Jurnal 03 - Bebek Pengasuh
[ .... ]
[Selamat datang di Jurnal Digital ZXC-0064, Kapten Drake.]
[Masukkan kode dan nama: ...]
[][][][][][] - Ducky,
Memperbarui Data
[Pembaruan data, diterima]
[Masukkan nama tempat: ...]
Direland, + [][] KM dari Koloni AX0931
Tujuan berikutnya, Koloni Rogue
[Data tempat tujuan baru, diterima]
[Masukkan satuan hitung mundur hingga tujuan: ... ]
Hitung mundur satuan hari
[Hitungan mundur dimulai]
[Masukkan tempat menyimpan: ...]
Jurnal 03 - Hari Pertama
[Tempat menyimpan baru, diterima]
[Mulai menulis]
Pagi pertamaku bersama dua bocah itu, diawali dengan sesuatu menggerayang dekat leher. Apapun itu segera kurenggut dan cengkeram ke tanah. Teriakan Ven sempat terdengar, tetapi pisau keburu tercabut dari sarung. Saat ujung pisauku nyaris menyentuh kulitnya yang licin, seseorang menggandoli lenganku.
Bocah Jei ribut soal kadal, sedangkan Ven kelihatan sama bingungnya denganku. Sesuatu di tangan kiri ada yang sibuk meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Ternyata kadal kecil yang dipungut bocah Jei. Si Galak Ven yang iseng memasukan ke kerah mantelku.
Rasanya umurku berkurang beberapa tahun hanya gara-gara itu. Dulu aku pun pernah beberapa kali mengalami makhluk asing menyusup masuk ke baju saat tidur. Dua di antaranya nyaris membuatku mati keracunan.
Mengingatnya saja bisa membuatku tak terlalu fokus ketika seorang pegawai AYX—sepertinya
yang posisinya paling tinggi atau sekadar supervisor kami, entah yang mana— memberi informasi bahwa tujuan kita akan dicapai dalam waktu 4 hari.
Rogue Colony. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mendengar nama tempat itu. Tempat di mana aku mendapatkan kesempatan kedua untuk melanjutkan hidup. Bukan tempat yang ramah, tetapi setidaknya aku mendapat modal-modal penting untuk bertualang selagi masih di sana.
Perjalanan kali ini relatif lancar, kecuali bagi beberapa ekor monster gurun ukuran kecil yang langsung terlindas dengan mudah oleh iring-iringan kendaraan AYX—kami tahu karena saat kendaraan sedikit berguncang, ada beberapa pekikan sekarat yang terdengar. Dari lubang intip, bisa terlihat jejak cipratan darah monster di tanah gurun.
Duo bocah sempat membuat keributan ketika konvoi kendaraan bersiap untuk berangkat pagi tadi. Bukan hal besar, hanya karena Jei bersikeras ingin membantu Ven naik ke kendaraan, sementara gadis itu tetap tidak mau digendong. Akhirnya Jei setengah menyeret gadis malang itu.
Karena tak tahan melihat si Gadis Galak sibuk meraung dan merintih ketika diseret, akhirnya kupinjamkan juga papan selancar gurun. Bukannya langsung berterimakasih, gadis itu malah mengomel karena terlanjur diseret-seret oleh Jei. Bukan salahku kalau mereka tidak tahu apa gunanya papan dengan roda yang bisa didorong dan ditarik dengan mudah, kan?
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Malam tadi, setelah pemimpin konvoi menemukan tempat untuk berkemah, Si Bocah tampan tiba-tiba datang padaku. Aku sedang memanaskan lembaran dendeng kadal dan udang gurun dengan panci dan sedikit air di api unggun—andai ada mata air seperti kemarin, kita bisa makan sup dengan banyak kuah. Dia minta dilatih menggunakan tombak.
Sejujurnya aku malas. Hampir saja kutolak saat itu juga, tetapi pelototan Ven membuatku ingat. Udang gurun jumbo tak akan bisa kukalahkan seorang diri.
Yup!
