RP Log 04 - Kenyataan

==============
    Rogue Colony
==============

Suara decit rem dan samar-samar keriuhan di luar, menarik Ducky dari lelapnya. Matanya tak bisa langsung terbuka, memicing silau oleh cahaya lampu yang tak terbiasa dialami selama seminggu terakhir. Butuh waktu baginya untuk benar-benar bangun.

Yang pertama terasa tentu saja nyeri di rusuk. Susah payah dia mengatur napas dan mengubah posisi duduk untuk tidak membebani cederanya.

"Hei, cepat turun!" seru kru AYX dari luar pintu. "Kau yang terakhir."

Ducky mengerjap lalu melihat sekeliling. Pemuda yang datang bersamanya sudah tak ada.

"Sial," rutuknya. "Kalau begini. Siapa yang bisa kusuruh untuk membawakan papan selancarku?"

Dibantu oleh kru AYX yang terlihat mulai tak sabar, dia menurunkan papan selancar gurun, dan beberapa ikat tempurung dan cangkang kaki laba-laba raksasa.

Semua ditumpangkan ke atas papan selancar gurun yang sudah dikeluarkan rodanya.

"Yang lain sudah berkumpul di Union Hall ... Bisa ke sana sendiri?"

Jengah dan jengkel karena tak terbiasa diurus orang lain, Ducky hanya menggumam tak jelas. Lalu melangkah pergi sambil menarik tali papannya.

Sudah lama sekali dia tak menginjak kaki di koloni itu. Suasananya tak banyak berubah.

Union Hall masih seramai dalam ingatannya, tetapi Ducky bisa segera menemukan J di tengah kerumunan, berkat burung kondor yang bertengger di kepalanya. Penanda arah yang sangat mencolok.

Namun langkahnya yang memang belum bisa terlalu cepat, melambat ketika sosok pemuda itu masuk jarak pandangnya. Ada dua orang yang terlihat seperti pendatang dari koloni pinggiran juga di dekatnya. Seorang gadis cilik dan seorang lelaki yang—langkah Ducky terhenti, dia tak bisa mempercayai penglihatannya.

"Kenapa ...." Dia mulai menggerutu. "Orang gantengnya nambah?!"

Pertanda buruk. Misi ini sudah pasti berakhir tak menyenangkan bila ada lebih dari satu manusia rupawan, laki-laki pula. Seketika itu juga Ducky memikirkan 101 cara untuk mangkir. Baginya menghilang di keramaian Rogue bukan hal yang sulit.

"Oh, yang lain sudah berkumpul," celetuk seorang kru AYX. Rupanya dia juga menuju arah yang sama.

Ducky tak bisa berkelit. Dongkol tapi tak punya pilihan lain, terpaksa dia mendatangi J. Setelah memastikan Ducky berkumpul dengan yang lain, barulah kru AYX itu pergi. 

Namun baru juga tiba, firasat buruknya jadi kenyataan. J menunduk pada gadis cilik di sebelah lelaki ganteng, lalu dia melihat bagaimana ekspresi gadis itu berubah begitu pemuda tampan itu menyebutnya sebagai adik si ganteng.

"Apa aku perlu mencari tempat berlindung?" gumamnya meratapi nasib.

Lelaki ganteng di sebelah gadis itu posturnya nyaris setara dirinya, hanya sedikit lebih besar. Wajar bila orang bisa salah mengira gadis yang tinggi kepalanya hanya mencapai ulu hati mereka sebagai adiknya, tetapi dari raut wajah saja seharusnya sudah terlihat bahwa mereka tidak bersaudara. Sekarang pertanyaan polos J langsung menimbulkan ketegangan di antara mereka.

Lelaki besar di sebelah gadis itu langsung merangkul J lalu membisikkan sesuatu. Sementara gadis pendek di belakang mereka terus menatap dengan tajam, seperti siap menerkam kapan saja.

Suhu situasi mendingin, memanas lalu mendingin lagi dengan cepat di mata Ducky. Mereka bisa membuat baja dan logam hancur karena perubahan suhu yang terlalu rapid dengan hanya berada di situ.

Kru AYX yang datang bersamanya masih belum jauh, jadi dia tak punya pilihan lain selain maju dan mencoba melakukan damage control sebelum terlambat.

Ketika dia nyaris membuka suara, si ganteng nomor dua langsung nyerocos, tak jelas antara ingin menengahi atau malah ngajak berkelahi.

Mungkin memang sudah terlambat.

"Jei!" panggilnya, setengah pasrah. "Meleng sebentar saja kau sudah terlibat masalah, ya?"

Sambil berkata begitu, Ducky menarik pemuda itu menjauh dari dua yang lain.

"Maafkan bocah ini. Kadang dia bicara tanpa pakai otaknya," ujar Ducky sembari mengambil posisi di tengah-tengah antara J dan kedua orang yang baru mereka temui. "Kalian ikut perekrutan AYX juga?"

Lelaki besar itu tampak mematung sebelum menjawab, "Iya, benar. Kalian juga jangan-jangan?"

Baru mau menjawab perkataan si ganteng nomor dua, tiba-tiba gadis pendek yang menjadi sumber keributan muncul, menyela.

