7. Sebatas Sepuluh Menit
"Ya elah, Bie ... enggak bakal gue racuni," ujar Biyas setelah sekian lama menyodorkan lunch box berisi Chicken Katsu. Sementara Barbie hanya memandangi lunch box itu tanpa memberi reaksi lain.
"Enggak, makasih."
Sesudah berkecimpung dalam dunia entertainment, makanan dan minuman favoritnya menjadi rahasia umum. Tidak terkecuali Julid Trinity yang menjadi kawan lama sejak Edward Cullen masih berwujud vampire hingga Sugar Daddy. Alamat rumah, orang tua serta kakaknya memang masih bisa dirahasiakan sampai saat ini. Karena begitu Barbie lolos dari verifikasi JWP Fashion Week jutaan hari lalu. Cessa seakan sudah meramalkan bahwa ia memang terlahir untuk berada di bawah lampu sorot dan blitz kamera. Media sosial berisi foto keluarga pun dilenyapkan.
Apalagi ibunya yang bekerja di kantor MA. Beliau nampak lebih mendukung jika Barbie bisa menyamai Cessa, daripada apa yang telah gadis itu capai. Sang ibu enggan terlibat kepopularitasan Gita Soedarsono. Bagi Utari lingkup entertainment adalah dunia penjilat, dunia penuh tipu dan intrik. Sesuai fakta yang ada, lingkup entertainment negeri ini memang lebih banyak berisi hal-hal negatif ketimbang prestasi.
"Enggak gue kasih racun, pelet juga enggak, beneran." Biyas menyodorkan lunch box berisi Chicken Katsu.
Bola mata Barbie. "Kan tadi gue udah bilang enggak, Yas ... Makasih."
"Ya udah gue makan sendiri, awas jangan ngeces."
Kemudian laki-laki itu sibuk melahap makanannya. Hanya seorang Biyas yang dapat melahap dalam tiga helaan napas, bahkan melebihi kecepatan cahaya.
Tiba-tiba ponsel dalam pangkuan Barbie bergetar.
Dion:
Permisi Mbak, pesanan udah datang nih. Bisa ke parkiran sekarang?
Kedua alis Barbie bertaut, harusnya chat yang masuk berasal dari kurir Gofood. Namun nomor ini tersimpan apik, apalagi sang pemilik nomornya juga tersimpan apik sebagai penghuni tetap ingatan. Usai membaca isi chat, ia meninggalkan ruang pemotretan. Langkah cepat menuju lift, tak urung membuatnya berhenti membalas pesan dari si pengantar makan siang.
Barbie:
Oke, Mas. Tunggu sebentar ya
Dion:
Tunggu lama juga nggak apa-apa sih, Mbak
Barbie:
Kalau gitu, satu dekade lagi ya?
Dion:
Yah, keburu saya kakek-kakek dong
Barbie:
Emang mirip kayak kakek-kakek sih, tinggal dibeliin tongkat aja. Mau nggak?
Dion:
Beliin gitar listrik aja, Mbak. Saya mau banting stir keluar dari kejaksaan terus bikin band punk rock
Barbie kesulitan menahan dua sudut bibir untuk tidak tertarik karena isi pesan-pesan absurd yang masuk. Begitu sampai di lantai dasar, ia setengah berlari menuju area parkiran gedung. Belum pernah ada yang membuatnya seantusias ini selain laki-laki itu.
Saat ujung heels sudah menapaki area parkiran, Barbie memandangi jajaran setiap mobil. Jantungnya pun langsung berirama In Love With You milik Two Tripple O, kala menemukan laki-laki yang bersandar di depan salah satu kap mobil. Dion menyipitkan mata saat ia menghampiri.
"Maaf, cari siapa, Mbak?"
"Cari Abang GoFood yang bawain makan siang." Barbie bersedekap, menutupi wajah gembiranya.
"Oh, saya berarti." Dion beranjak membukakan pintu mobil untuknya.
"Kirain beneran dikirim via GoFood. Jam makan siangnya kan jadi abis di jalan, Mas." Barbie mendudukan diri di samping kursi kemudi.
Jarak dari kantor kejaksaan agung sampai kantor Barbie lumayan memakan waktu jika sekadar untuk makan siang. Dan setahunya, Dion adalah orang yang hidupnya berpacu pada waktu. Laki-laki itu tidak akan mau membuang waktu percuma kalau bukan demi seseorang yang berharga. Cessa, misal.
