Jurnal 05 - Pergi
[ .... ]
[Selamat datang di Jurnal Digital ZXC-0064, Kapten Drake.]
[Masukkan kode dan nama: ...]
[][][][][][] - Ducky,
Memperbarui Data
[Pembaruan data, diterima]
[Masukkan nama tempat: ...]
Direland, Koloni Rogue
[][] kilometer dari Liberté
[Data tempat tujuan baru, diterima]
[Masukkan tempat menyimpan: ...]
Jurnal 05
[Tempat menyimpan baru, diterima]
[Mulai menulis]
Aku kembali ke Rogue. Situasi di sini masih sama seperti dalam ingatan.
Riuh, padat, kasar, serampangan.
Namun hidup.
Orang-orang Rogue memang tidak semua berhasil tetapi tetap berusaha keras. Mereka masih memiliki harapan di sorot mata masing-masing. Bukan sorot mata pasrah pada nasib seperti yang sering terlihat di kebanyakan koloni kecil Direland. Bukan juga sorot mata hampa sebagian besar pekerja Liberté.
Seminggu perjalanan bersama orang-orang berkemauan keras dan naif, membuatku sempat lupa bagaimana umumnya manusia di sekelilingnya bersikap. Bahkan dua orang anggota baru AYX—kalau tak salah mereka dari AX-0976, itu terlihat cukup bersemangat. Entahlah kalau soal kemampuan bertahan hidup. Bahwa mereka bisa tiba di Rogue dengan selamat saja tak cukup untuk jadi tolok ukur.
Fisik si ganteng nomor dua—kalau tak salah namanya Rash dengan zet, memenuhi syarat. Dia bisa mendaftar akademi kapan saja dan aku yakin bakal diterima. Sedangkan Xi, perempuan yang bertubuh pendek—kurasa nyawaku bakal terancam bila tulisan ini terbaca olehnya, cukup pandai dan bisa membaca situasi.
Mereka bisa berguna. Suka atau tidak, aku perlu mengenal mereka lebih jauh. Kalau bisa secepatnya.
Semua gara-gara situasi Liberté yang memburuk. Di sana memang tidak seideal yang didengungkan banyak orang. Sekarang setelah tinggal cukup lama di koloni lain aku jadi bisa melihat dengan lebih jelas berbagai kecacatan koloni yang katanya terindah dan termaju itu, dibiarkan juga mereka akan hancur sendiri.
Namun prosesnya lebih cepat dari perkiraan. Aku memang berencana menunggangi AYX untuk menyusup kembali ke sana, tetapi tiba-tiba langsung ditodong untuk memutuskan ikut atau tidak dalam minggu ini.
Seperti ada orang-orang yang sengaja mempercepat kehancuran Liberté.
Info soal kepergian ke sana kudapat dari seorang lelaki kemayu yang mengaku pemandu wisata dari AYX itu—siapa namanya, Owen? Ya, rasanya itu namanya.
Dari mulut manisnya—oh, aku tidak menulis ini dengan maksud memuji, dia pandai memilih kata-kata yang terdengar indah, itu saja. Kau bisa mendengar dia mengucapkan revolusi, seolah-olah itu adalah kata ajaib dan mujarab penyembuh segala kebobrokan pemerintahan.
Aku bukan pelajar yang baik. Di Akademi nilaiku rata-rata dan sejarah adalah pelajaran yang bisa membuatku tertidur saat harus menghapal nama-nama orang penting dan tanggal mereka melakukan hal-hal luar biasa. Namun, aku cukup paham bahwa revolusi tidaklah cantik.
Bukannya mendukung pemerintah. Aku tahu betul bagaimana jeleknya sistem di sana. Aku bahkan salah satu bukti hidup kejelekan sistem itu.
Namun revolusi itu bagiku seperti menyiramkan aluminium cair ke lubang semut. Seiring dengan menyebarnya cairan membara keperakan itu ke segala percabangan liang yang ada, semua yang ada di sana akan terbakar habis kemudian mengeras dan menyatu begitu panasnya padam. Tak akan ada yang selamat.