"Hei, kalian bertiga!" serunya seraya mendatangi mereka dengan kaki mengentak. "Kenapa berbisik-bisik? Kalau ingin mengejekku, bilang saja langsung di depan mukaku!"

Melihat reaksinya membuat Ducky berpikir bahwa semua gadis Direland bersumbu pendek—kecuali si Suster Manis tentunya.

"Kalem, Non ... Tidak ada yang bermaksud mengejekmu di sini!" dia mencoba menjelaskan sebelum situasi berkembang semakin parah.

"He ... hei, Xi. Tidak ada yang mengejekmu, kok!" si ganteng nomor dua ikut menimpali.

"Omong-omong, Xi ... ini J," tunjuk lelaki besar itu pada pemuda tampan dengan kadal kecil di bahu dan burung kondor di kepalanya. "Ini ...." dia melihat ke arah Ducky, kebingungan.

Ah, orang bodoh mana yang memperkenalkan orang yang bahkan tidak dia sendiri kenali ke orang lain.

"Siapa namamu kalau boleh tahu ... Om?"

Dipanggil dengan sebutan 'Om' oleh lelaki yang rahangnya lebih persegi dan bulu wajahnya lebih tampak dari dirinya, Ducky jadi merasa paham perasaan gadis pendek yang baru saja hampir meledak di hadapan mereka. Namun tidak dapat dipungkiri, walau terlihat dewasa si ganteng nomor dua itu masih menyisakan kenaifan yang mirip dengan bocah J.

Sebagai yang sepertinya paling berumur di antara mereka bereempat, Ducky harus mengambil langkah bijak.

"Aku Ducky dan aku tak suka padamu!"

Oke ... Keceplosan mengungkapkan apa yang seharusnya tak diungkapkan, bukan langkah yang bijak.

"Sepertinya kita semua sama-sama rekrutan AYX, jadi walau tak suka, aku akan berusaha untuk bekerjasama." Dia buru-buru menambahkan.

"Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Ducky. Semoga saja kita tidak perlu bekerja sama." Gadis pendek yang sepertinya bernama Xi itu juga menambahkan dengan ketus.

Terlanjur membuat blunder karena menyuarakan isi hati di saat yang tidak tepat, Ducky hanya bisa mengiyakan maksud gadis pendek di hadapannya.

"Walau kemungkinannya sangat kecil bisa terjadi, aku setuju."

Lalu dia menoleh pada pemuda yang masih diamankan di belakangnya, dan berkata, "Ayo, Jei. Kita nambah uang saku dulu."

Dengan patuh J mengekori, tapi sebelum benar-benar meninggalkan dua yang lain, dia menoleh. "Aku mau kok bekerja sama, Ducky juga! Ayo kita berteman baik!" serunya.

Anak yang baik.

Ducky menggiring J menuju papan selancar gurun yang kini berfungsi sebagai troli barang-barang. Di sana dia menunjukkan pada pemuda itu cangkang tarantula gurun yang sudah dia bersihkan.

"Dipisahkan berdasar ukuran, lalu kita cari harga pasarnya sebelum dijual ke pengrajin," jelasnya sembari menunjukkan perbedaan ukuran toraks antara dua cangkang tarantula gurun yang ada di tangannya.

Pemuda itu menurut.

"Permisi, Tuan dan Nona, apakah benar kalian dari Koloni 31 dan 76?"

Mendengar suara berat dan berwibawa itu membuat Ducky mengalihkan perhatian dari cangkang-cangkang tarantula di tangan. Dia terbelalak melihat sosok yang baru menyapa. Postur yang langsing dan ekspresi yang menurut dirinya terlalu lembek untuk seseorang yang bertugas mengawasi orang-orang barbar Direland, Ducky mengernyit tak senang.

Orang itu memperkenalkan dirinya sebagai Owen Jagsheetal, pemandu yang dipekerjakan oleh AYX. Namun penampilannya kurang liar—selain codet di wajah yang sesekali menyembul dari balik rambut hitam berombaknya. Membuat Ducky bertanya-tanya, apakah orang di hadapannya juga berasal dari Liberté seperti dirinya.

"Memandu," ulang Ducky. "Ke mana?" tanyanya curiga. Mengabaikan uluran untuk berjabat tangan.

"Ke tempat kalian akan menginap, tentu saja," ungkap Owen tegas, setelah nampak kecewa uluran tangannya tak bersambut.

Si Kemayu itu mengedarkan pandangan di antara mereka berempat, mengernyitkan dahi, lalu kembali membuka mulut, "Ah, aku juga mendapat informasi kalau ada enam orang yang akan menginap hari ini. Apakah keduanya tidak bersama kalian?"

Mendengar ucapan Owen itu, Ducky menggertakkan rahang. Namun dia memutuskan untuk tidak buka mulut lagi, khawatir apa yang keluar nanti tidak akan bisa diperbaiki.

"Memangnya Anda tidak dapat laporan dari rekan-rekan Anda, Tuan Owen?" sergah si gadis pendek.

