Kafe di Pinggir Jalan [End]
Perempuan berambut pirang itu melempar tasnya asal. Ia membaringkan tubuhnya di kasur, lalu memejamkan mata sejenak.
Sudah jam berapa ini?
Dengan malas, ia membuka mata dan mengalihkan pandangan pada jam weker yang berada di atas nakas. 10.15, Dia menghela napas. Jelas saja dia kelelahan seperti ini.
Dari jam 7 pagi hingga 10 malam, Ia habiskan waktunya untuk mengurus permasalahan tentang ekonomi antar negara. Melelahkan.
Ia menyampingkan posisi tubuhnya, ingin menuruti keinginan matanya untuk terpejam. Tapi hal itu buyar sudah saat ponsel nya berdering dari dalam tas nya.
Ia mengambil bantal dan menutup kepala nya, berusaha agar tidak mendengar suara bising tersebut. Tak lama kemudian, nada dering dari ponsel tersebut berhenti.
Namun dalam hitungan detik saja, ponselnya kembali berdering.
Ia mendecak sebal, melempar bantalnya asal dan menarik tas lempangnya sembarangan.
Membalikkan tas lalu menggoyangkannya, membuat semua isi tas tersebut berjatuhan di atas kasur.
Dilihatnya nama penelepon di layar ponselnya itu. Matanya membulat. Ia yang tadinya mengantuk, entah kenapa jadi segar kembali saat melihat nama penelepon.
Segera, ia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan yang sempat ia abaikan tadi.
"Halo, Karma?"
♡ ♡ ♡
Kedua jenis kelamin yang berbeda, duduk berdua di sebuah cafe yang minimalis. Duduk berseberangan di meja dan kursi terbuat dari kayu dan di cat mengkilap, menambah nilai tambah dari kafe ini. Memang, selera si pria sangat tinggi.
"Bagaimana kabarmu?"
Wanita berambut pirang itu membuka pembicaraan. Sebenarnya, ia sedikit gugup. Karena ini adalah pertemuan pertama mereka, sejak beberapa tahun lamanya berpisah.
"Seperti yang kau lihat."
Kali ini mereka datang dengan balutan baju kasual. Sangat aneh jika mereka datang dengan baju formal bukan? Lagipula, mereka sedang bersantai. Bukan sedang bekerja.
Diam. Tak ada lagi yang membuka mulut. Wanita pirang itu berpikir, mencari-cari topik apa yang pas.
Ayolah, aku tidak mau terjebak dalam suasana canggung seperti ini!
"Kau semakin cantik, Nakamura."
Pria berambut merah--si lawan bicara berkata seperti itu sambil bertopang dagu dan mengulas senyuman tipis. Membuat semburat merah di pipi wanita itu muncul.
"O-Oh, begitukah?"
Wanita itu salah tingkah. Ia menggaruk tengkuk lehernya dan mengalihkan pandangan.
"Iya."
"Dan lagi, bisakah kita membicarakan sesuatu? Aku bosan."
Benar juga. Pria itu mengajaknya untuk mengobrol. Bukannya berdiam diri satu sama lain di cafe 'kan?
Wanita itu--Rio Nakamura, menghela napas. Tenang. Ia harus tenang.
Jika ia bisa berbicara di hadapan ratusan orang, kenapa ia tidak bisa mengobrol empat mata saja dengan Pria yang notabene nya teman masa SMP nya?
Tidak, tidak hanya teman masa SMP.
Lebih tepatnya, orang yang ia sukai.
"Kalau begitu.. bagaimana dengan pekerjaanmu, Karma?"
Karma Akabane--Pria yang menjadi lawan bicara Rio itu menghela napas.
"Aku tidak punya waktu banyak untuk bersantai."
Rio tertawa kecil. "Iya ya. Jadi birokrat itu melelahkan sekali ya?"
"Begitulah."
Tepat di saat itu juga, pesanan mereka datang. Karma yang memesan Tiramisu panas sedangkan Rio yang memesan Banana Split dan Strawberry Milkshake.
"Hanya itu?"
Rio mengangguk. Setelah si Pelayan pergi, Rio pun mengambil sendok yang terletak di atas mangkok, lalu mengambil sesendok es krim vanilla.
Karena disana terdapat 3 varian es krim--vanila, stroberi dan coklat , Jadi ia mengambil es krim rasa vanila terlebih dahulu. Tidak ada alasan khusus kenapa ia memilih rasa tersebut, tangannya mengambil asal.
Kini ia beralih pada pisang yang sudah di potong bulat kecil. Ia mencampurkan pisang dengan es krim vanila lalu memasukkannya ke dalam mulut. Keasyikan menikmati, tanpa sadar Karma yang masih berada disana, hanya bisa melihat Rio yang sedang memakan dessert-nya itu.
"Enak sekali ya?"
