8. Ody: Space
Aku urung membuka pintu saat lenganku dipegang lembut. "Tapi janji ya, Dy, jangan blokir nomorku."
"Hm."
"Lihat ke sini."
Bergeming. Tidak mengabulkan permintaannya. Tangan Regan naik ke bahuku. Mengusapnya. Aku mengedikkan bahu. Mengusir tangannya dari sana.
"Kamu pengin dijemput kapan?"
"Nggak tahu." Aku masih membuang muka.
"Marahnya jangan lama."
Kudorong pintu mobil. Sudah setengah terbuka. Regan kembali menahan lenganku.
"Dy, minta peluk dulu."
Serius ya. Aku cuma pengin keluar dari mobil ini sekarang juga. Kenapa ribet sih? Aku juga sudah lelah. Butuh kasur dan sebagainya. Tidak punya energi untuk bertengkar lagi.
Aku akhirnya menoleh. Menarik napas. Meminta pengertiannya. "Kita sama-sama lelah, aku nggak mau bertengkar lagi. Jadi, lepasin."
Setelahnya, Regan benar-benar tak menahanku lagi. Aku berusaha tak menoleh. Meski aku tahu, sepasang mata Regan terus mengikuti punggungku.
"Dy, kok Regan nggak masuk?" Mbak Anggun membuka pintu, menatap bingung ketika Regan tak keluar dari mobil dan hanya membunyikan klakson. Berlalu begitu saja.
Aku masih diam. Melangkah memasuki rumah. Mengempaskan tubuh yang lelah ke sofa di ruang tengah. Mbak Anggun muncul di dekat kepalaku, berkacak pinggang.
"Masmu lagi nggak di rumah, please, jangan galau, Dy."
"Iya, tahu kok. Aku ke sini 'kan mau nemenin selama Mas Kinan di Malaysia. Siapa juga yang galau?" Kepalaku terkulai di ujung sofa, mengabaikan ujung kalimatnya. Kutatap Mbak Anggun secara terbalik.
"Alasan."
"Aku tidur di sini aja."
Mbak Anggun sepertinya menyerah. Lagi pula sudah malam. Dia malas membujuk aku yang kolokan ini. Wajahnya mengantuk. "Tidur di kamar tamu gih."
Aku berguling menyamping. "Nggak usah. Di sini aja. Males jalannya."
Lekas menutup mata agar Mbak Anggun pergi dari sana. Terasa tepukan di pantatku. "Cie berantem."
Aku tak punya tenaga untuk membalas. Memilih fokus menutup mata. Aku sedang berusaha tidur dan mengenyahkan wajah Regan dari pikiranku. Tapi tetap saja.
"Argh." Aku mengerang pelan dan mengacak rambut. Berbalik. Berganti posisi. Mencari posisi paling nyaman.
Namun, sayangnya, tak ada posisi senyaman ketika memejamkan mata sambil memeluk Regan.
Andai saja Regan jujur sejak awal, kami tak akan bertengkar seperti ini. Aku akan coba mengerti dan bukannya mendengar justru dari orang lain. Kesannya aku ini tidak bisa dipercaya saja. Oke, kalau pun aku marah pun, aku tidak akan membatalkan rencana pernikahan kami.
Apa sih isi kepala Regan? Kenapa selalu mementingkan perasaan orang lain—dalam hal ini, Gita? Sementara dia lebih memilih bertengkar denganku seperti ini hanya demi membela perasaan Gita.
Terus perasaanku gimana? Apa Regan nggak mikirin? Dikiranya aku tahan banting, terus dia jadi gampangin? Hei, aku juga perempuan. Masih punya sisi perempuan yang perlu dijaga. Apalagi aku ini istrinya.
Dasar nyebelin!
***
Pagi yang sibuk di rumah ini. Setengah jam lalu, aku terbangun oleh harum masakan Mbak Nur—ART yang sudah setahun bekerja di rumah ini. Aku yang masih mengantuk, memaksakan diri tetap bangun. Rasanya aku baru tertidur tiga jam. Apalagi kalau bukan sibuk memaki Regan?