Lelaki besar di sebelahnya hanya menunduk. Sedangkan J menggenggam erat pedang peninggalan Ven.

Dengan hati-hati si lelaki kemayu itu menjawab, "Maafkan aku, Nona. Aku ... turut berduka cita. Aku sempat mendengar kabar burung jika sandworm telah menggeliat lagi. Untuk menyaksikan dua orang bertalenta kehilangan umur begitu saja."

Mendengar ucapan belasungkawa Owen nyaris membuat Ducky meludahkan getir di mulutnya. Dia tahu cara bicara dan pilihan kata-kata itu dengan baik. Dia sendiri dulu sering melakukan yang serupa.

"Aku, J." Pemuda itu tiba-tiba memperkenalkan diri setelah keheningan yang canggung melingkupi mereka. Lalu maju mendekati orang kemayu itu, mengulurkan tangan.

Mata Owen berbinar-binar, dia menyambut tangan J.

"Aku Raz." Kali ini lelaki besar, si ganteng nomor dua, ikut memperkenalkan diri.

"Baiklah, aku yakin kalian sudah pasti lelah dari perjalanan jauh. Bagaimana kalau kita menghirup udara segar dulu di luar?" kata Owen sambil mengarahkan tangannya ke arah Obelisk yang ada di luar Union Hall.

"Boleh juga, Ducky bagaimana?" J menoleh padanya dengan penuh harap.

Sejak awal mengikuti program AYX ini, Ducky selalu berusaha bersikap sopan dan ramah pada para kru AYX. Karena itu walau Ven atau J membuat ulah, dia berusaha lebih dulu menengahi dan membicarakan ulang kondisi mereka pada pihak AYX. Namun sejak peristiwa tempohari beramah-tamah dengan orang-orang ini terasa berat baginya.

Walau begitu Ducky masih tak mau melepaskan kesempatan yang entah kapan akan datang lagi baginya. Dia sudah memutuskan akan terus mengikuti program AYX hingga akhir. Karena itu, dia memutuskan untuk tak membuat masalah dan mengikuti dulu lelaki pernama Owen, tak peduli seberapa mencurigakannya.

Ketika yang lain pergi mengikuti arahannya, dalam diam dia menarik tali trolinya dan ikut melangkah, bahkan sebelum J mengajaknya.

"Aku ikut," jawabnya. Pendek, tetapi seharusnya itu cukup untuk membuat J sedikit tenang. Bocah itu selalu terlihat was-was belakangan ini.

Di hadapan mereka, sebuah tugu raksasa menjulang tinggi, dinding-dindingnya keropos dimakan waktu. Bayangan tugu tersebut menutupi mereka dari matahari senja. Di sekelilingnya terdapat sisa-sisa ratusan, bahkan ribuan lilin pancawarna—beberapa di antaranya masih menyala terang.

Orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya, ada yang menabur bunga, menyulut lilin, dan menangkupkan kedua tangan seperti tengah khusyuk berdoa.

"Ini, kawanku, adalah Obelisk Memorial. Tugu yang dibangun untuk mereka yang masih berpatroli abadi di perbatasan Direland-Liberté. Kami mengingat mereka dengan cara menyalakan lilin dan menabur bunga di sini."

Mata Ducky membulat pada penjelasan mengenai fungsi tugu peringatan di hadapan mereka. Dia tak terlalu ingat. Mungkin karena dulu dia tak berani mendekati tugu itu, karenanya baru kali ini melihat pemandangan di kakinya sedekat sekarang.

Dua batang lilin disodorkan pada bocah J. Mungkin untuk ditujukan pada Ven dan seorang lagi dari tim 76 yang tak pernah dia temui. Ducky yakin yang perlu dikenang oleh bocah itu tak hanya Ven seorang, tetapi mungkin kehilangan gadis itu yang paling membekas.

Sedangkan dirinya, berapa batang lilin yang harus dibakar untuk mengenang semuanya. Ducky tanpa sadar melirik pada bayangannya sendiri, sebelah tangannya mengusap lengan lain. Berusaha mengenyahkan rasa tak nyaman yang bercokol dalam benaknya.

"Ehm, maksudnya berpatroli abadi?"

Pertanyaan polos itu memancing senyum Ducky.

"Bocah, yang dimaksud orang bernama Owen ini ... Lilin di tanganmu itu untuk mengenang rekan-rekan yang tak bisa kembali dari tugas. Hilang atau ...," dia terdiam sejenak untuk menarik napas pelan. "Tewas."

"Jadi, Tuan Owen," celetuk Xi memecah keheningan yang sempat melingkupi mereka. Ducky melihat seulas senyum sinis mengembang. "Apakah kami direkrut untuk menjadi bagian patroli abadi itu?"

Tak hanya J yang terpana. Lelaki besar di sebelahnya yang hampir berlutut untuk berdoa, sampai menghentikan geraknya mendengar itu.

Apakah bocah-bocah ini tak pernah terpikir kalau perekrutan AYX memang tujuannya untuk itu, sebelumnya? Bukankah sejak awal mereka memang direkrut sebagai pengawal?

Pergi ke Liberte hanyalah bonus dengan kemungkinan sangat rendah. Diam-diam dia mengawasi ekspresi yang lain.

