14

Sepulang dari tempat Edwin, ada yang berubah dalam diriku. Mengobrol dengan sosok yang masih muda dan sukses mau tidak mau membuatku lebih membuka mata lagi. Bahwa hidup tidak sedangkal yang pernah kupikirkan. Meski merasa sedikit terlambat. Tapi akhirnya membuatku lebih terpacu lagi untuk lebih mengembangkan kemampuan.

Kini hari-hariku hanya diisi bekerja dan mengurus Baim. Putraku tumbuh menjadi anak yang baik. Aku tahu, bahwa Rangga juga pasti turut andil dalam membentuk karakternya. Ia semakin rajin beribadah dan tidak pernah lupa untuk sholat jumat. Untuknya, Rangga sendiri yang memilihkan guru mengaji.

Meski aku belum membuka komunikasi, Baimlah yang menjadi perantara bagi kami. Pesan yang ingin disampaikan ayahnya padaku, akan disampaikannya sendiri. Misal, bahwa ia tidak menginap di sana minggu depan karena ayahnya masih berada di luar kota. Darinya juga aku tahu kalau Rangga dan Adelia sudah bercerai. Untuk satu hal ini aku tidak mengatakan apa-apa.

Karena ia semakin besar, maka aku juga semakin berhati-hati dalam berbicara dan bersikap. Baim sangat kritis, Sudah mulai sering kudengar protesnya. Entah itu tentang pakaian, ataupun model rambut. Kadang kupikir kecerewetannya seperti anak perempuan. Dan dia sangat tidak suka kalau sahabat-sahabatku mulai bercerita tentang pria yang ingin dikenalkan padaku. Meski tidak protes, Baim akan langsung masuk ke kamar. Meski tidak mengatakan apa-apa.

Pernah Kak Tiar bertanya dengan bercanda,

"Im, bunda boleh menikah lagi?"

Jawabab Baim sangat mengambang. "Yang penting bunda bahagia, Tan."

"Baim nggak sedih?"

Ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Kemudian masuk ke kamar dan tidak ke luar lagi sampai seluruh sahabatku pulang. Namun Rianty menangkap hal yang berbeda. Ia berkata, "Sepertinya Baim ingin kamu kembali ke ayahnya."

Aku tersenyum sedih dan menggeleng. Paham bahwa itu adalah keinginan setiap anak yang orang tuanya bercerai. Tapi saat mengingat masa lalu, di mana ia menceraikanku dengan diam-diam. Hanya datang sebulan sekali tanpa alasan. Kupikir kami memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pasangan.

Baim juga tumbuh termasuk anak yang disiplin. Sesuatu yang kupikir menurun dari Rangga. Ia akan menyelesaikan seluruh tugas sekolahnya tepat waktu. Juga lebih mandiri dibanding anak seusianya. Kini selesai makan, ia akan mencuci piring sendiri tanpa di suruh. Atau mengeluarkan pakaian kotornya dan mencuci di mesin cuci. Hanya saja aku tahu, setiap minggu sore ia selalu murung saat tiba di rumah. Mungkin merasa belum puas bersama ayahnya. tapi ia tidak pernah berkata apapun tentang itu. Baim juga sebenarnya pendiam. Dan lebih suka memendam masalahnya. Kadang harus kupancing, agar mau bicara tentang hal yang bersifat pribadi.

Aku mulai kehilangan sosoknya yang suka bercerita. Kelihatanya ia lebih suka mengamati kemudian memahami. Ia juga terlihat berbeda dengan anak-anak dari sahabatku. Lebih sering menarik diri dari pergaulan. Kadang seharian menghabiskan waktu di depan komputer untuk memainkan game pesawatnya.

Sering aku kesal dengan hobinya yang satu ini. Tapi tidak bisa berkata apa-apa. karena sebelum bermain ia sudah menyelesaikan semua kewajibannya. Kadang juga aku tahu kalau ia melakukan video call dengan ayahnya atau bermain game bersama. Mereka memang sangat dekat. Sepertinya ia lebih mudah menceritakan sesuatu langsung pada Rangga. Aku tidak pernah mencampuri hal tersebut. Meski ada rasa sedih, kenapa anakku lebih dekat dengan ayahnya?

