25. The Perfect Suprise

Gadis itu menyingkirkan selimut dan melakukan peregangan otot di tepi kasur. Rambut yang hampir menutupi punggung itu sengaja dibuat ikal ujungnya kemarin sore. Demi menyambut seseorang ketika tengah malam dan cahaya lilin yang menghiasi kue. Ia mengulas senyum tipis lalu beranjak menguak pintu. Ada yang sangat ingin ditemui selain mentari pagi.

Dan ya, laki-laki itu masih dipeluk lelap. Niat hendak mendekati sofa urung dilakukan, Barbie memutuskan menyibak tirai jendela. Bias mentari yang menembus kaca menerpa wajah. Sesekali ia menoleh ke belakang, terkikik.

"If life is a movie and you're the best part ...." Barbie melagukan lirik favoritnya sambil mengikat rambut.

Setelahnya Barbie menghampiri laki-laki yang tatapannya sehangat mentari pagi. Ia melengkungkan senyum sesudah menyatukan lutut di karpet. Gadis itu menikmati sesi membuang waktu paling menyenangkan. Dion kelihatan polos ketika mendengkur halus. Sebelah kakinya menggantung, sementara yang lain menumpang di meja.

Bukan kali pertama, tetapi Barbie tak urung jemu. Terkadang Dion bermalam di sini demi obrolan remeh menjelang hari telah larut. Celotehan mereka dimulai dengan secangkir kopi berlanjut ke cangkir lainnya. Sewaktu bertanya tentang alasan kenapa laki-laki itu senang tidur di sofa ruang tamunya. Dion menjawab kalau sofa tersebut mengandung aroma obat tidur yang kuat.

Akhfa Dion Gymnastiar dan ungkapan konyolnya.

"Aku pasti ganteng banget ya." Dion berucap, sementara matanya terpejam rapat.

Barbie hampir saja terjungkal ke belakang. Tidak ada yang berubah biarpun semalam sempat ada tangis dan berbagai rasa takut yang menggenang di hati. Semoga saja selalu begitu.

Gadis itu mencebikkan bibir. "Pede setinggi gunung Himalaya."

Dion terkekeh lalu mendudukkan diri. "Itu fakta, Bie. Delapan dari sepuluh perempuan pasti menjerit bahagia kalau aku kasih nomor ponsel."

"Ya iyalah ... delapan perempuan itu marketing kartu kredit!" ejek Barbie yang berdiri melipat tangan di dada.

"Jangan teriak-teriak. Itu rahasia perusahaan, Sayang." Laki-laki itu menepuk bagian sofa di sebelahnya. "Anak Papa bangun tidur marah-marah. Lihat, bercak ilernya aja masih menempel tuh di pipi." Dion menunjuk pipinya.

"Mas Dion kali yang ileran." Barbie memutar bola mata. Pada akhirnya ia menuruti permintaan sederhana itu.

"Oke, aku yang ngiler. Jangan cemberut lagi dong." Usai mengatakan hal receh tersebut, gadis di sebelahnya melebarkan cengiran. Ia lantas membawa helai rambut gadis itu ke belakang telinga. "Semalam tidurnya nyenyak?"

Gadis itu mengangguk kecil. "Mas sendiri?"

"Nyenyak karena lihat kamu nyenyak."

Senyum lembut mereka saling bersambut. Sesingkat itu pula Dion memikirkan bagaimana cara menyeret Cessa supaya mereka membuat pengumuman di depan keluarga kedua belah pihak. Ia tidak ingin terus-menerus menyandang topeng tunangan Cessa. Biarpun Barbie selalu berkata belum siap mempublikasikan apa yang terjadi di antara mereka berdua. Tentu ia tahu, perjalanan masih panjang sesudah pihak keluarga menemukan fakta mengenai kegagalan hubungannya dengan Cessa.

Pastinya, pihak keluarga Barbie yang butuh banyak waktu. Ia belum buta kalau ketimpangan sikap Utari Soedarsono memang terasa nyata terhadap kedua putrinya. Salah satu ponsel yang berdering di atas meja mengalihkan atensi mereka. Nyaris bersamaan dengan denting bel apartemen. Alis Dion menukik tajam, nama Cessa tertera di layar ponsel gadisnya.

"Ha-lo?" sapa Barbie. Raut gugup terpampang sangat jelas.

"Baru bangun ya? Kebiasaan banget. Buka pintunya, Bie, aku lupa password."

"Kak Cessa di depan pintu??" Gadis itu langsung memijat kening.

Helaan napas Cessa terdengar di ujung telepon. "Cepat buka, Bie ... Kakak pegal."