"Nona," lelaki kemayu yang memandu mereka mulai menjawab. "Dengan anda datang kemari, maka anda sudah dengan sukarela menjadi bagian dari patroli abadi ... jika waktunya tiba nanti. Begitu juga dengan para pendahulu yang datang kemari. Perjalanan ini tentu bukan tanpa risiko."

"Tapi! Tentu saja waktu itu bukan hari ini. Selama kalian belum terjun ke misi-misi kelas S atau melakukan sesuatu yang ... berbahaya, aku rasa kalian tidak perlu takut. Aku akan pastikan, kejadian seperti kemarin tidak terjadi lagi. Tidak akan ada sandworm yang menganggu kalian di sini, atau di perjalanan nanti menuju Liberte, jika itu yang kalian khawatirkan," paparnya seraya tersenyum ramah.

"Nah, begini lebih baik, Tuan Owen. Anda tidak perlu bersikap seperti seorang pemandu wisata yang memandu para turis."

Perkenalan terjadi di antara keduanya, tetapi tak ada keramah-tamahan. Malah gadis pendek bernama Xi terlihat makin sinis.

"Seperti apa misi kelas S itu?" celetuk J, terlihat sangat kebingungan dengan perkembangan situasi di hadapan mereka. Namun gadis pendek di dekatnya hanya memutar mata, sementara Owen, seperti tidak mendengar pertanyaannya malah sibuk memuji pertanyaan Xi.

"Aku juga ingin mengucapkan selamat pada kalian yang sudah sampai sejauh ini. Kalian benar-benar pejuang yang tangguh," kata si lelaki kemayu seraya menebar pandangan pada mereka berempat. "Hari-hari berikutnya akan berat, dan aku tidak yakin kalian akan menemui momen seperti ini lagi."

Owen tersenyum hangat dan menepuk bahu Raz. "Berdoalah jika kalian perlu, aku tidak akan mengganggu," si kemayu itu menambahkan.

"Jei," panggil Ducky pada J yang tampak kebingungan dan belum dijawab juga pertanyaannya. "Teruskan saja ritualnya kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Nanti, biar aku yang jawab semua pertanyaanmu, bahkan hingga yang mungkin kau tak ingin dengar."

"Ya," jawab pemuda itu dengan lirih.

Kemudian dia menoleh pada dua orang dari tim 76.

"Nona Xi dan lelaki besar di sana—siapa tadi namamu ... Rash? Kalian juga, mumpung masih di sini, mungkin bisa berdoa atau mengenang bersama yang lain tanpa rasa canggung. Urusan dengan AYX kita bahas lagi setelah mendapat lebih banyak informasi dari cowok kemayu ini," tambahnya seraya menuding Owen dgn jempol.

"Raz," koreksi si pemilik nama. "Pakai zet, bukan 'sh'." Raz mendesis di akhir kalimat.

"Oke, Rash pake Zet," timpal Ducky acuh-tak acuh. "Kau mau berdoa atau ikut mengenang rekan-rekan di sini, atau tidak ... Kalaupun tidak ya, tak mengapa. Tapi kalau bisa tunggu sampai bocah ini selesai. "

Lelaki ganteng nomor dua itu hanya mencebik. Namun kembali berjongkok, mengangkat kedua tangan sedada, lalu melantunkan doa lirih.

"Aku sudah selesai," ucap J sembari tersenyum kecil.

Walau begitu terlihat bekas air mata di pipi yang sepertinya dihapus dengan lengan baju, meninggalkan sedikit noda. Melihat pemuda di hadapannya berusaha keras untuk terlihat tegar, Ducky menepuk pelan punggung J beberapa kali.

"Bagus," gumamnya. "Sekarang, kau bawa ini!" tambah lelaki itu sambil menyerahkan tali penarik trolinya ke tangan J. "Yang muda-muda harus lebih banyak memakai ototnya, supaya kuat."

"Oke, Ducky!" J mengambil tali troli itu sebelum kembali mengekor dengan patuh.

Sementara Ducky menoleh pada Owen dan yang lainnya. "Kami sudah selesai."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan Pemandu?" kali ini Raz yang baru selesai berdoa bertanya.

"Kalau begitu, ikuti aku. Aku akan membawa kalian ke penginapan," jelasnya sambil memberikan gestur tangan untuk berjalan ke sebelah barat Obelisk.

"Oh, ya, sebelumnya aku sudah menitipkan beberapa ratus koin perak untuk kalian di pemilik penginapan. Dia kenal baik denganku, jadi jika ada apa-apa, kalian bisa minta tolong padanya," ungkap Owen sambil menyisir rambut sebelah kanannya dengan jemari.

"Anggap saja itu ... sebagai hadiah sekaligus ucapan terima kasih karena kalian berhasil sampai sejauh ini, plus kalian menyelamatkan kru AYX di tengah gurun antah-berantah. Kalau aku boleh saran, kompleks pasar ada di sebelah sana," ucap Owen sembari menunjuk ke arah Timur.