Baru hendak mengumpulkan nyawa, Kina tahu-tahu lompat ke sofa dan memelukku dari belakang. Menghujaniku dengan ciuman di pipi kanan dan kiri secara bergantian. Sampai pipiku basah kena ludahnya. Astaga. Gemas sih gemas. Tapi pipiku bisa habis kena sosor tiap kali ke sini. Mana aku berencana menginap dua atau tiga hari. Ya minimal sampai aku berhenti kesal ke Regan.
"Abang udah bangun, Dek?" tanyaku. Menghentikan kegiatan Kina mengecup pipiku.
"Beyum."
Kulihat Mbak Anggun lewat di ruang tengah. Ribut entah mencari apa. "Mbak, pinjem baju dong."
"Makanya kalau minggat dari apartemen, jangan lupa bawa baju." Sindiran yang menohok. Ini pasti gara-gara Mbak Maya sering main ke sini, makanya Mbak Anggun ikut-ikutan sarkas.
"Minggat apaan. Orang dianter kok ke sininya."
Kina lompat turun dari sofa. Beralih ke televisi. Meraih remot dan menyalakan layar pipih itu. Kartun favoritnya sudah tayang. Duduk di karpet tebal. Masih lengkap dengan baju tidur dan rambut keriwil yang acak-acakan.
"Iya. Regan terpaksa nganter." Mbak Anggun menjawab sambil lalu. Dia membawa tumpukan handuk bersih, menaiki anak tangga. Menuju kamar Kenzi.
Sesering apa sih Mbak Maya ke sini? Jangan-jangan tiap hari menginap dan mencuci otak sang kakak ipar?
"Mbak Nur, medusa kapan terakhir ke sini?"
Mbak Nur yang sedang mengiris bawang, mendongak. Mengerti siapa medusa yang kumaksud. "Mbak Maya baru kemarin pagi mampir, Mbak."
"Minta sarapan?"
"Iya."
Sudah kuduga.
Selesai mengumpulkan nyawa, aku beranjak dari sofa. Meregangkan badan ke kanan dan kiri. Terdengar bergemeletuk. Kina sampai menoleh kaget. Lalu kembali ke layar lagi.
Aku santai masuk ke kamar tamu. Mencari handuk bersih di lemari. Menariknya satu dan melangkah ke kamar mandi. Mandi kilat. Lima menitan. Mbak Nur sampai kaget melihatku keluar dari mandi secepat ini. Iya, Regan juga aneh dengan kebiasaanku ini.
Hih. Kenapa Regan lagi?
Menggelengkan kepala, aku kembali ke sofa, masih mengalungkan handuk di leher, mencari keberadaan ponselku. Membongkar bantalan sofa. Siapa tahu terselip. Tapi tidak ada. Aku merunduk, mencari di kolong sofa dan meja.
"Nyari apa?" Mbak Anggun lewat lagi.
"Ponsel," sahutku dari kolong meja.
"Di kamarku."
"Heh? Kok bisa?"
"Tadi pas kamu belum bangun, itu ponsel jatuh di lantai deket sofa. Pas aku ambil, mati ternyata. Ya udah, aku charge."
Aduh, Mbak Anggun ini memang ipar idaman.
Aku segera berdiri dan masuk ke kamar Mas Kinan. Duduk di lantai dan menyalakan ponsel. Mbak Anggun sedang sibuk membujuk Kina untuk mandi. Meski belum masuk playgrup, Kina dibiasakan mandi pagi. Biar nanti kalau sudah sekolah, tidak repot membujuk mandi.
Layar menyala. Notif segala sosmed langsung bersahutan.
"Dy, nanti bawa mobil Mas Kinan aja ya. Sekalian anter Kenzi. Kina biasanya ikut anter. Daripada kamu repot bolak-balik, nanti drop Kina di rumah Maya aja." Mbak Anggun bicara dari ruang tengah. Terdengar karena pintu kamar terbuka.
Aku menyahut, menyanggupi.
