12. Lebih dari Sekadar Penawar
Panas matahari membara dan debu bercampur asap kendaraan mewarnai jalanan Ibu Kota. Dion merasa beruntung diterpa AC mobil bersama Barbie yang memegang kemudi. Mau bagaimana lagi? Sebelah kakinya masih mengenakan gips, ia tak akan membiarkan Barbie mengemudi jika normal. Beno sudah pulang lebih dulu bersama Sasha, kondisinya sama dengan Dion. Beruntung saja nyawa mereka masih selamat.
Tepat saat Dion mengecek ponsel, nama ayah tertera di layar. Ia menggeser tombol hijau lalu menarik napas.
"Kamu di mana? Kok suster bilang kamu sudah check out?"
Dion sengaja menyalakan mode speaker lalu meletakkan di dashboard. Sebelah kaki yang masih terbalut gips sangat tak nyaman, ia membungkuk membenahinya. "Saya sudah pulang, Yah. Kemarin saya sudah bilang sama Ibu supaya Ayah enggak perlu repot-repot cari tiket."
"Ibumu HP-nya enggak aktif dari pagi." Ayah berdecak. "Pola pikir elekmu itu dikurangi coba, Mas. Kalau bendera kuning sudah terpasang baru Ayah disuruh datang, begitu?"
Dion menahan diri untuk tidak berdecak. Obrolan mereka kalau tak menimbulkan getar emosi, minimal getar-getar kekesalan. "Ibu semalam menjenguk dan sudah pulang. Saya bukan anak kecil lagi yang harus dikhawatirkan, Yah."
"Iya, tapi kamu kan kemarin sudah sekarat lho. Makannya Ayah terbang dari Jambi." Ayah berdecak lagi. "Ah, kamu ini ... ya sudah jangan lupa pulang."
"Iya, kalau ingat."
Tercatat sebagai anak laki-laki tunggal, Dion terhitung jarang pulang ke rumah semenjak menduduki bangku kuliah. Kegiatannya padat, bahkan terkadang ia terpaksa menginap di kampus. Lagi pula pesan berisi jangan terlambat pulang hanya akan disampaikan seorang ayah kepada anak gadisnya.
"Kamu cekikikan gitu, Bie," ucap Dion kala menemukan Barbie yang tengah tertawa kecil.
"Mas Dion lucu kalau ngobrol sama ayahnya," jawab gadis itu. Kini ia mengarahkan stir ke kiri.
"Ya gitulah, jokes bapak-bapak suka enggak jelas." Dion bersandar pada jok, sesekali mecuri pandang ke arah gadis itu.
"Iya, aku jadi tahu sekarang asal kegaringan Mas Dion tuh dari mana."
"Barusan aku rekam loh, Bie."
Barbie mengalihkan pandangan sejenak dari jalan lalu menyahut, "Coba aja, aku sih nggak begitu yakin Om Danu bisa marah-marah sama cewek cantik."
"Jangan mentang-mentang model, kamu lewati dulu Ibu Risma kalau bisa."
Tawa kecil Barbie terlontar, ia mengedikkan bahu dengan alis menyatu. "Mending gaet CEO kelas unicorn sekalian sih, Mas."
Tangan Dion yang sudah terangkat itu berhasil mengacak tatanan rambut Barbie. Suasana di dalam mobil berganti secepat cuaca musim hujan. Pembahasan tentang Danu Gymnastiar mengenyahkan kecanggungan yang sempat mereka bawa dari lift menuju lantai dasar.
"Dasar model, mainannya CEO."
"Bahasanya bukan mainan dong, Mas, tapi bertualang." Cengiran khas semanis brownies buatan pemiliknya kini mengembang. "Jadi mau ke apartemen Mas Beno dulu nih?"
"Enggak jadi deh, Bie. Pulang ke apartemen aja, belum kasih makan Oscar. Nanti tahu-tahu dia ngambang lagi." Di detik yang sama mereka saling menoleh. "Sekalian, mau makan brownies bikinan kamu, kangen."
Tidak tanggung-tanggung, Barbie menginjak rem dadakan karena senyum tipis keparat milik Akhfa Dion Gymnastiar. Hampir saja ia menabrak penjual buah potong yang tengah menyeberang.
"Bie, kamu nyetir yang fokus!" seru Dion. "Kamu membahayakan nyawamu sendiri sama nyawa dua orang yang bisa mati karena kelalaianmu!"
Debaran jantungnya kini berganti bukan dikarenakan senyum tipis manis Dion yang minta dilumat habis. Oke, abaikan pikiran ngawurnya yang muncul tak kenal tempat dan waktu. Barbie hampir saja menabrak orang! Sepanjang sejarah mengendalikan stir mobil, ia bahkan belum pernah meninggalkan lecet pada mobil ayah.