Hari masih pagi dan otak Barbie dipaksa berpikir keras. "Hng ... duh itu Kak, aku sshhh ... sakit perut! Tunggu sebentar ya!"

"Ya ampun buka aja dulu—"

"Barbie mematikan panggilan secara sepihak, matanya melebar melebihi kapasitas. Degup jantungnya mengalahkan dentuman musik DJ. Ia menatap Dion yang juga tengah menatapnya.

"Kenapa?" Kedua tangan Dion dimasukkan ke celana, pandangannya mengarah ke berbagai arah sembari bersiul. Padahal Titanic mereka terancam menghantam gunung karang lantas tenggelam.

Tanpa menjawab, Barbie langsung menarik laki-laki itu. Mereka memasuki kamar terburu-buru sampai kaki Dion tersandung pintu kamar. Dia mengadu kesakitan namun si gadis nampak enggan memberi respon.

"Enggak, Aku enggak mau. Suruh aja dia masuk," kata Dion begitu mereka tiba di depan lemari pakaian yang terbuka lebar-lebar.

"Mas Dion, please ... ini bukan waktu yang tepat." Barbie menyatukan kedua tangan di dada, ia mengedipkan mata berulang kali. "Kamu ngerti kan?"

"Suruh aja dia masuk. Aku enggak akan ke mana-mana."

Sesungguhnya Dion sangat mengerti maksud Barbie. Hanya saja ia merasa tidak perlu berbuat apa-apa untuk wanita bernama lengkap Ayudia Princessa Soedarsono, apalagi sampai menjaga perasaan wanita itu. Masa bodoh akan bagaimana reaksi atau tanggapan Cessa nanti.

Gadis itu membuang napas lelah. "Mas Dion, listen to me. What do you think when you find your brother with your ex-fiance in apartment early morning?"

"Ya, adikku selangkah lebih maju berarti," sahutnya santai.

Sementara Barbie menepuk dahi frustrasi.

Melihat reaksi gadisnya, Dion mendesah berat. "Ya udah suruh aja dia masuk. Toh, aku enggak ngapa-ngapain kamu semalam. Cuma datang bawa kado terus menumpang tidur di sofa. Jadi kenapa aku harus sembunyi?" Dion berdeham. "Memangnya yang datang itu Cessa atau pacar kedua dan ketiga kamu?"

Di tengah-tengah perdebatan mereka, ponsel Barbie menjerit. Hal itu membuatnya mendesis, antara kesal dengan Cessa yang tidak sabaran dan Dion yang berbelit-belit.

"Mas Dion, jangan ngawur!" Barbie mencubit gemas perut laki-laki itu. "Jelas-jelas kamu tadi dengar pembicaraan aku sama Kak Cessa!"

Dion pura-pura menguap lalu mengibaskan tangan. "Iya-iya, nanti aku sembunyi di kafe aja. Terlalu konyol Bie kalau koran lampu merah bahas Jaksa yang ditemukan tewas kehabisan napas dalam lemari."

"Kamu mau lewat mana? Dari jendela terus terjun bebas? Itu lebih konyol lagi kalau masuk koran lampu merah." Ia berkacak pinggang. Otaknya mencoba berpikir keras di mana tempat yang tidak akan Cessa jamah selain lemari.

***

Darl :
Jangan lebih dari tiga jam. Aku bukan kecoak.

Barbie menahan tawa usai membaca chat singkat dari Dion. Sejujurnya ia sungguh tidak tega mengunci laki-laki itu di kamar mandi. Apa boleh buat? Hanya ide itu yang terlintas. Setelah Cessa pergi, ia berniat menuruti apa pun permintaan Dion. Ia selalu menolak ajakan makan malam di luar atau nonton. Kali ini jika Dion meminta, ia akan mengiyakan penuh suka cita.

"Bie, kamu beneran belum punya pacar?"

Pertanyaan dari Cessa terasa menohok ulu hati. Sang kakak sempat datang kemari bersama tiga nenek lampir dalam rangka perayaan ulang tahun kemarin. Mereka belum sama sekali membahas tentang hubungan Cessa yang kandas. Pun setelah kepulangan Cessa, mereka belum bertemu secara langsung atau bicara banyak mengenai hal tersebut. Kalau menilik dari raut wajah wanita itu, ada setitik sendu yang menggantung di sana.

Mereka memilih duduk bersantai di sofa kamar bersama sekotak es krim. Beruntungnya Barbie sempat membereskan hal-hal yang dapat dicurigai kakaknya. Jejak Dion tersembunyi apik sejauh ini.

"Punya."