Terdengar jeritan gemas Kina yang tak mau mandi. Mbak Anggun dengan sabar membujuk lagi. Dari pintu yang terbuka, aku melihat bagaimana Mbak Anggun duduk di karpet, membawa kepala Kina ke pangkuan dan mengusapnya. Membisikkan entah apa. Kina sudah terkekeh geli.
Aku kembali ke ponsel, membaca chat paling atas.
01.00 am
Regan: Dy
01.02 am
Regan: udah tidur?
01.29 am
Regan: Dy
01.30 am
Regan: beneran udah tidur ya?
02.17 am
Regan: Dy
03.01 am
Regan: km mau dijemput bsk pagi?
Regan: aku antar km kerja ya?
Regan: blm mau pulang jg gpp kok
Regan: aku tau km masih marah
04.12 am
Regan: Dy ... kangen
Chat berhenti di sana. Sebelum aku luluh, aku mengembalikan ke menu utama. Tidak berniat membalas satu pun. Meninggalkan lantai dan melongok di pintu kamar. Mencari keberadaan Mbak Anggun yang sudah tidak ada di ruang tengah.
"Mbak, aku pakai baju yang mana nih?" Dengan suara yang sedikit keras.
"Bebas. Asal jangan diacak-acak ya." Suaranya dari kamar Kina. Iya, Kina sudah punya kamar sendiri. Di dekat tangga. Tapi pada kenyataan, Kina tetap ikut tidur di kamar orangtuanya. Berbeda dengan Kenzi yang sudah mandiri.
Aku menarik asal sembarang blouse dan celana kain. Ukuran kami sama, jadi tak perlu sampai mengacak isi lemari. Nanti sampai kantor, aku bisa ganti. Aku ingat jika masih menyimpan seragam di loker divisi yang lama.
Meski hanya berempat, meja makan tetap ramai. Banyak sarapan yang terhidang di meja. Aku sampai bingung mau makan yang mana. Mbak Anggun juga belum sarapan, lebih memilih menatakan bekal untuk Kenzi. Aku juga ditawari tadi, tapi menggeleng.
"Beneran nggak mau bawa bekal? Sekarang aja kamu nggak minat sarapan. Inget Regan yang mungkin nggak sarapan ya?" godanya. Sengaja.
Aku menekuk wajah. Tak mau menanggapi, aku mencari kesibukan lain. Seperti mengelap sudut bibir Kina yang belepotan krim kacang.
Memang, Mbak Anggun masih menahan diri untuk tidak menanyaiku langsung. Tapi memang sudah tahu ada yang tak beres. Mbak Anggun bukan tipe yang rese. Kalau ini Mbak Maya, aku jamin sudah dicekek biar mengaku ada masalah apa sampai menginap di sini—tanpa Regan.
"Mas Kinan pulang kapan, Mbak?"
"Kalau sesuai rencana, besok." Mbak Anggun selesai menata bekal. Lantas duduk, mengambil sarapan untuk dirinya sendiri. Kalau anak-anak sudah duduk anteng dari tadi. Menikmati sarapan tanpa iseng merecoki mama atau tantenya.
Eh, kapan tadi? Besok ya?
Waduh. Mati.
Bukan apa-apa. Hanya saja, sekarang 'kan sudah beda dengan dulu. Kalau dulu, aku masih bisa menangis di bahu Mas Kinan dan menceritakan banyak hal. Sekarang berbeda. Aku tidak sendiri lagi. Sudah ada nama suami yang turut kujaga nama baiknya.
Dasar aku. Masih ingat dengan nama baik Regan setelah lelaki itu bertingkah menyebalkan.
Aku jadi tak berselera makan. Akhirnya hanya mengambil sebutir apel. Itu pun terasa hambar di mulut.
Biasanya Mbak Anggun memilih berjalan kaki ke kantor, kali ini ikut di dalam mobil. Duduk di belakang bersama Kina. Sementara di depan, aku ditemani Kenzi. Dia berceloteh padaku. Melaporkan kegiatan outbound dia minggu lalu, yang ditemani kakeknya, alih-alih Mas Kinan.
