8. Sebatas Potongan Chat
Barbie:
Hati-hati di jalan ya, Mas...
Mas Dion udah sampai kantor?
Senyum kecil Dion terukir sempurna. Ia tidak ingat kapan terakhir kali mendapatkan pesan semacam itu dan mendadak lupa pada niatnya sebelum meninggalkan kantor Barbie. Bentuk perhatian sederhana. Dion menimbang-nimbang ponsel sembari melintasi koridor bersama pergulatan benak.
Dion:
Baru sampai. Kenapa? Kangen?
Dion iseng menyisipkan candaan remeh tanpa bermaksud apa-apa. Sekedar membalas potongan chat, bukan masalah besar kan?
Barbie:
Pede tingkat dewa. Ya udah kerja yang bener, jangan mau disuap.
Dion:
Mau dong disuapin
Barbie:
Tiga juta persendok ya ... soalnya Gita Soedarsono yang nyuapin
Seseorang yang menepuk sebelah bahunya, membuat Dion memasukkan ponsel ke saku celana. Begitu menoleh, ia menemukan Beno, rekan paling setia. Raut wajah laki-laki itu menampilkan guratan-guratan frustrasi yang begitu nyata.
"Kabar jelek, Yon. Lebih jelek dari Lutung Kasarung," ujar Beno.
"Kenapa?"
"Kita satu tim buat ngurus kasus korupsi Bank Centaury yang masuk Kejagung."
Dion terdiam, meresapi ucapan Beno lantas menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Kenapa enggak ditangani Senior?"
"Lo sih tadi mangkir dari makan siang bersama. Kan gue udah bilang mending kita makan di kantor sama Senior."
"Apa urusannya, Ben? Kan cuma makan siang." Dion merasa terusik jika ada peraturan tak kasat mata mengenai tempat makan siang.
"Ya, lo kan tahu kalau makan siang sama Senior pasti ada perundingan semacam konferensi meja bundar."
"Ya udah ... nasi udah jadi bubur tinggal ditelan aja." Dion memasukkan kedua tangan ke saku celana. Kalau boleh jujur, kepalanya hendak pecah. Sudah retak dan tinggal menunggu kapan akan berceceran.
"Berat, Yon!"
Mengangkat kedua alis, Dion bertanya, "Siapa bilang segampang membalik telapak tangan?"
Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju lift untuk sampai di ruangan masing-masing yang kebetulan bersebelahan. Keadaan koridor kantor lumayan lowong seperti biasanya.
"Muka lu santai banget, Man ...." Beno menggeleng lalu mendengus keras.
"Itu memang udah tugas kita, Ben. Sumpah jabatan sebelum duduk di kursi kejaksaan bukan sekedar sumpah serapah. Kita bersumpah atas nama Tuhan. Kita juga bisa duduk di kursi kejaksaan karena kepercayaan orang banyak." Dion melirik Beno sejenak. "Jangan bikin mereka menyesal karena kredibilitas lo yang begini." Pada dasarnya ia juga sedang meyakinkan diri sendiri untuk kasus besar ini.
Usai menghela napas pendek, Beno menepuk bahu Dion. "Ya udah lo leader-nya. Gue di belakang lo, tadi gue udah bilang sama para Senior."
Dion menoleh, sepasang alisnya menukik tajam. "Bagus ... lo memang paling handal lempar batu sembunyi tangan." Ia menepuk balik sebelah bahu Beno.
Laki-laki itu tergelak hingga matanya menyipit. "Gue tunggu undangan rapatnya." Kemudian Beno masuk ke ruangan yang terletak di sebelah ruangan Dion.
Baru saja hidup terasa seringan kapas. Namun perkara yang dibebankan berhasil mencekik Dion secara tidak kasat mata. Padahal ia belum melihat wujud berkas-berkasnya. Tinggal di negara sejuta konflik memang mustahil menyulap meja kerja bersih saja satu hari dari berkas perkara.
Bukan apa-apa, berkas perkara itu tidak setipis berkas pendaftaran sekolah. Satu kasus saja bisa bertumpuk-tumpuk sampai harus ditarik menggunakan troli oleh sekretarisnya. Berkas-berkas tersebut juga tidak sesederhana kertas koran atau surat pengumuman dari sekolah yang sudah dibaca lalu dijual ke tukang rongsok.
Berkas perkara apa pun yang mampir, harganya bisa mencapai milyaran jika Dion punya niatan menjualnya. Sayangnya, ia bukan orang-orang yang mencari nafkah dengan cara kotor seperti itu. Dalam prinsip hidupnya, jabatan tertinggi adalah menjadi orang yang dapat dipercaya. Karena kepercayaan memiliki nilai yang lebih dari sederet tulisan dalam sebuah papan.
Dion merogoh saku celana saat ponselnya berdering.
Cessa:
Maaf tadi aku sibuk banget..
Nanti nggak usah jemput ya, aku ada meeting di luar.
