Bagian Empat Puluh Satu | Legendary War
Hewooo ada yang nungguin cerita ini?
Jadi sudah siap untuk pembalasan Kaisar kepada orang-orang jahat?
Absen dulu nama kalian!
Jangan lupa untuk memberikan vote!
Jangan lupa untuk komen disetiap paragraf.
Selamat Membaca Cerita Kaisar.
***
Now Playing | Olivia Rodrigo - Happier
Bagian Empat Puluh Satu | Legendary War
Takdir itu ada, dan nyata. Seperti kematian dan kelahiran adalah sebuah ketetapan yang diciptakan oleh Tuhan.
***
Rapat untuk panitia OSPEK tahun ajaran baru sudah dimulai, rangkaian seleksi sebelumnya sudah dilakukan. Kaisar disimpan di divisi lapangan, ketua Divisinya bernama Rahman anak dari jurusan Sastra. Untuk sejauh ini ketua Divisinya cukup sejalan dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya, jadi Kaisar tidak terlalu banyak bacot, meskipun jika dibandingkan dengan anggota yang lain, pemuda itu banyak memberikan pemikiran-pemikirannya untuk OSPEK nanti.
Hari ini mereka melangsungkan raker (rapat kerja) untuk pertama kalinya, semua mahasiswa yang mendaftar dan lolos sebagai panitia ada dan wajib hadir dirapat pertama itu.
Kebiasaan Kaisar adalah mematikan ponselnya ketika dia sedang melangsungkan rapat, namun hari itu dia melupakan kebiasaannya. Sehingga ponselnya masih menyala bahkan dalam keadaan dering.
Saat rapat sudah berjalan setengah jalan, ponselnya menginterupsi ketika rapat sedang khidmat-khidmatnya. Semua mata langsung tertuju pada Kaisar, Kaisar meminta maaf dan dia membuka ponselnya bernkat untuk mematikan panggilan itu. Tapi, nama yang tertera di layar ponselnya membuat Kaisar mengurungkan niatnya, dia justru meminta izin untuk mengangkat panggilan itu.
Dia keluar dari ruangan rapat dengan perasaan sedikit gelisah, karena tidak biasanya perawat Ibunya menelepon ketika dia sudah memberi kabar bahwa hari ini ada rapat untuk OSPEK.
Jeda, terdengar helaan napas sang perawat. Tak mengatakan apa pun, selain menyuruh Kaisar untuk segera datang ke rumah sakit. Hanya sebuah kalimat.
"Kaisar pulang duluk yuk ke rumah sakit."
Saat Kaisar bertanya kenapa dan mengapa, jawabannya akan selalu sama bahwa Kaisar diminta untuk segera pulang dan perawatnya juga berpesan agar Kaisar mengendarai mobilnya dengan hati-hati dan tidak perlu terburu-buru.
Tentu, Kaisar merasa panik, gelisah dan resah. Pikiran negatif menyerang dirinya. Bayangan-bayangan terburuk membuat Kaisar benar-benar semakin panik, meskipun dia tau bahwa lambat laun dia pasti akan merasakan namanya kehilangan.
Tepat setelah Kaisar sampai di kamar rawat Ibunya, Kaisar bisa melihat ada Dokter, keluarganya, Radea dan juga perawat di sana. Saat itu Ibunya sudah tak terpasang alat medis satu pun.
Pikirannya blank, benar-benar kosong, sebelum Radea menghampiri dan memeluknya, mata gadis itu masih terlihat bengkak dan disaat pelukan itu terasa nyata, Kaisar tau bahwa hari ini dia kehilangan Ibunya.
Dia berusaha melepaskan pelukan Radea, beranjak ke tepian ranjang Ibunya, terlihat damai namun terlihat pucat. Tangannya bergetar, air matanya terus mengalir. Kaisar menggenggam tangan Ibunya, dia baru saja kehilangan dunianya.