Kepala-kepala akan bergulir. Darah akan mengalir.
Ah, segala tetek-bengek idealisme ini membuat kepala pusing. Kurasa aku akan meminta air untuk obat penahan sakit. Si Kemayu itu bilang kami bisa makan-minum dan istirahat sepuasnya, kan?
Aku akan minta resepsionis untuk mengisi penuh-penuh semua botol airku.
Gratis tentu saja.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Aku tak tahu apakah sebaiknya menuliskan soal ini. Sedikit meleset dari tujuan awal- ....
Tidak. Justru malah benar, walau akhirnya kami malah membicarakan hal-hal lain. Tunggu, itu artinya meleset atau tidak?
Mungkin seharusnya aku tak usah meminta orang resepsionis untuk mengontaknya.
Aku tak tahu lagi.
Kurasa aku perlu tidur. Obatnya mulai bekerja.
Aku tidak lupa melonggarkan perban, kan?
Sepertinya tidak.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Ada apa dengan bocah-bocah di sekelilingku dan kemampuan mereka untuk memendekkan usia tepat waktu orang baru akan bangun?
Pertama Ven, dengan teror kadalnya, sekarang Jei.
Bukannya membangunkan layaknya manusia normal, bocah itu malah mengguncangkan bahuku kuat-kuat. Nyeri di rusuk membuatku kesulitan mengeluarkan suara untuk memintanya berhenti. Akibatnya dia sempat menamparku beberapa kali.
Sungguh. Kalau kau bisa membangunkan orang mati hanya dengan menampar, sudah kulakukan sejak dulu, Bocah!
Perlu beberapa kali tepukan di bahu dan lengannya untuk membuatnya sadar dan berhenti mengguncang.
Kukira aku akan mati.
Sepertinya akibat efek obat penahan sakitnya terlalu kuat, aku tak mendengar suara ketukan maupun panggilannya dari luar pintu. Bocah yang memang sedang khawatir tentang banyak hal itu melihatku yang tidur kena pengaruh obat, seperti mati.
Kalau guncangannya lebih kencang lagi, salah satu dari kami bisa betul-betul mati.
Aku nyaris mencabut pisau karena reflek. Kalau bukan karena wajah penuh ingus dan air matanya yang membanjir, bilah tajam di tangan bisa menggores nadi leher siapapun yang ada di dekatku saat itu.
Butuh waktu sampai tangis dan cegukannya cukup reda untuk bisa berbicara normal.
Ternyata dia datang untuk menanyakan sesuatu—bukan, dia menanyakan banyak hal.
Astaga, Bocah.
Kalau hanya untuk bertanya lakukan saja sebelum aku tidur, daripada harus menimbulkan situasi near death experience di tengah pagi buta.
Masih setengah mengantuk, kudengarkan saja semua pertanyaannya. Sebisa mungkin kujawab satu-persatu. Lucu juga melihat mimiknya yang semula penasaran berubah jadi makin khawatir atau malah lega ketika mendengar jawaban.
Di luar dugaan, yang ditanyakan pertama oleh bocah itu adalah tingkat keparahan kondisi revolusi di Liberté. Menjawab pertanyaan itu membuat kantukku berkurang. Kuungkapkan juga kekhawatiran akan terjadinya perang saudara bila proses revolusi tidak berjalan lancar.
Berikutnya dia bertanya tentang keikutsertaanku. Dia terlihat lega ketika kukatakan aku pasti ikut. Sepertinya bocah itu betul-betul ingin ikut ke Liberté juga.
Selama ini Jei selalu patuh menuruti kata-kataku, tetapi untuk hal-hal yang menyangkut prinsip pribadinya, dia bisa cukup keras kepala. Sisi baiknya, itu berarti dia jujur—baik pada dirinya sendiri juga pada orang lain.
Membuatku bertanya-tanya, bila para bawahan di unit-unit lama bisa patuh dan jujur seperti Bocah ini, apa mereka bisa selamat?