Entah kenapa, Dion mulai merasa sebatas sopir bagi Cessa, bukan tunangan. Perempuan itu bahkan tidak membalas sepotong chat darinya pagi tadi. Mereka bukan pasangan ABG labil lagi, tapi apa iya masih layak disebut pasangan? Kalau isi chating saja seputar antar-jemput. Lebih mirip isi chating antara sopir taksi online dengan customer-nya.
Dion menghela napas pendek dan memasukkan ponsel tanpa berniat membalas. Ada banyak hal juga yang harus dia kerjakan seperti Cessa. Beban penegak hukum di bahunya juga tidak kalah berat dibanding beban sebagai public relation perusahaan multinasional.
Cessa merupakan salah satu public relation di PT. Unilover. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pemenuhan kebutuhan konsumen. Namun apa iya Cessa tak dapat membalas pesan barang tiga detik saja? Harusnya pihak perempuan yang kerap menanyakan, tetapi di sini dirinya sendiri yang sering mempertanyakan itu.
Cessa berbeda dari kebanyakan perempuan, ambisinya terhadap jenjang karir begitu mendominasi.
***
"Oh, kuingin gadis di sampul majalah itu. Juga jadi gadis yang 'kan temani hari-hariku. Dan kuingin cintanya menjadi sampul di hatiku."
Biyas menyanyikan lagu milik HIVI sembari memandangi majalah di tangan. Entah apa motif dibalik nyanyian absurd-nya. Sementara tangan yang lain berguna menjadi tumpuan kepala di sofa.
Karena suara Biyas yang begitu sumbang menarik perhatian Dania, perempuan itu menyikut lengan Barbie cukup keras. Begitu mata mereka bersipandang, Dania memberikan segala macam sinyal melalui dua alis terangkat dan cengiran lebar. Barbie enggan mempedulikan hal itu, ia hanya memutar bola matanya.
Gadis itu lebih memilih menyibukkan diri memandangi gedung pencakar langit di luar sana. Ruangan tempat mereka beristirahat terdapat jendela besar. Meski yang disajikan bukan panorama keindahan alam, tapi hiruk pikuk dunia perkantoran. Raganya di sini, sedang pikiran terbang bersama Akhfa Dion Gymnastiar. Senyum tipisnya kembali terukir kala mengingat percakapan-percakapan remeh mereka.
Semudah itu seorang Anggita Barbie Soedarsono jatuh hati, jatuh cinta ....
Dan jatuh tertimpa reruntuhan asa yang sempat tergantung. Jangan lupakan bahwa Barbie bukanlah apa-apa dan siapa-siapa bagi laki-laki itu. Seharusnya ia tak memikirkan Dion sebanyak ini. Namun segalanya terlalu sulit ditepis.
Sesekali ia memijat tumit kaki, pegalnya pasti sirna jika bertemu sebaskom air hangat, pikirnya.
"Biarin aja, memang udah sinting dari dulu."
Dania tertawa lepas sampai deretan giginya terlihat.
"Gue nggak nyanyi buat lo, Bie ... jangan ge-er," sahut Biyas yang masih memandangi sampul majalah.
"Tapi sampul majalah itu kan foto Gita, Yas," celetuk Dania di sela-sela sisa tawanya.
Barbie yang menjadi bahan obrolan memilih menulikan telinga. Ia sibuk merapikan isi tas. Ada hari esok yang harus ia hadapi, blitz kamera sekian jam dan perjanjian kontrak sebuah perusahaan iklan.
Biyas memamerkan majalah yang dipegang. "Ya, ini memang Gita Soedarsono, siapa bilang ini Eli Sugigi? Kan gue tadi lagi memperingatkan Barbie, Dania. Bukan Gita Soedarsono."
Dania masih saja tergelak. "Yas, besok gue urus kenaikan gaji lo ya. Kayaknya lo butuh ngopi cantik bareng psikolog."
"Enggak butuh, Dan. Gue mau ngajak Raisa ngopi aja."
Lantas Biyas beranjak dari sofa menghampirinya. Laki-laki itu bersandar pada dinding di belakang punggung Barbie. Kelihatan tak mempedulikan sekitar, tetapi ekor matanya mengikuti ke mana Biyas pergi. Si laki-laki pengganggu seperti Dion, hanya saja artinya tentu berbeda.
"Ada apa?" Barbie menjejalkan parfum ke tas.
"Buset, galak banget. Heran Biyas enggak kapok-kapok sih," kata Dania yang beranjak meninggalkan ruangan, menyisakan mereka berdua.
"Tuh ... dengar kata Dania. Lo jangan galak-galak nanti harga pasaran turun, Bie."
"Gue bukan barang dagangan, sorry."
"Ya memang siapa yang bilang lo barang dagangan? Tadi tuh cuma kiasan, gitu doang aja ngambek. Beliin balon mau?"
