3. Regan: Recalling

Recalling; mengingat, mengenang.

Happy reading 🐨

————————

Bandung rasanya masih sama seperti ketika aku meninggalkan kota ini selepas kuliah. Harumnya masih sama meski kota ini semakin mempercantik diri. Ah, aku hanya bergurau soal kota yang tetap sama. Jelas berubah. Waktu bergulir beriringan dengan perubahan. Mutlak.

Ody tertidur setengah jam yang lalu. Kami sudah sampai ke tujuan pertama. Aku melepas sabuk pengamanku. Duduk menghadap Ody yang masih pulas. Aku tidak ingin membangunkan sebenarnya. Oke, mari coba dari cara yang paling halus.

Kutepuk pelan tangannya di atas pangkuan. Sambil sesekali menatap cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Aku tersenyum sendiri. Kadang masih takjub sendiri ketika pagi tiba dan menemukan Ody di sebelahku. Perempuan ini akhirnya menjadi istriku.

Cara tersebut gagal. Maka aku mendekatkan wajahku, mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanannya. Lembut dan dalam. Hingga aku merasakan Ody bergerak.

"Udah, aku udah bangun."

Aku menjauhkan tubuhku. "Cepet banget sih bangunnya."

"Kita di mana?"

"Turun, yuk. Sarapan dulu."

"Aku belum lapar. Mau lanjut tidur aja."

"Temenin, Sayang."

"Kamu makannya dibawa ke sini aja." Ody belum mau mengalah. Dia bersiap menutup mata lagi.

"Dy, ini spesial. Turun yuk." Aku mendusel di bahunya. Mencuri cium di pipi lagi. Ody akhirnya mengucek mata. Meraih bandana di dasbor dan membuka pintu.

Lama sekali aku tidak ke sini. Sekitar enam-tujuh tahun lalu. Warung yang semula sederhana, kini berubah banyak. Aku hampir tidak mengenali jika nama Bu Sum tidak terpampang di papan restoran. Aku semakin bersemangat melangkah masuk.

Aku tidak lagi menyebutnya warung, karena memang sudah sebesar ini. Bahkan sedikit lebih besar dari restoran Adriana.

Warung berdinding kusam sudah disulap menjadi dinding-dinding yang baru. Aku dibuat terpana. Meja panjang sudah diganti dengan meja-meja persegi. Selesai memindai isi restoran, aku mencari sosok renta yang seharusnya masih di sini.

"Mau pesan apa, Kak?"

Ody menepuk punggungku. "Mau makan apa, Mas?"

Aku menoleh dan seketika mataku melebar. Orang yang berdiri di dekat Ody terlalu familiar.

"Nana? Ya ampun, ini Nana?!" Aku berseru antusias.

Nana tampak terkejut, lalu mengerjapkan mata, mencoba mengingat. "Astaga, Mas Regan. Lama nggak lihat."

"Apa kabar, Na?"

"Baik, baik. Oma juga baik."

"Oma di mana?"

"Sedang istirahat, kemarin sempat dehidrasi, Mas." Nana baru sadar. "Ayo, duduk, duduk. Mau pesan apa?"

"Yang kayak biasa aja, Na." Aku duduk di bangku terdekat, diikuti Ody.

Sebelum Nana berlalu, aku mengenalkan Ody padanya. "Ini istriku, Na."

"Halo." Ody mengulurkan tangan dengan ramah. Saling menyebutkan nama. Barulah Nana undur diri, membuatkan pesanan untuk mereka. Tidak bisa basa-basi karena restoran sedang ramai.

Ody menyapukan pandangan ke isi restoran, lalu tatapannya jatuh padaku. "Sering makan di sini?"

"Iya. Nana yang barusan Nana yang dulu pernah aku ceritain. Kamu ingat?"

"Oh, yang kata kamu mirip Nabila JKT48 ya?" Ody menoleh ke arah dapur. "Beda tuh."

"Cemburu," cibirku.

