RP Log 01 - Berkenalan

=========
DIRELAND
=========

Task 02

Silakan roleplay di ruangan yang telah disediakan. Gunakan interaksi ini untuk saling mengenal karakter satu sama lain, mencari tahu motif rekan kalian selagi melintasi padang gurun. 

Timeline in RP Sebelum senja
Waktu Pengerjaan 12-13 April 2022, max jam 23.59
Waktu Rekap 14 April 2022 max jam 23.59
RP berlangsung di Channel sesuai nama koloni

Direkap dan diposting di Wattpad di work yang sudah disediakan

==========================

= Koloni AX-0931 =

Jey, karakter milik: justNHA 
Dalam karyanya 
Le 'Inanite.

Ven, karakter milik: zzztare
Dalam karyanya 
Into Dust.


Ducky, karakter milik: Catsummoner

==========================
Catatan Pengarang:

Rekap ini sudah diedit untuk sudut pandang Ducky, supaya memudahkan untuk dibaca.

Apabila penasaran dengan apa yang ada di pikiran kedua karakter lain, atau ingin membaca cerita dari sudut pandang yang berbeda, bisa dikunjungi langsung ke work masing-masing yang sudah disebut di atas.

==========================

===========================

Panas matahari sedikit berkurang ketika Ducky tiba di titik pertemuan. Dia bisa melihat orang-orang berseragam AYX hilir mudik di kendaraan besar yang sepintas seperti gabungan antara truk tangki dengan bulldozer, tanpa harus memicingkan mata oleh silaunya matahari Direland.

Bagian tangki dari kendaraan itu bagian sisi lambungnya terbuka ke atas, membentuk sosoran atap dan memperlihatkan beberapa peti dan barang yang dimuat. Sulit menemukan tempat duduk yang nyaman di antara peti-peti dan barang lain dalam lambung tangki.

"Yah, tidak bisa dapat yang sebagus punya militer, ya ...?" gumamnya setelah menghela napas kecewa. Sepelan mungkin, berharap tak ada yang mendengar.

Belum juga naik, Ducky sudah mencemaskan apakah papan selancar gurunnya muat untuk dijejalkan bersama dirinya dan barang-barang. Dia sudah melipat layar dan rangka rodanya, tetapi papan selancar itu tetap terlihat lebar, sampai bisa menutupi tiga kali bahunya sendiri dan satu setengah kali tinggi badannya. Untung bahannya cukup ringan sehingga bisa dibawa-bawa dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain mencangklong tas besar yang terlihat kumal walau sebetulnya berbahan tebal dan kuat. Sepasang pipa terlihat mencuat panjang dari tas itu.

Sembari menunggu izin untuk naik, Ducky melihat ada dua orang lain yang berpakaian bebas seperti dirinya. Dua orang nekad lain—dan cukup beruntung, untuk diterima oleh AYX. Dia bersandar pada papan selancar yang diberdirikan seperti perisai raksasa, pura-pura mengutik bagian lipatan rangka roda untuk diam-diam mengamati dua orang yang lain itu.

Seorang dengan postur tubuh gadis belasan tahun, tertutup lipit dan lilitan kain seluruhnya. Mungkin juga bukan gadis dan bukan belasan tahun, karena dia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sedangkan yang seorang lagi posturnya lebih terlihat seperti lelaki walau kecil.

Ducky berdecak tak senang ketika melihat wajah pemuda itu.

"Cowok tampan, terbang terbawa badai aja sana!" gerutunya penuh kedengkian.

===

Pemuda tampan itu tersenyum semenjak dia sampai di titik pertemuan. Mobil-mobil besar berjajar itulah yang membuatnya tidak berhenti tersenyum. Mungkin dia membayangkan untuk bisa menaiki salah satunya.

Senyumnya melebar ketika melihat Ducky dan seorang lagi. Dia bermaksud menghampiri ke arah yang membawa papan seluncur, tetapi langkahnya terhenti begitu beradu pandang dengan Ducky. Mungkin dia merasakan sedikit permusuhan dari orang yang dituju.

"Dia nanti saja deh," gumamnya pelan sambil berbalik, ganti menghampiri gadis yang tubuhnya tertutup lilitan kain.