Sementara mobil ini hasil jeripayah memasang topeng hingga larut malam. Bukti yang membantahkan jika hidup seorang Gita Soedarsono tercipta tanpa kecacatan setitik pun. Ia tidak akan membiarkan mobil sembilan digitnya berakhir seperti milik Dion.
Hidup laki-laki itu dijamin dan ditanggung oleh negara. Dari mulai rumah dinas khusus pegawai kejaksaan dan hakim, tetapi pernah laki-laki itu tempati. Kemudian mobil dinas yang enggan Dion kendarai dengan alasan sepele, platnya berwarna merah. Selain itu, ada gaji ke tiga belas, tunjangan hari tua, serta tunjangan kematian. Belum lagi tiga dari beberapa sekolah swasta milik Danu Gymnastiar yang resmi berpindah tangan. Tentu kehilangan satu mobil bukanlah masalah besar.
Barbie menatap garang laki-laki itu sembari membatin. Senyum kamu tuh yang bikin aku hilang fokus!
"Udah kapok nih tidur di rumah sakit lagi. Susternya enggak ada yang seaduhai Gigi Hadid, Bie."
What the hell? Mereka hampir terjebak kasus pidana penabrakan pedagang buah asongan! Dan Dion masih bisa-bisanya membahas model ternama dari Victoria Secret itu?
Arrrghh ... otak lelaki mana pun memang sama saja! jerit hati Barbie.
"Mas Dion please ... mending tutup mulut aja deh. Lagi siapa juga yang ngajak mati muda? Mending aku ngajak Shawn Mendes nikah muda!"
Dion mengarahkan dagu ke depan. "Hijau tuh."
"Apanya?" Satu alis Barbie terangkat. Ia masih menahan kesal.
"Ya lampunya dong, Bie, masa kolor ijo."
"Sumpah ya ... kalau barusan aku rekam. Enggak akan ada yang percaya jaksa Dion Gymnastiar bisa ngomong begitu!"
Dion menganggap ucapan Barbie sebagai angin lalu. Ia lebih memilih memikirkan persoalan yang akan dirundingkan pada rapat besok. Dion hanya akan menjadi diri sendiri jika bersama orang-orang terdekat. Lain ketika berdebat perbandingan pasal, perubahannya mencapai seratus delapan puluh derajat.
Di pengadilan, nama dan kredibilitas Dion dipertaruhkan. Salah mengucap satu kata saja dapat berakibat fatal. Sebab penjelasan dan pernyataan seorang jaksa adalah hal yang krusial. Keputusan sebuah perkara terletak pada hakim. Akan tetapi, tetap saja, jaksa mendapat porsi besar dalam pertimbangan hakim.
"Mas Dion?"
Dion menggumam sebagai jawaban.
"Aku salah ngomong ya? Mas Dion sehabis kecelakaan jadi sensitif banget kayak test pack."
Laki-laki itu menyentil pelan kening Barbie. "Diam dulu, Bie ... aku lagi nyiapin bahan buat rapat di sini." Dion menunjuk pelipisnya.
"Besok mau ngantor?"
Kedua alis Dion terangkat. "Kemarin-kemarin aku malas lihat tumpukan berkas perkara di meja. Tapi pas di rumah sakit aku malah lebih pengin lihat tumpukan berkas daripada tidur seharian lihat infusan netes."
Mereka terdiam cukup lama. Barbie belum menemukan jawaban tepat mengenai alasan kenapa ia tak membutuhkan apa pun lagi saat bersama Dion. Terdengar sangat dangdut, tapi ia enggan menyangkal fakta itu. Barbie mendapati Dion memasang raut wajah serius sesudah memalingkan wajah. Entah sudah ke berapa juta kali, ia menyukai ekspresi itu.
Raut serius dan pandangan laki-laki itu terhadap arti hidup atau suatu masalah sanggup menawan hati tanpa butuh konspirasi.
"Mas, omong-omong kenapa sih kasus Munir enggak pernah selesai sampai belasan tahun? Tragedi penembakan mahasiswa Trisakti juga."
Tiba-tiba Dion meletakkan punggung tangannya di dahi Barbie. "Halo? Apa benar ini benar Anggita Barbie Soedarsono?"
"Apaan sih, Mas!" Barbie menyingkirkan tangan Dion. "Orang nanya serius juga!"
"Coba tanggal lahir aku berapa?"
"Abaikan deh ... malas aku." Barbie mengerucutkan bibir, fokusnya terarah pada jalanan.
