20. Ody: Blessing
Aku menggerakkan jemariku di atas cahaya yang jatuh di kasur. Tanpa diminta, Regan membukakan gorden-rutinitas biasa yang terasa sangat berharga bagiku. Setelah hampir kehilangan sinar matahari selama beberapa bulan terakhir. Dari yang semula teriknya menjadi sahabat, kini mendadak kami bermusuhan.
Ada saat-saat di mana aku merindukan berada di tengah-tengah demonstran. Berbahaya memang, tapi banyak momen yang tak bisa dilupakan. Sesuatu yang memicu adrenalin. Alih-alih resah dan khawatir kena lemparan batu atau gas air mata, aku justru menikmati setiap prosesnya. Bermandikan terik matahari sudah lumrah, aku pun terbiasa. Kulitku yang semula putih langsat berubah menjadi sawo matang dan aku tidak keberatan.
Perkembanganku bagaimana? Terapi minggu ini belum menampakkan hasil yang signifikan. Kedua kakiku masih kebas, mati rasa. Aku mengandalkan kursi roda untuk bergerak dari kasur. Regan sering mengajakku sekadar jalan-jalan di sekitar apartemen kalau aku merasa suntuk berada di kasur. Aku tidak perlu mengeluh apa-apa karena Regan sudah sangat peka.
"Pagiiiii!" Terdengar langkah mendekat, sejurus kemudian pintu kamarku terkuak dan lihat siapa yang muncul di pintu.
Medusa. Aku tersenyum melihat wajah judesnya yang berseri-seri. Dengan perut yang mulai membucit, Mbak Maya melangkah masuk dan menghambur ke kasur. Mencium kedua pipiku. Terakhir kening. Tumben. Biasanya mau aku sehat atau sakit begini, dia tetap sama galaknya. Kali ini wajahnya kelihatan berbeda. Entah ya, meski berat, aku harus mengakui kalau wajahnya semakin terlihat ... keibuan? Teduh pokoknya.
"Bahagia banget, Mbak?" sapaku heran. "Mas Iyan habis beli jet?"
Dia menggeleng.
"Beli pulau ya?"
Dia mencari posisi nyaman di kasur, menumpuk bantal-bantal, mengabaikan tebakan asalku.
"Pasti beli anaconda deh."
Barulah dia menoleh, menatapku dengan bosan. Kerlingan mata yang menyebalkan tapi bikin kangen. Yang kalau diartikan kurang lebih: plis deh, Dy, mending diem daripada ngomong nggak jelas, receh pula.
Setelah selesai menumpuk bantal, dia merebah dengan nyaman. Mengeluarkan ponsel dan menggulir layarnya dengan serius. Jadi, ngapain barusan dia muncul di pintu dengan heboh tanpa mau memberitahu?
"Acara nikahan adiknya Regan sama sahabat kamu itu kapan sih?" Mbak Maya bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Lusa."
"Kok cepet?"
"Mbak 'kan udah dikasih undangan."
"Nggak tahu ditaruh Iyan di mana."
"Mbak, bantuin bujuk Regan dong."
Mbak Maya melirikku. "Bujuk buat beliin jet?"
"Mbak, serius."
"Bujuk apaan?"
"Bujuk dia buat datang ke nikahan adiknya."
"Eh?" Sekarang dia sungguhan melepas pandangan dari layar ponsel. Dahinya berkerut-kerut. "Kenapa mesti gue yang bujuk? Sana minta bantuan Mas Kinan atau Mbak Anggun. Gue urusan bujuk-membujuk suka zonk."
"Iya sih."
"Emang gimana sih? Regan nggak mau datang?"
"Dia mentingin aku, Mbak."
"Sungguh dilemma."
Setelahnya kami diam. Aku masih penasaran kenapa Mbak Maya datang dengan wajah semringah. Maka, aku menggeser tubuhku bagian atasku mendekat. "Mbak, kenapa?"
Dia sok misterius kali ini. "Apa sih, Dy. Aku lagi mantengin flash sale nih. Lengah dikit melayang nih barang."