"Hai! Datang untuk ke Libertè juga?"

Gadis dengan balutan banyak kain di badannya terlonjak pada sapaan pemuda tampan itu. Terlalu asyik mengamati kendaraan yang akan mereka tumpangi membuatnya nyaris tak menyadari bahwa ada yang datang mendekat. Matanya segera menelisik sosok yang baru saja menyapa dengan tajam.

"Apa urusanmu?" sergahnya ketus.

"Eh?" Pemuda itu mematung.

"Euh, bukan urusanku sih. Hanya mencari topik pembicaraan" dia tertawa canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tapi, tapi. Siapa tau kita jadi rekan kan? Jadi ayo kenalan."

Pemuda tampan itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri dengan nama yang terdengar seperti Jei di telinga Ducky. Nama yang menurutnya aneh.

Melihat uluran tangan si Tampan, bukannya menyambut dengan sukacita, gadis berpakaian penuh lilitan kain itu malah merogoh jubahnya, mengeluarkan senjata—lalu mengacungkan bagian yang tumpul.

Tiba-tiba ditodong, pemuda tampan bernama Jei itu nyaris mengangkat tangan.

"Ven," jawab gadis itu pendek. "Rekan apa ... Kriminal?" tanyanya lagi, semakin sinis.

"Kriminal juga boleh," jawab Jei dengan cengiran lebar sembari menggenggam kuat ujung tongkat yang teracung padanya. Lalu pemuda itu melangkah sambil menarik tongkat Ven.

"Ayo, kita kenalan dengan pria yang di sana juga!"

===

Mood Ducky seketika anjlok melihat wajah tampan pemuda yang terlihat ramah dan ceria itu. Orang-orang semacam itulah yang paling dia waspadai, baik ketika masih di Libertè maupun di koloni lain Direland. Mereka bisa membuat situasi jadi berubah drastis dengan hanya muncul saja. Entah jadi lebih baik atau jadi lebih buruk, Ducky tetap tidak suka, karena kedamaian di sekelilingnya pudar karena mereka.

Bahkan Ducky pernah melihat ada perempuan-perempuan pegawai administrasi militer saling jambak perkara seorang sersan tampan.

Dia kembali menghela napas panjang, memikirkan berbagai kemungkinan kesialan yang mungkin dia hadapi karena seorang pemuda tampan. Perempuan cantik juga sebetulnya sama saja soal potensi jadi masalah, tetapi setidaknya dirinya masih bisa menikmati pemandangan walau hanya dari jarak aman.

Ducky merasa hanya sebentar tenggelam dalam pikirannya sendiri, tetapi dua orang di depan sana sudah saling adu mulut dan ribut sendiri. Pemuda tampan itu bahkan sempat menunjuk-nunjuk ke arahnya. Melihat reaksi gadis yang ada di sebelah pemuda itu, sepertinya mereka tidak sepemahaman.

Merasa bakal makin runyam situasinya, dia memilih untuk mengangkat papan selancarnya dan melangkah menjauh sebelum kena imbasnya.

"Jangan tarik aku!" Ven menyentak pada pemuda tampan tadi. Lalu dia berlari ke arah Ducky dan berseru, "Tunggu, hei!"

Seumur-umur, Ducky belum pernah dikejar-kejar perempuan. Kecuali mungkin urusan utang-piutang atau pekerjaan. Kini seorang gadis tiba-tiba memanggil dan mengejar ke arahnya, dia hanya berpikir kali ini juga masalahnya tak jauh dari dua yang tadi.

Saat seperti itu yang terpikir hanya satu, kabur!

Ducky buru-buru mendatangi seorang pegawai AYX lalu menanyakan apakah dia bisa segera naik ke kendaraan.

"Karena ... Kau lihat sendiri, papanku ini makan tempat. Aku perlu menemukan tempat cukup luang supaya tak mengganggu yang lain," kilahnya ketika pegawai AYX menatap curiga padanya.