"Masalahnya pertanyaan kamu ini berbobot. Takutnya kan kena sawan di rumah sakit, Bie."
Barbie malas menyahuti laki-laki itu. Sejak zaman sekolah, ia terperangkap di bawah bayang-bayang Cessa. Namun ia bukan orang yang tidak peka pada sekitar.
"Munir meninggal karena racun arsenik tepat ketika pesawat Garuda Indonesia akan mendarat di Amsterdam. Enggak perlu dianalisis jauh, dalangnya adalah orang yang kebal hukum, Bie. Orang yang merasa kehadiran Munir sebagai aktivis HAM membuat keberadaannya terancam." Kali ini raut wajah laki-laki itu berubah serius. "Dunia politik itu area berbahaya. Mereka yang mengibarkan bendera politik hitam bisa membuat orang yang seharusnya terjerat hukum dan pasal malah menjadi korban atau sebaliknya," jelas Dion.
"Kalau yang penembakan mahasiswa Trisakti?"
"Ya, enggak jauh beda. Di masa itu mahasiswa Indonesia sedang menuntut era reformasi dan pelengseran Presiden Soeharto. Mereka semua bersatu dengan slogan reformasi atau mati. Mereka menjadi garda terdepan dari suara rakyat terhadap ketidakseimbangan perekonomian Indonesia, penerapan salah satu Tridharma perguruan tinggi." Dion berhenti sejenak mengusap dagu. "Cuma mahasiswa yang bermaksud menyampaikan aspirasi dianggap pengganggu. Makanya kenapa juga di zaman itu mahasiswa yang habis demo enggak berani pulang ke rumah atau kos. Banyak yang hilang begitu aja tanpa jejak."
"Kasihan orang tua tiga korban itu, Mas. Bahkan sampai meninggal, mereka masih belum tahu penyebab dan pelaku penembakan anaknya."
"Banyak kasus besar di Indonesia yang memang enggak bisa dituntaskan bahkan dikorek lebih dalam. Kalau kamu terjun langsung, kamu akan mengerti."
Barbie tertawa kecil. "Aku mah stay aja di dunia entertainment. Otak aku enggak akan kuat kalau terjun di dunia hukum kayak Mas Dion gitu."
"Enggak masalah, yang penting kita masih bernaung di bawah langit yang sama, Bie. Kalau enggak, ya gunung ku daki, samudera ku seberangi."
Bola mata Barbie terputar secara otomatis. "I hate the poem, Mas."
"Kamu enggak pernah digombalin sih, Bie."
"Dih, enak aja!" Barbie mengerucutkan bibir. "Ini kalau aku keluar dari mobil aja dan berdiri di zebra cross, laki-laki langsung berkerumunan!"
Laki-laki itu malah menghela napas panjang. "Ya iyalah, Bie ... pada heran cewek gila mana coba yang kayak gitu?"
Dion tersenyum lebar karena cubitan gadis itu. Untuk kali pertamanya, ia merasa baik-baik saja di tengah jalanan yang padat dan macet. Anggita Barbie Soedarsono dan celotehan mereka lebih dari sekadar penawar rasa penat baginya.
Penat akan perawatan di rumah sakit. Pun penat akan sebuah nama.
Cessa:
Kamu pulang sama Barbie kan? Maaf aku meeting di Bandung. Aku udah bilang kan kemarin? Nanti sepulang dari Bandung aku mampir ke apt kamu.
Dion:
Iya. Makasih, Cessa.
Dion hampir memasukkan ponsel ke saku hoodie, tetapi urung ketika Cessa memberi balasan chat.
Cessa:
Ya udah hati-hati di jalan ya
Satu sudut bibir Dion terangkat dan Cessa ditelan kesibukan. Pesan yang teramat singkat berawal dari Cessa yang juga malas berbasa-basi. Membalas seperlunya, memberi kabar seperlunya. Seringkali manusia lupa diri untuk memperlakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan.
"Mas, kita berhenti di minimarket dulu ya?" Barbie menepikan mobil di depan sebuah minimarket. Ia melepas seat bealt dan berujar lagi, "Mas di sini aja, aku cuma beli bahan brownies."
Laki-laki itu menahan tangan Barbie ketika ingin keluar mobil. "Kamu ... beneran mau bikinin brownies?"
Pandangan mereka bersipaku.
"Iya, kan tadi Mas Dion yang minta. Mas lupa?"
"Bie, aku tadi cuma bercanda."
Barbie menyunggingkan senyum terbaik. "Ya, enggak apa-apa. Aku sih serius mau bikinin brownies buat Mas Dion."
***
A/N:
Eheeey maafkan daku yang telat update ya 😁🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top