"Jadi besok, setelah beristirahat, kalian bisa langsung memperbarui senjata dan perbekalan. Kalian akan membutuhkannya untuk hari-hari mendatang, jika kalian memang, benar-benar ingin datang ke Liberté minggu ini." 

Ducky sedang memandang jauh ke area Timur yang ditunjuk Owen, mencoba mengingat-ingat tempat-tempat di pasar yang mungkin dia kenali, ketika telinganya menangkap kalimat terakhir lelaki kemayu itu.

"Minggu ini?" ulang Ducky.

Dia memang sudah menduga akan tiba saatnya AYX meminta mereka untuk bersiap ke Liberté, bila terjadi sesuatu di koloni itu. Namun ini lebih cepat dari yang dia kira. Terlalu cepat malah.

"Cepat sekali. Memangnya terjadi sesuatu yang mendesak, di sana?" Dia berusaha bertanya dengan nada seringan mungkin.

Owen menghentikan langkahnya. Melihat sekeliling, terlihat gelisah memastikan tak ada yang mencuri dengar. Saat itu hampir lewat senja, sudah tak banyak orang lalu-lalang di Rogue.

"Sesuatu yang besar akan terjadi di sana. Dalam beberapa hari ke depan, bahkan Koloni Rogue sekalipun bisa menjadi lebih aman daripada Liberté," ucapnya dengan nada serius dan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berempat.

Owen melanjutkan langkahnya menuju tempat penginapan yang sudah ada di ujung mata sembari berkata kepada Ducky, "Kalau kalian masih berpikir bahwa Liberté adalah tempat yang serba makmur dan damai, agaknya kalian harus memendam ekspektasi itu dalam-dalam. Tapi, aku juga tidak akan memaksa kalian untuk tinggal."

"Beritahu aku, apakah kalian pernah menyadari alasan mengapa Liberté lebih makmur dari koloni-koloni lain?" tanya Owen tenang.

Mendengar pertanyaan itu, yang pertama terlintas dalam ingatan Ducky tentu saja kalimat panjang bernada indoktrinasi tentang kemuliaan dan keagungan Liberté, yang wajib dihapalnya dulu. Namun sebodoh-bodohnya dia, Ducky pun menyadari kejanggalan dalam kalimat itu.

Jadi dia memutuskan untuk diam. Mengamati jawaban orang-orang di sekitarnya. Sekaligus reaksi Owen pada ucapan mereka.

"Karena mereka menyimpan semua sumber daya untuk mereka sendiri," timpal Xi.

Kali ini tidak ada nada ketus dalam suara gadis itu. Malahan, dia seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Pandangan matanya menerawang jauh.

"Karena Liberté punya orang-orang hebat yang menunjang kehidupan mereka?" jawab Raz ragu, sangat bertolak belakang dengan Xi.

J hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan Owen.

"Jawaban kalian berdua tidak ada yang salah," komentar si kemayu. "Sedari awal, Liberté memang tidak berniat untuk membagi-bagikan sumber daya untuk koloni lain. Kekuatan terbesar mereka ada di sumber daya manusianya. Namun, akhir-akhir ini, sepertinya mereka kekurangan orang kepercayaan," papar Owen. Ducky merasakan mata si kemayu itu melihat sekilas pada dirinya.

Kemudian si pemandu melipat kedua tangannya dan mendesah ringan sembari menatap prihatin pada J. "Hmm, bagaimana aku menjelaskannya, ya? Banyak orang elit—atau aristokrat, di Liberté yang menanggap mereka lebih setara dari yang lain. Jika kalian masuk Liberté, bukan tidak mungkin kalau kalian akan mengalami diskriminasi."

Raz tertegun beberapa saat, mendengar jawaban Owen.

"Hei, Tuan Pemandu," panggil lelaki besar itu. "Di antara para rekrutan, katanya ada yang tak kembali dan mendapat posisi. Bisa kau jelaskan maksudnya? Apa mereka mati seperti katamu dan yang lainnya jadi budak pemerintah?"

"Budak?" tanya Owen, ekspresinya cukup terkejut dengan perkataan Raz. Bibirnya menyudut menahan tawa. "Ya, kita bisa pakai istilah itu, jika kau mau."

"Para rekrutan yang sampai di Liberté, pasti akan ditawari sebuah tempat tinggal oleh pemerintah. Kalau dirimu punya bakat khusus, mereka mungkin akan menawarimu sebidang tanah. Tentu saja, ini bukan tanpa pro-kontra. Kalian akan mencicipi seperti apa kualitas hidup yang lebih baik di Liberte dalam jangka pendek. Namun, kalian juga akan merasakan biaya sewa dan diskriminasinya dalam jangka panjang."

Dia kelihatan begitu berhati-hati memilih kata-kata.

"Kalau kalian tidak bisa memenuhi ekspektasi di sana, kalian akan jatuh dalam dua kemungkinan: diusir, atau dipekerjakan di bawah pemerintah demi membayar biaya hidupnya."

Owen memandang beberapa puluh meter ke depan. Sebuah bangunan bertingkat dua dengan warna karat besi, jendela-jendelanya berpendar oleh cahaya dari dalam. Aroma gandum dan daging bakar tercium. Sepertinya seseorang tengah bersiap-siap untuk menjamu mereka.

