Jurnal 06 - Yang Tersisa
[ .... ]
[Selamat datang di Jurnal Digital ZXC-0064, Kapten Drake.]
[Masukkan kode dan nama: ...]
[][][][][][] - Ducky,
Memperbarui Data
[Pembaruan data, diterima]
[Masukkan nama tempat: ...]
Direland, Koloni Rogue
[][] kilometer dari Bekas Liberté
[Data tempat tujuan baru, diterima]
[Masukkan tempat menyimpan: ...]
Jurnal 06
[Tempat menyimpan baru, diterima]
[Mulai menulis]
Kacau. Kacau. Kacau!
Sudah kuduga, tetapi ternyata situasi jauh lebih kacau dari yang kukira.
Si Kemayu sialan itu ... Seharusnya dia lebih banyak memberi informasi, tak sekadar menyuruh kami membebaskan ilmuwan! Kami nyaris tak tahu apa-apa tentang lapangan, hanya bisa melihat orang-orang mati tanpa arti.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Tidak.
Aku yang salah.
Seharusnya aku lebih memercayai Raz dan yang lain. Memberitahu mereka SEMUA kemungkinan yang terpikir dan membicarakannya bersama-sama.
Aku tidak bisa percaya.
Sama seperti diriku yang mungkin bisa berbalik melawan mereka sewaktu-waktu, mereka pun bisa menjadi lawan dalam sekejap. Asumsi itu yang membuatku memilih untuk menyimpan informasi.
Itu juga yang membuatku tak bisa bertanya lebih banyak pada Owen.
Karena saat bertanya, selain mendapatkan informasi yang kuinginkan, mereka juga mendapatkan informasi dariku. Hanya dari apa yang kutanyakan saja sudah bisa membuka banyak hal.
Pada akhirnya ketidaktahuanku itu membunuh banyak orang.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Kami berhasil menemukan tempat untuk istirahat yang cukup aman, tersembunyi dari jalan utama dan dekat dengan keran air. Untungnya, walau bangunan di sekelilingnya banyak yang sudah tak utuh, airnya masih mengalir.
Ilmuwan bertubuh macho yang dibawa oleh Jei terluka—sepertinya akibat tertembak peluru kalau dilihat dari bekas lukanya. Suster Tilia yang memeriksa dan merawatnya mengatakan seseorang sudah melakukan perawatan darurat sekadar untuk mengeluarkan peluru dan menghentikan pendarahan.
Ekspresi si Ilmuwan Macho ketika mendengar itu terlihat aneh, sulit dibaca. Kepalaku juga sedang terlalu pening untuk mencari tahu—mungkin karena lapar, jadi kuputuskan untuk memanaskan dendeng kepiting gurun saja. Tak banyak, tapi cukup untuk sekali makan jatah 5 orang.
Semua makan, termasuk si Ilmuwan Macho ... Wow! Baru kali ini ada orang Liberté menerima tawaran dendeng buatanku tanpa kelihatan jijik atau berjengit. Bahkan kru AYX saja menolak. Si Macho ini malah menanyakan resep membuatnya.
Dengan senang hati kuberikan, sebagai gantinya dia memberiku resep kaktus yang lebih lezat daripada sekadar dibakar dengan taburan garam. Kalau tak salah nama si Macho itu Silas. Melihat antusiasmenya pada resep, kukira dia peneliti kuliner. Belakangan aku baru tahu dia ilmuwan spesialis jamur.
Hal yang terasa berbeda, saat kami bercakap-cakap bocah Jei sama sekali tidak menyahut atau bertanya. Dia yang masih bisa mendobrak pintu kamar hanya untuk bertanya sebelumnya, hanya mengunyah dendeng dalam diam. Mengkhawatirkan.
Sepertinya suara yang kudengar saat itu memang teriakan Xi.
Berarti gadis itu memang telah ....
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Keputusanku menitipkan bocah bengal itu pada Xi salah, tetapi apabila dia kubawa, mungkinkah keduanya selamat?