Nasi liwet spesial datang lima menit kemudian. Nana sibuk hingga tidak bisa duduk menemani kami sarapan. Diam-diam aku senang restoran ini ramai. Ody sibuk makan, tidak berkomentar apa-apa.

"Dy, kamu ngidam ya?" Aku iseng bertanya. Kulihat dia lahap menyantap nasi liwet di piringnya. Bahkan bersiap lanjut ke porsi kedua. Aku sengaja memesan tiga porsi.

Ody berhenti mengunyah. "Heh?"

"Kalau ngidam bilang-bilang ya."

"Aku lagi mens."

Aku meringis. Pantas saja Ody memilih tidur sejak dari ibu kota.

***

Dari restoran Bu Sum, kami memilih berjalan kaki seraya mengurangi begah di perut. Aku memesan satu porsi tambahan tadi. Jadi masing-masing makan dua porsi dan baru terasa kenyang ketika hendak berdiri dari bangku.

Meninggalkan mobil di samping restoran, kami melangkah bersisihan menuju rumah yang dulu sempat aku tempati bersama Kiki. Ketika sampai, aku mendapati rumah itu sedang dipugar. Memang seharusnya begitu. Mengingat atap yang sudah lapuk dan dinding yang beberapa sisinya sudah retak.

Kami berhenti di tengah-tengahnya.

"Sisi kanan, rumah eyangnya Kiki."

Ody manggut-manggut.

"Kalau sebelah kiri, itu rumahnya Gita dulu."

"Oh."

Sejak tadi, reaksi Ody hanya pendek-pendek. Entah dia mulai mengantuk karena kekenyangan atau memang bawaan haid yang membuat mood tak keruan.

"Kamu capek, Sayang?"

"Nggak."

"Mau tunggu di sini dulu? Aku ambil mobil."

Ody memilih duduk di bangku semen di dekat pagar rumah Gita. "Iya. Jangan lama-lama."

Aku mengusap kepalanya dan berlari mengambil mobil. Kembali tak lama kemudian, aku menepati janji.

"Mau cari hotel aja?" tawarku ketika melewati gerbang kompleks itu.

"Nggak usah." Ody menatap jendela, cemberut.

Sambil fokus menyetir, aku mengulurkan satu tanganku. Menyentuh pipi Ody. "Kenapa, Sayang? Kamu kelihatan suntuk. Tadi pas berangkat kayaknya nggak apa-apa. Atau kita pulang aja?"

"Jangan dong. Belum juga ke rumah Papa." Ody bahkan tahu tujuanku pergi ke Bandung, salah satunya bertandang ke rumah Papa.

"Mau beli obat dulu?"

"Nggak usah. Aku nggak terbiasa nyeri haid minum obat. Kalau dibuat tidur, nanti enakan sendiri."

Aku jadi merasa bersalah. "Sakit banget?"

"Biasanya juga nggak. Ini tumben-tumbenan manja."

"Sabar ya. Ini rumah Papa tinggal satu kilo lagi. Kamu lanjut tidur di sana ya."

***

Aku keluar dari kamar tamu, meninggalkan Ody yang sudah terlelap. Sejak tadi, dia mengeluh sakit. Tapi tetap keras kepala tidak mau minum obat apa pun. Bahkan Tante Nurma-istri Papa-sudah meramukan jamu, tetap saja Ody tidak mau minum. Ody baru bisa tidur ketika aku memeluknya. Mengusap-usap lengannya.

"Ody sudah bisa tidur?"

"Maaf, Tante udah repot-repot buatin jamu, tapi Ody nggak mau minum." Lantas menjawab pertanyaannya barusan. "Baru bisa tidur sekarang, Tan."

"Nggak apa-apa. Nggak usah dipaksa. Sugestinya beda, Re." Tante Nurma sedang sibuk mencuci sayur. Aku berdiri di dekat kursi dengan canggung. Jujur, ini interaksi pertama kami. Meski sudah beberapa kali bertemu, tapi baru kali ini kami berbicara berdua.