Begitu pegawai AYX itu mengangguk dan mengangkat dagu ke arah kendaraan sebagai gestur memberi izin untuk naik, Ducky bergegas menaiki lambung kendaraan. Sejauh dan seaman mungkin dari gadis yang ganas dan pemuda tampan.

===

"Apa yang kalian lakukan? Cepat masuk!"

Mendengar seruan pegawai AYX yang lain, Ven yang tadinya tampak dongkol pada Ducky yang terlihat betul sengaja menghindarinya, berbalik arah untuk menuruti. Walau gadis itu tetap memperlihatkan ketidaksenangannya dengan mengernyit dan mengambil tempat sejauh mungkin dari Ducky di dalam kendaraan.

Melihat dua yang lain sudah mengambil posisi di dalam kendaraan Jei memilih masuk juga.

Pemuda itu sempat terlihat bingung memilih tempat, tetapi akhirnya memutuskan untuk duduk di tengah-tengah saja.

"Oh, Hai. Aku J, salam kenal," sapa pemuda itu sembari menebar senyuman. "Omong-omong kenapa kau tadi lari?"

Ducky terhenyak, gelagapan. Si Tampan itu tiba-tiba mengulurkan tangan kepadanya—kalau tak salah memperkenalkan diri sebagai Jay atau Jei, dia tak begitu memperhatikan.

Tampan dan ramah, sungguh berbeda dengan dirinya. Pasti banyak perempuan yang menyukai si Tampan itu, padahal yang banyak (bebek, Bhs. Jawa) kan dirinya—Ducky menetawakan lelucon garingnya sendiri dalam hati.

Seharusnya dia tidak belajar bahasa kuno, sekarang dia jadi sering tertawa sendiri karena kesamaan bunyi dan tak ada yang memahami. Malah sering dikira gila. Ah, masa-masa akademinya yang suram.

Tangan si Tampan masih teracung, lengkap dengan senyum lebar, merekah ramah. Beberapa pasang mata pegawai AYX terarah pada mereka—mungkin karena keributan yang sempat disebabkan si Gadis Galak tadi. Ducky merasa harus menanggapi, sekadar untuk membuat para pegawai AYX tidak memutuskan membubarkan mereka.

Bisa gawat kalau kemungkinan dirinya bertemu dengan si Suster Manis berkurang drastis.

"Uhh ... Ya, sama-sama," gumam Ducky canggung pada Si Tampan. Dengan enggan dia mengambil tangan yang terulur dan menyalami sesingkat mungkin. "Ducky," tambahnya, memperkenalkan diri.

Jei tersenyum kecil, terlihat senang karena uluran tangannya kali ini diterima, dengan tangan lagi—bukan tongkat.

Dia juga terlihat menyadari keengganan Ducky untuk menjawab, karena Jei segera memilih topik lain.

"Sepertinya kau bisa berseluncur ya? Papan seluncurmu itu terlihat keren!"

Ducky mengerjapkan mata, memastikan pandangannya tak salah—padahal yang perlu diperiksa justru pendengarannya. Si Tampan Ramah itu bertanya tentang papan selancarnya. Dia bahkan menganggap papan selancarnya keren.

Yang tertarik pada papan selancarnya memang ada, tetapi biasanya ditambah nada iri, sinis, atau senyum masam. Cukup banyak yang mencemooh karena wujudnya yang lebar dan terlihat aneh dibanding papan selancar gurun normal. Namun tak sedikit juga yang berusaha merebutnya dari tangan Ducky, untuk diloak.

"Ini ... tak susah. Bentuknya aneh karena rangkanya bisa dilepas dan dilipat. Ada pedal tambahan, tapi macet. Biasanya kutarik kalau- ...." dia menghentikan penjelasannya. Sepertinya tanpa sadar Ducky menjelaskan lebih banyak karena tak terbiasa beramah-tamah.

Dia melirik pada gadis yang sedari tadi diam-diam menatap tajam pada mereka. Selain lelaki tampan, hal yang patut dihindari adalah kemarahan perempuan. Entah dia pernah berbuat kesalahan apa pada gadis itu—pasti ada, hanya saja dia tak ingat satu-persatu.

Khawatir keselamatannya terancam, dia memutuskan untuk menumbalkan si Tampan saja.