"Siapa? Kok enggak pernah dikenalin sih?" Raut wajah Cessa terlihat antusias.

"D.O EXO."

Cessa memukulnya dengan bantal, sedangkan ia hanya terkekeh pelan. Dalam hati Barbie terus berdoa semoga Dion tidak menimbulkan kegaduhan atau suara aneh di kamar mandi sana. Semoga.

"Bie, sampai hari ini aku belum memberitahu Papa dan Mama kalau hubunganku kandas," ujar Cessa dengan pandangan menerawang.

Kalau ada satu tindakan bodoh yang Ayudia Princessa Soedarsono lakukan adalah melarikan diri ke Lombok. Cessa pernah bersikukuh bahwa persoalan hati yang dianggapnya begitu sepele tak akan mampu menimbulkan hujan air mata. Wanita itu juga pernah berkata tidak ada satu pun masalah yang sukar diatasi otak cemerlangnya.

Dan melarikan diri bukanlah gayanya sama sekali. Namun kini ia sudi mengakui bahwa dirinya adalah pecundang yang menyukai bagaimana cara telapak kakinya meninggalkan bekas pada butiran pasir. Bagaimana ia ingin rasa sesak sialan yang bercokol itu ikut terbawa ombak.

Akhfa Dion Gymnastiar, laki-laki yang kurang lebih delapan tahun menjadi kekasihnya resmi menyudahi hubungan mereka. Selama perjalanan menuju Lombok, Cessa berpikir cukup lama dengan otak cerdasnya. Bagaimana bisa laki-laki itu memutuskan pergi begitu saja? Ia selalu merasa masuk dalam kategori wanita yang harus diperjuangkan mati-matian.

Lantas bagaimana cara menjelaskan pada Mama? Tentang sang calon yang berani membuang cincin tunangan mereka. Oke, kata membuang sangat tepat untuk sampah. Karena sampah harus dibuang. Akan tetapi, biarkan Cessa memakai ungkapan itu. Sebab apa yang terjadi memang begitu adanya. Ia dibuang layaknya sampah. Mama pasti kecewa berat. Padahal premis kekecewaan Mama dilarang masuk kamus hidup Cessa.

"Gue dan Dion selesai," ucap Cessa yang mengabaikan keluhan Sherly karena mengambil cuti dadakan.

"Apa? Kenapa memangnya? Kalian enggak pernah kelihatan punya masalah selama ini. Kok bisa?"

Pasti. Semua orang yang Cessa beritahu tentang kabar tersebut menimbulkan reaksi yang sama. Totalnya bertambah satu orang yang tahu kabar kehancuran hubungannya. Pertama Barbie, kedua Sherly.

"Dion yang minta."

"Bukannya itu yang lo mau dari dulu? Sendiri tanpa ada yang ganggu?"

Cessa dibuat bungkam kala itu.

"Gue bilang juga apa. Jangan sampai lo menyesal karena dia menemukan orang yang dirasanya lebih tepat. Kita perempuan memang menang nolak, tapi laki-laki punya andil besar dalam memilih. Lo tahu sendiri lah, laki-laki cuma terbagi dua. Kalau enggak brengsek ya homo. Dion itu langka, ibarat kata dia setara sama komet Halley yang muncul tujuh puluh tahun sekali. Kemarin-kemarin harusnya lo bersyukur karena Dion terlalu sabar." Sherly mengunyah kripik di ujung telepon. "Terus lo sekarang gimana? Bukannya lo udah mengurus atribut pesta di WO?"

"Batal. Gue bingung ngajak ngobrol nyokap tentang ini. Lo tahu kan dia sayang banget sama Dion." Biar terjadi keretakan di sudut hati. Ia tetap saja memikirkan sang ibu dan reputasinya di depan orang banyak.

Terdengar suara Sherly yang menarik napas. "Cepat atau lambat nyokap pasti tahu. Pilihannya lo mau dia dengar dari lo langsung atau kasak-kusuk netizen."

"Gue menyesal." Cessa membekap mulut serta membiarkan pipinya basah. "Rasanya benar-benar aneh tanpa dia."

"Itu bukan aneh. Lo terlambat menyadari kalau hati lo juga ikut andil selama ini."

Tidak sedikit orang-orang yang baru merasa memiliki setelah kehilangan. Dan Cessa berada di antara orang-orang yang merasakan penyesalan besar tersebut. Ketika waktu terus bergulir maju, sementara mereka ingin terus berada di titik tersebut. Demi menghabiskan penyesalan yang memang tak akan ada habisnya.

"Kakak harus beritahu Mama." Suara sang adik memecahkan gelembung lamunan Cessa.