"Nah, itu dia penginapan yang kumaksud. Bagaimana menurut kalian?" Senyum si pemandu mengembang lebar.

Dalam diamnya Ducky terus mendengar dan mengamati ucapan orang-orang di sekelilingnya.

J dan Raz yang naif dan selama ini memandang Liberté dengan kacamata pelangi, jelas tampak kebingungan. Namun perempuan galak nomor dua—kalau tak salah namanya Xi, yang sudah curiga sejak awal pun tak luput dari rasa terkejut ketika mendengar kenyataan yang baru saja diutarakan dengan gamblang.

Diusir atau dipekerjakan paksa, kata lelaki kemayu itu. Kalau bisa memilih antara keduanya, Ducky jelas memilih yang pertama. Hidup di luar Liberté memang berat, butuh kemampuan, ketahanan fisik dan banyak keberuntungan, tetapi setidaknya kau masih bisa hidup sebagai dirimu sendiri dan mati karena hal yang memang kau yakini dengan sepenuh hati.

Namun itu adalah pendapat pribadinya yang cukup beruntung untuk mengalami hidup di Liberté dan berhasil keluar hidup-hidup. Dia tak yakin bila sejak awal memberitahu seperti apa hidup di Koloni yang konon terkaya dan termaju itu yang lain, yang sudah hidup dengan susah payah di Direland, akan segera percaya.

Patutkah dia, yang diberkahi banyak kesempatan menghalangi kemungkinan untuk maju, mendapat kehidupan yang lebih baik, bagi yang tak seberuntung dirinya?

Sesaat dia teringat detik-detik ketika gadis galak nomor satu, tewas.

Ducky menarik napas dalam-dalam, hingga nyeri di rusuknya terasa. Lalu membuka suara, "Menurutku, kalian tak perlu melanjutkan rencana awal menuju Liberté. Kontrak dengan AYX hanya mengawal konvoi mereka ketika melintas Direland, kalian sudah memenuhi itu. Selanjutnya, seperti kata si Kemay- ... Owen ini, kalian bisa hidup di Koloni Rogue. Kondisinya memang tak sempurna tetapi jelas lebih baik daripada koloni asal kalian."

"Tapi ...," dia buru-buru menambahkan sebelum ada yang menyela. "Apabila kalian masih penasaran akan Liberté—bahkan setelah mendengar omongannya, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Itu hak kalian dan kalian sudah tahu resikonya."

"Lalu bagaimana denganmu, Ducky?" Pemuda yang sejak pembicaraan soal kenyataan Liberté muncul, lebih banyak bungkam, tiba-tiba bertanya. "Kau akan tinggal di sini? Bagaimana jika, Liberté bisa memperbaiki masalahnya dan kemungkinan kita untuk hidup lebih baik masih ada?" J menatap lurus padanya.

Ducky sudah menduga, bocah J bakal bersikeras ingin melanjutkan. Orang yang saat ini paling tidak dia inginkan menginjakkan kaki ke Liberté. Tatapan mata pemuda itu saat bertanya tentang pilihan dirinya, membuat Ducky makin tak ingin J meneruskan perjalanan.

Si Pemandu menopang dagunya dengan jari-jemari dan berkata, "Kalian tahu, kalau kalian ikut bersama kami ke Liberté, kalian bisa jadi menyelamatkan banyak orang. Bukankah beberapa di antara kalian punya keluarga atau orang spesial di sana? Kalian setidaknya bisa memastikan mereka benar-benar aman di tengah situasi genting seperti ini." Alis Owen naik sebelah, wajahnya berseri-seri.

Didahului dengan menambahkan iming-iming sebagai pahlawan, martyr. Membuat kening Ducky makin berkerut. Kesal. Muak.

Apakah dia perlu menggunakan kekerasan?

Perlahan tangannya meraih gagang pisau komando yang selalu terselip di pinggang, tersembunyi di balik jubah.

Senyum Owen terlihat sedikit memudar, sepertinya dia bisa membaca situasi di sekelilingnya.

Mampukah rusuk Ducky bertahan, merebut setidaknya satu orang lalu kabur bersama papan selancarnya?

Namun insting bertahan hidupnya berteriak. Mudah saja kabur sekarang tetapi untuk seterusnya bertahan hidup sebagai buron bersama satu orang lagi, nyaris tak mungkin. Bisa-bisa dia mati lebih dulu, sebelum sempat menurunkan ilmu pada bocah lugu itu.

Ducky menarik napas perlahan. Mengendurkan kembali lengannya.

"Baiklah, aku dan bocah ini ikut. Tapi, selain koin-koin perak, aku menginginkan bantuan untuk menjual barang-barang yang kukumpulkan di gurun, dananya masuk kantong pribadiku."

Setidaknya, dia bisa ikut mengawasi dari dekat bila terjadi sesuatu.

Owen langsung menjawab, "Tentu saja, Tuan Ducky. Aku yakin, pemilik penginapan, Tuan Kai, akan senang melihat barang-barang yang Anda tawarkan dan menunjukkan vendor yang tepat. Siapa tahu, kau bersedia menjualnya di pelelangan."