Papa sekarang sempurna pensiun dari kegiatan bisnisnya. Lebih banyak di rumah atau kadang traveling berdua dengan Mama. Kalau sedang di rumah, sering main bersama cucu-cucu. Tak jarang Kina dititipkan di sana. Tapi kali ini, seperti titah Mbak Anggun, Kina dititipkan di rumah Mbak Maya saja. Sesuai arah ke kantorku. Kalau kantor Mas Kinan sesuai dengan arah rumah kami.
Rumah kami. Hatiku tiba-tiba menghangat. Satu hal yang tak pernah berubah adalah rumah itu. Meski penghuninya satu per satu meninggalkan rumah itu, nyatanya tetap membekas sampai sekarang. Banyak kenangan indah tercipta di sana. Mbak Maya—orang kedua yang meninggalkan rumah itu—bahkan sampai menangis tersedu memeluk Papa dan Mama.
Kalau aku, ehm, tak sampai menangis kok. Mungkin karena aku secara bertahap. Maksudnya, tidak langsung pindah seketika. Aku pindah ke apartemen saja di bawah pengawasan Mama, diancam pula kalau kurusan aku bakal dijemput paksa. Ada juga waktu dua tahun yang kugunakan untuk mengelilingi dunia. Jadi, selepas lulus kuliah, aku memang banyak di luar rumah. Jadi tak terlalu ingin menangis ketika pindah, ikut Regan.
Tak terasa mobil sudah berhenti di depan gerbang. Mbak Anggun turun setelah mengecup Kenzi. Berpesan singkat. Soal makan, mainan, jajanan, atau apalah itu. Lalu memeluk Kina lama sebelum turun dari mobil.
Aku menurunkan kaca jendela. "Kenzi pulangnya gimana, Mbak?"
"Ada bus sekolah kok. Tadi emang sengaja skip bus sekolah."
"Kenapa skip, Mbak?"
"Ada tantenya ini yang bisa nganter."
Oke. Aku dimanfaatkan. Tapi aku malah bahagia.
"Hati-hati, Dy."
Aku melarikan tangan ke pelipis. Sikap hormat. Mbak Anggun terkekeh. Hendak berbalik, tapi urung dan malah menahan kaca jendela yang akan kuturunkan.
"Ada yang kelupaan, Mbak?"
"Kamu kelihatan cantik deh, Dy."
Eh? Kenapa kenapa?
"Cantik?"
Mbak Anggun mengangguk, terlalu bersemangat.
Aku menganga dengan dahi mengerut. Dan baru mengerti ketika Mbak Anggun menyingkir dari pandanganku dan terlihat seseorang tengah berlari ke arah mobil.
Oke, meski aku sedang cengoh, aku bisa memahami apa yang barusan dilakukan Mbak Anggun. Tentu saja menahan sebentar demi Regan agar bisa bertemu denganku.
Curang.
"Aku buru-buru. Kenzi udah telat." Aku menyergah cepat sebelum Regan sempat bicara. Dia masih mengatur napas. Lari dari mana sih? Parkiran basemen? Tapi keringat yang muncul di keningnya seakan mengiakan.
"Iya, nggak lama kok." Regan maju selangkah. Bergerak cepat. Mengulurkan satu tangannya melewati kaca yang terbuka. Melewati wajahku. Meraih tengkukku dan dia mulai merunduk.
Mengecup pelipisku dalam. Aku bergeming, meski jantungku mau lompat. Bibir Regan kemudian turun ke pipi. Untunglah dia masih waras, tidak mencium di bibir. Mengingat di sini ada dua anak kecil.
Yang tidak waras sebenarnya aku. Tidak menghindar ketika lelaki itu hendak menciumku. Sialnya, aku seperti tidak rela ketika tangan Regan melepas tengkukku. Juga ketika dia menjauhkan wajahnya. Dia tersenyum padaku sebentar sebelum menyapa Kenzi dan Kina. Aku mengabaikan suara anak-anak yang heboh. Menggunakan beberapa detik itu untuk memperhatikan wajah Regan lebih lekat.