Dari semua yang ada di dunia ini, hanya Ibunya yang membuat Kaisar lela memberikan nyawanya sekalipun.
"Maa..." lirihnya, "maaf, Kai belum bisa jadi anak yang baik selama ini, meski Kai selalu mencoba tapi Kai tau, Kai belum bisa menuhin ekspetasi Mama." Kedua sudut bibirnya terangkat, meskipun cairan bening masih berlinang di matanya, "Mama sekarang udah gak sakit lagi, Kai tau suatu saat Mama bakalan ninggalin Kai atau Kai yang ninggalin Mama, tapi untuk sekarang Kai belum ikhlas, Kai belum rela."
Elusan lembut dari tangan Radea tersalurkan, seperti sentuhan mengerti dan dia menjanjikan akan syarat kenyamanan akan hal itu. Radea berada disampingnya, tak berpindah sekalipun yang lain mulai pergi.
Kaisar bukan tipe yang akan mengamuk mengenai hal ini, karena dia tau, dia harus mempersiapkan hati ketika kehilangan. Hanya saja, untuk secepat ini, Kaisar rasa dirinya belum siap dan mungkin tidak akan siap. Namun, inilah kehidupan, siap tidak siap tetap harus dijalani, karena kehidupan akan terus berjalan.
Kaisar mengusap air matanya, lalu dia menatap ke arah Dokter dan mengatakan bahwa dia sudah siap saat mendiang Ibunya dibawa ke rumah duka.
"Kamu kuat, hebat Kai." Dokter Franz menepuk pundak Kaisar.
"Terima kasih Dok, sudah berusaha menyembuhkan dan berusaha yang terbaik untuk Mama."
"Tentu anak baik."
Mengenakan pakaian serba hitam, dengan keadaan duduk dan menyender ke dinding menjadi pemandangan yang bisa langsung dilihat ketika menemui Kaisar. Matanya sembab, tatapannya kosong. Sedari tadi, Radea yang setia menemaninya.
"Gue beliin makan dulu ya," ujar Radea
"Dit..."
"Bentar aja, gue gak kemana-mana."
"Lo nggak akan pergi juga, kan?" tanyanya, jeda, "seenggaknya untuk saat ini."
Radea mengangguk. "Gue gak akan kemana-mana." Katanya sangat yakin.
Kaisar sendirian, sebenarnya bukan definisi sendirian yang benar-benar sendirian di sana ada Ayahnya, menerima tamu yang datang untuk berbela sungkawa, tapi tetap saja rasanya sepi, rasanya dia tidak memiliki alasan lain untuk hidupnya. Karena selama ini dia selalu mencurahkan dan tujuannya adalah untuk membalas semua yang dirasa tidak adil saat Ibunya masih hidup.
Semua rencana yang dia susun, seperti tak mendapatkan titik balik sama sekali. Sampai ada satu orang yang datang langsung memeluk Kaisar, dia menangis sejadi-jadinya.
Tangisannya terdengar sedih sekali, Kaisar mengusap lembut punggung gadis itu.
"Ara... dimaafin ya kalau Mama punya salah."
Sederhana, namun mampu membuat tangisan Ara semakin keras, Kaisar berusaha menenangkan kekasihnya saat itu. Mendengar tangisan seperti itu, membuat perasaan Kaisar terasa teriris, dia juga merasakan sakit yang dalam.
"Kai, Ara ada kapan pun kalau kamu butuh."
"Thank you sayang."
***
Radea membawa beberapa kantong makanan, namun langkah kakinya terhenti saat dia melihat Ara tengah menyuapkan nasi ke mulut Kaisar. Radea menghela napasnya perlahan, melihat kantong makanan yang sengaja dia belikan untuk Kaisar karena dia tau Kaisar pasti belum makan.
Dia tidak marah melihat hal itu, hanya saja hatinya merasa sakit melihatnya. Tidak apa-apa, Radea selalu menanamkan hal itu pada dirinya. Dia yang melepas dan kelihatannya Kaisar bahagia bersama dengan Ara dan Ara bisa memenuhi hal-hal yang tak pernah bisa Radea penuhi ketika menjadi pacar Kaisar.
