6. Sebatas Es Krim
"Halo, Sayang?" sapa Cessa di seberang sana.
"Aku ganggu kamu enggak?" Dion langsung bertanya tanpa membalas sapaan Cessa.
Perempuan itu menggumam cukup lama sebelum menjawab, "Enggak sih ... tapi memang ada yang lagi kukerjakan. Ada apa?"
Persis seperti dugaan awal Dion.
"Oh, nggak ada apa-apa. Mau telepon aja."
"Kirain aku ada apa." Terdengar suara ketikan di keyboard laptop diiringi lembaran-lembaran berkas yang sedang dibuka.
Hening menyapa mereka. Entah sejak kapan obrolan ringan yang biasa mengalir tersendat bak keran air yang ditutup paksa. Sekian menit berlalu, Dion masih menunggu apa yang akan perempuan itu katakan. Menutup telepon atau berusaha membawakan topik yang meleburkan kecanggungan? Opsi kedua biasa Dion terapkan ketika obrolan mereka tersendat.
"Hmmm ... Kalau aku telepon balik nanti gimana? Aku susah fokus," kata Cessa.
"Oke."
Panggilan mereka berakhir. Dion menurunkan kaca mobil usai menandaskan kopi kalengnya. "Bang, martabak telur spesial satu," ujarnya pada penjual martabak yang langsung mengacungkan ibu jari.
Usai menerima pesanan, Dion menyalakan mesin mobil. Ia melajukannya ke sebuah tempat yang tidak pernah masuk daftar kunjungannya. Sebab awal ia mengendarai mobil keluar dari garasi adalah untuk menemui Cessa. Nah, percakapan via telepon yang ia lakukan merupakan cara untuk memastikan ke mana alur laju mobilnya setelah menepi sebentar.
Dion bukan apa-apa ketika Cessa sedang memiliki kepentingan. Rumus mutlaknya seperti itu, alasan juga kenapa Dion akrab dengan Barbie. Setiap berkunjung ke rumah Bayu Soedarsono, waktunya lebih banyak dihabiskan mengobrol bersama Barbie. Sebab sang kekasih sibuk dengan dunianya.
Awal pertama mereka jumpa, dunia Cessa memang membuat Dion penasaran dan tertarik ingin menyelami. Namun, seiring waktu bergulir, Cessa tidak pernah benar-benar mengajaknya. Perempuan itu tetap dengan dirinya sendiri.
Dion melirik arloji yang menunjukkan pukul 20.00 WIB. Pintu apartemen terbuka setelah ia menekan bel pada denting pertama. Sebelah alis yang terangkat tinggi-tinggi itu pun ikut menyambut.
"Morning," ucap Dion sambil dua sudut bibir tertarik.
Barbie menatapnya datar dari ujung kaki sampai kepala. "Maaf ini bukan tempat penampungan pasien sakit jiwa."
"Aku bukan sakit jiwa, Bie."
"Terus?" Gadis itu memang kerap menguji kesabaran orang lewat gaya bicaranya.
"Sakit mata doang, makanya enggak bisa bedain langit gelap." Dion menyodorkan kantung plastik berisi martabak telur.
Gadis itu tidak langsung meraihnya, justru menyelipkan helai rambut ke belakang telinga. Matanya menyipit. "Oke, tapi saya enggak pesan martabak delivery, Mas."
Dion malah memegangi sebelah dadanya secara dramatis. "Sumpah, Bie ... itu sakit banget."
Adegan pura-pura sekarat versi Dion berhasil mengurai tawa gadis itu. Sekarang si martabak sudah berpindah tangan.
"Cie ... tawanya bahagia banget lihat orang sekarat," kata Dion lagi. Ia mengulas senyum tipis.
Barbie tentu bukan oksigen yang jadi kebutuhannya bernapas. Akan tetapi, biarkan Dion menumpaskan rasa inginnya berbincang hal-hal konyol dengan gadis itu. Seperti dulu, ketika ia sedang menunggu kesibukan Cessa terkikis di akhir minggu.
Percakapan terakhir mereka terjadi di Bandung sehari setelah pertunangannya dilangsungkan. Di dapur sebuah villa yang disepakati keluarganya dan keluarga Cessa sebagai tempat penginapan, sedangkan pertemuan mereka terjadi seminggu lalu. Sewaktu Cessa memintanya mampir ke tempat Barbie melakukan pemotretan.