Aku mencebikkan bibir. "Mbak nggak asyik deh. Bahagia nggak bagi-bagi."
"Kenapa sih ah? Muka gue tiap hari begini."
"Iya sejak hamil, Mbak Maya udah nggak sejudes dulu."
Hanya ditanggapi dengan decakan.
Hari ini apartemen cukup ramai. Kenzi dan Kina datang sorenya. Mbak Anggun pulang lebih awal, sedangkan nanti Mas Kinan menyusul. Ruang tengah pun ramai. Aku melihat Kina yang jungkir balik di sofa bersama kakaknya.
Sejak tanganku tidak kebas lagi, aku makan sendiri meski Regan ngotot tetap menyuapi. Dia kemudian mengalah. Bagian menyiapkan obat tetap menjadi jatahnya. Aku menurut. Sekarang, setelah aku selesai minum obat, Regan baru makan. Mbak Anggun tadi membawakan ayam panggang.
Mbak Maya makan dengan tenang di sofa, meski sesekali kena kaki Kina. Dia tetap sabar. Padahal aku menunggu dia meledak seperti biasanya. Tapi, tidak. Ini terlalu aneh.
"Mas, kamu ngerasa ada yang aneh sama Mbak Maya nggak?" tanyaku lirih.
Regan mengunyah sambil melirik ke sofa. "Nggak tuh. Emang gimana?"
"Ini terlalu ganjil buat aku."
"Nggak nyoba tanya?"
"Udah, tapi nggak mau jawab."
Regan berbisik. "Ya udah, tunggu aja suaminya. Nanti aku tanyain."
Aku mengangguk, mengalihkan. "Mas, lusa datang sendiri nggak apa-apa ya?"
Regan menaruh sendoknya, urung menyuap. "Adriana dan Kiki bakal ngertiin, Dy. Kamu jangan khawatir."
"Aku ikut aja mending, daripada kamu nggak datang ke acara nikahan adik dan sahabat kamu sendiri."
Satu tangan Regan bergerak ke rambutku, mengacak lembut. "Kesehatan kamu yang paling penting sekarang, Sayang. Apa pun itu, kamu menjadi prioritas bagiku."
"Mas," sergahku pelan. "Aku paham maksud kamu. Tapi aku beneran nggak apa-apa. Hanya kamu tinggal beberapa jam, nggak bakal bikin aku mati kok."
Air mukanya tiba-tiba berubah. Aku menggigit bibirku, sadar telah salah ucap.
Regan menghela napas, menatapku lekat. "Aku nggak suka kamu bilang kayak gitu."
"Maaf," cicitku. Regan berdiri, meninggalkan meja makan. Mataku mengikuti pergerakannya dengan panik. "Mas, aku kelepasan. Nggak bermaksud kayak gitu. Aku minta maaf. Mas-"
Suaraku yang sedikit tinggi membuat Mbak Anggun dan Mbak Maya menoleh bingung. Aku menatap punggung Regan dengan sedih. Langkahnya semakin menjauh, dia masuk ke kamar hanya sebentar, kemudian pamit kalau hendak keluar mencari angin. Tidak bilang akan ke mana.
Aku tahu, aku sudah membuatnya marah.
"Dy," Mbak Anggun mendekat. Menempati kursi Regan tadi. Meraih satu tanganku. Aku tahu dia berusaha menenangkanku. "Jangan sekali-sekali ngomong begitu."
"Iya, aku tahu aku salah. Regan pasti capek ngadepin aku, Mbak." Mataku sudah berkaca. Gagal kuseka. Aku menangis begitu saja. Ayolah, ini hanya masalah sepele. Aku tidak perlu menangis seperti ini. Aku hanya perlu minta maaf lagi ketika Regan kembali nanti.
Mbak Anggun menggeser kursi, hingga menghalangi pandangan ruang tengah ke arahku. Dia kemudian tersenyum. Mengusap punggung tanganku. "Kalian sedang rentan-rentannya, Dy. Mbak nggak akan bela salah satu dari kalian. Hal seperti ini wajar terjadi. Percaya sama Mbak, Regan marahnya cuma sebentar. Dia butuh menjernihkan pikiran. Sekarang, Mbak antar kamu ke kamar ya."