Dia beranjak, berniat meninggalkan rumah duka dan akan memakan makanannya sendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat seorang pemuda mengobrol dengan beberapa staff yang ada.
Itu kakaknya Ara. Terlihat tampan jika dilihat langsung. Tapi, Radea tak mau mengganggunya dan moodnya sekarang bukan dalam hal yang ingin bercanda. Tapi, saat Radea berjalan melewati tempat Ezra, pemuda itu menanggil namanya. Karena panggilan itu, langkah kaki Radea berhasil terhenti.
"Kamu mau kemana?" tanyanya
"Makan..." Radea mengangkat kantong makanannya.
"Sebanyak itu?" Ezra kembali bertanya.
"Tadinya buat Kaisar, tapi dia udah makan. Jadi, mungkin gue makan atau kasih yang lain."
Ezra mengangguk, lalu dia mengajak Radea untuk makan bersamanya. Radea tak memiliki alasan untuk menolak, dia mengikuti dan menyetujuinya.
Mereka berdua duduk di gazebo taman rumah sakit, duduk bersebrangan dan Ezra melihat Radea yang menyiapkan makanan untuknya dan dirinya sendiri.
"Thank you," ujar Ezra
"Harusnya gue gak sih kak yang bilang makasih udah ditemenin," kata Radea.
Ezra tersenyum, "Terima kasih udah jadi anak yang gak egois." Ezra mengusap puncak kepala Radea, sebagai bentuk afeksi untuk gadis itu, "Ara kasih tau saya, mengenai hubungan kamu dan Kaisar."
"Kirain dia kenalin gue sebagai calon kakak iparnya."
"Saya sudah punya pacar, Radea."
"Cuman punya satu, kan? Nambah satu lagi gapapa, asal gak ketauan."
Ezra tertawa, "Kamu nih."
"Yeee, gue serius tau."
Ezra tau gadis itu sedikit kecewa karena ketika dia berniat makan bersama dengan Kaisar, dia melihat Kaisar tengah makan bersama dengan Ara. Ezra pikir, Radea akan membuat sedikit drama dengan mengajak Kaisar makan bersamanya atau dia akan membuat Kaisar berada diposisi tidak enak. Namun nyatanya kekhawatiran dia tidak terjadi, karena Radea ini jauh lebih dewasa dan tidak memaksakan kehendaknya.
"Banyak loh yang lebih dari saya, apalagi kamu ini cantik."
"Jadi gue cantik ya kak?" tanya Radea sambil tersenyum simpul.
"Cuman orang buta yang bilang kamu enggak cantik, Radea."
"Pacar kakak juga cantik?" Radea terus bertanya.
"Ya, cantik untuk saya. Tapi, kan saya mau sama dia bukan karena dia cantik, tapi karena kita berdua cocok, obrolannya nyambung juga satu visi misi buat kedepannya."
"Yaelah, kriteria gitu doang mah gue juga bisa kali."
Ezra tak menjawabnya, dia hanya tersenyum simpul. Dan Radea tau, bahwa lelaki di depannya ini akan sulit untuk tergapai, dia memiliki kontrol yang bagus. Menghargai kekasihnya dan tidak menolak orang lain dengan cara kasar.
Wajar saja sih, mengingat usia Ezra sudah tidak bisa dibilang remaja lagi, jadi pola pikirnya akan jauh lebih matang daripada anak-anak seusia Radea.
***
Ditengah-tengah Kaisar sedang melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran untuk menjadi penghantar mendiang Ibunya, dan sang Ayah yang sibuk dengan kedatangan para pelayat dari koleganya. Saat itu, Kaisar tidak mau menambah beban, dia hanya berusaha untuk memperlihatkan hubungan dia dengan Ayahnya baik-baik saja, mengingat itulah yang paling diinginkan oleh mendiang Ibunya.