Ah ... pemikiran ini membuatku makin tak ingin membawa Bocah Jei terbawa arus perubahan Liberté. Waktunya terlalu sempit. Aku tak mungkin menjejalkan pengetahuan padanya hanya dalam waktu beberapa hari.
Setelahnya dia masih bertanya-tanya lagi. Kali ini tentang Liberté. Aku agak kesulitan memberikan jawaban singkat dan mudah dimengerti. Entah apakah kalimatku bisa dipahami olehnya.
Dia terlihat biasa saja saat sarapan. Menikmati makanannya—tentu saja, tetapi tak banyak bertanya lagi. Aku jadi punya kesempatan untuk menulis jurnal sebelum pergi belanja.
Ah, lupa kusebutkan. Bukan sesuatu yang genting untuk ditulis, tetapi ... penginapan ini menyediakan kamar mandi! Luar biasa. Berapa tahun sejak terakhir kali aku bisa menikmati air pancuran?
Memang kamar mandi komunal dengan pancuran yang mengucur kecil, berjajar dua. Dengan sekat di tengah. Satu di antara kedua pancuran itu disegel karena tak berfungsi. Airnya juga tak terlalu bersih—tak masalah, aku bisa pakai trik yang sering kupakai untuk menyaring air.
Bocah J terlihat senang mengetahui trik yang hanya menggunakan kain, pasir, pecahan arang, dan kerikil itu. Idealnya ada sabut atau rumput kering, tapi toh ini hanya untuk mandi bukan untuk diminum langsung.
Sebelum jadi masalah, biar kujelaskan. Bocah itu sendiri yang tiba-tiba menyusul masuk. Katanya karena disuruh oleh pacar besarnya Xi untuk mengawasiku yang sedang cedera. Manula sering kecelakaan fatal di kamar mandi, begitu katanya.
Ah, sudahlah. Mumpung bisa mandi gratis, abaikan saja ocehan menyebalkan itu.
Setelah lengket karena debu gurun dan keringat demam—sepertinya aku juga mengalami mimpi buruk sebelum terbangun karena guncangan Jei— bisa mandi dengan air mengalir, sungguh segar. Aku selalu membasuh badan dengan kain basah bila memungkinkan, tetapi perasaan saat menerima kucuran langsung air ke kulit saat membersihkan badan memang berbeda. Kemewahan yang jarang bisa dialami di Direland.
"Ducky, itu tato apa?"
Celetukan polos bocah Jei sempat membuat air yang mengucur di tengkuk serasa turun 2-3 derajat suhunya. Terbawa perasaan, kujawab sinis bahwa itu adalah cap bakar untuk ternak. Hanya saja bukan untuk hewan potong, melainkan kuda penarik beban.
Karena memang begitulah perasaanku ketika logo itu ditorehkan ke kulit.
Jawaban yang kusesali, karena bocah itu betul-betul mengira aku bekerja sebagai ternak penarik beban di Liberté. Baru kali ini mengalami sesak napas karena tertawa. Kuharap retak di rusukku tidak berubah jadi patah.
Setelah cukup tenang, kuputuskan untuk menjawab jujur saja. Toh, dengan perkembangan situasi Liberté saat ini, cepat atau lambat dia akan tahu juga.
Reaksi Bocah Jei sungguh menarik. Dia mengungkapkan kekagumannya dengan jujur dan tulus. Baru kali ini aku mendapat reaksi demikian dari orang yang mengetahui identitas lamaku sebagai mantan militer Liberté.
"Militer kan keren?" tambahnya lugu. Malah heran mengapa aku terlihat heran melihat reaksinya.
Astaga. Bagaimana bocah itu bisa bertahan hidup selama ini? Apakah ini sejenis dengan anekdot soal anak kucing yang bertemu macan, tidak dibunuh malah dirawat dengan baik karena terlalu imut?