Sendok yang sudah tak berisi ia gigit dan ditempelkan di kedua bibirnya. Ia baru sadar kalau masih ada Karma disana. Menaruh sendok tersebut di atas mangkok dan menunduk menahan malu.
"Ma-Maaf."
Karma terkekeh pelan, lalu mengibaskan tangannya. "Tak apa. Kau pasti tidak ada waktu untuk jalan-jalan kan?"
"Ya.. begitulah."
Rio mengambil sehelai tisu dari kotak yang berada di sudut meja, lalu menggunakannya untuk mengelap mulutnya dari sisa es krim yang menempel disana. Walau hanya disudut bibir aja sih.
Pandangannya teralihkan pada jam tangan yang berada di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 11.30 . Ia baru ingat kalau dia mempunyai janji dengan seseorang.
"Anu.."
Karma yang sedang menyesap tiramisu nya itu menaikkan sebelah alisnya, menatap Rio dengan tatapan bertanya.
"Besok, kita akan mengobrol disini lagi. Apa kau mau?"
"Kenapa tidak?" Ia bertanya. "Tapi kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Kau sudah mau pulang?"
"Y-Ya. Aku ada janji dengan seseorang."
Karma ber-oh panjang. "Mau ku antar?"
Rio dengan cepat menggeleng, menolak tawaran Karma.
"Tidak perlu. Lagipula jaraknya dekat kok dari sini."
Mengambil tas lempang yang ia letakkan di kursi sebelahnya, lalu menggantungkannya di bahu. Rio melambaikan tangan pada Karma, yang di balas dengan senyuman dan lambaian singkat. Setelah itu, dia pergi meninggalkan kafe.
Karma, yang masih duduk manis di kafe melihat Rio yang berjalan agak tergesa-gesa dari balik kaca.
Dilihatnya rambut wanita itu yang bergoyang karena gerak tubuhnya, tanpa sadar terulas senyuman tipis dari Karma.
Kau makin cantik ya, Nakamura.
♡ ♡ ♡
Kali ini Rio merutuki dirinya sendiri.
Ia baru ingat kalau ada pertemuan dengan petinggi negara, membuatnya harus menunda pertemuannya dengan Karma terlebih dahulu.
Tapi, dengan bodohnya ia lupa memberitahu Pria berambut merah itu.
Sekarang jam istirahat, tapi tak henti-hentinya ia gelisah. Sudah beberapa kali ia mondar-mandir di satu tempat sambil menggigit telunjuknya.
Ponsel? Haha, dia lupa membawanya.
Lagipula, saat ada pekerjaan, ia sangat jarang membawa ponsel. Tapi, itulah yang membuat orang yang membutuhkannya, jadi cukup kesal karena yang dibutuhkan terlalu lama muncul.
"Eh? Nakamura, kau ada disini?"
Kakinya berhenti bergerak, telinganya menangkap suara yang sangat tak asing. Ia berbalik, mendapati sosok Pria berambut merah dengan pakaian formal.
"Ka-Karma?!"
Karma sempat terkejut dengan respon Rio, namun tak lama kemudian ia tertawa kecil.
"Baguslah kalau bertemu disini. Tadinya aku mau menjemputmu saja untuk mengajakmu ke kafe."
Ah iya.
Ketemuan di kafe.
Rio menggaruk pipinya bingung.
"Sebenarnya.. aku masih ada pertemuan dengan petinggi negara dan aku tak tau kapan selesainya."
Menunduk, tidak berani menatap Karma secara langsung. Ia malu.
"Tak apa. Kutunggu."
Mendengar hal itu, matanya membulat dan langsung mengadah -- menatap Karma terkejut.
"Serius?" Karma mengangguk.
"Kalau begitu, selamat bekerja."
Ia mengedipkan sebelah matanya sebelum pergi meninggalkan Rio sendirian. Rasa panas menjalar di pipi wanita pirang itu.
Bahkan, ia sampai tak sadar bahwa orang yang sudah menunggunya di dalam ruangan memanggil namanya. Ia terlalu larut dalam sikap romantis Karma semenjak mereka lulus SMP.
Aku masih menyukaimu, Karma.
♡ ♡ ♡
Tepat di malam hari, dua gender yang berbeda duduk di meja yang sama, di sebuah kafe di pinggir jalan. Tempat yang sama seperti kemarin, kafe minimalis pilihan si pria.
"Aahh aku capekk!~"
Rio mengangkat kedua tangannya ke atas untuk perenggangan. Setelah itu kembali melipat kedua tangannya di atas meja.
"Pertemuannya lama sekali ya?"
Karma bertanya sambil mengaduk kopi hitam yang ada di depannya.
"Aku bahkan sempat pulang ke rumah untuk ganti baju."
Wanita itu hanya bisa menghela napas. Ia merasa bahwa pinggangnya sebentar lagi akan lepas. Terlalu lama duduk membuat tubuh bagian belakangnya pegal-pegal.
