Kaca Mata Sinta


Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah (Bhagawan Sri Sthya Sai Baba)

Gadis itu berkali- kali menunduk dan mendekatkan lensa bulat itu pada kertas soal yang dipegangnya. Beberapa kali kulihat ia memicingkan mata kanannya, menyesuaikan dengan bentuk lensa cembung yang ia pegang agar bisa membaca dengan jelas. Hanya satu lensa. Tanpa bingkai, tanpa lensa yang lain. Ia menggunakan lensa itu seolah kaca pembesar untuk melihat bakteri pada percobaan di laboratorium biologi.

Aku hanya dapat memandangnya dengan iba dari kursi pengawasku. Saat ini Penilaian Akhir Semester satu sedang berlangsung. Aku tak mungkin memanggil dan menanyainya sekarang. Hal itu akan mengurangi waktunya mengerjakan soal. Mereka hanya punya waktu seratus dua puluh menit untuk mengerjakan soal Matematika yang kurasa cukup sulit. Kening mereka yang berkerut serta embusan nafas resah saat menghitung di kertas buram menjadi bukti kuat sulitnya menaklukkan soal yang penuh dengan deretan angka tersebut.

Kebetulan saat itu aku mengawasi sendiri di ruangan. Alih-alih mengoreksi lembar jawaban yang kubawa sebagai perintang waktu menunggui tes, aku justru sibuk menerka apa yang terjadi pada gadis itu. Jika memang dia tidak bisa melihat dengan jelas tanpa bantuan kaca mata, kenapa dia harus membawa lensa kecil itu untuk membantunya? Apa yang terjadi dengan kaca matanya? Apakah orang tuanya tidak mampu membelikannya kaca mata? Benakku dipenuhi dengan sejuta kemungkinan tentang latar belakang keluarganya.

Aku menyimpan semua pertanyaan retorikku hingga bel tanda selesai tes berbunyi. Bergegas kukumpulkan semua lembar jawab siswa untuk kemudian disatukan dalam satu amplop. Ya, sebagai pengawas ruang, aku harus menyerahkan seluruh lembar jawab pada temanku yang bertugas sebagai penyelenggara. Aku berkeliling mengambil lembar jawab di meja-meja siswa sambil sesekali mengulurkan tangan pada siswaku yang mengajak bersalaman. Sudah menjadi kebiasaan murid- murid kami untuk mencium tangan Bapak/ Ibu Guru sebelum meninggalkan ruangan.

Aku mencari gadis yang tadi sempat menyita perhatianku. Namun ia tak tampak dalam kerumunan teman-temannya. Mungkin karena tak mengajarnya di kelas, aku tak paham benar seperti apa wajahnya. Bisa jadi ia sudah menyalamiku namun aku tak mengenalinya. Kulangkahkan kakiku menuju ruang guru sambil terus memikirkan gadis tadi. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Satu hal yang kutahu pasti bahwa kelasnya adalah X MIPA 2.

Saat tiba di ruang guru, aku sempat menceritakan temuanku pada seorang teman. Ternyata dia juga mengajar gadis yang kumaksud. Menurut temanku, gadis itu bernama Sinta.

"Dia selalu duduk di bangku deretan paling depan agar dapat melihat tulisan guru dengan jelas. Sepertinya penglihatannya sedikit terganggu," kata temanku.

Namun temanku belum tahu kondisi terbaru Sinta yang hanya menggunakan lensa tanpa bingkai untuk membaca soal. Yang dia tahu, Sinta selalu menggunakan kaca mata tebal saat menerima pelajaran.

Aku masih termangu memikirkan nasib Sinta, saat Ibu Kepala Sekolah memanggilku. Panggilan lembutnya mengusik lamunanku tentang Sinta.

"Mbak, saya ingin mengadakan program Jum'at Berkah. Setiap Jum'at kita edarkan kotak amal pada para guru. "

"Setelah uangnya terkumpul, uangnya kita gunakan untuk membeli keperluan sekolah bagi siswa yang kurang mampu. Mbak Niken saya beri amanah untuk mencari target siswa."