Jangan salah paham, Dion hanya sedang rindu canda tawa dari adik kecilnya. Tidak lebih dari itu.
"Mas Dion mau berdiri di sana sampai sekarat beneran?" Suara Barbie menggema, sedangkan sang empunya sudah masuk ke dalam.
Dion berdecak sembari memasuki apartemen. "Bie, kamu lupa caranya nyambut tamu ya? Payah banget."
Tawa yang sanggup membuang jenuh Dion dalam hitungan detik kembali mengudara. "Mas Dion kan jelangkung. Datang tak diundang, pulang diantar becak."
***
Satu-satunya suara yang menemani lamunan Barbie berasal dari mesin pembuat kopi di counter dapurnya. Begitu menemukan Dion saat membuka pintu apartemen yang langsung ia lakukan adalah mencari keberadaan Cessa. Harusnya kakak perempuannya itu berdiri di samping atau di belakang punggung Dion. Namun ia tak kunjung menemukan Cessa setelah cukup lama berdiri memasang wajah datar.
Di balik rasa euforia terdapat secuil tanda tanya. Dion mengunjunginya tanpa Cessa, kenapa?
"Bie, gimana sih katanya model papan atas, tapi beli sofa sempit gini. Kekecilan buat ditidurin."
Laki-laki si pemicu peperangan batin tiba-tiba sudah menduduki salah satu kursi di depannya. Dion dengan kaus hitam polos dan topi All England-nya.
Nikmat Tuhan mana lagi yang Barbie mau dustakan? Belum lagi parfum khasnya yang mudah terpatri dalam memori. Omong-omong, Ia jadi ingin tahu bagaimana rasanya berada dalam pelukan Dion. Menghirup aroma parfum itu sampai terlelap menuju negeri dongeng yang memiliki slogan happily ever after. Bahkan sampai dunia berhenti berputar, kalau bisa.
Pikirannya lagi-lagi terlanjur ngawur.
Suatu ketika di masa seragam putih abu. Barbie sering membayangkan hidupnya sejalur dengan salah satu dongeng garapan Walt Disney berjudul Sleeping Beauty. Jadi, Barbie adalah jelmaan dari princess Aurora yang tidur sekian tahun dan akan terbangun saat mendapat ciuman dari cinta sejati. Sudah pasti Dion yang wajib disulap menjadi pangeran berkuda putih di sini. Laki-laki itu datang ke istana untuk membangunkan Barbie lewat ciuman lalu mereka hidup bahagia setelahnya.
Ah, memang sisi negatif dari dongeng garapan Walt Disney dipercaya mengakibatkan khayalan penikmatnya melambung jauh tinggi, melampaui langit ke tujuh. Lantas terhisap black hole dan terbunuh sia-sia oleh harapan kosong.
"Mas Dion, tolong dicatat ya ... sofa di apartemenku itu tipenya minimalis. Minimalis." Barbie menekan kata minimalis, sepasang matanya membulat sempurna. "Bukan sempit. Lagian, semua orang normal tidur di tempat tidur itu udah hukum alam, bukan di sofa."
Dion mengangguk takzim. "Oke, alasan diterima."
Barbie mengernyit, mulutnya sedikit menganga. "Alasan apa coba? Itu fakta, Mas! Fakta ya!"
Dion tergelak karena raut wajah Barbie yang memang begitu ekspresif hanya bila di dekat orang-orang terdekatnya. "Mana nih kopinya? Belum jadi juga udah sejam."
"Makanya kalau mau ngopi tuh di kafe! Di rumah sendiri!" Barbie membuka lemari rak sembari menggerutu. "Datang ke sini cuma numpang ngopi! Bisa banget lagi bawa sogokan martabak telur. Aku jadi ragu kalau Mas Dion ini beneran jaksa."
Sebenarnya Barbie mengomel panjang lebar sekadar untuk mengenyahkan rasa gugup. Bukan berarti ia menampik euforia atas kedatangan Dion.
"Bie, kalau melakukan sesuatu itu harus ikhlas. Dan ingat, tamu adalah raja. Jadi tolong layani Yang Mulia sebentar, ya." Senyum Dion melebar. "Jaksa tuh enggak perlu pamer nametag ke mana-mana. Enggak perlu pasang foto di medsos juga pakai jubah jaksa di pengadilan supaya orang percaya. Yang kayak gitu cuma orang-orang yang kerja di dunia entertainment kayak kamu. Jaksa cuma perlu menegakkan keadilan dan membeberkan fakta murni di meja hijau."