Aku tak punya jawabannya.
Aku tak sempat memikirkan jawabannya. Raz keburu bangun. Jeritan bocah bongsor itu saat memanggil dan mencari gadis itu membuat Bocah Jei semakin pucat.
Khawatir mereka akan saling melukai, aku pun bersiap-siap. Namun Nona- ... Suster Tilia, dengan suntikan penenang di tangan, memberiku lirikan tak setuju. Sepertinya serangan ke carotid artery tak diizinkan, aku harus mencari cara lain.
"Apakah ada cedera yang harus diperiksa?" tanya Suster Tilia, mencoba mengalihkan perhatian Raz, sekaligus mengecek kondisi fisik bocah bongsor itu. "Ada yang sakit, mungkin?"
Dia mengeluh agak pening, gejala otak kekurangan oksigen yang mirip dengan yang dirasakan si Macho. Suster Tilia melirik mencela padaku sebelum menjawab apa yang kulakukan pada bocah bongsor itu. Setelahnya kemarahan Raz pindah padaku.
"Ducky, kau mau aku mati?!" protesnya.
"Justru kulakukan supaya kau tak mati."
"Hah, bagaimana bisa?!" Dia masih tak terima.
"Kalau kubiarkan, bisa-bisa kau tertimpa puing atau malah terjun mengejar gadis itu."
Lalu Bocah Bongsor itu kembali tersedu. Tenggelam dalam kesedihannya.
Pada akhirnya si Macho Silas yang berhasil membuatnya bungkam dengan menunjukkan barang bawaan milik Xi. Namun setelahnya dia melampiaskan kemarahan pada Jei, yang dianggap membuat gadis yang seharusnya menetap di Rogue jadi datang ke Liberté.
Sebaiknya kuberitahu bahwa Xi ada di Rogue karena Jei kutitipkan padanya.
Tidak. Dia sudah mulai tenang berkat makanan yang ditawarkan oleh Silas. Bisa repot kalau Suster Tilia sampai butuh menggunakan obat penenangnya pada Raz. Kita tak punya banyak persediaan obat-obatan.
Nanti saja, kalau kita sudah keluar dari Liberté. Di sini tak aman. Kanselir maupun Owen sudah mati, tetapi justru kerusuhan semakin meluas.
Pertama-tama, kita butuh kendaraan untuk bisa keluar dari sini. Setidaknya sampai Rogue. Mungkin aku akan 'pinjam' mobil-mobil pejabat sipil yang terlihat nanti.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Aku menemukan satu truk milik AYX. Hampir kukemudikan sendiri, ternyata supirnya selamat. Dengan menggunakan nama Owen dan rekaman percakapan kami, aku menagih janji si Kemayu itu untuk mengurus kami, si Supir akhirnya bersedia mengangkut kami.
Baru kusadari. Perjalanan ke Rogue selalu disertai perasaan tak menyenangkan yang membuatku merasa lebih mending mengunyah cangkang kepiting gurun. Kalau begini yang bisa dikatakan sebagai koloni terkutuk, Liberté ataukah Rogue?
Keheningan selama perjalanan lebih parah dari yang sebelumnya. Kuputuskan untuk bertanya pada yang lain, mengenai tujuan mereka setelah dapat mengisi perbekalan di Rogue—melihat kondisi saat ini, mungkin kita butuh beberapa waktu lebih lama.
Suster Tilia membelalakkan mata ketika kukatakan bahwa mereka akan kusokong sebisanya, apapun tujuan mereka. Jangan kaget begitu, Suster. Aku cuma ingin mempertahankan gigi-geligi ini. Liberté sudah tak ada, bila gigiku hancur karena mengerkah cangkang kepiting gurun, darimana aku bisa mendapatkan penggantinya?