Baiklah, saat belanja perbekalan siang nanti aku harus mengajari dia cara memilih toko dan penjual yang harganya tetap dan masuk akal. Membayangkan dia harus tawar-menawar sepertinya mustahil.
Seharusnya uang hasil penjualan cangkang kepiting gurun sudah bisa kuambil. Mereka langsung membeli lunas semua untuk dijual lagi setelah diolah, begitu kata resepsionis waktu kudatangi saat minta air semalam.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Kami bertemu dengan pasangan mesra dari Koloni AX-0976 saat berbelanja. Ya, si besar Rash pake zet, dan si mungil Xi. Ugh, melihat mereka berdua betul-betul seperti berada di pusat perbelanjaan Liberté, di mana para perempuan berdandan menarik-narik pasangannya untuk membawakan barang belanjaan mereka.
Yang berbeda, dandanan, tempat belanja, dan barang-barang yang dibeli saja. Bicara soal itu, kuperhatikan mereka hanya membeli perbekalan untuk si ganteng nomor dua saja. Sepertinya hanya si lelaki besar itu saja yang akan berangkat ke Liberté?
Aku harus mencari kesempatan untuk konfirmasi pada si mungil Xi. Saat bocah Jei sedang asyik melihat-lihat sekeliling dan tanpa sadar mengikuti si ganteng nomor dua, perempuan itu kudekati. Untunglah perkiraanku benar.
Hanya saja ... Entah bagaimana perempuan itu mengira aku dan Jei adalah ayah dan anak. Bagaimana bisa muncul kesalahpahaman itu?!
"Lho, J itu bukan anakmu?" perempuan itu malah balik bertanya waktu kuungkapkan kebingunganku soal anak.
Tolong, ya ... Memang tidak bisa dibanggakan, tetapi apa dia pikir wajah normal sepertiku bisa menghasilkan bocah tampan macam Jei? Lagipula, sebocah-bocahnya dia, tak mungkin usianya hanya 5 tahun, kan?
Kecuali aku punya anak di usia 15 tahun—yang hampir pasti mustahil, aku baru masuk akademi pada saat itu. Itu pun kalau memang bisa, berarti si Bocah Jei baru berusia 12-14 tahun. Aku tak ingat berapa usiaku sekarang. Tigapuluh ... sesuatu?
Eh, berapa usia si Bocah sebetulnya? Walau kurus kurang gizi, kalau setinggi itu seharusnya paling tidak sudah 17 tahun, kan? Jangan-jangan dia memang masih 10 tahun.
Setelahnya perempuan itu memang minta maaf. Dia bilang, yang menyebarkan gosip soal ayah-anak tadi adalah kru AYX. Sepertinya mereka saling melaporkan kondisi masing-masing rombongan. Aku tak mengerti, apa kami terlihat seperti ayah dan anak?
Wajah Xi merah padam dan buru-buru menampik waktu kusinggung soal dirinya sendiri yang tak ikut pacarnya ke Liberté. Ah, bisa saja dia bicara. Aku lihat sendiri bagaimana dia menarik lengan Rash dengan zet, masuk ke kamarnya sewaktu perjalanan kembali dari resepsionis.
Berkat itu perasaan tak nyaman usai bicara empat mata dengan si Kemayu semalam jadi berkurang, digantikan rasa iri. Huh! Kapan aku bisa berduaan bukan sebagai pasien dan perawat dengan Nona Tilia.
Ah, lama tak menulis nama indah itu. Tilia Branch, sempat kucari asal namanya. Dari sebutan lain untuk Linden, nama pohon yang rindang. Aku pernah melihatnya di Liberté, di salah satu rumah pembesar. Pohon yang menyejukkan siapa saja yang duduk di bawahnya. Sebagaimana keberadaan dirinya bagiku.
Julukannya lebih indah lagi, Nightingale. Nama perawat legendaris dari masa lalu. Juga nama burung bersuara merdu.
Oke, lagi-lagi aku melantur.