Sewaktu Dion hendak menjalani tes akhir sebelum lolos di kejaksaan agung, laki-laki itu menyempatkan diri mengantar Cessa ke tempat interview. Padahal sang kakak sudah menolak, tetapi laki-laki itu bersikukuh menjemput. Sekali lagi, Barbie memang sesulit itu mengempaskan rasa iri.
Bagaimana sih rasanya menempati prioritas seorang Akhfa Dion Gymnastiar?
"Ini kan diantar Abang mendadak GoFood, Bie." Dion menaik-turunkan alis.
Barbie menggeleng, berusaha menahan tawa. "Ya udah ayo jalan."
"Enggak boleh makan sambil jalan."
Barbie menatap galak laki-laki yang tengah melebarkan cengiran. "Mobilnya yang jalan, astaga ...."
"Supirnya mau makan dulu, Bie. Jadi mobil dinyatakan mogok sejenak."
"Apa sih ... Mas Dion nih enggak jelas." Ujung-ujungnya Barbie melepas tawa.
Merasa puas karena berhasil mengurai tawa, Dion mengambil plastik putih besar di seat belakang. "Cie ... Bahagia banget tawanya."
"Mas Dion daripada jadi Jaksa mending jadi stand up comedy deh."
"Ya, jangan lah ... nanti banyak cewek yang tawanya bahagia dong kayak kamu."
"Pede banget." Barbie mengarahkan bola matanya ke atas.
"Oh ya jelas, cuma orang ganteng yang bisa terlanjur pede." Dion mengulurkan lunch box ke arahnya. "Chicken Katsu nih, spesial dari Abang mendadak GoFood."
Sebelum tiba di sini, Dion sengaja mampir membeli makanan kesukaan gadis itu. Ia juga tidak mengerti, kenapa mau jauh-jauh melajukan mobil hanya untuk makan siang. Seolah-olah semua rumah makan dan food court dekat kantor sudah dibumihanguskan. Fakta mencengangkan lainnya, Dion memang menawarkan Barbie Chicken Katsu lewat GoFood. Namun ketika jarinya ingin menekan tombol pesan pada aplikasi tersebut. Ia malah meraih kunci mobil dan bergegas ke luar kantor.
Barbie menerima lunch box itu sambil berkata, "Makasih ya, Abang Mendadak GoFood."
"Jangan lupa bintang tujuhnya ya, Mbak."
"Puyer Bintang Tujuh kali."
"Obat sakit gigi dong."
Rasanya belum ada lagi orang yang dapat membuat Barbie tertawa lepas. "Terserah, Mas Dion. Aku mau makan." Ia menggeleng sambil membuka lunch box.
"Pakai tangan ya, Bie. Soalnya susah kalau pakai kaki."
Usai melotot, Barbie memukul sebelah lengan laki-laki itu. Kemudian makan siang mereka ditemani lagu-lagu milik Coldplay. Barbie menyukai dua di antaranya, Fix You dan The Scientist. Jika ada penganugerahan siang bolong paling menyenangkan, ia memasukkan sepuluh menit siang ini di nominasi paling atas. Demi kesehatan hati, ia mengabaikan status siapa dirinya dan Dion selama sepuluh menit yang bergulir.
Sebatas sepuluh menit, tidak masalah kan?
Dion menarik tisu dari dashboard, mengusap sudut bibir Barbie yang terdapat sisa saus. Tanpa peduli sang empunya sedang kehabisan pasokan oksigen. "Duh ... anak Papa kok makannya belepotan."
Sebenarnya jika kepala Dion maju lima senti saja, mereka bisa melakukan sesuatu semacam ... saling menabrakkan bibir mungkin?
Oke, seseorang tolong sadarkan Barbie dari fatamorgana di tengah gurun Sahara ini. Bukan apa-apa, aroma mint itu sukses mengobrak-abrik susunan benang lurus pikiran. Sedangkan kondisi jiwa justru tengah meronta-ronta minta dirukyah, supaya kepalanya batal menghapus jarak lima senti.
"Mas Dion berangkat sekarang aja, masih tiga puluh menit nih buat perjalanan," ujar Barbie usai mengemasi halusinasi yang berceceran.
Laki-laki itu membuang tisu ke tempat sampah kecil di seat belakang. "Enggak ada jam di pengadilan, jadi bisa lebih santai."
"Sini sampahnya aku yang buang di luar." Barbie hendak meraih plastik di samping kakinya.
Namun Dion menahan tangannya. "Enggak usah, kamu minum aja nih." Lalu menyodorkan botol air mineral.
"Makasih, Mas, habis ini aku langsung ke dalam lagi ya?"