"Umm. Cewek terbungkus kain di situ, mantanmu? Kelihatannya dia marah, kau tak ingin melakukan sesuatu?" bisiknya pada Jei.

"Apa? Tunggu, tidak kok! Kami baru berkenalan tadi." Jei buru-buru menjawab sembari melirik Ven. Sepertinya pemuda tampan itu khawatir bakal ditodong senjata milik Ven lagi.

"Eh, oh iya. Apa ada alasan tertentu kalian mau ke Libertè?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Mata hitamnya menatap Ven dan Ducky bergantian.

Ducky mengangkat alis melihat si Tampan blingsatan salah tingkah. Menyenangkan melihat ada orang tampan kesulitan, tetapi dia tak boleh terlihat begitu. Bisa gawat kalau satu-satunya tumb- ... eh- orang yang ramah padanya itu sampai berbalik memusuhi.

"Ah, aku salah sangka. Kalian bertengkar dengan akrabnya jadi kukira ada sejarah panjang atau pendek di antara kalian."

Ketika pertanyaan si Tampan itu sampai ke alasan mereka bersedia ke Libertè, untuk sesaat Ducky terdiam. Seperti menimbang-nimbang hendak menjawab jujur atau menjawab asal-asalan. Namun tanpa dia sadari wajahnya menyunggingkan senyum standar yang biasa dia lakukan di Libertè. Tak terlihat karena tersembunyi di balik masker, tetapi orang yang awas akan bisa melihat bagaimana sudut matanya yang tak tertutup berkerut.

"Apa lagi kalau bukan karena ingin hidup lebih baik di Libertè?"

Sesungguhnya Ducky ingin muntah bila mengingat masa-masa ketika harus mengucapkan sumpah setia pada Libertè dengan menunjukkan wajah bangga dan bahagia.

Mendengar ucapannya, Jei mengangguk-angguk. "Ah iya benar. Hidup di sana pasti lebih terjamin."

"Hidup," cetus Ven tiba-tiba ikut bicara.

Ucapan lugas gadis galak itu sedikit terasa menusuk nurani Ducky. Lurus, murni, tanpa terkontaminasi keinginan duniawi yang tak penting. Dia yang dulu pasti akan setuju dengan gadis yang kalau tak salah menyebut dirinya Ven itu.

Jei juga tampak terkejut mendengarnya, mungkin pemuda tampan itu mengira Ven tidak akan menjawab seperti sebelumnya.

"Kalau begitu aku pun karena ingin hidup," timpal Jei dengan senyum kembali merekah. "Dan alasan lainnya, karena aku ingin menepati janjiku pada seseorang," tambahnya lagi dengan senyum lebih lebar.

Sepertinya si Tampan itu juga punya alasannya sendiri, yang tak kalah murninya dengan si Gadis galak. Namun Ducky sudah memutuskan, tujuan akhirnya tetap Suster Manis sang pujaan hati. Penyemangat hidup. Oasis di tengah gurun. Cahaya harapan yang tak tergantikan.

Mungkin dia bisa mengharapkan pertemuan kembali yang romantis dan penuh haru apabila ternyata si Suster Manis betul-betul ada di Liberté. Membayangkannya saja sudah bisa membuat senyumnya mengembang lagi. Sembari bersenandung kecil, Ducky memutar-mutar roda papan selancar gurunnya.

"Semua sudah naik?" seru salah seorang pegawai AYX, membuyarkan lamunannya.

"Siap! Semua sudah naik," jawab Ducky setengah reflek.

"Pintu akan ditutup, kalian nanti kunci dari dalam juga. Jangan dibuka kecuali kami suruh lewat intercom di situ!" jelas pegawai AYX seraya menunjuk pada kotak loudspeaker di dinding yang menempel ke area tempat duduk supir.

"Pintu ditutup, apa aku akan berebut oksigen sampai megap-megap bersama mereka?" gumam Ven, terlihat panik. Gadis itu langsung diam begitu matanya menemukan sebuah exhaust fan yang tersembunyi.

Salah tingkah membuat gadis itu tak menyadari bahwa kendaraan sudah bergerak. Ketika tiba-tiba terjadi guncangan, dengan suara derak kencang dan rem mendadak, tubuhnya limbung.

