13

Hari-hari kulalui seperti biasa. Sekarang, bisnis kuliner dan asesorisku semakin berkembang. Ada seorang teman Kak Tiar yang merupakan perancang busana. Suatu hari kami bertemu di toko tas miliknya. Temannya yang bernama Michael, tertarik dengan sebuah bros yang kubuat. Saat itu juga ia menggambar sebuah anting-anting sesuai keinginannya. Lalu memintaku membuat sesuai contoh.

Kuterima tantangannya, dua hari kemudian ku kirim ke butiknya. Ia puas. Mulai saat itu akulah yang selalu diminta membuat asesoris pendukung rancangannya. Perlahan, namaku mulai dikenal banyak orang. Terutama saat Michael melakukan pameran, maka namaku akan tertulis juga sebagai pihak pendukung.

Akhirnya, aku membuat workshop sendiri. Kali ini memanfaatkan halaman belakang. Meski sedih karena tanaman harus dibongkar. Tapi itu satu-satunya jalan keluar yang ada. Tidak mungkin membeli rumah atau menyewa. Aku tidak ingin jauh dari Baim. Putraku kini sudah duduk di kelas lima SD. Selama itu pula aku menjalani hidup sendirian.

Sedih? Jelas. Tapi aku belum berani keluar dari tembok yang kubangun. Beberapa sahabat mencoba mengenalkan pada rekan suami mereka yang sudah duda. Tapi dengan halus kutolak. Tidak ingin menambah masalah dalam hidup. Apalagi mereka rata-rata duda cerai. Aku malas berhubungan dengan mantan istri atau anak-anak mereka kelak. Pengalaman selama ini mengajarkan, untuk tidak bermain-main dalam memilih pasangan.

Katakanlah egois, tapi jelas aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku. Aku tidak percaya cinta. Mungkin memang tidak layak untuk menerimanya. Sekarang, aku semakin jarang ke luar rumah. Seluruh bahan sudah kubeli secara online. Atau kadang tinggal menghubungi toko langganan.

Hubunganku dengan Rangga juga semakin jauh. Kami hanya berkomunikasi tentang perkembangan Baim. Beberapa kali dia mengajak putraku menginap, sehingga akhirnya menjadi rutinitas. Kuijinkan, meski ada rasa takut yang besar. Kalau-kalau dia akan mengambil hak asuh dari tanganku. Tapi saat melihat Baim yang sangat antusias, aku harus merelakan. Tidak tega melihatnya kecewa. Aku mulai menyadari, bahwa menjadi orang tua dalam sebuah perpisahan sebegitu sulitnya. Karena melibatkan perasaan anak-anak.

Malam ini aku kembali sendirian. Seluruh pekerjaan sudah selesai. Mbak Tarni dan putrinya pasti sedang menonton televisi. Sampai kemudian sebuah pesan memasuki ponselku. Dari Edwin ternyata.

Malam, mbak.

Malam, Win. Apa kabar?

Baik, apa aku mengganggu?

Sama sekali enggak. Ada apa ya?

Nggak ada apa-apa mbak, cuma mau ngobrol aja. Boleh?

Aku tertawa dalam hati. Sudah lama memang tidak punya teman berbincang. Biasanya cuma sahabat-sahabatku dan juga Mbak Tarni. Palingan obrolan kami seputaran masalah rumah tangga atau anak-anak yang rewel. Jelas tidak mampu mengisi kekosongan hatiku. kadang aku merasa sendirian dan kesepian. Apakah ini normal untuk usiaku yang sudah berusia diatas tiga puluh tahun? Kembali aku tersentak mendengar suara denting pada ponsel.

Mbak?

Apa yang diinginkan Edwin sebenarnya? Tidak mungkin bertanya tentang keripik. Kalau itu biasanya ia akan langsung memesan.

Ya, Win?

Aku boleh telfon nggak?

Silahkan.

Tak lama, sebuah panggilan masuk ke ponselku.

"Kok tumben, Win."