Hampir saja aku melonjak kegirangan karena begitu gembira. Seperti pucuk dicinta ulam tiba, keinginanku untuk membantu Sinta seperti menemukan jalannya. Segera saja aku mengusulkan agar sebagian dana Jum'at Berkah digunakan untuk membelikan kaca mata untuk Sinta. Ibu Kepala Sekolah tersenyum tanda setuju. Beliau mengijinkan dengan catatan aku harus menyelidiki latar belakang keluarga Sinta. Aku harus memastikan bahwa ia memang benar-benar membutuhkan bantuan atau tidak.

Hari berikutnya ada pengajian di sekolah. Agak sulit mencari Sinta di kelasnya karena semua siswa harus berkumpul di aula untuk mengikuti pengajian. Walhasil, aku meminta tolong pada salah satu pengurus remaja masjid untuk mencari Sinta di tengah kerumunan siswa yang khusyuk mendengarkan pengajian. Tak kusangka, ternyata Sinta juga termasuk salah satu pengurus remaja masjid di sekolahku. "Ini berarti akan lebih mudah menemukan dan menanyainya langsung," gumamku senang.

Selang beberapa saat, Sinta sudah duduk di dekatku. Perlahan namun pasti aku mulai mewawancarai dia bagai seorang detektif yang mengorek cerita dari seorang target operasi. Sempat kutanyakan mengenai lensa bulat yang ia pakai saat tes berlangsung. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat muram.

"Iya, Bu. Sebenarnya lensa itu berasal dari kaca mata milik teman saya yang sudah tidak dipakai lagi. Dia memberikannya pada saya dan ukuran minusnya hampir mirip dengan saya. Namun malang, suatu sore adik saya menginjak kaca mata itu hingga patah bingkainya jadi dua. Lensa yang kiri hancur berkeping-keping. Beruntung saya masih memiliki satu lensa yang bisa saya pakai untuk memperjelas saya membaca." Penjelasannya sangat runtut namun terdengar bagai meriam yang berdesing di telingaku.

Ada rasa iba yang tiba-tiba menjalari hatiku saat mendengar kisahnya. Saat kutanyakan kenapa ia tidak meminta kacamata pada orang tuanya, ia hanya tersenyum getir. Jawaban polosnya seperti menghantam keras dinding hatiku, "Untuk makan saja kami sering kesulitan, Bu, apalagi harus membeli kacamata. Ayah hanya seorang pekerja serabutan yang tak tentu kerjanya."

Tetiba aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Betapa bodohnya pertanyaan yang kuajukan. Rasanya pertanyaan itu seperti berbalik dan menampar keras pipiku. Membuatku tersadar bahwa Sinta adalah salah satu contoh anak muda yang kuat dan tegar menghadapi getirnya hidup. Meski hidupnya berat, ia tak sekalipun menampakkan kesedihan. Dia selalu terlihat ceria dengan senyum yang sumringah.

Tepukan lembut di pundakku mengembalikan aku ke alam nyata. Bu Anis sudah berdiri di sampingku dan berujar,

"Bu, saya jemput anak saya dulu ya. Nanti kita ketemu di Optik Budi. Jenengan yang bonceng Sinta ke sana, ya!"

Spontan aku menganggukkan kepalaku. Selanjutnya, aku menarik tangan Sinta dan menggandengnya ke pos satpam untuk meminjam helm.

"Sinta bonceng Bu Niken, ya....hari ini Insya Allah kami akan membelikanmu kaca mata baru."

Siang itu berakhir dengan senyum semringah Sinta yang menerima kaca mata secara simbolis dari Ibu Kepala Sekolah kami.

foto.dokumen pribadi

"Ah, Sinta... engkaulah guru kehidupan yang sebenarnya. Seharusnya aku menimba banyak ilmu padamu. Belajar untuk tetap kuat dan tegak berdiri di tengah himpitan masalah yang selalu menghampiri. Belajar menjadi kuat sepertimu! "

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top