Raz bilang ingin membuat grup mercenary, kumpulan orang-orang bayaran yang mendapat nafkah dari bertualang ke berbagai koloni dan tempat-tempat di Direland, mengumpulkan bagian tubuh monster, atau mengawal karavan. Pada dasarnya, persis apa yang kulakukan selama ini, hanya saja kami tidak lagi sendirian. Aku bisa mengajari beberapa hal padanya.
Jei mengatakan ingin ikut denganku. Sedikit melegakan mendengarnya mengucapkan keinginan lagi.
Suster Tilia masih ingin mengawasi pasiennya, si Macho Silas, dan aku—seingatku tak pernah bicara soal retak di rusuk, apakah kemampuan menyembuhkan Suster Tilia sudah demikian hebat sampai bisa menebak kalau seseorang cedera hanya sekali lihat? Seperti cenayang saja.
Sementara Silas, ingin tempat untuk meneruskan penelitian. Aku tak tahu di mana orang bisa meneliti di Direland, jadi kukatakan saja untuk ikut dengan kami sampai dengan kita menemukannya. Dia setuju.
Tujuan masing-masing sudah dapat dipastikan, selanjutnya kami harus mencari penginapan selama mengumpulkan perbekalan dan dana untuk membuat grup mercenary.
Kutanyakan pada supir AYX, soal Key ... atau Kei—kalau tak salah itu nama pemilik penginapan. Dia bilang, "Perkara kalian diperbolehkan menginap atau tidak itu terserah Tuan Kai."
—ternyata begitu namanya yang benar.
Yah ... Kami punya cukup alasan untuk membujuk Tuan Kai ini, bukan?
Shotgun-ku baru dipakai sekali, pelurunya masih banyak. Raz dengan wajah muramnya, bisa dipakai menggertak. Bahkan si Macho Silas bisa cukup meyakinkan—asal dia tak ikut bicara.
Untuk cara terakhir, mungkin kita bisa memanfaatkan tampang memelas Jei untuk minta belas kasihan si Tuan Kai. Kalau masih gagal juga, baru kemudian Suster Tilia turun tangan.
Kalau bisa aku tak ingin menggunakan cara Suster Tilia.
Walau perlu kuakui, dia sangat menawan saat melakukannya. Seram, memang ... tetapi menawan.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Kami berhasil mendapat 3 kamar, masing-masing dengan dua dipan. Tak sebagus yang waktu itu kami dapatkan sebelum berangkat ke Liberté, tetapi cukup layak. Asal kami bisa tidur tanpa khawatir badai pasir dan monster gurun, selagi mengumpulkan perbekalan, sudah cukup.
Suster Tilia jelas mengambil satu kamar sendiri, kami menitipkan banyak barang-barang padanya supaya kamar kami sendiri tak terlalu sempit. Aku bermaksud menanyakan pada yang lain soal pembagian kamar, tetapi tiba-tiba si Bocah Bengal itu ... Jei, dia langsung memilih sekamar dengan Raz.
Apa dia ingin aku kurang tidur tiap malam, memikirkan perkelahian yang mungkin terjadi di kamar sebelah???
Dia kutarik dan kubujuk untuk bertukar tempat denganku atau Silas. Namun, Bocah Bengal itu bersikeras. Seperti ini mungkin caranya membuat Xi luluh hingga berakhir mereka menyusul ke Liberté
"Aku ingin berbaikan dengan Raz," katanya. Sok tegar, dengan mata masih basah dan suara masih bergetar.
Yeah ... sangat "meyakinkan".
Bahkan setelah Raz juga menolak ide mereka sekamar, Bocah Bengal itu tetap bersikukuh.
Pada akhirnya aku menyerah. Untuk meyakinkan Raz, kukatakan saja kalau sebetulnya aku dan Silas ada yang perlu dibicarakan. Si Macho itu sempat terlihat bingung, tetapi tak menolak.
Sebelumnya, kusuruh Jei untuk meneriakkan namaku atau memukul dinding kamar kuat-kuat, kalau Raz sampai main fisik di usaha berbaikan mereka nanti. Kalau membayangkan tubuh kurusnya bisa remuk dihajar Bocah Bongsor, kepalaku jadi pening.