Seraya menyeka pipi, aku mengangguk. Menolak ketika Mbak Anggun membantuku rebahan. Aku lebih memilih di dekat jendela. Mbak Anggun keluar dari kamarku baru saja. Di luar hujan mulai turun. Tadi, sebelum keluar, Mbak Anggun menaruh ponselku di pangkuan tanpa diminta. Tahu kalau aku membutuhkan benda ini.
Namun, yang terjadi sejak tadi, aku selalu ragu menekan angka satu. Tempat nomor Regan berada. Memilih memercayai Mbak Anggun, Regan hanya akan marah sebentar dan tidak lama lagi dia akan muncul di pintu.
Aku refleks menoleh saat terdengar suara pintu berkerit. Mbak Maya muncul di sana, berpamitan. Dan sepertinya pura-pura bebal, tidak bertanya perihal aku menangis tadi. Dia hanya melangkah masuk, mengecup keningku dan pulang. Tidak menasihati macam-macam. Hanya bilang. "Itu Mas Kinan udah datang. Mau nginap di sini kayaknya. Kalau lo sedih, itu badut ulang tahun masih bisa diandelin."
Aku tertawa hambar.
Setengah jam kemudian, pintu dibuka lagi dari luar. Aku menoleh terlalu bersemangat. Aku pikir Regan, ternyata Kenzi yang mengantarkan segelas susu.
"Makasih, Ken. Udah mau bobo ya?" Aku mengambil alih gelas susu dari tangannya. Dia menguap dan mengucek mata.
"Iya, mau nyusul Papa, Ante. Tapi Mama sama Dek Kina masih melek kok, nonton kartun."
Kenzi menerima gelas kosong dariku dan berlalu. Di ambang pintu, dia berpapasan dengan Regan. Mendapat ucapan terima kasih lagi sambil diacak rambutnya. "Wah, Kenzi habis bawain susu buat Ante Ody ya? Makasih ya."
Seraya nyengir lebar, Kenzi meninggalkan pintu. Kini mataku hanya menatap Regan. Meneliti. Dua jam ini dia ke mana?
"Mas habis ngerokok?" tuduhku begitu dia duduk di tepi kasur. Rambutnya yang mulai memanjang, terlihat berantakan.
"Iya," akunya dengan mudah.
"Aku minta maaf, Mas."
"Iya."
"Dimaafin?" Karena dia masih enggan menoleh ke arahku. Lebih sibuk menatap lantai. Harusnya aku yang begitu. Bukan dia.
"Aku juga minta maaf."
"Kamu nggak salah," sanggahku.
"Aku egois tadi."
"Mas lagi bicara sama lantai?"
Regan mengusap wajah. Saat dia menoleh ke arahku, barulah terlihat matanya yang memerah. Dia beranjak dari tepi kasur dan berhenti di depan kursi rodaku. Lantas merunduk. Berlutut dengan satu kaki.
Mataku memanas. "Kalimatku tadi nyakitin kamu ya?"
"Jangan diulangi ya, Sayang." Regan menatapku dalam. "Aku tahu, soal hidup dan mati, semuanya sudah diatur, kita cuma bisa mengusahakan yang terbaik. Hidup sebaik-baiknya. Dan kita tahu, kita nggak pernah siap untuk sebuah perpisahan. Aku juga begitu, Dy. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu. Iya, aku tahu, kondisi kamu begini. Kita sedang diuji. Tapi masih ada harapan, Dy. Dan aku mohon, jangan pernah patahkan harapan itu."
Aku tertegun. Menyadari bagaimana dua bulan terakhir lelaki ini yang paling sabar menghadapiku. Tidak pernah mengeluh. Mengorbankan banyak waktu demi berada di sampingku, merawat. Di saat yang lain menangis, prihatin dengan kondisiku, lelaki inilah yang masih tegap berdiri. Dia berusaha terlihat tegar agar aku bisa memercayakan semuanya padanya. Dan baru sekarang aku melihat mata itu memerah menahan tangis.