Baru semalam, rasanya sudah seminggu tak melihatnya. Aku kang—apa sih, Dy! Fokus ayo fokus. Kenzi bisa-bisa terlambat sungguhan.
Regan mundur, aku menaikkan kaca jendela dan berlalu. Sempat terdengar suara lirihnya. "Hati-hati." Yang kujawab dengan anggukan samar.
Dari kaca spion, aku melihat Regan masih berdiri di sana. Belum berbalik. Lelaki itu tidak membahas tentang pesannya yang tidak dibalas. Malah sebaliknya, bersikap manis seperti tadi.
Ayolah, jangan goyah, Dy. Kamu harus memperjuangkan perasaanmu saat ini. Kamu boleh kok sekali-sekali egois. Meski rasanya aku ingin menangis melihat Regan yang tetap tenang dan bersikap normal. Membuat aku terlihat kekanakan di sini.
Apakah bagi Regan, marahku ini cuma dianggap hal biasa? Yang besok-besok bisa dibujuk, lalu akan lupa sendiri. Lantas kembali seperti semula. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Tidak tahukah Regan kalau setiap kali nama Gita terlintas di kepalaku, rasanya mau meledak saja?
***
Kejutan. Begitu turun dari mobil, aku mengenali mobil siapa yang ada di halaman rumah Mas Kinan. Aku mempercepat langkah. Tak sabar ingin bertemu sang empu mobil.
Aku melempar ransel sembarangan ketika mendengar suara familier dari halaman samping. Berlarian melewati pintu geser dan mendapati Kenzi dan Kina sedang bermain dengan Om-nya.
Tatapanku lurus ke arah Mas Dipta yang mengenakan celana jins selutut dan kaus putih tanpa lengan. Dari bibirnya, dia mengucap halo tanpa suara seraya melengkungkan senyum. Aku mendekat, merentangkan tangan dan memeluk Mas Dipta.
"Ya ampun, gali emas mulu. Lupa pulang."
"Persis kayak mamaku tahu nggak. Habis diomelin di telepon tadi." Mas Dipta terkekeh.
Aku mundur. Sepertinya mengganggu Kenzi dan Kina yang sedang bermain dengan Mas Dipta. Tapi rupanya, Kenzi pengertian, dia bermain lempar tangkap bola dengan adiknya. Aku punya kesempatan untuk bicara lebih nyaman dengan Mas Dipta.
Kami pindah ke bangku yang ada di teras samping. Sambil tetap mengawasi Kenzi dan Kina yang sedang bermain.
"Mas Dipta berapa hari di sini?"
"Paling nunggu ketemu Kinan dulu, baru pulang ke Lampung."
"Ini kok kebalik sih. Bukannya pulang ke Lampung dulu." Aku meninju lengannya pelan.
"Sekalian ada urusan di Jakarta. Biar nggak bolak-balik."
"Urusan yang kayak gimana?" tanyaku setengah menggoda. "Perempuan, ya?"
Mas Dipta mengulum senyum.
Aku makin curiga. Masa' sih setampan Mas Dipta gini belum ada yang mau? Perempuan mana coba yang buta matanya?
Oke. Salah satunya aku. Itu beda kasus ya, tolong. Jangan hakimi aku yang sudah melepas lelaki sebaik Mas Dipta demi cinta pertama.
Kalau kamu tak di posisiku, kamu tak akan mengerti. Aduh, entah kenapa. Aku juga bingung kenapa malah melepas Mas Dipta. Pokoknya aku cinta Regan. Sudah. Selesai. Dan hebatnya, Mas Dipta membantu banyak untuk aku mengenali perasaanku sendiri sebelum hubungan kami terlalu jauh.
Jadi, ya, sekarang aku melihat Mas Dipta sebagai orang yang sama. Meski kami memang pernah ada cerita. Tapi aku tetap menganggapnya seperti kakak lelaki, selain Mas Kinan, yang kutunggu kepulangannya. Yang kusambut sama antusiasnya.
"Kamu biasanya juga mampir ke sini? Kantormu bukannya jauh, Dy?" Dialihkan ke topik lain. Asli, tadi Mas Dipta menangkap maksudku kok. Hanya saja enggan membahas hal itu. Padahal aku penasaran.