"Vava pulang jam berapa, Tan?"

"Dia?" Tante Nurma mendongak ke jam dinding. "Jam lima baru pulang. Biasa. Main futsal sama temen-temennya. Kulitnya sampai gosong. Tante hampir nggak mengenali dia."

Aku terkekeh. Melangkah mendekat ke samping kulkas. "Ada yang bisa aku bantuin, Tan?"

"Eh, nggak usah." Langsung ditolak. "Papamu katanya udah di jalan. Sebentar lagi sampai."

Aku mengangguk. Akhirnya hanya berdiri di samping kulkas, tanpa membantu apa-apa. Tidak juga beranjak dari sana.

"Aku boleh nanya sesuatu, Tan?" tanyaku hati-hati.

Beliau menoleh. "Tanya apa memangnya?"

"Apa yang Tante pikirkan ketika Papa cerita tentang aku?"

"Ah, Tante kira apa."

Aku tersenyum. Tante Nurma sangat jauh berbeda dengan yang aku lihat beberapa tahun yang lalu di minimarket, ketika mengantar Vava kecil membeli es krim. Jika dulu wanita ini terkesan angkuh dan dingin, maka yang aku lihat sekarang adalah ibu rumah tangga yang baik. Entah ada cerita apa, aku sungkan bertanya. Tapi aku senang dengan perubahan ini, setidaknya Vava tidak kurang kasih sayang.

"Ya marah."

Aku menelan ludah.

"Bukan marah karena papamu punya anak di luar nikah dengan istri sebelumnya. Tapi marah karena nggak jujur dari awal tentang kamu. Tante sempat khilaf marahin papamu habis-habisan. Keterlaluan soalnya."

Aku menatap punggung itu, yang masih sibuk memotong bawang. Pelan-pelan hatiku menghangat. Hanya pertanyaan itu dan cukup dengan jawaban itu, aku tidak bertanya lagi. Hingga Tante Nurma selesai memasak.

"Kamu anak baik. Kenapa harus membenci kamu?" Tante Nurma membawa mangkuk besar berisi sop ayam ke meja makan. Seakan mengerti keterdiamanku. "Yang salah juga bukan kamu. Orangtua kamu aja yang nggak ada ota-ups."

Aku berdiri, membantu mengambilkan tumpukan piring. "Terima kasih, Tante."

Punggungku ditepuk sambil lalu sebagai jawaban.

***

Ruang tengah sudah ramai. Makan malam sudah selesai beberapa menit lalu. Papa dan Vava sudah berpindah ke depan televisi. Papa duduk di sofa, fokus dengan tab di tangannya. Sementara aku duduk menyusul Vava, menemaninya bermain games di layar.

"Sudah enakan, Dy?"

Aku menoleh ketika Papa bertanya. Mataku berhenti di Ody yang duduk di sofa setelah mencium tangan Papa. Masih mengucek mata.

"Ayo, Dy, makan malam dulu." Tante Nurma selesai di dapur. Ikut bergabung di ruang tengah.

Aku berdiri, menyudahi permainan dan Vava melirikku dengan cemberut. Papa yang tanggap langsung menggantikan posisiku. Sementara aku menyusul Ody ke dapur.

"Tambahin lagi nasinya, aku belum makan."

Ody menoleh kaget. Lalu menambah porsi nasi di piringnya. Aku memang belum makan, sengaja menunggu Ody supaya bisa makan bersama.

"Aku ambilin di piring sendiri ya?"

Aku menggeleng. "Nggak. Makan sepiring sama kamu aja."

Ody tidak lagi protes, setelah membuka tudung saji, menumpuk beberapa lauk di piring, dia melangkah ke ruang tengah. Aku mengekor di belakangnya.

Meletakkan piring di atas meja kaca dan duduk di atas karpet. "Dy, aku males cuci tangan. Suapin aja."