Barbie meniup anak rambut di dahi. Butuh tenaga ekstra dari sekumpulan gajah betina di Way Kambas sekadar menanggapi Biyas. Dan detik ini sisa-sisa tenaganya hanya sanggup digunakan sampai masuk ke mobil Momo. Ia mengabaikan gurauan Biyas, melangkah lebar-lebar mendekati pintu.
"Minggir, gue mau lewat." Barbie melayangkan tatapan menusuk pada Biyas. Laki-laki itu menghalangi jalannya.
Biyas tersenyum penuh arti. "Pulang bareng yuk? Tadi gue lihat--"
"Gue tahu ban mobil gue pasti bocor dan untungnya Momo udah jemput di depan." Barbie menyela ucapan laki-laki itu.
Harinya sudah cukup penat. Barbie hanya ingin segera sampai di apartemen Mina dan tidur. Malam ini Julid-Trinity mengadakan pajamas party, maka dari itu Momo sukarela menjemput. Meski sudah berumur, tetapi acara tersebut tetap dipertahankan sampai satu persatu dari mereka sudah menikah.
Biyas menghela napas, tak gentar melunturkan senyum. "Ya udah hati-hati di jalan, Yang."
Barbie melotot, siap-siap melempar sebelah high heels.
"Yang haus ... yang haus," lanjut Biyas setelah menyingkir dari hadapannya. "Kasur kapuk, remot tipi, remot tipi."
Demi angin puting beliung, masa bodoh dengan Biyas yang mendadak berubah jadi pedagang kaki lima terminal. Kayang di Monas pun itu bukan urusannya. Begitu hendak melangkah, tiba-tiba high heels membuat keseimbangan Barbie goyah. Dan detik berikutnya, ia berada dalam dekapan Biyas.
Sorotan mata Biyas membekukan Barbie. Dapat ia rasakan, laki-laki itu mengikis jarak wajah mereka. Secepat kilat Barbie mengangkat tangannya.
PLAK!
"Kok lo nampar gue, Bie?"
Barbie melepaskan diri dan posisi mereka kembali normal. Mungkin jika Dion yang ada di posisi Biyas, hingga matahari terbit di barat pun tak mengapa.
"Biar setan-setan di kepala lo sirna," jawab Barbie singkat.
Biyas mengelus-elus sebelah pipinya. "Bie, gigi gue ompong nih kayaknya. Parah banget lo, cantik-cantik tenaga kuli!"
"Tambal pakai gigi palsu, Yas." Barbie melepas tawa seketika, sedangkan Biyas melongo.
Potongan chat yang menghiasi notifikasi layar ponsel meredakan tawanya. Bahkan mampu mengenyahkan kejadian tadi siang. Di mana ia berperan sebagai ratu drama, menangis hanya karena memandangi punggung sang tambatan hati.
Dion:
Bie, kamu udah tidur?
Barbie:
Baru juga mau pulang, Mas
Dion:
Pulang sendiri? Kalau aku jemput, mau?
Barbie:
Momo udah jemput, aku ada pajamas party dong di apt Mina
Dion:
Yah telat menawarkan diri jadi sopir dong
Barbie:
Cie pengin banget jadi sopirku
Dion:
Lumayan kan buat tunjangan hari tua
Akhir-akhir ini sebatas potongan chat dari seseorang bernama Akhfa Dion Gymnastiar membuat tidur Barbie lebih nyenyak. Padahal isinya secuil cerita tentang aktivitas harian atau candaan-candaan remeh. Bukan berisi sapaan sayang dan sebagainya. Dulu semasa sekolah ia, Cessa, dan Dion seringkali saling mengomentari hasil upload foto dan status di Facebook. Sama dengan isi chat barusan.
Ya, tidak akan ada yang berbeda sampai kapan pun. Dirinya tetaplah Barbie yang mengagumi Dion diam-diam dan laki-laki itu tetap menjadi milik kakaknya.
Tanpa terasa, kini ia tengah mendekati mobil Momo yang terparkir manis. Maka ia segera menarik pintunya dan masuk.
Rasanya hidup Barbie jauh lebih indah tanpa menghiraukan realita. Ia memasang seat belt seraya menyunggingkan senyum tipis.
"Dih, senyum-senyum sendiri kayak kurang se-ons otak lo," celetuk Momo yang sedang mengganti saluran radio.
"Sssttt ... jangan berisik!"
"Chat sama siapa sih? Jangan-jangan sama fotografer yang namanya Biyas itu ya?" Momo menaik-turunkan alis disertai cengiran lebar.
"Sama Mas Dion," jawab Barbie tanpa ragu.
Raut wajah Momo berubah drastis begitu. "Kau ini masih saja bagai pungguk merindukan bulan, Nak."
Barbie pura-pura menulikan pendengaran. Ia tahu persis apa yang dikatakan Momo benar. Namun sisi lain dirinya memenangkan pergulatan pelik. Ia masih ingin memiliki Dion dalam mimpi serta angan. Bodoh memang, tapi ya sudah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top