"Nginep di sini dari kemarin. Nemenin Mbak Anggun sama anak-anak." Jawaban yang bagus.
"Regan juga?"
"Eng ... nggak."
"Udah isi belum, Dy?" Kembali dialihkan.
Aku menunduk. Menatap perutku sendiri. "Belum, Mas. Kami nggak buru-buru kok. Sedikasihnya aja. Mas kapan isi?"
Seketika Mas Dipta terpingkal. Sampai matanya memejam. Tangannya juga memegangi perut.
Aku menatap sebal.
"Iya, iya. Aku tahu maksud kamu kok. Bukan isi yang hamil, 'kan? Tapi yang ngisi hati." Tawanya sudah reda. "Boleh jujur nih?"
Aku menggaruk dagu. Gemas. "Ya jujur aja."
"Aku belum move on dari kamu, Dy."
Apa katanya barusan? Tiba-tiba kepalaku blank. Aku tergagap. Ingin mengatakan sesuatu, tapi tersekat sendiri. Lidahku juga kelu.
"M-mas, kenapa ...."
Mas Dipta meraih satu tanganku untuk digenggam. "Bercanda, Dy. Ya ampun, muka kamu lucu banget."
Kutepis tangannya dan kucubit lengannya. Sialan. Dikerjain. Mana aku udah yang langsung percaya aja. Maksudku, ini Mas Dipta. Aku terbiasa memercayainya sebagaimana aku mempercayai Mas Kinan. Tahunya bisa jail juga.
"Aku tuh tanya beneran, Mas." Aku memperbaiki dudukku. "Udah ada belum?"
"Pengganti kamu, ya? Udah kok. Tenang aja."
"Eh?"
"Ini aku ke Jakarta juga mau ketemu dia."
"Siapa? Siapa??" Aku tak sabaran.
"Perempuan."
Kucubit lengannya.
"Aduh, penganiayaan ini. Untung kamu nikahnya nggak jadi sama aku."
Mengabaikan hal itu, aku terus mendesak. "Aku kenal nggak?"
"Nggak kenal."
"Terus kamu kenal di mana, Mas?"
"Kok kamu kepo?"
Aku berubah mode galak. "Udah. Jawab aja. Dulu Mas Kinan juga aku giniin."
"Nantilah kapan-kapan. Kalau sekarang belum. Aku mau ajak ke Lampung dulu, biar ketemu Mama sama Papa. Kalau mereka setuju, baru deh gas."
Kenapa sih para lelaki ini suka sok rahasia-rahasiaan begini? Dulu, pas Mas Kinan mulai dekat dengan Mbak Anggun, aku juga nggak tahu apa-apa. Eh sekarang Mas Dipta juga ikut-ikutan.
Apa sih susahnya bilang sekarang?
"Masih cantik aku 'kan?" tanyaku iseng. Serius, tak ada maksud apa-apa.
Mas Dipta menoleh. Menatapku seakan menilai. "Iya. Kamu makin cantik setelah nikah."
Aku tergelak.
"Re—?!"
Itu suara Mbak Anggun.
Aku sontak menoleh dan menghentikan tawaku. Tapi hanya mendapati punggung Mbak Anggun yang berlalu dari ruang tengah.
Re?
Bukan Regan, 'kan?
Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Tentu saja Regan. Memangnya siapa lagi?
Wajahku berubah horor saat menyadari apa yang mungkin Regan lihat dan dengar barusan.
***
Masih vakum padahal. Tp gatel pengin ngepost bab ini 😂
Jangan minta boom update dong. Aku sedih jadinya. Tanpa diminta pun kalau ada draft banyak, aku pasti boom update, jarang bgt aku nimbun bab, karena ya pasti gatel tak update semua. Kalau memang cuma update satu bab, berarti emg gak ada stok gaes 😇
Lain cerita kalau aku guleran di kasur sepanjang hari ditambah ide lancar, kujabanin deh boom update🐨
Maap, bawaan PMS 😂
Senin, 26/08/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top