"Aduh!" seru gadis itu ketika membentur bahu Jei.

"Woah!"

Setelah kalimat terakhirnya tadi, si Pemuda Tampan memang hanya duduk membisu. Seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga Ven membentur bahunya.

===

Ducky baru saja akan melamun lagi ketika kendaraan yang mereka tumpangi berguncang dengan suara derakan keras, disertai decit rem. Sepertinya sekop raksasa bulldozer di moncong kendaraan membentur sesuatu.

Mungkin cuma monster gurun ukuran sedang, pikirnya karena kendaraan langsung bergerak lagi. Guncangan berurutan yang mereka rasakan setelahnya mengamini perkiraan lelaki itu. Dengan roda-roda raksasa kendaraan AYX, kalau hanya bangkai monster ukuran sedang saja, bisa dilindas dengan mudah.

Namun Ducky belum bisa merasa tenang. Setelah insiden pelindasan kecil tadi, di hadapannya terjadi kecelakaan yang jauh lebih serius. Ven, gadis galak yang sedari tadi ketus pada semuanya, terjatuh menimpa si Tampan, Jei.

Dia kenal pola ini. Awal dari berseminya cinta di antara dua sejoli. Apalagi salah seorang dari mereka Si Tampan yang dia yakin, bila lahir di Libertè akan mendapat banyak kemudahan untuk mencapai posisi atas hanya dengan mengandalkan wajah.

"Kau tidak apa?" tanya si Tampan, waktu membantu membetulkan posisi Gadis Galak kembali ke tempat duduknya semula. Berani sumpah, Ducky seperti melihat filter kilau-kilau di sekeliling Jei saat itu. Bahkan aura galak Ven memudar ketika mengucapkan terimakasih, sambil malu-malu.

Hampir saja lelaki itu mengumpat, tetapi dia masih bisa menahan diri. Seandainya saja Gadis Galak itu tidak mengalihkan rasa malunya dengan tiba-tiba menuding pada Ducky.

"Pak Ducky, apa yang membuat Anda kemari? Aku sudah bersumpah tidak mau berurusan dengan Anda lagi. Anda tidak menguntitku, 'kan?!" serunya tajam.

Tuduhan yang tak masuk akal, batin Ducky kesal. Cintanya 100% untuk Suster Manis sang pelita hati. Untuk apa dia repot-repot mengejar bocah tak jelas juntrungnya ini.

"Kalian saling kenal, ternyata?!"

Igauan apa pula yang kau ocehkan itu, Pemuda Tampan?!

Ducky nyaris meneriakkan isi hatinya, tetapi mengucapkan kata tampan pada orang yang memang dianugerahi wajah rupawan sangat bertentangan dengan prinsipnya sebagai seorang jomblowan sejati. Sebelum menanggapi pemuda yang yang mengigau dalam kondisi bangun, dia memutuskan untuk menjawab pertanyaan Gadis Galak yang masih mengacungkan telunjuk padanya.

"Umm," dia memulai. "Maaf, Non. Apa kita pernah bertemu?"

Pilihan yang fatal.

Akibat pertanyan Ducky tadi, Jei terlihat bingung. Sedangkan ekspresi wajah Ven berubah dari sekadar sebal menjadi sangat murka. Tak mengherankan bagi Ducky bila sewaktu-waktu ada asap keluar dari telinga gadis itu.

"Kuharap kita tak pernah bertemu, termasuk sekarang ini," ujar gadis itu, terlihat berusaha meredakan amarahnya sendiri dengan mengatupkan kedua tangannya.

Biasanya pembicaraan Ducky dan siapapun yang datang mengkonfrontasi selesai sampai di situ. Dia pun menghela napas lega. Namun Ven ternyata masih belum selesai.

Gadis itu melanjutkan, "Biar aku tak salah sangka, beritahu apa tujuan Anda berada di sini, sejujur-jujurnya. Kalau tidak ...."