Ini hanya sedikit usaha untuk mendapat asset tempur tambahan. Kalau Jei ini bisa menggunakan tombak, aku juga bisa sedikit santai. Investasi yang tidak jelek.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Mengajari dasar-dasar menggunakan tombak membuatku sadar, Jei ini sungguh butuh banyak protein untuk membangun otot. Badannya terlalu tipis, pantas dia gagal menggendong Ven tadi. Jatah makannya harus kutambah. Aku juga akan cari monster atau tanaman apa gitu untuk nutrisi tambahan perbekalanku sendiri.
Omong-omong, malam ini agak ramai, ya?
Saat memakai salep di punggung sebelum tidur tadi, rasanya aku dengar suara kepakan burung besar. Apakah karena di sekitar bukit batu, dekat sini ada sarang burung gurun? Mereka biasanya tak akan mengganggu manusia yang masih sehat.
Entah lagi kalau ada yang masih terlalu muda untuk membedakan mana mangsa dan mana yang bukan.
[Menuju Koloni Rogue, 3 hari lagi]
[Menyimpan tulisan sementara]
Jurnal 03 - Hari Kedua
[Lanjutkan menulis]
Pagi tadi juga tak bisa dikatakan santai. Dini hari seseorang memamerkan kakinya yang sudah bisa digunakan untuk berjalan lagi untuk membangunkanku.
Tidak, demi semua badai pasir dan rawa tak berdasar di Direland, bukan memamerkan yang indah dipandang. Mataku masih belum cukup terbuka untuk bisa menangkap bentuk apapun, masih setengah sadar. Seketika itu juga dipaksa bangun.
Bagaimana tidak, tiba-tiba saja perutku terinjak. Giliran jaga, serunya. Kukira seseorang mengusik sarang kadal raksasa dan membuatku jadi korban stampede. Ternyata hanya seorang Ven, dia sudah bisa jalan sendiri walau masih pelan-pelan.
Tak terlalu sakit dan tak sampai membuat memar, tapi tak bisakah dia membangunkan dengan cara normal?!
Aku mulai patroli setelah berhasil menenangkan diri, sementara Ven the Stampede itu kembali ke tumpukan selimut tempatnya berbaring.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Aku yakin salah satu dari burung besar itu ada yang mengikuti. Waktu kendaraan berhenti sejenak untuk toilet break, kulihat ada yang berputar-putar di atas. Mungkin ada yang dia incar.
Bocah Jei jadi makin protektif pada kadalnya, berarti burung gurun itu bosan makan bangkai dan ingin mencicipi daging kadal segar.
Yah, begitulah hidup, anak muda. Ada yang namanya rantai makanan. Kalau dia menangis karena kadalnya dimangsa burung gurun, masih ada si Gadis Stampede yang bisa menghiburnya.
Ah, sial! Hanya memikirkan kemungkinan itu saja sudah membuatku iri. Duo bocah itu bisa bermesraan sepuasnya kapan saja. Entah kapan bisa bertemu lagi dengan sang Suster Manis pujaan hati.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Malam ini setelah memeriksa kaki Ven the Stampede, kuputuskan bahwa dia sudah bisa ikut latihan spar menghadapi Jei. Tentu saja dia belum boleh banyak bergerak, tetapi begitu pun sudah cukup memadai untuk lawan tanding bocah tampan yang masih belajar itu.
Untuk makan malam, tak perlu khawatir. Masih cukup banyak sisa dendeng udang gurun. Sementara daging kadal kering semua diminta oleh Jei, untuk teman barunya, katanya. Aku perlu melirik kadal kecil di bahunya.
Apakah dia sedang melatih peliharaannya untuk jadi monster kanibal?
[Menuju Koloni Rogue, 2 hari lagi]
[Menyimpan tulisan sementara]
Jurnal 03 - Hari Ketiga
[Lanjutkan menulis]
Sarapan kali ini berlangsung lebih damai. Untuk kali pertama sejak memulai perjalanan, aku terbangun dengan normal sebelum Ven sempat melakukan sesuatu. Punggungku juga sudah tak seberapa sakit lagi. Mungkin berkat itu bangunku segar setelah tidur lebih nyenyak dari sebelumnya.