Intinya, tentang bocah Jei sudah kutitipkan pada Xi. Kami sepakat untuk saling menggantikan mengawasi rekan masing-masing. Aku tak yakin bisa memperlakukan si ganteng nomor dua seperti bocah Jei, tetapi perempuan itu memberiku izin untuk melakukan apa saja asalkan bisa mencegahnya terjun serampangan ke dalam bahaya.
Satu-dua pukulan ke rahang atau ulu hati sepertinya bisa kugunakan dengan senang hati.
Untuk modal hidup, sudah kuserahkan semua uang hasil penjualan cangkang kepiting gurun pada Xi. Modal dari AYX sudah lebih dari cukup untuk membeli obat-obatan, ransum, dan persenjataan. Aku bahkan bisa mendapat revolver berikut sekotak pelurunya.
Kaliber kecil tetapi cukup berguna untuk saat-saat butuh serangan cepat jarak menengah. Sentakan shotgun terlalu berat bila harus digunakan berturut-turut untuk rusukku.
Setelah menemukan bocah itu—Tak bisa dipercaya ... Baru kutinggal sebentar, dia sudah hilang karena tak sengaja terpisah dari si ganteng nomor dua. Untung kondor miliknya memudahkan untuk mencari. Tujuan berikutnya adalah klinik.
Dokter-dokter yang tak kukenal, juga perawat-perawat yang asing. Namun aku masih ingat ruangannya. Beberapa bulan dirawat di situ sempat membuat tempat itu semacam rumah bagiku.
Kini fasilitasnya lebih lengkap dan bangunannya mengalami perubahan, tetapi nuansa di dalamnya tetap sama.
Aku memeriksakan retak di rusukku serta meminta obat dan perban yang lebih bagus, serta kaplet-kaplet suplemen untuk pemulihan tulang—dengan koin perak AYX, semua bisa kudapatkan. Jei mondar-mandir khawatir selama menunggu hasil pemeriksaan. Padahal sudah kukatakan, hanya retak. Asal tak banyak bergerak, pasti sembuh sendiri.
Satu obat lagi kuminta diam-diam, untuk dimasukkan dalam minuman si Bocah nanti malam. Aku sudah menanyakan dosis yang aman untuk membuatnya tidur sedikit lebih lama, saat Jei tidak mendengar. Dengan demikian besok aku bisa pergi menuju Liberté tanpa perlu mengkhawatirkan keselamatannya.
Setelah makan malam nanti, si Bocah Jei akan kutawari jus yang sengaja kubeli di pasar untuk dicampur dengan obat tidur. Xi akan kukabari sesaat setelah bocah Jei terlelap. Karena troli dari papan selancar gurun kubawa, akan kutinggalkan juga ransel untuk barang-barangnya. Pedang peninggalan gadis galak itu sudah kuberi sarung kulit dan tali supaya mudah dibawa.
Lalu aku sendiri akan pergi tidur sebagai persiapan untuk besok pagi.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Barang-barang sudah naik ke atas kendaraan. Sesuai dengan rencana, Jei masih tertidur lelap. Sempat terpikir untuk meninggalkan pesan, tetapi aku tak tahu harus meninggalkan pesan macam apa.
Teringat pesan yang kutinggalkan di milik Ven. Aku merasa mengulang pesan itu percuma saja. Jadi kupinjam alat tulis dari resepsionis dan menorehkan pesan khusus buat bocah Jei pada secarik kertas yang dilipat rapi lalu ditempelkan pada sarung pedang—syukurlah ukurannya pas dengan pedang, walau membelinya agak terburu-buru.
Sebelum naik ke kendaraan, tanpa sengaja aku bertemu pandang dengan si Kemayu. Supaya tidak menimbulkan prahara yang tak perlu, aku hanya mengangguk sedikit padanya. Sembari melemparkan pandangan supaya dia tak lupa dengan janji yang kami buat malam sebelumnya.
Dia hanya tersenyum—menyebalkan seperti biasanya, sebagai balasan.
Kuanggap itu cukup.
=====
=================
Gambar Bonus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top