Pada titik itu, Ducky baru ingat apa yang sesungguhnya menyelesaikan pembicaraan dengan orang-orang yang pernah dia repotkan. Dengan cemas dia melirik pada pintu yang menjadi akses keluar-masuk mereka. Mungkin bila menggedor dengan kencang, para pegawai AYX akan membukakan kunci luar pintu tersebut.

"...aku akan membuka kunci pintu ini dan mendorong Anda keluar!"

Mendengar akhir dari kalimat yang diucapkan Ven membuat Ducky melongo sesaat, sebelum kemudian tergelak. Tawanya kencang sekali, sampai perlu menarik lepas maskernya karena sesak.

"Boleh juga ancamanmu, Non!" ujar Ducky di sela-sela gelaknya. "Kalau bisa sih, aku juga dari tadi mencari cara untuk melompat keluar, sayangnya tak seorang pun dari kita bisa keluar dari sini tanpa izin pegawai AYX."

Lelaki itu menunjuk pada kunci yang menjadi ancaman.

"Selain kunci itu, masih ada kunci lain di luar yang hanya bisa dibuka oleh para pegawai AYX di ruang supir, jadi ancamanmu tak ada giginya. Kau paham?"

"Begini saja. Aku minta maaf atas apapun yang kuperbuat dulu. Aku akan ganti kerugianmu, nanti setelah bayaran AYX masuk ... Sekarang kita kerja sama dulu setidaknya sampai dengan urusan sebagai pekerja untuk AYX ini selesai, setuju?"

Gadis itu sempat terkesiap mendengar perkataan Ducky, tetapi tidak terlihat hendak mundur sama sekali.

"Kalau mau kerja sama, aku tetap harus tahu tujuan Anda," ujar Ven bersikeras. "Kalau enggak, aku tetap mau coba buka pintu ini sekarang juga. Andai ada apa-apa, Anda yang tanggung jawab. Anda yang paling tua, 'kan?"

Tangan Ven benar-benar bergerak ke arah pintu, bersiap membuka kuncinya.

"Gigi, gigi, ancaman kok bergigi," gumam gadis itu sembari mengetuk-ngetuk pintu kendaraan dalam usahanya mencari cara membuka kunci.

Membuat Ducky mengira dia sedang ada masalah dengan giginya, berlubang atau mungkin terlampau banyak karang gigi—mengingat di Direland merawat gigi sangat sulit karena tak banyak produk perawatan maupun tenaga medis yang tersedia. Ah, tetapi makanan di koloni-koloni kecil biasanya minim tepung dan gula. Seharusnya asal rajin dibersihkan, giginya tak akan mudah berlubang.

"Tunggu Ven, jangan dibuka!" seru si Tampan. Pemuda itu menghadang di antara gadis galak itu dan pintu kendaraan.

Situasi semakin menegang. Jei terlihat mempersiapkan diri untuk ditodong senjata lagi oleh gadis itu. Namun di luar dugaan Ven membalik badan. "Oke," jawabnya sembari kembali ke tempat duduknya.

Menonton keributan di antara kedua orang itu membuat Ducky meringis geli. Seandainya pintu betul-betul bisa dibuka saat kendaraan bergerak dengan kecepatan tinggi, apabila ada yang terlempar keluar, pasti bukan dirinya. Melainkan gadis yang posturnya mungil dan—Ducky mengamati postur si Tampan dengan seksama, Jei yang lengan dan kakinya terlampau kurus itu.

"Kalian berdua terlalu banyak membuang tenaga untuk keributan yang tak perlu," keluh Ducky ketika keduanya terlihat cukup tenang. "Bersemangat itu bagus, tapi jangan sampai malah merusak kesempatan yang jarang-jarang ada ini!"

Melihat kedua lawan bicaranya terdiam, Ducky merogoh ke dalam tas besarnya untuk mengeluarkan sekerat daging kering lalu menyobeknya jadi dua bagian.

"Ini," ujarnya seraya menyodorkan dua potong daging pada Ven dan Jei. "Memang cuma daging kadal gurun kering, tapi lumayan untuk menambah sedikit nutrisi. Kalian mungkin butuh ini untuk menenangkan diri!"

Ducky merogoh tasnya lagi dan mengeluarkan sekerat daging untuk dirinya sendiri, lalu mulai mengunyah.