Koneksi orang pilihan AYX memang tidak main-main. Ketika si Kemayu pertama bicara soal kenalan di penginapan, Ducky awalnya mengira hanya seorang pengurus atau setidaknya pegawai penginapan. Ternyata yang dimaksud adalah pemilik penginapan itu sendiri.

Ada rasa lega karena material yang terjual melalui pihak berpengaruh, pasti terjual dengan harga lebih layak daripada bila dia sendiri yang menawarkan langsung secara acak. Ducky juga bisa tahu harga pasar tanpa harus menanyai satu-persatu.

"Xi, apa kau akan terus lanjut?" celetuk Raz.

"Aku lanjut." Gadis itu menjawab. Tidak ada setitik pun keraguan di wajahnya.

Penginapan sudah tinggal beberapa langkah lagi ketika tiba-tiba Xi bertanya soal cara mendapat informasi tentang orang-orang yang pernah tinggal di Liberté. Ducky harus memastikan ekspresi wajahnya senetral mungkin, tak mau membuat rekan-rekan barunya curiga. Dia perlu meraih sepotong dendeng kering untuk dikunyah, mengurangi rasa tegangnya.

Kemudian kunyahannya terhenti ketika Owen bicara soal aktualitas update informasi yang dia punya. Setahun-dua tahun. Itu persis apa yang saat ini Ducky butuhkan.

Hampir saja dia buka mulut untuk bertanya.

Namun dia memutuskan untuk menunggu, setidaknya sampai tahu betul situasi di penginapan. Susah-payah ditelannya kunyahan dendeng yang terasa lebih liat tetapi juga lebih manis di mulutnya.

"Akhirnya," gumam Ducky sembari mengikuti langkah Owen. "Sedikit harapan."

===

"Katakan, Tuan Pemandu, apa yang akan kami hadapi sebenarnya? Berapa persen kemungkinan kami tetap hidup? Apa salah satu dari kami kemungkinan tidak akan selamat?"

Yang bertanya adalah lelaki besar, Raz, si ganteng nomor dua. Kenaifan mulai luntur dari pandangan matanya, berganti dengan kecemasan. Bahkan J menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu.

Owen menghela napas panjang, mengedarkan pandangannya pada meja dan kursi kayu yang tersebar dalam ruang tamu tempat penginapan. Tampak lebih bagus ketimbang penampilan luarnya.

Apabila tidak sedang dalam situasi tegang, Ducky akan menikmati kunjungan pertamanya di penginapan itu. Aroma lavender dan roti gandum alih-alih bau obat dan disinfektan klinik. Suasana yang jelas jauh lebih nyaman daripada klinik tempatnya menginap dulu.

Hanya ada satu atau dua pegawai yang sibuk membersihkan meja sementara yang lain agaknya fokus pada pembukuan harian di meja resepsionis.

"Pertanyaan bagus, Tuan Raz," kata Owen sambil melangkah masuk. "Beritahu aku, apa kalian pernah mendengar kata revolusi?"

Pandangan matanya sekilas tertuju pada J, seringainya muncul ke permukaan.

J mengangguk lugu. "Sepertinya, tahu," jawabnya ragu.

Biasanya Ducky akan segera menutupi atau menimpali, apapun untuk menjauhkan pemuda itu dari masalah. Namun, mendengar pertanyaan Owen membuat Ducky menepuk kening, menutupi wajah dengan sebelah tangan—kalau bisa dia tak ingin hanya pandangannya yang hilang.

"Jadi, itu sebabnya ...," desahnya. Ada sedikit kelegaan tetapi juga terdengar penyesalan dalam suaranya.

"Lalu, apakah AYX yang mendanai Revolusi ini?" Mata cokelatnya menatap tajam pada Owen.

"Di mana posisi kita—aku, kau, dan mereka dalam revolusi ini?" Kali ini dia mengarahkan tangan pada rekan-rekan asal Direland nya. "Apa kami hanya prajurit bayaran sekali pakai?"

Mata Owen memicing pada Ducky selagi menggiring mereka ke meja resepsionis.

"Tuan Ducky, pertanyaan Anda seolah menempatkan AYX sebagai satu-satunya sponsor dalam revolusi. Tapi, kenyataannya, tidak sedikit dari anggota koloni dan para pekerja Liberté yang akan bertepuk tangan saat dinding yang memisahkan Liberte dan Direland runtuh," ujar Owen yang melayangkan tatapan serius pada pekerja yang ada di meja resepsionis.

"Apa Kai sudah menerima pesanku tadi?" tanyanya pada sang pekerja.

"I-iya, sudah Tuan," ucapnya gugup.

"Baiklah, empat orang ini akan menginap sampai lusa. Kuharap kalian bisa membuat mereka nyaman," pintanya tegas.

Sang pekerja membungkukkan kepalanya sedikit dan berkata sebelum bergegas pergi, "Baik. Siap, Tuan."