Sebelum ada Luna masuk ke dalam kehidupan keluarganya, mereka adalah keluarga yang bahagia. Sebelum Ibunya di vonis akan penyakitnya, semuanya terlihat sangat normal. Meski sang Ayah masih sibuk dengan pekerjaannya, setidaknya keluarga mereka tidak melibatkan orang luar saat itu.
Ibu sambungnya sempat datang kesana sebelum memulai aksi dramanya lagi, mengenai kandungannya. Kaisar tidak sempat fokus ke arah sana, namun disaat Ayahnya duduk disamping Kaisar menepuk pundaknya perlahan, mengambil air wudhu yang pada akhirnya membuka Al-Quran, satu-satunya benda yang jarang dia pegang dan dia baca.
Terlihat netra kesedihan dari wajah Ayahnya, Kaisar tau Ayahnya pasti kehilangan. Tapi, setelah apa yang dilakukan Ayahnya kepada dia dan Ibunya, itu membuat perasaan dendamnya semakin mencuat.
Bisa-bisanya Ia mengkhianati orang yang sudah menemaninya sedari dulu.
Tepat disaat Ayahnya sudah membaca surah Yassin baru beberapa Ayat, sang nenek datang membawa kabar bahwa Luna akan segera dibawa ke ruang operasi untuk melahirkan. Luna meminta ditemani, merengek dan sang Nenek memaksa agar Ayahnya ikut.
Kaisar memohon dan meminta kala itu, agar Ayahnya tetap berada disana setidaknya sampai dia selesai mengajikan jenazah Ibunya, dengan air mata yang mengalir di pipinya, Kaisar memohon dengan harapan terakhirnya, merendahkan harga dirinya, meminta bahkan seperti mengemis.
Setidaknya tetap tinggal di sana, sampai 83 ayat surah itu selesai dia bacakan.
Tapi, tentu saja yang didapatkan Kaisar adalah kekecewaan, karena Ayahnya menutup Al-Quran setelah itu pergi meninggalkan Kaisar bersama dengan yang lainnya. Lebih memilih untuk menemani istri keduanya.
Kaisar bertedak jika Ayahnya pergi begitu saja dari rumah duka, dia tidak akan memaafkan seluruh keluarganya dan yang pasti dia akan membalaskan dendam tanpa ampun kepada semuanya, kepada orang-orang yang pernah menyakitinya bahkan seujung kuku pun dia tak akan memberikan maaf.
Radea ada di sana bersama dengan Ara, kedua gadis itu berusaha menahan ego masing-masing untuk siapa yang paling Kaisar butuhkan saat ini, karena nyatanya Kaisar membutuhkan keduanya. Radea yang berusaha menerima bahwa dia harus membiasakan diri akan hadirnya Ara ditengah-tengah mereka dan Ara yang harus memaklumi bahwa di hidup Kaisar bukan hanya dia seorang yang mengisi.
"Kaisar, nyokap lo mau dimakamin di kuburan keluarga?" tanya Radea
"Iya," jawab Kaisar
"Kai, lo akan benci sama adik lo?" Radea kembali bertanya.
Kaisar menggeleng, "Dia gak tau apa-apa dan dia gak bersalah atas kesalahan orang tuanya."
"Kaisar..." suara Ara terdengar lembut, Kaisar tersenyum lalu mengelus pipi Ara.
"Kenapa sayang?" tanya Kaisar
"I'm proud of you," ujar Ara tulus, "kamu orang terkuat yang pernah aku temui."
"Aku harus kuat untuk diriku sendiri Ra dan untuk Mama."
Setelah kabar bahwa Ibu sambungnya melahirkan anak perempuan di waktu pukul 3 dini hari, kemudian dia mendengar Neneknya yang tengah mempersiapkan pesta kejutan untuk penyambutan cucu perempuannya. Itu menyakiti perasaan Kaisar.