Barbie bersedekap, memandangi Dion dari ujung kaki sampai kepala. "Okay ... jadi setelah nyuruh bikin kopi dan mengejek sofaku. Sekarang Mas Dion menyindir profesiku, nice ... thank you for today." Ia mengarahkan sebelah tangannya ke pintu utama apartemen. "Silakan pintu keluar terbuka lebar."
Alih-alih merasa tersinggung, Dion justru bangkit dari duduk. Laki-laki itu mencubit hidungnya lalu beranjak menuju lemari es. "Sensitif banget kayak pantat bayi. Padahal muka kamu sama pantat bayi juga mulusan pantat bayi, Bie."
"Kalau aku rekam kalimat barusan, kayaknya orang sulit percaya kalau itu yang ngomong jaksa Dion Gymnastiar."
"Iyalah, Dion yang asli itu cuma kamu yang boleh lihat." Barbie melirik Dion yang tengah memandangi isi lemari esnya. "Beruntung banget kan kamu."
Barbie mendengus. "Ih, narsisnya enggak pernah sembuh, ya Lord!"
Karena Barbie memikirkan Cessa yang mungkin akan datang setelah ini. Ia akhirnya membuat tiga cangkir kopi sekaligus. Laki-laki itu tidak menyahutinya sekian detik hingga Barbie menata martabak telur favoritnya ke atas piring. Tiba-tiba Conello yang sudah digigit separuh tertangkap jelas di depan wajah.
"Tip buat kamu nih karena udah bikin kopi," ujar Dion seraya mengunyah.
Memang tidak ada lagi laki-laki kurang ajar selain Akhfa Dion Gymnastiar. Barbie menoleh, pandangannya beradu dengan sepasang iris mata yang kerap membuat hati meleleh bak es krim terkena terik siang. Sebenarnya daripada menjilat Conello yang laki-laki itu tawarkan. Ia lebih tertarik menjilat sisa cokelat di sudut bibir Dion. Kalau perlu sisa es krim di bibir Dion langsung pun boleh-boleh saja.
Oke, lupakan. Barbie dan pikiran liarnya memang sulit terkendali.
"Benar-benar enggak tahu diri. Udah es krimnya ambil di kulkas aku terus ngasihnya bekas dan bilang kalau ini tip?" Barbie menginjak gemas sebelah kaki Dion.
Dion hanya meringis diiringi tawa lepas seraya mengusak tatanan rambut Barbie. Sesuatu yang belum pernah gagal membuatnya jatuh hati. Seseorang bernama Akhfa Dion Gymnastiar memang tipikal laki-laki yang diamnya membuat Barbie ingin terus mengajak bicara tentang hal-hal konyol. Sementara tampilan raut serius saat sedang berpikirnya sanggup memantik rasa penasaran bagaimana jika ia menjadi titik fokus Dion.
Dion tidak butuh lamborghini atau perut sixpack untuk membuat Barbie terpikat. Tutur kata, sikap usil, dan tawanya saja sudah cukup. Semurahan itu Barbie akan menaruh harga dirinya, kalau saja Cessa tidak lebih dulu menempati posisi sebagai kekasih. Kalau saja.
Laki-laki itu melirik isi nampan yang Barbie tata. "Kok bikin tiga cangkir?"
"Ya buat kita bertiga lah ... masa aku minum semua. Mau ngalahin sopir truk?"
"Temen kamu mau datang ke sini?" Dion menyodorkan es krim di bibir Barbie, tapi pandangan fokus pada pintu utama.
Diiringi rasa berdosa dan pengkhianatan yang segera Barbie letakkan jauh-jauh di belakang sana. Ia menggigit cone itu separuh, tanpa ragu. Toh, sebatas berbagi es krim bukan berbagi hati apalagi kehangatan dalam sebuah dekapan.
Oke, tolong selamatkan Barbie dari pikiran ngawur-nya.
"Enggak." Barbie menghentikan kunyahan. "Ya buat aku, Kak Cessa, sama Mas Dion lah. Amnesia ya?"
"Memangnya Cessa mau datang?" Dua alis sempurna pahatan Sang Pencipta itu terangkat.