Burung gurun yang waktu itu kulihat kini menjadi bagian dari tim—setidaknya begitulah yang dikatakan Jei. Bocah itu jadi lebih aktif mencoba mencari buruan setiap kali toilet break.
Aku tak terlalu peduli. Selama tidak mengganggu kinerja tim, mau burung gurun, kek ... kadal terbang, kek ... belut pasir, kek ... Bebas!
Tanggung jawab mengurus tentu saja sepenuhnya dipegang oleh Jei yang paling bersikeras untuk mengajak teman-temannya. Hari ini aku ingin agak santai.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Rencanaku untuk bersantai hari ini urung, bukan karena salah satu kendaraan kembali menabrak monster gurun ukuran sedang. Efek tabrakannya memang terlihat cukup fatal karena kepala konvoi AYX memutuskan untuk menghentikan perjalanan lebih awal untuk memeriksa kondisi kendaraan dan memperbaikinya.
Untungnya, mereka sama sekali tidak meminta kami untuk membantu memperbaiki kendaraan. Biasalah, bagi orang-orang Liberté, penghuni Direland adalah orang-orang terbelakang yang tak mengerti teknologi. Aku pun pernah berpikir seperti itu dulu.
Tempat berkemah kali ini dekat reruntuhan lagi. Bukan bekas bangunan tinggi, seperti sebelumnya. Kalau melihat bentuk tembok dan ketebalannya, aku yakin dulu tempat itu bekas benteng pertahanan. Kesempatan bagus untuk menjelajah sedikit, siapa tahu bisa menemukan sesuatu yang bisa jadi senjata.
Ven yang terlihat paling bersemangat. Di reruntuhan sebelumnya dia belum bisa bergerak sendiri. Kali ini karena sudah bisa bebas berlarian, gadis itu akan mencari barang-barang peninggalan yang mungkin cukup berharga untuk dijual atau ditukar di koloni tujuan nanti.
Kubiarkan saja dia menjelajah sesukanya. Berdasarkan pengalaman selama ini, reruntuhan seperti yang ada di situ memang cukup aman, asal tidak nekad masuk ke celah-celah yang sempit karena tanah di sekitar situ banyak yang sudah berubah menjadi pasir akibat cuaca. Struktur apapun di atasnya jadi tak seberapa stabil.
Aku lupa apakah sudah memperingatkan Ven soal bahaya celah sempit. Rasanya sih sudah
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Akibat terlalu asyik mencari barang-barang kebutuhanku sendiri, kami terpisah. Jei dan dua ekor pengikutnya entah ke mana. Begitu juga dengan Ven.
Maksudku, kalau di hadapanmu ada kotak-kotak besi dengan lambang militer, siapapun pasti bakal sibuk membongkar dan memeriksa isinya, kan? Bahkan untuk barang dari peradaban sebelumnya sekalipun, mesiu tetap berguna. Berkat cuaca gurun Direland, kondisinya juga masih kering dan cukup bisa digunakan lagi.
Setelah membongkar kotak kesekian, aku sudah mengantongi beberapa kotak isi peluru lama—sayangnya tak bisa digunakan sebagai amunisi karena tak cocok dengan senapan yang kumiliki, tetapi mesiu di dalamnya bisa kukumpulkan. Pasti nanti bisa dipakai untuk hal lain.
Kotak terakhir yang kubuka ternyata jackpot. Beberapa butir peluru shotgun, standar senjata militer yang sama dengan Liberté. Tak semua bisa digunakan, tetapi lebih dari cukup untuk menggantikan yang terbuang saat melawan udang gurun jumbo.
Aku sedang berterimakasih pada siapapun yang melupakan pelurunya di situ ketika melihat Ven melintas. Gadis itu menjejalkan diri ke celah sempati di antara puing-puing bangunan. Tubuhnya lebih kecil dari Jei yang kurus, jadi mudah saja masuk ke tempat sempit begitu, tetapi aku melihat salah satu di antara dua tembok yang dia masuki mulai rompal.