"Mas." Tanganku menangkup sebelah pipinya. "Terima kasih, ya, sudah hadir dalam hidupku. Mengajari aku banyak hal. Semua sikap sabar kamu. Aku yang kadang masih kekanakan ini sangat terbantu."
Dia tersenyum. "Tanpa aku pun, kamu udah keren, Dy."
***
Halaman hotel ternama itu terasa syahdu ketika doa-doa terlantun. Beberapa menit yang lalu, Kiki lancar menjawab qobul, menjabat erat tangan Om Ardi yang mengucap ijab. Adriana yang duduk di sebelah Kiki-yang kini sudah sah menjadi suaminya-tak bisa menahan haru. Dia terlihat menawan hari ini. Menjadi perempuan paling cantik di sini.
Regan di sampingku juga menyeka sudut mata. Ikutan terbawa suasana haru biru ini. Mama Diana tak luput oleh tangis. Bahkan, ketika Adriana dituntun untuk duduk di samping Kiki, beliau sudah menangis. Entah terharu anak perempuannya menikah atau karena tidak bisa berdiri di samping Adriana, mengantarnya duduk bersanding dengan calon suami.
Aku menyisipkan beberapa helai tisu ke tangan Regan. Alih-alih menyusut matanya sendiri, dia mengulurkannya pada Mama Diana. Regan juga menggenggam satu tangan mamanya. Menguatkan.
Resepsi masih pukul satu nanti. Setelah Regan berdiri dan memeluk Kiki serta Adriana, dia bergegas kembali padaku. Meminta izin untuk membawaku istirahat. Melepasku dari kungkungan para kerabat dari keluarga Regan yang penasaran dengan kondisiku. Beberapa bertanya karena memang peduli, beberapa terlihat hanya sekadar penasaran kenapa Ody yang biasanya terlihat di televisi kini terduduk di kursi roda.
Aku berusaha sabar. Menjawab setiap pertanyaan dengan ramah. Memaklumi keterkejutan mereka. Aku bisa mengatasinya sendiri. Tapi Regan datang terlalu cepat, menghentikan pertanyaan lanjutan. Aku tersenyum kepada mereka, pamit.
Regan mendorong kursi rodaku ke dalam lift. Lalu menekan angka lima belas. "Kalau ada yang tanya aneh-aneh, jangan dimasukin hati ya, Dy."
"Pertanyaan mereka masih wajar kok, Mas. Maklum kalau mereka terkejut lihat kondisiku. Yang semula muncul di televisi, sekarang cuma di kursi roda." Aku berusaha supaya tidak ada nada mengeluh di sana.
"Kamu sesayang itu ya sama pekerjaan kamu?"
Aku tersenyum, mengerti pertanyaannya ini akan bermuara ke mana. "Iya, tapi lebih sayang kamu sih, Mas. Aku nggak keberatan misal nanti aku harus resign dan ngikutin kamu ke mana pun."
Sejurus kemudian, Regan menunduk. Membalas kalimatku dengan kecupan di pelipis. Cukup lama.
"Kok nggak di bibir?" Aku protes.
"Ada CCTV, Sayang."
Aku mendongak. Mendapati kamera kecil itu di sudut langit-langit. Kemudian kurasakan Regan yang kembali merunduk. Di dekat telingaku, dia berbisik hal yang tak senonoh. "Nanti malam aku kasih plus-plus."
Refleks aku mencubit pipinya. Dia mengaduh sebelum terkekeh.
***
Aku lumayan terseok-seok 😭
Selain Regan, sekarang ada tanggungan anak fiksi yg lain, Kala sama Audrey. Jadi belum bisa bagi waktu. Harap maklum ya 😭
Dan, makasih banyak buat pembaca yg sangat pengertian sekali. Udah setia banget nunggu kelanjutan cerita ini 😭❤
Sabtu/29.02.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top