Rio menatap cangkir putih berisikan kopi hitam yang berada tak jauh dari tempatnya. Tidak, itu milik Karma. Bukan miliknya. Ia tidak terlalu suka kopi.
Ah, jika dipikir-pikir..
Karma.. sudah menikah belum ya?
Tapi, jika dia akan menikah, pasti dia akan mengundang temannya. Ya, walaupun Rio dan Karma hanya dekat karena mereka itu "Rival", tapi tetap saja. Mereka masih teman.
Dan lagi pula, orang seperti Karma pasti sudah dijodohkan. Atau sudah mempunyai tunangan. Keluarga Karma yang notabene nya orang kaya, yang namanya jodoh dan perjodohan itu sudah biasa. Katanya sih, untuk keuntungan keluarga. Dia juga tidak terlalu mengerti.
Bukankah cinta itu tidak boleh dipaksakan? Ia cukup iba dengan orang-orang yang di jodohkan karena keluarga. Padahal, kalau di pikir-pikir, orang-orang tersebut mempunyai seseorang yang mereka cintai. Memang tidak semua, tapi ada.
"Hei, apa aku boleh menanyakan hal ini?"
Rio bertanya, menatap Karma ragu. Yang ditanya bingung dengan maksud Rio. Kenapa harus minta izin? Rio Nakamura 'kan selalu blak-blakan.
"Tanyakan saja."
Awalnya dia takut. Malah nantinya akan menyinggung Karma. Tapi ia benar-benar penasaran.
Apa status hubungan Karma Akabane yang sekarang? Single? Berpacaran? Tunangan? Menikah? Atau..digantungin?
"Kau.. sudah menikah?"
Karma sempat terkejut dengan pertanyaan Rio. Tak lama kemudian ia menahan tawanya, membuat Rio menatapnya bingung.
"Ada yang lucu?"
"Kau yang lucu!"
Kali ini Rio bingung kuadrat. Lah, kenapa malah aku?
"Kalau aku sudah menikah, atau paling tidak tunangan, akan ada cincin di jari manis ku kan?"
Pria bermarga Akabane itu mengembangkan semua jarinya dan ia letakkan di atas meja, lebih tepatnya di atas meja Rio.
"Lihat? Apa ada cincin di jari manis ku? Atau jari lain?"
Rio melihat jari-jari Karma dari ujung ke ujung. Polos, tidak ada apapun yang terpasang di jarinya. Terutama jari manis. Rio Nakamura menggeleng, menandakan bahwa ia tidak melihat cincin yang tersematkan di jari Karma.
Karma tersenyum puas. Ia kembali menarik tangannya dan ia lipat kembali di atas meja.
"Jelas saja. Karena aku sedang menunggu seseorang."
Tatapannya itu menatap Rio dalam. Tepat pada iris mata. Membuat wanita itu terdiam tanpa bisa berkata apapun.
"Aku menunggumu, Rio Nakamura."
Terulas senyuman tipis di wajah Karma. Senyuman yang tipis namun membuat Rio salah tingkah. Ia tak tahu harus berbuat apa.
"Menikahlah denganku."
Rio kembali terdiam, tak tau harus menjawab apa. Ia pikir, ia sedang bermimpi karena kelelahan akibat bekerja. Pahanya, ia cubit sekuat tenaga. Yang ada, dia malah meringis kesakitan. Membuat Karma menatapnya bingung.
"Kenapa?"
Dengan cepat, Rio menggeleng sambil menyengir lebar. Ia masih di dalam kebingungan. Apa yang harus ia jawab? Ya atau tidak? Karma mengajaknya untuk menikah!
Di Kafe minimalis itu, dua insan yang berbeda duduk di satu meja. Si wanita yang sedang bingung untuk memutuskan apa ia harus mengiyakan ajakan si pria. Begitupula si pria yang masih menunggu lawan bicaranya untuk menjawab.
Suara musik klasik yang di putar di kafe, tak cukup untuk menenangkan Rio. Ia harus memutuskan dengan cepat. Tanpa penundaan.
Ia menatap wajah Karma dengan takut-takut sambil menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya pun ia ikut kepalkan. Menghela napas, lalu tersenyum kecil.
"Ya, aku mau."
-Tamat-
BIG THANKS TO Shirokuhime YANG UDAH BELA2IN BACA + KOREKSIANNYA :")))
Awalnya aku mau bikin Romance Teenfic, entah kenapa jadi Romance Chicklit /garuk dinding/. Untuk fiksi yang pake chara Karma, gatau kenapa aku ga bisa bikin plot yang romance remaja. Itu aja nulis nijikon days masih kaku kaku :")
Kenapa aku pilih KaruRio buat fic ini? Karena aku ga suka KarmaNami /lah. Sekali2 lah, membangkitkan pair minor. Lagian fic KaruRio juga jarang kan? Hoho =))
See you next project!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top