Kurasa aku akan minta obat pada Suster Tilia supaya bisa tidur lebih nyenyak.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Kepalaku masih agak sakit. Semalam Suster Tilia tak mengizinkanku minum obat yang kuminta. Dia hanya memberikan paracetamol, untuk tiga kali minum. Obat itu sudah tak terlalu berefek buatku, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Saat itu Suster Tilia juga memberikan kompres dingin. Untuk kepalaku, katanya. Aku bingung, tetapi waktu kupegang ternyata memang ada bekas benjolan. Kapan aku terluka di kepala?
Jadi yang dibilang soal cedera itu ... kepalaku, bukannya rusuk?
Waktu kutanya soal itu, Suster Tilia membelalakkan mata dengan cantiknya. Lalu tanpa memberiku kesempatan untuk menghindar, langsung menarik ke atas kaos yang kupakai. Memeriksa area rusuk dan banyak bekas memar lain yang terlihat olehnya.
Jangan mengharapkan adegan yang iya-iya. Aku malah diomeli, kenapa tidak bilang dari awal, katanya. Dia baru tenang setelah kukatakan, soal rusuk sudah diperiksakan ke klinik Rogue.
Kuberitahu saja. Reflek prajurit tak ada apa-apanya di tangan seorang suster veteran. Tahu-tahu, semua perban sudah diganti dan semua memar diolesi salep atau obat kompres.
Waktu kukatakan, aku dan dua bocah akan pergi berburu. Matanya menyipit menyeramkan. Perlu kuberi sumpah untuk tidak membuat salah satu dari kami pulang dalam keadaan terluka, barulah minyak gosok cap Kalajengkingnya diturunkan.
Dia mengancam akan meneteskan minyak itu ke mataku kalau sampai luka kami ada yang bertambah.
Aku tidak keberatan menjaga dua bocah itu. Memang sudah tugasku. Yang membuat situasi agak rumit, mereka masih belum berbaikan.
Dengan meminjam ATV—jangan tanyakan padaku apa kepanjangannya, something-something vehicle? –dan gerobak dari AYX, kami pun pergi ke perbatasan untuk berburu, kami pun pergi ke perbatasan untuk berburu.
Seingatku di sekitar situ sering ada kadal gurun yang cukup panjang dan tebal kulitnya. Lebih mudah dikalahkan daripada kepiting gurun, karena parang milik Raz dan pedang Jei bisa menebas mereka tanpa harus membidik sendi-sendi dan tak ada cairan lengket yang disemburkan.
Perjalanan ke perbatasan Rogue dengan area Direland, mereka diam tak bicara. HENING. Suara langkah Ve, kadalnya Jei di kap ATV saja masih lebih berisik dari dua bocah itu.
Untungnya mereka juga tidak bertengkar. Hanya saling canggung dan tidak mau kontak langsung. Semua dilakukan melewati aku.
Botol airnya Raz jatuh, Jei berikan padaku untuk disampaikan ke Raz. Kondor Jei terbang ke arah lain, Raz beritahu aku, supaya beritahu ke Jei. Ada buruan di arah yang lain, mereka malah beritahu aku bukannya satu sama lain. Dan seterusnya ... dan seterusnya.
Untunglah Kondornya Jei segera berkaok-kaok menunjukkan lokasi kadal gurun besar yang bersembunyi di balik bebatuan karang. Kami jadi punya kesibukan.
—bocah itu memanggil burung gurunnya dengan nama Dracko, dari Drake dan Ducky? Aku tersanjung. Hanya saja, apa Kondor sepertinya tak tersinggung diberi nama yang diambil dari seorang elang dan bebek?