"Kalian boleh tak percaya padaku, aku saja tak terlalu percaya pada diriku sendiri. Tapi kita sama-sama butuh pekerjaan ini ... Jadi kuharap kalian berdua bisa sedikit bersabar sampai dengan semua ini selesai."

"Terimakasih, Ducky!" ujar Jei, sumringah. Terlihat sangat senang saat menerima sekerat daging kering itu. Ven tak bicara, tetapi langsung mengambil bagiannya juga.

Walau dia yang memberi, Ducky tak menyangka daging kering yang dia sodorkan, langsung diterima oleh keduanya. Terutama Ven. Dia sempat yakin gadis galak itu akan membuat keributan kecil sebelum menerima atau menolak pemberiannya.

"Aku agak enggak menyangka orang seperti Anda juga bisa berbagi."

Oke. Ternyata masih ada juga sedikit perlawanan dari Ven, walau hanya verbal.

"Jadi, kenapa Anda butuh pekerjaan ini?"

Benar-benar gadis yang keras kepala, masih juga menanyakan hal yang sama.

Ducky mengunyah pelan-pelan daging kering di mulutnya sambil mempertimbangkan ulang jawaban yang akan dia berikan. Merepotkan juga kalau sepanjang perjalanan dia harus mendengar pertanyaan yang sama berulang-ulang. Namun menjawab jujur juga hanya akan membuat posisinya buruk, bukan tak mungkin dirinya akan ditertawakan.

Setua ini masih bucin. Wow! Terbayang gelak tawa puas gadis itu saat mengejeknya nanti.

"Ven masih penasaran ya?" celetuk Jei di tengah mengunyah daging kering jatahnya, sebelum Ducky sempat membuka mulut. "Kenapa kau tidak percaya alasan Ducky sebelumnya?"

"Jawabanku yang tadi sengaja kupilih karena banyak yang berpikiran serupa. Tidak salah, tapi memang tidak tepat juga. Mungkin karena itu dia tak percaya." Akhirnya Ducky bicara setelah menelan makanannya.

"Kalau mau bicara jujur, ada yang sedang kucari, kemungkinan besar baru bisa kutemukan di Libertè. Orang dengan latar belakang tak jelas mustahil bisa masuk dengan pengamanan ekstra ketat koloni itu. Ikut AYX, walau sangat kecil, kita masih punya harapan untuk diizinkan masuk."

"Kalau kujelaskan begitu, apa bisa diterima, Non?" tanyanya lagi, sembari nyengir lebar.

"Diterima," jawab Ven. "Berarti memang Anda mencari orang di Liberté. Semoga orang itu tidak kena masalah," tambah gadis itu sembari melakukan gestur seperti berdoa.

"Selama tidak sengaja menguntitku dengan alasan mau ke Liberté. Ya, anggaplah aku geer, aku nggak masalah. Lagipula, Tuan Bebek sepertinya amnesia soal aku." Gadis itu mengucapkan kalimatnya sembari mengangguk-angguk.

Untuk sesaat mereka bertiga sibuk dengan makanan masing-masing, tak ada yang bicara lagi.

Melihat cara mereka menghabiskan makanan membuat Ducky menyadari bahwa sifat kedua orang itu sangat berbeda. Ven segera membalik badan dulu, membelakangi yang lain sebelum membuka masker. Lalu secepat mungkin menghabiskan daging kering jatahnya. Sedangkan Jei langsung mengunyah daging kering jatahnya dengan penuh kenikmatan.

Dirinya sendiri, mengunyah pelan-pelan jatahnya sebelum menelan. Teksturnya terlalu liat untuk dikunyah asal-asalan.

Di Libertè dulu, daging adalah makanan yang sangat jarang muncul dalam menu. Kalaupun ada biasanya dicampur dengan bahan lain—biasanya nabati. Walau sudah lama tinggal di koloni lain dan Direland, sebetulnya Ducky masih belum terbiasa dengan daging.

Rasanya jelas lebih enak daripada ransum standar prajurit, walau minim bumbu. Dia hanya sulit menelan kalau tidak terkunyah dengan baik.