Kuteriaki untuk tidak masuk terlalu jauh tanpa tali pengaman. Namun sepertinya gadis itu tak mendengar, karena ketika tembok itu betulan runtuh aku tak menemukan seutas tali pun yang bisa ditarik untuk menolongnya.
Jei yang baru datang—sepertinya terpanggil oleh suara runtuhnya tembok, langsung panik berusaha menggali pasir. Aku sendiri mencoba memasukkan tali dari barang bawaanku, lewat celah bebatuan yang tersisa, tetapi sepertinya Ven sulit mencapai ujungnya dari dalam.
Kucoba mengikat tali itu pada kadal peliharaan Jei, seharusnya dia bisa masuk dengan mudah. Tinggal mencari cara untuk memancing agar kadal itu mau masuk. Aku cukup skeptis, seandainya kadal itu tak mau mengantarkan tali, kita harus meninggalkan Ven terkubur di situ.
Terdengar kejam?
Begitulah hidup. Suatu saat kita harus memilih apa yang betul-betul penting untuk terus melangkah. Ini juga bukan yang pertama aku harus menghadapi pilihan sejenis. Dulu aku juga melakukan hal serupa pada situasi yang mirip, bahkan pada orang yang sama.
Ya. Aku tak terlalu ingat nama maupun wajahnya, tetapi bila dilihat dari cara gadis galak itu bicara padaku sejak kali pertama kami naik ke kendaraan AYX, tebakanku tak salah. Sikapnya bukan hanya seolah-olah punya dendam, Ven memang ada dendam padaku.
Apakah aku menyesal? Tentu tidak. Bahkan bila kami mengalami situasi serupa, aku akan mengambil pilihan yang sama.
Jei tiba-tiba bersorak senang. Sepertinya ada dendeng dalam saku Ven, sehingga kadal peliharaannya terpancing dan mau masuk untuk mengantarkan tali. Tak lama, berkat usaha Jei yang mengurangi timbunan pasir dengan terus menggali dan tenagaku menarik ujung tali yang lain, gadis itu berhasil kami keluarkan dari timbunan reruntuhan.
Tak ada luka, hanya wajah dan rambut penuh pasir saja. Gadis itu mengembuskan bersin debu pada kami beberapa kali. Sulit melihat ekspresinya, apakah lega atau kesal dengan berbedak debu sebanyak itu.
Aku sedang berpikir keras apakah harus menghibur atau mengomeli kecerobohannya, ketika tiba-tiba saja Ven tertawa terbahak-bahak. Tak lama Jei terbawa, ikut tertawa juga. Aku perlu beberapa kali mengecek reruntuhan di belakang mereka dan memastikan pasir di tanganku tak mengandung bau bahan kimia mencurigakan.
Mereka kembali ke perkemahan masih dalam kondisi terpingkal-pingkal. Aku menjaga jarak, supaya tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pegawai AYX yang masih tampak serius memperbaiki kendaraan mereka.
Sambil memilah hasil temuan di petilasan tadi, kulihat si Ven sudah sibuk menghitung dan memeriksa hasil temuannya sendiri. Sepertinya betul-betul tak ada luka serius.
Mungkin aku tak berhak mengatakannya, tetapi aku bersyukur dia selamat.
[Menuju Koloni Rogue, 1 hari lagi]
[Menyimpan tulisan sementara]
Jurnal 03 - Hari Keempat
[Lanjutkan menulis]
Setelah insiden kemarin nyaris tidak ada apapun yang menarik untuk ditulis hari ini. Kecuali mungkin serbuan kepiting-kepiting gurun. Mereka lebih besar dari yang kuingat, tetapi rasanya masih sama lezatnya. Lebih manis dari udang gurun bila dibakar atau direbus.
Pengumuman dari intercom sempat membuatku khawatir akan terjadi hal serupa dengan udang gurun jumbo. Namun ketika pintu terbuka, ternyata 'hanya' puluhan kepiting gurun yang berdatangan. Panjang tubuh mereka nyaris mencapai satu meter.