Setidaknya perburuan kali ini cukup sukses. Seekor kadal gurun sepanjang 2 meter dan cukup gemuk, bisa memberi kami ongkos menginap dan makan untuk 3 hari. Semoga besok kami bisa dapat buruan yang cukup untuk membeli kendaraan bekas yang cukup kuat melintasi gurun.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Hari ini kami juga pergi berburu. Sebelum sarapan, Suster Tilia bersikeras untuk memeriksa kepalaku. Padahal kepalaku sudah tak pening, benjolnya juga sudah kempes. Selain disuruh menjawab pertanyaan, mengucapkan kalimat panjang yang rumit, dia menyuruhku mengikuti gerak jemari lentiknya—yang terakhir itu dengan senang hati kulakukan. Sekali lagi senter mungilnya dinyalakan langsung menyinari pupil.
Setelah itu dia menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Bukan pendarahan dalam."
Suster ... Memangnya kalian melakukan apa padaku saat pingsan, sampai kepalaku bisa kena pendarahan dalam? Ingin kutanyakan, tetapi akhirnya tak jadi.
Si Macho Silas masih terpincang-pincang, tetapi sudah bisa berjalan sendiri dengan bantuan tongkat penyangga. Kemarin dia banyak membantu kami ketika mendata perlengkapan apa saja yang akan kami butuhkan sebelum pergi dari Rogue nanti, tetapi ketika kutanyakan beberapa detil saat sarapan, dia seperti tak mengerti.
Bukan, lebih tepatnya seperti obrolan kami tak nyambung. Malah menggumamkan sesuatu tentang jamur. Membuatku makin bingung. Suster Tilia yang menengahi dengan memberiku informasi yang kuinginkan.
Saat berburu, duo bocah mulai sedikit berinteraksi. Tak banyak bicara, tetapi setidaknya mereka tidak menggunakan aku sebagai perantara lagi. Mungkin berkat buruan yang muncul cukup banyak, walau ukurannya tak terlalu besar.
Melihat Raz kesulitan membidik sasaran bergerak, Bocah Bongsor itu kuberi beberapa tips, tetapi kesulitan menangkap maksudku. Akhirnya perburuan kuhentikan sejenak untuk mengajari bocah itu secara khusus—akan sangat merepotkan kalau dia salah pakai dan malah membuat timah panas bersarang padaku atau Bocah Jei.
Melihatnya tekun berlatih membidik dan menembak kadal-kadal gurun, membuatku kelepasan bicara soal alasan memberikan revolver di tangannya.
"Apa?!" sergahnya.
Sepertinya dia sulit percaya pada apa yang baru saja kukatakan sampai berhenti membidik. Sasarannya kabur. Setidaknya dia masih ingat untuk menurunkan pistol dan memasang pengaman pada pelatuknya sebelum melanjutkan bertanya.
"Tapi, Ducky ... Kenapa?!"
Raz yang naif. Sesulit itukah memahami bahwa orang-orang di sekelilingmu tak selamanya bisa dipercaya?
Aku perlu menyusun kata-kata, supaya dia segera paham.
"Seperti kata Kanselir, aku mungkin akan ditarik ke pihak sana dengan bayaran keselamatan Suster Tilia. Kau yang tak berpengalaman, tak mungkin bisa menang melawanku ... Jadi, pistol itu untuk memberimu kesempatan."
Bocah bongsor itu menunduk, memandangi benda pembunuh dalam genggamannya.
"Kalau aku memang sampai harus membunuhmu, apa yang akan kau lakukan?"
Pertanyaan itu membuatku diam.
"Entahlah ... Tergantung situasi saat itu," jawabku setelah mencoba mencari jawaban di horizon—siapa tahu ada puing-puing yang memberi petunjuk jawaban di sana. Sayangnya mereka sama bisunya dengan Jei yang menunggui kami berlatih.
Pembicaraan itu membuatku tak berselera melatih lagi. Jadi kusuruh mereka kembali ke ATV untuk lanjut berburu. Kami mendapat beberapa ekor kadal lain. Lebih kecil dari yang pertama. Akan kubuat dendeng saja.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Raz. Mendahulukan Tilia Branch, itu pasti. Namun aku juga tak bisa begitu saja meninggalkan bocah-bocah yang sudah memercayakan diri mereka kepadaku.