Ody melirikku sekilas. Dia tidak mengambil sendok dan garpu. Kebiasaan Ody memang begitu, dia lebih suka makan pakai tangan. Dan aku punya kesempatan untuk manja. Serius, makan dengan disuapi Ody pakai tangan itu membuat makanan jauh lebih enak.

Oke, aku memang berlebihan. Norak. Namanya juga cinta.

Sesekali aku menyelipkan rambut Ody yang bandel ke belakang telinga. "Beneran udah nggak sakit?"

Dia mengangguk. "Aku tidurnya kelamaan ya?"

"Nggak kok."

"Jangan cepet gede ya, Va. Papa belum siap lihat kamu kayak kakakmu itu."

Vava menoleh sebentar. "Aku bisa makan sendiri. Nggak akan minta disuapi."

Papa terpingkal. Aku mengabaikan mereka. Tante Nurma yang meluruskan kaki di sofa, sesekali bertanya pada Ody. Entah tentang pekerjaan, isu-isu terbaru, hingga masalah remeh. Ody bisa diajak bicara apa saja. Hingga nasi di piringnya tandas.

Ody menoleh padaku. Matanya seakan berkata udah ya. Aku menggeleng dengan tidak tahu diri. Ody paham dan berdiri, mengambil nasi dan lauk lagi.

"Enak ya punya istri." Tante Nurma menyindir. Aku nyengir saja. "Pinter cari istri kamu, Re. Ody cantik tapi nggak neko-neko."

"Tapi susah, Tan, dapetin dia." Aku menggeleng, menambahkan. "Kami pernah jadi rumit dan menyebalkan sebelum ini."

Ody sudah kembali. Aku refleks membuka mulut, menerima suapan ke sekian. Ody sepertinya tidak tahu kalau selama aku mengunyah, aku senyum-senyum sendiri.

***

"Maaf, kita nggak jadi ke panti."

Tadi ketika Ody tidur, sebenarnya aku bisa ke panti sendirian. Tapi aku takut meninggalkan Ody sendiri. Meski di rumah ada Tante Nurma. Hanya saja aku tak mau meninggalkan Ody.

"Aku ceritain aja gimana?"

"Boleh banget." Ody menyandar nyaman di kepala ranjang. Aku beringsut mendekat.

Meraih satu tangan Ody untuk kugenggam. "Aku sempat pindah ke kos-kosan dekat panti. Waktu itu aku lagi kacau banget, Dy. Aku tahu fakta-fakta yang menyakitkan. Lalu menyakiti kamu. Aku akhirnya ngehukum diri sendiri, kabur dari semua orang. Pengin menjauh aja."

Ody tidak menyela.

"Anak-anak panti cukup membantu. Aku berdamai dengan cepat. Meski tentu nggak bisa bikin aku lupa." Kutatap jemari Ody. "Mereka mengisi hari-hariku. Kalau aku ada waktu, pasti main sama mereka. Anak-anak yang istimewa. Meski ini jahat, lihat mereka, kadang bikin aku bersyukur, Dy. Setidaknya aku akhirnya tahu, aku anak siapa."

Aku tidak sedih ketika menceritakannya. Sejak memiliki Ody di sampingku, aku tidak lagi merasa bahwa masa lalu itu akan melukaiku lagi. Aku sudah lebih dewasa untuk menerima semuanya. Sudah bukan waktunya lagi untuk menoleh ke belakang. Ada Ody di sini, aku hanya ingin ada di sini dan melangkah maju bersamanya.

Melalui hari-hari bersama, melangkah dengan tujuan yang sama. Rumah di tepi pantai, bayi-bayi yang lucu .... tanganku diremas pelan. Aku kembali sadar.

"Kamu juga jadi idola 'kan di restoran itu?" Ody membantu mengingat.

"Ah iya, hampir lupa. Restoran juga jadi bagian perjalananku di Bandung. Di sana menyenangkan. Ketemu temen-temen baru. Belajar banyak hal."

