bingung, kenapa kamu selalu chat mbak, malam hari?

Apa aku boleh jujur?

Aku berharap kamu jujur.

Aku senang ngobrol dengan Mbak Arini. Rasanya menyenangkan setelah lelah seharian.

Kenapa?

Ya senang saja, karena mbak terlihat dewasa. Dan aku merasa nyambung.

Rasanya aku mulai paham arah pembicaraannya.

Banyak anak gadis di luar sana lho, Win.

Aku telfon saja boleh, Mbak. Capek ngetik.

Ya, silahkan.

Tak menunggu lama, sebuah panggilan memasuki ponselku.

"Selamat pagi, mbak."

"Pagi juga, Win. Bagaimana?"

"Ya aku senang mengobrol dengan Mbak Arini."

"Aku ibu dari satu anak. Lho. Usia kita juga jauh berbeda."

"Apa itu masalah?"

"Dihadapan masyarakat umum, jelas itu masalah. Mbak nggak mau nanti dituduh yang bukan-bukan."

"Tidak semua omongan orang harus didengar mbak. Kita yang menyaring sendiri. Kalau baik untuk diri kita, ya boleh didengar. Tapi kalau tidak? Ya abaikan."

"Kamu bisa bicara begitu karena masih muda."

"Mbak juga masih muda kan? Usia hanya tentang angka, Mbak."

"Tidak baik, Win."

Lama kami saling diam. Sampai kemudian kudengar suaranya lebih lembut dari biasa.

"Apa aku boleh kenal mbak lebih dekat?"

"Maksud kamu?"

"Ya seperti laki-laki dan perempuan."

"Aku tidak yakin bisa mengikuti cara berpikir kamu. Kita berasal dari kutub yang berbeda."

"Kurasa tidak ada masalah dengan itu. Yang penting kita berdua mbak. Kalau sama-sama nyaman, pasti akan baik-baik saja."

"Mudah banget ya kamu bicara? Aku sedang tidak ingin menjalani sebuah hubungan. Masih trauma dengan masa lalu, Win."

"Meski itu pertemanan?"

"Yang serius, maksudku."

"Kalau begitu aku menawarkan diri menjadi teman Mbak Arini. Hanya teman."

"Kamu yakin?"

"Sangat, Mbak."

"Baiklah kalau begitu."

Setidaknya aku sudah lebih lega, karena memberikan batasan akan hubungan kami.

***

"Bunda lagi ngapain?" tanya Baim, sore itu. Saat melihat aku mengupas beberapa macam buah.

"Mau buat rujak aceh untuk dijual. Kenapa?"

"Tumben open PO?"

"Bunda kepingin, nanggung juga kalau buat sendiri."

"Nanti aku minta dua jar ya."

"Kok pakai jar? Biasanya juga kamu ambil sendiri pakai mangkok kecil."

"Mau kirim buat ayah, kasihan jarang makan buah."

Sebenarnya aku kesal mendengar jawaban itu. Kenapa sih dia selalu teringat akan Rangga? Tapi tidak bisa berkata apa-apa. Toh Baim adalah anak kami berdua. Dan tidak mungkin merusak jiwa remaja dengan mengatakan ketidaksukaan pada ayahnya.

"Setahu bunda ayahmu tidak suka pedas."

"Memang nggak suka, kan tinggal saus kuininya jangan dikasih banyak. Terus yang punya ayah dikasih kiwi sama apel ya, Bun."

Aku semakin kesal dengan segala permintaannya. "Bunda nggak punya buah itu di rumah. Lagian kalau dikasih kiwi dan apel, nanti namanya bukan rujak aceh lagi."

"Ya sudah, aku beli dulu deh di toko buah Bang Jali." Selesai mengucapkan itu, Baim segera meninggalkanku dan mengeluarkan sepedanya. Tak lama kemudian, putraku sudah muncul dengan kedua buah tersebut ditangannya.

"Ini kebanyakan, Im."

"Kalau begitu taruh di-tupperware bunda saja. Nanti kubawa pulang kalau balik lagi ke mari."

"Siapa yang mengantar? Ini masih hari rabu lho."

"Ku-gosend besok dari sekolah. Bisa kok, atau ayah akan suruh sopir kantornya buat ambil."

"Tapi, jangan bilang kalau bunda sengaja kirim."

"Bunda nggak usah geer deh. Ayah nggak akan naksir bunda kok kalau cuma disogok dengan rujak." Jawabnya sambil tersenyum menggoda. Membuatku merasa semakin kesal.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

13521

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top