Kusadari, selain menahan informasi, saat itu aku sudah melakukan dua kecurangan lagi. Menutupi Jei dari kenyataan dengan meninggalkannya di Rogue dan memaksa Raz menghadapi kenyataan dengan menggenggamkan tali nyawaku ke tangannya.
Dokter sial. Katanya rusukku pasti sembuh. Mengapa sekarang dadaku terasa sakit begini?
Kalau aku minta obat pada Suster Tilia, apa dia hanya akan memberiku paracetamol lagi?
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Acara berburu kali ini terasa sedikit lebih ringan. Entah bagaimana prosesnya, kedua bocah itu sudah berbaikan. Dengan akrabnya mereka kembali mengobrol, bahkan bersama-sama membaca jurnal peninggalan gadis bernama Xi.
Perburuan kadal sempat agak kering. Sewaktu kukira mereka habis karena hari sebelumnya kami dapat beberapa ekor lebih banyak, tiba-tiba muncul seekor yang jumbo. Jauh lebih besar dari yang kami temukan di hari pertama.
Raz mulai bisa membidik dengan baik, tembakannya berhasil membuat si kadal berlari menghindari Jei, hingga bocah itu bisa menebas. Aku masih perlu menyelesaikan dengan memberi satu sayatan penghabisan sekalian untuk mengeluarkan darahnya, tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan sukses.
Melihat Jei betul-betul berhati-hati saat membersihkan dan meminyaki pedangnya sebelum memasukkan kembali ke sarungnya, membuatku bermaksud memberi pujian pada bocah itu. Namun baru juga aku menyebut soal sarung yang kuberikan, si Bocah Bengal itu malah mengungkit soal dia yang kutinggalkan di Rogue tempohari.
Lebih parah lagi, Raz yang ada di sebelahnya juga ikut-ikutan. Pakai menyinggung soal orang tua dan anak, segala. Kenapa orang percaya begitu saja kalau kami ayah dan anak???
Lagipula, dia pikir tak ada orang tua yang meninggalkan anaknya? Seandainya bukan karena alasan egoisme mereka, terkadang orang tua juga perlu meninggalkan anak demi menjaga keselamatan anaknya juga, tahu!
Bocah-bocah macam mereka tahu apa?!
Mentang-mentang sudah berbaikan, lalu mereka bergabung untuk ramai-ramai marah padaku?
Terbawa rasa kesal yang bertumpuk meluncurlah kata-kata yang selama ini terpendam. Setelahnya baru kusadari bahwa kata-kataku sudah keterlaluan—bahkan dalam kondisi marah pun. Keduanya terdiam, memandang balik ke padaku dengan ekspresi gabungan antara terkejut dan terluka.
Aku minta maaf, tetapi rasa kesalku belum hilang. Mereka berdua kutinggalkan bersama kadal jumbo di gerobak dan ATV.
Amarah yang tersisa membuatku menghajar makhluk apapun yang menghalangi selama perjalanan kembali ke Rogue. Hanya ingin mengenyahkan perasaan tak nyaman yang bercokol. Tak ada cangkang kepiting gurun untuk dikerkah, jadi aku menebas, menusuk, dan menembak.
Pisau, mantel, bahkan wajah kotor pun aku tak peduli. Sepertinya penampilanku cukup parah hingga orang-orang di jalanan Rogue berjengit dan menghindari, aku tak terlalu merhatikan. Tahu-tahu saja ada wajah cantik yang terlihat amat marah menghadang.
"Bercak-bercak apa itu?"
Kujawab itu cuma darah kadal. Suster Tilia terlihat sedikit lega, tetapi menolak untuk membantuku membersihkan. Aku harus membeli bahan pembersih nanti.
"Lalu, mana Raz dan J?"