Tidak bisakah mereka setidaknya bersimpati sedikit saja bahwa hari itu mereka juga tengah kehilangan anggota keluarganya, malah sibuk mempersiapkan kedatangan anggota baru.
Bahkan dihari pemakaman Ibunya, meski Ayahnya datang menemani, keluarganya datang untuk mendapat simpati publik, tak ada satu pun dari mereka yang stay di pemakaman. Mereka cepat kembali dengan alasan bahwa Luna dan anaknya tidak bisa ditinghal, padahal ada beberapa suster yang menjaga.
Yang paling Kaisar benci adalah saat Luna dengan sengaja menelpon Ayahnya dan juga Luna yang meminta tidur di kamar utama, kamar di mana sebelumnya ditempati oleh Ibunya dan brengseknya Ayahnya menyetujui hal itu.
Kaisar tak ingin pulang ke rumah, dia ada di sana dengan Radea dan Ara di samping kanan dan kirinya. Sahabat-sahabatnya ada di sana, bahkan Rangga juga ada. Orang tua Ara dan Radea yang masih menemani. Apalagi orang tua Radea yang sangat mengenal Kaisar dan mereka tau bagaimana pemuda itu sangat terpukul akan kehilangan Ibunya.
"Kaisar..." panggil Ibunya Radea
"Iya tante?"
"Setelah kamu siap, Tante akan kasih tau kamu surat wasiat yang dibuat oleh Ibu kamu."
Ternyata Ibunya telah menyiapkan semuanya, seolah dia tau bahwa umurnya tak lama lagi. Kaisar hanya mengangguk sebagai bentuk jawaban.
Kaisar disana dengan Ara yang memeluk pinggangnya, berusaha menguatkan. Kaca mata hitam untuk menyamarkan matanya yang bengkak.
"Kamu mau pulang?" tawar Ara
"Nggak, untuk hari ini."
"Mau ke rumahku aja? Kamu perlu istirahat, kalau kamu cape terus sakit, gimana?" tawar Ara dan Kaisar hanya mengangguk patuh.
Radea melihat itu di sana, melihat bagaimana Kaisar bisa tetap memusatkan perhatiannya untuk Ara dan itu menyakiti sekaligus membuat dirinya senang. Setidaknya masih ada orang yang tulus menyayangi Kaisar selain dirinya sendiri.
Ara mengajak Kaisar masuk ke dalam mobil keluarganya, Kaisar menyenderkan kepalanya di bahu Ara, memejamkan matanya dan Ara mengelus lembut puncak kepala Kaisar.
Melihat Kaisar selemah ini, membuat Ara ikut merasakan sakit. Sebelum Kaisar terlelap dalam perjalanan pulang, dia sempat membisikan sebuah kalimat tepat ditelinga Ara.
"Terima kasih, sayang."
***
Terima Kasih Sudah Membaca Cerita Kaisar
Jadi kalian tim siapa nih?
#Ara
#Radea
Di bab sebelumnya banyak yang kesel ke Ara, tapi aku kalau jadi Ara bakal langsung ngomong kalau dia gak suka sama sifat Radea yang melakukan hal yang biasa mereka lakukan, karena kan dulu belum ada dia dan sekarang kejadiannya beda.
Bagus kan kalau ngomong diawal dan didepan jadi enggak salah paham dan berlarut-larut.
Cemburu itu perlu, membangun daerah teritorial juga harus. Karena kalau membiarkan keluar jarak, namanya bukan memberi kebebasan tapi tidak peduli.
***
Ada komentar di sini?
Kasih semangat untuk Kaisar?
Siapa tokoh yang harus Kaisar bantai pertama?
1. Luna
2. Neneknya
3. Bapaknya
***
Spam komen di sini!
Komen 7.500 untuk lanjut😝
Jangan lupa follow instagram :
Asriaci13
Zhixinjiwakaisar
Azraorianna
Radeaprodhite
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top