Setengah dari mereka sudah sekarat terlindas roda-roda konvoi kendaraan AYX tetapi masih tersisa hampir selusin. Beberapa di antaranya berhasil memanjat, berusaha masuk melalui pintu. Tentu saja tidak akan kubiarkan.
Mereka bahan makanan yang berharga, lebih mudah dikalahkan daripada udang gurun jumbo dan berjumlah banyak. Kami bertiga langsung maju dan merangsek menghabisi mereka. Kesempatan bagus untuk bocah Jei juga, dia bisa mempraktekkan kemampuan barunya menggunakan tombak.
Kepiting gurun memang tak memiliki capit, hanya empat pasang kaki yang berbulu saja. Namun mereka mengeluarkan cairan lengket yang lumayan mengganggu. Ketika pertempuran berakhir, kami harus membersihkan baju dan senjata dari yang lengket-lengket itu.
[Menyimpan tulisan sementara]
[Lanjutkan menulis]
Persediaan air di botol-botol terkuras karenanya. Masih ada sedikit untuk beberapa teguk minuman untuk sampai ke Rogue, tapi aku tak mau ambil resiko. Pada perkemahan terakhir sebelum sampai di koloni tujuan, kupinjam kadal peliharaan bocah Jei.
Kudengar kadal cukup tajam penciumannya, kalau kuberi banyak daging asin, dia pasti haus dan mencari minum. Supaya tidak kabur, badannya kuikat tali—sedikit lebih kecil daripada tali yang digunakan untuk menarik Ven tempohari. Jei sepertinya tak setuju, tetapi kalau dia mendapat bagian air minum, pasti tak akan protes lagi.
Di luar dugaan, kadal itu betul-betul menemukan sumber air. Kukira dia bakal merayap menuju tangki persediaan air milik para pegawai AYX. Ternyata dia terus melewati mobil tangki ke bebatuan di balik semak-semak kering dan kaktus.
Bebatuan di situ berlumut akibat tetesan air dari celah. Aku memanggil dua yang lain untuk membawa botol air masing-masing. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi sebotol air pasti bakal lebih parah daripada kucuran di reruntuhan pertama, tetapi lebih baik daripada tidak ada.
Kemudian tiba-tiba kadal itu melesat memasuki celah bebatuan.
Terdengar suara benda jatuh ke air. Ketika kutarik tali yang mengikat si kadal, kami bisa melihat seluruh tubuhnya basah kuyup. Ven inisiatif menarik salah satu tumpukan batu paling atas, beberapa kerikil menggelinding dan jatuh juga, menimbulkan suara kecemplung berturut-turut.
Kami sempat beradu pandang. Sementara kadal peliharaan Jei sibuk melap tubuhnya yang basah dengan kaki depan dan menjilati wajahnya sendiri. Hati-hati kutarik satu batu yang lebih besar lagi, lalu melongok ke dalam.
Gelap, tetapi ada sedikit cahaya masuk untuk melihat kolam sangat kecil sekitar 2-3 meter di bawah sana. Sepertinya hasil dari berbulan-bulan menampung tetesan air. Kami mengisi botol air masing-masing—dengan bantuan tali dan pemberat dari batu, lalu kembali menutup kolam penampungan itu dengan bebatuan.
Persediaan air untuk sementara aman. Aku bisa agak tenang karena tak perlu membeli air di koloni berikutnya. Tak yakin Rogue sebaik hati itu untuk memberi pendatang seperti kami, air dengan harga murah.
Entah situasi macam apa yang akan menanti kami di koloni itu nanti. Sambil memeriksa dan memastikan kondisi otot punggungku sendiri, pikiranku mengembara ke masa lalu.
Sudah tak sakit sama sekali. Namun, sempat terbersit dalam benak, kalau kubiarkan diriku terluka parah lagi mungkin si Suster Manis akan datang dan merawatku seperti dulu.
Khayalan bodoh, aku tahu ... tetapi apabila mendapat kesempatan untuk bicara dengannya sekali lagi, mungkin aku rela menyerahkan segalanya.
Termasuk jiwaku sendiri.
[Menyimpan Tulisan]
[Selesai Menulis]
========
===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top