Kali ini aku habis diomeli olehnya. Terlalu lelah untuk menanggapi, kuputuskan untuk diam saja membiarkan hingga Suster Tilia bicara hingga selesai.
Tunggu ... Dia memang sudah selesai, kan?
Aku tak ingat. Sadar-sadar aku sudah mencapai kamar, di mana si Macho Silas sedang duduk membaca. Enak betul. Aku iri, dia diberkahi wajah dan kepandaian. Hidupnya pasti lebih mudah.
Pikiran itu merembes keluar dan berubah jadi kalimat menyindir yang bahkan lidahku sendiri merasa jijik setelah ucapannya keluar dari mulut. Entah berapa kali aku minta maaf hari ini gara-gara gagal mengontrol lidah.
"Kamu mau jadi peneliti? Boleh, kok! Aku yakin kamu lebih pandai dari aku," timpal si Macho dengan wajah bersemangat. "Kamu mau meneliti apa? Kalau aku mampu, kita bisa kolaborasi."
Aku hanya bisa terbengong. Biasanya orang langsung down atau malah naik darah kalau lidahku sedang berbisa, tetapi dia sama sekali tak peduli. Malah langsung menanggapi dengan positif.
Aku gelagapan menanggapi. Kebingungan.
"Hapalanku jelek– ... TUNGGU! Bukannya kau seharusnya marah, tak ada salah apa-apa tapi aku melampiaskan kekesalan dengan menyindirmu?"
"Marah? Kenapa?" Si Macho malah balik bertanya. "Kenapa harus marah kalau ada orang yang mau jadi peneliti? Malah bagus. Kita bisa membuat sistem penunjang hidup lebih cepat. Bukankah ada pepatah kuno yang menyebutkan soal lidi bersatu lebih baik daripada satu lidi?"
Aku sungguh tak mampu berkata apa-apa lagi. Dia orang kedua setelah Bocah Jei yang membuatku terpingkal-pingkal dengan komentar positifnya. Sedikit berbeda dengan kenaifan Raz.
Setelah puas tertawa, tubuhku terasa berat. Seperti akumulasi dari kelelahan beberapa hari ini datang sekaligus. Saat menjatuhkan pantat ke satu-satunya kursi lain di ruangan itu, timbul rasa ingin tenggelam ke kasur yang menganggur di dekat situ, tetapi aku masih belum mau tidur.
Cukup lama aku menimbang-nimbang hingga akhirnya memutuskan untuk menceritakan uneg-unegku padanya. Terasa aneh, bicara dengan orang yang bukan atasan juga bukan dokter konseling. Bukan pula menulis jurnal yang seperti bicara sendiri ini—ya, aku sadar betul apa yang kulakukan.
Dengan baiknya dia menawarkan minuman, lalu mulai mendengarkan sambil memainkan benda kubus dengan kotak-kotak aneka warna yang terlihat sangat kecil di tangannya. Samar terdengar desir dan keletak-keletik benda itu ketika diputar-putar tiap bagian. Anehnya suara-suara yang ditimbulkan tak membuatku jengkel.
Kata demi kata meluncur. Awalnya rikuh—perlu kuingatkan, aku tak terbiasa melakukan yang semacam ini. Lama-kelamaan mulutku lancar berbicara. Tanggapan Silas tak banyak, tetapi juga tak terdengar menghakimi. Kalimat berikutnya pun meluncur semakin mulus.
Mulai dari kegeramanku pada duo bocah, kesalahan yang kuperbuat, kemarahan Suster Tilia, hingga penyesalan, dan akhirnya kekhawatiranku.
"Perlu kutemani?" tawarnya, lagi-lagi membuatku terbengong.
"Uhh ... temani? Maksudnya ... menjemput mereka?"
Silas mengangguk.
"Kalau kamu ragu tidak tahu harus bagaimana, menjemput atau tidak, bukankah lebih baik dilakukan dan menyesal daripada tidak dilakukan dan menyesal?"