Si pemandu mengalihkan pandangannya ke arah empat anggota baru AYX. "Untuk pertanyaan kedua, kukira sudah jelas. AYX memberikan kalian pilihan: berjuang bersama kami dan selamatkan orang yang kalian sayangi, atau tinggal di Rogue dan menanti hasilnya. Jika kalian memilih yang pertama, tentu saja kami tidak akan memandang kalian sebagai senjata sekali pakai. Tidak, mestinya kalian tahu apa yang membedakan kami dari Liberté," ujar Owen, menatap dingin pria berambut ijuk.

Ducky tak suka cara Owen memandangnya. Dia sering melihat sorot mata itu, dulu ketika harus membebek menjadi anjing Liberté, sorot mata para penduduk sipil kelas bawah terhadap orang-orang militer. Bisa dimaklumi, bahkan sesama anjing militer juga tak ada yang suka pada kaumnya sendiri.

"Terus terang saja, " Dia kembali memulai. "Buatku, peduli setan dengan Liberté. Mau koloni itu berdiri makmur atau hancur, entah karena revolusi atau kudeta, atau apalah ... Bebas! Tapi, apa kau yakin cara ini menjamin keselamatan warga sipil di sana? Bagaimana dengan para peneliti?"

Ducky hampir menanyakan soal nasib anggota militer yang dari kasta bawah sepertinya, tetapi dihentikan. Dia sendiri tak yakin masih ada kalangan bawah yang bertahan hidup di Militer.

"Aku bukan ahlinya, tapi ... tak pernah kudengar revolusi yang tidak mengorbankan darah rakyat sipil, sengaja atau tak sengaja."

Owen mengernyitkan dahi pada kata-kata yang diucapkan Ducky.

"Maka dari itu, AYX membutuhkan kalian. Tidak ada revolusi yang tidak menumbangkan korban jiwa. Kami tahu itu. Tapi, jumlah korban tersebut bisa diminimalisir jika ada orang-orang berani yang mau mengevakuasi mereka sebelum konflik akhirnya pecah. Itulah peran kalian," jelasnya sembari menatap dengan penuh determinasi pada Xi dan Raz.

Membentangkan tangan kanannya, Owen menghela napas dan menegaskan kembali, "Selagi kita berbicara, AYX sedang mengerahkan agen-agennya untuk membujuk mereka yang ada di Liberté untuk menepi—setidaknya sampai minggu depan—ke daerah luar kota. Termasuk para peneliti yang kau khawatirkan itu."

Mata Owen tertuju pada Ducky, senyumnya kian memudar.

"Tentu saja, untuk pergi atau tidak—itu keputusan kalian pribadi. AYX tidak akan mengintervensi. Kalian punya waktu sampai lusa. Gunakan baik-baik untuk membuat keputusan yang bijak," kata Owen sambil menyentuh pundak J.

Ia tersenyum hangat kepada pemuda berambut hitam itu. Lantas, setelahnya, ia beranjak meninggalkan meja resepsionis menuju ke pintu depan. Langkahnya terasa santai dan ringan.

"Baiklah, karena sepertinya keberadaanku tidak lagi dibutuhkan dan kalian juga pasti sangat lelah, aku akan meninggalkan kalian berempat di sini. Ada beberapa hal yang harus kuurus. Selamat menikmati fasilitas yang ada!"

Owen menatap keempatnya dengan senyum simpul, sebelum menutup pintu tempat penginapan rapat-rapat.

Setelah kepergian si Lelaki Kemayu, Ducky menopangkan diri ke meja resepsionis. Keringatnya bercucuran, napasnya memburu. Dia lupa pada rusuknya yang retak dan sudah bicara terlalu bersemangat karena terbawa emosi.

Bahkan sampai lupa menanyakan informasi tentang Suster Manis pada lelaki tadi.

Merasa tak mungkin mengejar, dia menoleh pada pemuda yang selalu mengekor padanya sejak tiba di Rogue.

"Jei, tolong berikan cangkang kepiting gurun yang sudah dipilah pada resepsionis. Katakan juga kalau Si Kemayu itu bilang dia mau bantu jualkan, besok kita tagih uangnya."

Setelah mengumpulkan tenaga yang tersisa, dia meraih tasnya sendiri dari troli papan selancar--ternyata terlalu berat baginya saat itu untuk mencangklong ransel, jadi tas itu hanya diseret saja.

"Maaf, aku mau istirahat duluan. Kau boleh ambil dendeng di troli sepuasmu, buat yang lain juga kalau mau."

Lalu dia melangkah pergi sambil menyeret tas, setelah meminta kunci dan nomor kamarnya pada resepsionis.

"Selamat beristirahat, Ducky!"

Dia bisa mendengar pemuda itu masih sempat berseru di belakangnya.


======
==========

Gambar Bonus


==========
=====

Untuk cerita dari sudut pandang tiga karakter lain, bisa dilihat di akun masing-masing pemilik karakter.

Xi, milik amelaerliana di karyanya: In Transit.
Raz, milik rafpieces di karyanya: Faith in the Desert.
Ducky, milik Catsummoner
J, milik justNHA di karyanya: Le' Inanite.

Special mention, Owen Jagsheetal, digerakkan oleh: NozdormuHonist


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top