Namun teman-temanku mengatakan. Kalau anak laki-laki akan mencari teman yang paham dengan tumbuh kembang dan minat mereka. Ayahnya lebih paham tentang game di komputer, karena mereka memiliki kesukaan yang sama, otomatis bisa dekat. Jelas aku kalah telak, karena tidak paham dengan teknologi informasi.

***

Siang ini adalah jadwalku menjemput Baim. Putraku sudah tersenyum lebar di pick up area sekolahnya. Setelah masuk ke mobil, kami segera ber-hi five.

"Apa kabar hari ini?" tanyaku.

"Baik, yah." jawabnya singkat.

"Kita makan siang dulu?"

Ia mengangguk. Kami mampir di sebuah resto ayam bakar. Seleranya memang sangat Indonesia. Saat akan makan ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.

"Ini apa?"

"Bekal dari bunda tadi belum sempat dimakan." jawabnya. Aku membiarkannya membuka kotak makanan tersebut. Seperti biasa Arini selalu memperhatikan asupan Baim dengan teliti. Ada sayur, perkedel jagung, dan ikan pepes. Ada juga buah pisang.

"Kamu yakin akan menghabiskan semua?"

Ia mengangguk. Aku tahu ia dalam masa pertumbuhan. Dan tinggi badan kami sudah hampir sama di usianya yang memasuki dua belas tahun. Ukuran sepatu kami pun hanya berbeda tiga nomor sekarang. Benar saja ia tidak menambahkan nasi. Hanya menghabiskan ikan dan ayam bakar.

"Ayah mau bakwan jagungnya?"

Aku mengangguk, ia memberikan seluruhnya padaku. Sesuatu yang biasa kami lakukan, berbagi makanan. Kunikmati masakan Arini. Masih enak seperti dulu. Hal seperti ini kadang membangkitkan kenangan tentang dia. Entahlah, aku merasa bahwa Baim ingin agar aku memelihara kenangan tentang ibunya. Meski ia tidak berkata apapun.

"Tahun depan aku lulus SD. Mau SMP, yah."

"Kamu mau sekolah di mana?" tanyaku.

"Di tempat yang sekarang saja. Supaya tidak jauh dari rumah."

"Yakin? Tidak mau ke Jakarta? Supaya dekat dengan ayah?"

"Kasihan bunda nanti sendirian. Lagian ayah kan kerja terus. Mending seperti sekarang, kita ketemu weekend."

"Apa kamu ada masalah dengan ini?" tanyaku serius.

"Sama sekali enggak. Aku senang kok, bisa membagi waktu bersama ayah dan bunda."

"Terima kasih." jawabku singkat.

Kami kemudian pulang ke rumah. Selesai mandi sore, menjelang maghrib kudengar suara Baim membaca Al Quran. Suaranya terdengar sejuk di telinga. Putraku sudah besar sekarang. Malam harinya kami habiskan dengan bermain game. Sebuah hobi baru bagiku. Mengikuti keinginan Baim.

Pukul sepuluh malam, seperti yang sudah terjadwal, aku mengantarnya tidur. Setelah terlelap, kumatikan lampu lalu kutinggalkan ia sendiri. Kumasuki kamar yang sepi. Kadang saat termenung aku berpikir. Akan seperti apa kehidupanku di masa datang. Sampai saat ini tidak ada keinginan untuk menikah lagi. Sehingga tidak ada satupun teman wanita yang dekat denganku.

Hidupku hanya memiliki dua tujuan. Yakni bekerja, dan anak-anakku. Miranda dan Baim sudah saling kenal. Awalnya Baim merasa tidak nyaman berada dekat dengan adiknya. Namun akhirnya sudah terlihat lebih menerima. Padanya kutanamkan satu hal. Bahwa ia adalah kakak laki-laki yang harus melindungi adiknya. Karena kelak, kalau aku sudah tidak ada, ia lah yang menjadi wali Miranda.