"Keluar, Bie ... kan kamu masih di dalam mobil." Dion beranjak dari balik kemudi, membukakan pintu untuknya.
"Kok karpet merahnya nggak digelar?" canda Barbie karena Dion membungkuk bak pengawal kerajaan setelah pintu mobil terbuka.
"Masih diangsur, Yang Mulia."
Saat berdiri berhadapan tawa di antara mereka pun belum berhenti. Laki-laki berbalut jaket kulit hitam dan nametag menggantung di leher itu adalah satu-satunya pemandangan yang akan Barbie bawa sebagai bunga tidur nanti. Meski ia ingin mengulur waktu selama mungkin, Barbie tahu dirinya tidak pantas. Kehadiran Dion dan Chicken Katsu selama sepuluh menit saja cukup menyulap magma jadi sehangat pemandian air panas.
Teringat akan sesuatu, Barbie meruntuhkan ungkapan konyol tadi. Akhfa Dion Gymnastiar adalah calon suami Cessa. Bagaimana pun ia memohon hingga darah menggantikan air mata. Faktanya tetap akan begitu. Ia berhenti melangkah karena sadar Dion pasti hendak mengantar sampai pintu lift.
"Berangkat sana. Aku mau masuk kalau Mas Dion udah pergi."
"Aku aja yang nungguin kamu masuk gedung," sahut Dion.
"Nanti Mas Dion telat, udah sana." Barbie mengibaskan kedua tangan.
Laki-laki itu sempat terdiam kemudian menyentuh puncak kepala Barbie. "Ya udah, aku berangkat ya."
Barbie berdecak seraya menyingkirkan tangan Dion. "Udah sana hush, hush."
Usai mengangguk, laki-laki itu melambaikan tangan dan berbalik. Masih sama seperti ribuan hari yang lalu, Barbie memang hanya mampu memandangi punggung itu menjauh.
"Mas Dion." Barbie memberanikan diri memanggil laki-laki itu.
"Kenapa?"
Kali ini Barbie menyunggingkan senyum terbaik. "Makasih udah bawain aku makan siang." Ia berusaha keras menahan nada suara agar tidak terdengar bergetar.
Satu sudut bibir Dion terangkat. "Kembali kasih."
Kalimat itu menjadi penghujung dari percakapan mereka. Dion kembali berbalik membawa gejolak tidak wajar dalam benaknya. Harusnya ia menemui Cessa, bukan perempuan itu. Kepalan tangannya mengerat, jangan sampai hal ini terjadi dua kali. Bagaimana bisa ia lebih ingin makan siang dengan Gita Soedarsono daripada tunangan sendiri?
Setelah menyalakan mesin mobil, Dion memandangi spion. Gadis itu masih setia berdiri di sana, memastikannya benar-benar pergi. Dan ia memang seharusnya lekas pergi. Namun banyak asumsi pengkhianatan yang merajai kepingan logika.
Dion menginginkan sepuluh menit semacam tadi, tiap jam makan siangnya. "Shit."
Dan masih sama seperti ribuan hari lalu, Barbie memejam erat. Ia membiarkan bulir-bulir bening meluncur bebas, sesudah laki-laki benar-benar menghilang dari pandangan. Dion seolah membawa perekat hatinya hingga kepingan-kepingan itu terpaksa tercecer.
"Itu bukannya pacar kakak lo?" Suara Biyas berhasil mengusik gendang telinga. Barbie buru-buru menghapus jejak-jejak sialan di pipi.
"Iya."
"Pantesan lo selalu pasang kuda-kuda siap ngamuk tiap sama gue." Barbie menemukan senyum sinis di wajah fotografernya. "Mata lo enggak bisa bohong meski cuma mandangin punggung dia. Bayangin, itu cuma punggungnya belum juga matanya," lanjut Biyas.
Enggan memperpanjang apa pun itu, Barbie memilih meninggalkan Biyas. Binar di mata dan isi hati cukup menjadi rahasianya sendiri. Tidak perlu diketahui Biyas atau siapa pun termasuk Dion.
"Bohong juga kalau dia enggak tahu atau enggak sadar sama itu, Bie."
Barbie menggigit bibir, napasnya mendadak sesak. "Lo enggak perlu menganalisis hidup gue."
Decakan Biyas terdengar di belakang sana. "Lo dicari Dania buat ngomongin kontrak baru makanya gue nyari lo."
"Dania bisa telepon gue, enggak perlu nyuruh lo nyari gue."
Ayolah ini masih jam makan siang! Alasan basi apalagi yang mau Biyas pakai?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top