"Mau ngobrol aja, apa mbak sibuk?"

"Tidak sama sekali."

"Baim sudah tidur?"

"Dia sedang menginap di rumah ayahnya."

Tak kudengar suara apapun.

"Tapi mbak nggak sendirian di rumah, kan?"

"Nggaklah, kan ada Mbak Tarni."

"Biasanya berapa lama Baim menginap?"

"Minggu sore juga sudah diantar. Kan seninnya sekolah."

"Besok mbak sibuk?"

"Nggak juga, kamu kenapa sih?"

Terdengar suara tawa di ujung sana.

"Kalau mbak mau, ayo ngopi di tempat saya. Besok bawa Mbak Tarni sama Wanti juga."

"Kamu itu, mbak kira tadi ada apa." aku jadi ikutan tertawa.

"Iya, selama ini mbak kan cuma nyicipin kopi saya, kalau saya bawakan. Sensasinya beda lho kalau Mbak Arini minum di sini langsung."

Aku berpikir sebentar. Memang sudah cukup lama tidak mengajak orang yang membantuku untuk ke luar, meski sekedar makan mie ayam di depan kompleks. Kami lebih sering memesan lalu makan di rumah.

"Baiklah, tapi ke warung kopi yang di mana? Outlet kamu kan banyak."

"Di kedai minuman sehat saja mbak. Itu yang paling nggak jauh dari rumah Mbak Arini. Di sana ada kopi juga kok. Meski variannya nggak banyak."

"Ya sudah, jam berapa kamu di sana?"

"Sebelum jam makan siang ya."

Aku menyanggupi. Lagi pula karena kami sudah bertahun-tahun kenal. Tidak lah aneh kalau akhirnya kami minum kopi bareng. Apalagi ada Mbak Tarni dan putrinya. Tidak akan menimbulkan gossip orang. Rasanya sesekali aku memang butuh ke luar rumah.

***

Jadilah pukul setengah dua belas siang, kami bertiga menuju outlet Edwin. Aku tahu tempat itu. Karena beberapa kali lewat sana. Mbak Tarni dan putrinya sangat senang. Mereka mengatakan, jarang-sekali kami jalan-jalan bersama.

Edwin sudah menunggu. Ia mengenakan kemeja abu-abu polos dengan lengan yang digulung sampai di siku. Berpadu celana jeans dan sneakers. Penampilannya persis seperti pemilik bisnis start up muda yang sedang in. Saat masuk aku menyadari, tempat ini tidak terlalu besar. Hanya ada empat set kursi dan meja di dalam.

"Pembelian kebanyakan take away dan online, Mbak. Jadi memang jarang orang minum di sini."

Aku mengangguk. Kami kemudian memesan minuman sesuai selera masing-masing. Aku mencoba kiwi smoothies-nya. Sangat segar ditenggorokan. Rasanya juga enak. Mungkin karena kualitas buah yang memang bagus.

"Ini outlet ke berapa, Win?" tanyaku. Kami memang duduk berdua. Sementara Mbak Tarni bersama Wanti di meja lain. Karena meja sengaja diatur sangat minimalis.

"Untuk jus, ini yang keenam Mbak."

"Kamu hebat sekali, masih mudah banget sudah punya bisnis sebesar ini."

"Kebetulan saya suka penganut, muda bekerja, tua kaya raya, mati masuk surga." ucapnya sambil tertawa. Akhirnya aku juga ikut tertawa. Edwin mampu membuat suasana menjadi lebih ramai.

Selama duduk di sini, entah sudah berapa kali ojek online datang. begitu juga pembeli yang membawa pulang. Edwin kadang pamit untuk menyapa mereka. Satu yang kuakui, ia memang sangat ramah, pada siapapun. Bahkan para pengendara ojek bisa mengisi air mineral secara gratis saat datang mengambil pesanan.

"Apa air mineral itu kamu menghitung ke modal usaha?"

Ia tersenyum namun kali ini menatapku lekat. Ada kilatan samar yang sulit kuartikan di sana.