"Jadi ingat kita ngobrol di tangga waktu itu. Cuma lima belas menit, padahal aku kangen banget."

"Sama. Tapi ya, aku jahat waktu itu. Kangen nggak bilang."

"Iya, jahat." Ody menjatuhkan kepala di bahuku. "Terus selama kamu di Singapura, kesepian nggak?"

"Mau mati rasanya."

Ody mencubit lenganku. Sebal dengan kalimatku. Jadi aku memperbaiki. "Kesepian jelas iya. Tapi aku coba buat tenggelam sama kerjaan. Kiki sering kok ngunjungin aku. Ngerusuh di sana. Meski niat dia sih emang kabur dari maminya."

"Kenapa sih harus Singapura? Waktu itu aku benci sama kamu, pas dengar kamu kerja di sana, rasanya kayak aneh. Mau ngelarang pergi, tapi aku siapa."

"Itu juga yang paling dekat. Yang London nggak aku ambil."

"Sombong amat."

Kami terkekeh bersama. Setelah menimbang sebentar, aku akhirnya bertanya. "Mas Dipta jagain kamu banget ya?"

"Iya. Udah kayak kloningan Mas Kinan."

Meski benci mengakui ini, harus kuakui jika Mas Dipta memang lelaki baik dan tidak mungkin menyakiti Ody seperti dirinya.

"Sekarang sibuk apa? Aku jarang lihat."

Ody tampak mengingat. "Tahulah apa, terakhir dengar ikut proyek pertambangan. Jadi bolak-balik. Pas ke nikahan kita juga nggak sempat foto, ngejar pesawat."

"Sejujurnya berat saingan sama Mas Dipta, Dy."

"Iya, dia punya segalanya, Re." Ody terkekeh. "Aku kadang suka minder kok pas jalan sama dia. Berasa nggak pantas aja. Heran juga, dia bisa suka sama aku. Yang disukai apa coba."

Kutangkup wajahnya dengan tanganku yang bebas. Kukecup bibirnya sekilas. "Minder gimana sih. Kamu cantik begini."

"Selain menurutmu aku cantik, apalagi yang bikin kamu cinta?"

"Apa ya?" Aku pura-pura berpikir sambil melihat perubahan raut wajah Ody. Dia mulai cemberut ketika aku berpikir lama.

"Mungkin karena kamu nyebelin."

Aduh. Aku kena cubit lagi. Kali ini kubalas dengan mencubit hidungnya. Dibalas lagi dengan kejam berupa jambakan. Sudah lama kami tidak bertengkar begini. Terakhir ketika kami masih berseragam.

Masa-masa putih abu kami, di mana semua kenangan bisa dikenang dengan baik, karena ada Ody di sana.

Jadi, sebenarnya apa yang membuatku cinta mati pada Ody?

"Oke, aku jawab serius."

Ody mendongak. Wajahnya serius. Menunggu.

"Aku meletakkan seluruh duniaku di kamu-"

"Halah, basi."

Oke. Cukup. Aku melepas tangan Ody. Mendorong bahunya menjauh. Memerosotkan tubuhku. Menarik selimut hingga kepala dan memunggungi Ody.

"Ih, bercanda doang aku!"

"Bodo."

"Mas ...," rengeknya.

"Tidur."

"Iya, tapi tidurnya pengin dipeluk lagi," rajuknya manja.

Tanpa berpikir lama, aku berbalik dan menyingkap selimut. Membawa Ody ke dalam pelukanku. Mau marah bagaimana, kalau ternyata aku selemah ini. Permintaan sederhana saja sulit kutolak.

Ody, Ody, jadi kenapa perlu mempertanyakan alasan aku mencintaimu? Kalau semuanya bisa aku wujudkan dalam setiap tindakan.

***






Segini kepanjangan gak buat kalian?
2000+ words btw 😄

Sabtu, 06/07/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top