Barbie sungguh bingung memberi saran bijak tentang hubungan Cessa dan Dion. Pun masalah yang berhasil membentangkan jarak mereka. Sebelumnya ia hanya meminta pernyataan Dion yang murni dan jujur. Apakah ia termasuk dalam alasan mereka putus atau ada hal lain. Lalu laki-laki itu mengatakan masalah inti yang ternyata tak bersangkutan dengannya sama sekali.

Bila suatu hari nanti entah kapan itu. Ternyata Barbie terbukti adalah alasan utama, kemungkinan dirinya akan mundur teratur. Kemarin-kemarin ia berani menyatakan diri sebagai pengkhianat. Lantas detik ini, di samping sang kakak nyalinya surut tanpa sisa.

"Aku enggak tahu harus mulai menjelaskannya dari mana, Bie," ujar Cessa lagi.

Sekotak es krim besar masih berada di pangkuan Barbie. Sayang, selera untuk memakannya hilang. "Kakak jelaskan semua ke Mama. Apa sebab dan alasannya, Mama pasti mengerti."

Demi Tuhan, Barbie merasa sangat jahat. Ia bisa mengatakan hal itu selancar menuruni perosotan.

"Atau aku bicara lagi dengan Dion? Barang kali aku masih bisa mengajaknya kembali?"

Barbie nyaris mati tersedak ludah sendiri. "Sebentar, Kak, aku mau ambil minum."

Gadis itu beranjak terburu-buru demi mencapai pintu kamar. Namun setelah berada di luar, ia hanya berdiri membelakangi pintu yang telah ditutup. Menatap kosong pada jarum jam di dinding. Segala macam rasa khawatir berlebihan membuncah. Terutama mengenai hubungannya dengan Akhfa Dion Gymnastiar yang penuh resiko dan kontravensi. Apa iya laki-laki itu memang hanya ditakdirkan singgah sebentar bak pelangi setelah hujan badai lalu sirna? Menyisakan gemuruh badai yang meluluh lantakkan segalanya. Lebih dari yang ia kira?

Bukankah Barbie sendiri yang kemarin bernyali dan bertekad kuat saat menggenggam balik tangan laki-laki itu? Cintanya bersambut manis. Gadis itu mengurut pusat dada. Kedatangan Cessa yang mengejutkan dan pembicaraan tadi berhasil menghilangkan tulang kakinya.

"Bie, kamu kenapa melamun di depan pintu?" Suara Cessa memacu jantungnya bekerja lebih keras.

Barbie menoleh, tersenyum serba salah. "Hmm ... itu Kak, habis minum aku iseng aja. Kira-kira kalau dinding ini diganti wallpaper kayu gitu bagus atau enggak." Dengan sengaja ia mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu. Aktingnya sukses besar belakangan ini.

"Oh, bagus sih kayaknya. Tapi menurut aku diganti wallpaper batu bata aja, Bie." Cessa menutup sebelah mata, jari-jarinya membentuk persegi di hadapan dinding tersebut. "Keren pasti."

"Iya-iya boleh juga." Tentu saja pikiran Barbie belum beralih pada wallpaper dinding. Berkelana bersama kawan-kawan rasa khawatir dan bimbang. Entah ke mana rimbanya. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu kala menatap tangan kanan Cessa. "Kak, itu jari kenapa diperban? Kakak sakit?"

Wanita itu menggeleng. "Ini kamuflase pas kemarin pulang ke rumah. Biar Mama enggak curiga kalau aku udah enggak pakai cincin." Ia merentangkan jemarinya lalu tersenyum kecut. "Eh, kakak menginap semalam ya?"

Bola mata Barbie membulat sempurna. Cengiran wanita berbalut blouse berwarna peach itu melebar saat mereka bersitatap. Suasana hatinya begitu kontras dibanding raut wajah Cessa. Secara bersamaan ponsel di saku jeans bergetar. Ia mengintip sejenak layarnya.

Darl :
Tiga puluh menit ke depan Cessa enggak juga pulang. Aku udah enggak peduli apapun lagi, Bie. Tentang isi pikiran dia atau pun orang-orang.

***

A/N:
Alhamdulillah aku bisa update lagi hehe. Teman-teman terima kasih banyak ya atas dukungannya ❤️ Dari segi judul dan isi cerita yang agak absurd ini, aku benar-benar nggak nyangka Kadar Formalin bisa dapat sambutan hangat dari para pembaca. Aku sadar cerita ini tentu banyak kekurangannya. Tapi aku akan terus memperbaiki setelah tamat nanti. Mudah-mudahan bisa tepat waktu 🙏

Tertanda,
Pariskha Aradi.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top