"Itu dari kantongku sendiri, Mbak. Aku menganggap mereka musafir. Sebagai pemilik rumah, kita wajib memberi mereka minuman. Bekal dalam perjalanan. Apa yang kucapai sekarang ini bukan melulu tentang uang. Tapi juga berbagi kebahagiaan. Cuma sanggupnya memang masih air mineral. Semoga kelak bisa naik menjadi teh manis atau lebih."

"Kamu masih sangat muda, tapi sudah menemukan jalan hidupmu sendiri. Mbak yang sudah seumur sekarang, masih mencari."

"Setidaknya aku bersyukur, sudah bisa berada di posisi ini."

"Berapa usia kamu sekarang?"

"Dua empat, Mbak."

"Wow, saya yang sudah tiga empat kalah jauh sama kamu."

"Laki-laki dan perempuan memang ditakdirkan berbeda. Kami, selain harus menanggung kehidupan keluarga sendiri kelak. Masih ada tanggung jawab terhadap ibu. Karena itu katanya pundak laki-laki harus lebih kuat mbak."

Aku mengangguk. Tak lama sebuah motor parkir di halaman. Tapi aku tahu dari seragamnya, kalau itu adalah salah seorang karyawan Edwin. Kini beberapa porsi nasi bakar sudah ada di depan kami.

Mbak Tarni tersenyum lebar.

"Ini hasil produksi kamu juga?"

"Bukan, Mbak. Ada seorang yang sekarang menitip kue tradisional di outlet kopi punya usaha sampingan nasi bakar. Tadi aku pesan untuk makan siang kita."

"Mbak jadi nggak enak. Sudah ditraktir minum, sekarang malah makan siang."

"Ya nggak apa-apa. kita kan sudah kenal lama. Ayo makan siang, Mbak." Ajaknya sambil menatap kami semua.

Kuhabiskan sepanjang siang yang terik itu bersama dengan Edwin. Sampai akhirnya kami pamit dengan perut kenyang. Dalam perjalanan pulang, kunyalakan AC mobil cukup besar. Mbak Tarni yang duduk di sampingku berkomentar.

"Mas Edwin itu hebat banget ya, Bu. masih muda, tapi bisnisnya banyak."

"Iya, banyak anak muda sekarang seperti dia. Tapi biasanya di dukung oleh keluarga juga, Mbak."

"Mungkin keluarganya juga kaya ya, bu."

"Bisa jadi." Jawabku singkat. Entah kenapa aku merasa mengantuk.

***

Rasanya ingin berteriak girang, saat Mbak Arini menerima undanganku. Aku sendiri berani melakukan itu setelah memastikan kalau ia memang benar-benar perempuan single. Aku suka senyumnya yang malu-malu. Tutur kata yang lembut dan caranya menatapku. Sangat menghargai orang yang tengah berbicara dengannya.

Sikap sopannya sangat alami. Tidak banyak perempuan yang memiliki itu. Selain attitude yang aku tahu memang diatas rata-rata. Hampir tiga jam tadi kami mengobrol. Sengaja kuundang bersama karyawannya, agar tidak telalu meanrik perhatian banyak orang. Lagi pula beberapa karyawanku sudah mengenalnya.

Sebenarnya sudah sejak tiga tahun terakhir, Mbak Arini tidak lagi fokus pada bisnis keripiknya. Seandainya pun berproduksi hanya untuk outletku. Ia lebih fokus mengembangkan bisnis asesoris yang memang sedang berkembang pesat.

Satu yang juga kukagumi, ia tidak terlihat berubah. Meski tahu bahwa dunia fashion bisa merubah kepribadian seseorang. Namun sosoknya tetaplah sederhana. Sebagaimana kukenal sejak awal. Hal ini membuatku semakin yakin untuk mendekati. Aku butuh perempuan seperti dia yang sabar dan penuh pengertian. Aku tahu, jalanku tidak mudah. Tapi ia layak untuk diperjuangkan.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

9521

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top