Ketika jatahnya sudah habis, dia melihat lantai kendaraan sudah penuh dengan banyak coretan. Ada juga bulatan-bulatan dan tanda X yang berjajar dalam garis-garis yang saling bersilang. Rupanya dua yang lain asyik bermain selagi dia sibuk mengunyah.

Santai, betul!

Namun dibanding ketika si Gadis Galak sibuk marah-marah, situasi sekarang jauh lebih baik. Mungkin dia bisa sedikit santai sambil melihat-lihat situasi di luar kendaraan—melalui lubang pengintip yang baru saja dia temukan secara tidak sengaja.

"Tentu dong. Aku punya banyak teman di sana." Ducky sempat mendengar Jei berkata riang di tengah-tengah bermain. "Tapi ada juga sih, yang enggan bermain denganku. Karena katanya aku terlalu berisik. Kalau Ven bagaimana? Punya teman di koloni?"

"Apa aku kelihatan punya teman?" tukas Ven, menarik kembali perhatian Ducky dari pemandangan luar. Nadanya masih terdengar biasa, tetapi gadis itu bisa sewaktu-waktu meledak tak terduga. Hampir seperti situasi ketika melintas Direland bagi Ducky.

"Lagipula, aku tahu kamu. Kamu mungkin nggak sadar, tapi aku pernah melihatmu mencuri—"Ven berdeham, menghentikan kalimatnya. "Paling aku hanya punya rekan buat kerja sama sementara," tambah gadis itu lagi.

Sepertinya tadi pandangan mata mereka bertemu ketika Ven mengakhiri kalimatnya, kecuali Ducky salah lihat.

"Apa kau tidak mau mencoba berteman? Mungkin kau bisa melakukannya nanti di Libertè. Menurutku Ven bukan orang yang tidak bisa berteman kok," komentar Jei, menimpali kata-kata gadis itu.

Mendengar itu Ducky nyaris melompat dari tempat duduknya. Dia harus menghentikan si Tampan sebelum terlambat.

"Eh, bukankah kita bertiga berteman sekarang? Bahkan kita sudah saling berbagi alasan keberangkatan kita ke Libertè, loh."

Keluar juga. Kalimat yang sangat riskan diucapkan dalam situasi canggung seperti yang mereka alami saat ini. Semacam sink or swim. Saat berhasil, bisa membuat situasi sangat membaik. Namun bila gagal, relasi mereka bertiga mungkin akan semakin memburuk.

Khawatir, dia pelan-pelan menoleh pada Ven untuk melihat reaksi gadis itu.

Ven tidak langsung menjawab, malah menggurat lantai dengan batu-batu yang berserakan. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Ketika gadis itu bersedekap, Ducky nyaris melompat mundur—jaga-jaga, siapa tahu dia mengamuk lagi.

"Berbagi alasan belum cukup untuk menjadikan seseorang teman," jawab Ven.

"Lalu, laki-laki yang di sana itu," tambah Ven seraya menunjuk pada dirinya, yang masih berdiri di posisi canggung. "Tampaknya lebih baik dia sendirian saja."

Ducky kembali mengempaskan diri ke tempat duduk, menghela napas lega. Reaksi Ven tidak seburuk dugaannya. Kata-kata gadis itu tetap pedas—entah ada dendam apa, dia tak ingat, tetapi setidaknya tidak terjadi ledakan amarah lagi.

Idealnya suhu relasi di antara mereka tetap stabil. Lelaki itu ingin menghemat lebih banyak tenaga, karena situasi di Direland seringkali tidak dapat diprediksi. Apalagi pihak AYX bersikeras tak mau memberi tahu rute mana yg akan mereka lalui.

Mata cokelatnya melirik pada papan selancar dan tas besarnya, sementara salah satu tangannya meraba pisau yg terselip di pinggang, tersembunyi di balik mantel. Pada saat darurat, dia harus bisa memilih bawaan mana yg akan diprioritaskan.

"Semoga saja tidak terjadi apa-apa," keluhnya penuh harap.

Namun dirinya sendiri skeptis harapannya itu akan jadi nyata. 


===================

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top