Terdengar sepele, tetapi aku betul-betul baru sadar ada jalan keluar seperti itu. Apakah terlalu sering menggalau membuat otakku jadi tumpul juga? Aku tak tahu, yang pasti saran itu kusambut sangat baik.
Tanpa ba-bi-bu, langsung kutarik Si Macho itu keluar penginapan. Aku tak tahu dia sekuat apa, tetapi kalau hanya jalan sampai ke tempat terakhir aku meninggalkan duo bocah, seharusnya Silas cukup mampu, dia bilang sering pergi mencari jamur-jamur untuk diteliti hingga ke Direland, sendirian.
—Aku lupa sama sekali bahwa Silas masih menggunakan tongkat penyangga untuk berjalan.
Untung kami akhirnya tak perlu keluar dari Rogue. Dua bocah itu sudah sampai duluan dengan ATV. Hanya saja memang tidak dalam posisi ideal.
Raz dan Jei terkapar di tanah dekat gerbang masuk. Sementara ATV terbalik di sebelah mereka. Gerobak berisi kadal jumbo tidak ikut terbalik juga, tetapi menabrak gerbang. Orang-orang mulai berkerumun, mencari tahu apa yang terjadi. Tak ada struktur yang roboh, untungnya.
Namun melihat mereka tergeletak seperti itu cukup membuat jantungku serasa membeku. Ketika keduanya bergerak dan mengaduh, terasa ada yang meleleh. Mungkin karena jantungku kembali berdetak normal—Suster Tilia akan mencela dan menganggap omonganku tak ilmiah kalau sampai kuceritakan.
Mereka baik-baik saja. ATV sewaan sempat bocel-bocel dan sedikit retak di beberapa bagian yang tak penting, tetapi masih aman. Belakangan aku diberitahu Suster Tilia bahwa remnya blong.
Bukan salah kami, kan?
Anggap saja begitu.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Kadal jumbo kemarin sukses memberi kami dana lebih dari cukup untuk modal perjalanan. Air, perbekalan, dan obat-obatan sudah terkumpul. Bahkan truk bekas AYX bisa dibeli—sedikit membutuhkan usaha tawar-menawar, berkat Suster Tilia kami dapat harga yang bagus.
Dengan truk dan perlengkapan berkemah, bila tak mendapat tempat menginap kami masih ada tempat untuk berteduh. Hmm ... Tiga orang lelaki besar dan satu pemuda tinggi kurus di area belakang sementara Suster Tilia di ruang kemudi—setidaknya si kepala bunga itu tak akan mampu langsung melahap satu truk, seandainya dia muncul.
Kurasa cukup. Lebih bagus lagi bila kami bisa membeli truk kedua, tetapi itu nanti saja, bila penghasilan sudah cukup stabil untuk mendapat bahan bakarnya. Ah, betul juga, kami bisa minta bayaran berupa bahan bakar truk pada para klien.
Di mana kami akan cari klien?
Tak tahu.
Untuk awalnya, kami cukup melakukan perjalanan menuju koloni pinggiran, sambil membasmi hewan dan monster gurun yang mengganggu—bagus untuk tambahan ransum, bahan pelindung, maupun barang jualan. Mungkin berurusan dengan perompak gurun juga. Cukup banyak pihak yang menyambut baik pemburu, apalagi yang bisa disewa. Karena itu tim mercenary punya prospek bagus di Direland.
Penyerang kami memang hanya 3 orang, tetapi dengan adanya peneliti macho dan seorang tenaga medis handal, tim kami lebih komplit daripada tim-tim lain yang beranggota banyak. Aku yakin kami bisa jadi tim yang tangguh.
[Menyimpan tulisan]
=====
============
Gambar Bonus
Face Claim Silas Xav Lcytsi, si Ilmuwan ganteng dan macho
Silas, karakter milik Shireishou, bisa dibaca lebih lengkap di karyanya berjudul: Noli Desperare
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top