Pertanyaan barusan membuat Barbie mengernyit. "Loh kok tanya aku? Yang pasangan kan kalian." Ia berdeham setelah mengucapkan pernyataan terakhir, seolah ada pahit yang memang harus ditelan bulat-bulat.
Tanpa menunggu jawaban dari Dion, ia mengangkat nampan berisi tiga cangkir kopi dan sepiring martabak lalu beranjak ke ruang tamu.
"Kami enggak janjian ke sini. Aku kira Cessa telepon kamu tadi."
Langkah kaki Barbie terhenti ketika hampir keluar dari area dapur. Demi Tuhan, ia kesulitan menahan dua sudut bibir yang tertarik sempurna. Ia juga sulit menahan rasa senangnya jika berdua saja dengan Dion. Seperti masa-masa sekolahnya dahulu, ketika Dion berkunjung ke rumah dan Cessa sibuk.
Barbie sungguh tak berniat mengkhianati Cessa. Akan tetapi, sekadar mengambil kesempatan satu malam bukan masalah besar kan? Toh mereka hanya akan mengobrol, makan, dan nonton tv berdua.
Tak lebih dari itu. Lagi pula tak akan ada hal mustahil semacam ini pada hari-hari lain.
***
Mulut Barbie yang penuh martabak mengakibatkan pipinya menggembung. Dion menatap gadis itu sekilas sebelum beralih ke layar tv. Barbie memang selucu itu, jutek dan sikap angkuh yang seringkali muncul itu mungkin sebatas tameng untuk diri sendiri. Gita Soedarsono yang berjalan di atas catwalk atau bicara di depan wartawan. Memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan seseorang yang kini menikmati martabak telur bersamanya. Sekedar duduk menonton film lawas ternyata cukup mengenyahkan penat. Ia merasa seperti pulang ke rumah sendiri.
Tiba-tiba Dion tak sengaja melirik ponsel yang diletakkan dekat remote, Cessa belum membalas pesannya. Entah pekerjaan apa yang sedang perempuan itu kerjakan, meluangkan tiga detik saja sekedar membalas pun mental dari pilihan.
"Bie, kemarin itu pacar kamu?"
Dion bertanya untuk menghilangkan tanda tanya di keningnya sejak kemarin. Antara penting dan tidak penting sebenarnya, tetapi ia ingin tetap tahu.
"Yang mana?"
"Yang dinner sama kamu waktu aku sama Cessa jemput."
"Mas Dion mulai kayak Kak Cessa deh ... kepo."
"Jawab aja, Bie ... kalau bener kan aku sama Papa kamu bisa tatar dulu orangnya. Enggak sembarangan orang bisa gampang jadi pacar Gita Soedarsono."
Barbie tertawa kecil. "Aku bukan anak SMA yang akan menjalin hubungan tanpa memandang dan menelisik lebih dalam, Mas."
"Oh ... berarti kamu ada ketertarikan sama dia?"
Dion sedang menempatkan diri sebagai kakak laki-laki. Wajar kan bertanya hal seperti itu? Ia melirik gadis yang tengah menyematkan cengiran karena satu adegan lucu dari film. Baru menyadari kalau lengannya bertumpu pada sandaran sofa, posisi mereka pun memiliki jarak tipis.
"Biyas itu fotografer yang satu kontrak sama aku." Barbie menyelipkan sejumput rambut. "Tapi enggak tahu deh ... masa depan bukan hal yang bisa ditebak."
Kemudian mata mereka beradu pandang dalam jarak intens. Ujung kalimat Barbie membuat Dion bungkam. Sial, kenapa ada secuil bagian dari dirinya yang belum siap melihat lagi adegan Barbie memeluk lengan laki-laki lain? Lantas ia menarik dua sudut bibir dan mengangguk. Hal lain yang Dion baru sadari, Barbie memang bukan lagi adik kecil berseragam putih-biru.
Gadis itu memiliki sepasang mata yang cantik. Cukup cantik untuk diselami lebih jauh, lebih dalam, pikirnya.
Selanjutnya Dion beralih pada film. Pikiran semacam tadi harus disingkirkan jauh-jauh. Mantra itu pun dipaksakan terpatri.
=====================
A/N: Mon maap ini panjang kek sungai Batanghari daku malas misahinnya (・∀・)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top