Aku juga mengenalkannya pada mami dan adik perempuanku, Sandra. Mereka bisa menerima Baim. Bahkan kadang mengajak saat ada pertemuan keluarga. Sehingga putraku sedikit demi sedikit masuk dalam lingkungan keluarga besar. Tapi tidak kupaksakan. Biarlah semua berjalan dengan alami.

Semua baik-baik saja. Hanya satu hal yang akan membuat Baim kesal. Yakni jika ada perempuan yang mendekatiku. Mengirimkan makanan dan juga menelfon saat malam. Dia akan langsung pergi dengan wajah cemberut. Saat kami berbincang, kadang ia sering menyelipkan cerita tentang kabar Arini. Kalau sudah seperti itu, aku tidak akan memotong pembicaraan. Ia begitu bangga pada ibunya. Dan aku mengakui, Arini layak untuk dipuja oleh Baim.

***

Aku baru saja selesai mengecek salah satu outlet kopi saat bertemu Arini yang baru ke luar dari sebuah butik. Kebetulan sekali.

"Mau ke mana, Mbak?" sapaku.

Ia terlihat kaget. "Pulang, kamu?"

"Baru selesai dari outlet. Makan siang bareng, yok." Kucoba mengajaknya.

Beruntung, ia langsung menyetujui. Kami berangkat menggunakan kendaraan masing-masing. Menuju sebuah resto yang terkenal dengan masakan khas Bali. Aku memilih sebuah tempat di sudut. Sehingga lebih tenang.

"Mbak mau makan apa?"

"Samain dengan pesanan kamu saja, biar nggak lama."

Sebuah pilihan bagus, disaat jam makan siang yang padat. Akhirnya kami sama-sama diam. Ada perubahan dalam diri Arini. Kurasa ia sedang memiliki beban yang berat.

"Maaf, kalau saya lancang. Mbak sedang punya masalah?"

Arini tersenyum tipis. Namun menatap ke arah lain.

"Biasalah orang hidup."

"Baim apa kabar?" tanyaku lagi mencoba mencairkan suasana.

"Sedang sekolah."

"Mbak masih menjemput?"

Ia menggeleng. "Mbak titip sama tetangga. Kebetulan mereka sekolah di tempat yang sama. Mbak kebagian mengantar dan Rianty yang menjemput."

Aku tersenyum kecil, melihatnya yang kini lebih santai.

"Sekarang jarang jualan makanan ya, Mbak?"

"Iya, lebih fokus mengurus bisnis asesoris."

"Perkembangannya pasti bagus. Karena perempuan tidak bisa lepas dari hal itu."

"Ya, kebetulan sejak dulu saya tertarik pada dunia desain perhiasan. Dan sekarang baru punya kesempatan untuk mengembangkannya."

"Wow, saya senang mendengarnya. Mbak itu multi talenta. Keripik mbak banyak yang suka lho. Karena enak. Sekarang malah sudah merambah ke dunia yang berbeda."

"Masak sih? Saya kadang malah nggak percaya diri."

"Mbak harus bersyukur karena punya banyak keahlian."

"Entahlah, saya merasa mudah sekali down. Apalagi kalau ada yang mengkritik."

Kutatap wajah cantik dan lembutnya. Paham ia hanya kurang percaya diri. Aku tidak tahu bagaimana latar belakang kehidupannya jadi tidak bisa menghakimi.

"Kadang manusia memang harus seperti itu agar bisa tetap rendah hati, Mbak. Tapi jangan kebanyakan, karena bisa menghambat keberhasilan. Kritik penting untuk kemajuan kita sendiri."

"Entahlah, saya merasa sangat sulit untuk percaya bahwa saya mampu. Harus didorong dulu. Sama seperti waktu kamu bilang mau menerima titipan keripik saya. Semalaman saya tidak bisa tidur. Takut tidak laku, takut tidak ada rasanya, takut kemasan rusak. Dan banyak ketakutan lain."

"Buktinya yang mbak takutkan itu tidak terjadi, kan? Keripik mbak selalu habis."

Ia mengangguk. "Iya, sampai kemudian saya menyesal." Jawabnya sambil tersenyum.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

12521

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top