13. Regan: I'm Here
Kutatap wajah sendu itu. Ruam memerah di kedua pipinya tak mengurangi kecantikannya di mataku. Pagi ini, kondisinya sedikit memburuk. Kejadian Ody hampir jatuh membuatku mau tak mau semakin cemas. Aku sudah coba untuk menekan rasa cemas itu, tapi sepertinya gagal. Ody justru menatapku tak kalah cemas.
Aku sungguh tidak apa-apa, Dy. Tapi sepertinya aku salah. Sebelum percakapanku dengan Rana tempo hari, semuanya memang baik-baik saja. Aku cukup mencemaskanmu yang harus menginap selama seminggu di sini sampai pulih dari tipes. Aku belum berpikir jika apa yang sedang kamu hadapi ternyata lebih serius. Dan aku tidak tahu bagaimana kalau ketakutanku menjadi nyata. Aku tidak pernah siap melihat kamu harus berjuang melawan sesuatu yang ada dalam tubuhmu.
Kamu mungkin bisa menghadapi semua ini. Tapi aku tidak pernah siap melihat kamu harus mendengar dan menerima fakta menyakitkan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah diterima oleh siapa pun, sekali pun ini kamu. Perempuan yang kukenal hebat.
Percakapan sembunyi-sembunyi dengan Rana kemarin kembali terputar di kepalaku.
"Serius cuma tipes, Re?"
"Iya, pas Ody dibawa ke sini, langsung tes darah. Hasilnya positif tipes."
"Semoga dugaan gue salah. Nanti coba lo konsul ke dokter lagi. Minta buat tes ANA."
"Ody kenapa, Na?"
"Lupus."
"Lu-pus?"
"Penyakit autoimun. Semoga dugaan gue salah."
"Seberapa bahaya?"
Rana menatapku pias. "Penyakit seribu wajah. Gejala umumnya kayak yang Ody alami sekarang. Ruam di wajah yang berbentuk kupu-kupu hal yang paling menonjol, Re. Setahu gue, itu bukan alergi kulit biasa. Dia juga bilang sakit pas gue pegang tangannya, padahal cuma pelan. Dan lagi, di bantalnya, bukan cuma rambutnya yang rontok, tapi kulit kepala juga mengelupas. Kalau lo jeli, kuku tangan Ody juga agak mengering. Ciri-ciri ini yang bikin gue berkesimpulan kayak gini. Dokter yang visit apa nggak curiga?"
Aku mendadak linglung. Barusan yang kudengar cukup membuat pijakanku goyah.
"Re, ini bukan masalah umur, semua udah ada yang ngatur. Termasuk kalau Ody harus ngidap penyakit ini, bukan lantas dunia Ody juga terhenti. Nggak begitu. Gue yakin Ody bakal bertahan."
Dengan susah payah, otakku mendadak kosong, aku bersuara tertahan. "Na ... apa yang mesti gue lakukan?"
***
Mbak Anggun yang membukakan pintu. Satu jam yang lalu, telepon masuk, Mas Kinan minta aku datang ke rumah. Hanya sebentar katanya. Ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kebetulan Mama Diana dan Adriana ada di rumah sakit, Ody tidak sendirian dan aku bisa meninggalkannya sebentar.
Ketika masuk ke ruang tengah, aku berhenti. Semua keluarga inti sudah ada di sini. Tatapanku tak sengaja bertemu Mbak Maya. Ekspresi yang sama dengan yang kutangkap tempo hari. Apakah mereka—
Lenganku disentuh, Mbak Anggun mengisyaratkanku untuk duduk.
Papa memulai. "Ody siapa yang menemani?"
"Ada Mama Diana dan Adriana, Pa."
Mbak Maya terlihat gusar. Tak sabar untuk bertanya, meski suaranya terbata. "Re, nggak mungkin Ody ... selama ini dia sehat-sehat aja. Jadi mana mungkin—"
Mama memotong kalimat Mbak Maya dengan suara bergetar. "Apa pun itu, Ody bisa melewatinya. Dia bukan anak yang lemah. Dia pasti kuat."
Aku dengan mudah menyimpulkan. Tidak perlu ada yang kututupi lagi. Mereka berhak tahu hasil pemeriksaan Ody. Aku memang sempat mengabari Mas Kinan kalau Ody diambil lagi darahnya untuk tes imun. "Autoimun, Pa, Ma."
"Lupus?" Mbak Maya memastikan.
Aku mengangguk pelan. "Kemarin aku minta tes ANA. Awalnya aku nggak peka dengan perubahan yang aneh pada Ody, tapi Rana bilang jika ada kemungkinan kena lupus. Hasilnya keluar nggak lama, dan positif. Dan aku belum bilang ke Ody."
Ruang tengah itu lengang. Sesak melingkupi kami. Helaan napas yang tertahan karena tiba-tiba ada yang mengganjal di tenggorokan.
Aku yakin mereka paham, meski penyakit lupus mungkin terdengar asing. Awalnya isak tangis Mbak Maya yang terdengar, lantas disusul Mama. Sementara bisa kulihat Papa yang menghela napas. Mas Kinan menunduk dalam, bahunya diusap-usap istrinya.
"Kamu ada rencana bawa dia ke Singapura?" Papa bertanya beberapa menit kemudian. Memilih tetap rasional ketimbang ikut menangis bersama istri dan anaknya.
"Aku belum bicara ini dengan Ody, Pa."
"Kamu suaminya, Re, kamu berhak ambil keputusan untuk kebaikan dia. Setuju atau tidak, Ody harus ikut keputusanmu."
Bukan begitu caranya. Aku memang ingin yang terbaik untuk Ody. Tapi tidak lantas memaksakan keputusanku. Besok, setidaknya aku harus bicara dengan Ody dulu. Memberitahu hasil pemeriksaan.
"Aku yakin Ody bukan orang yang keras kepala. Besok biar aku bicara dengan Ody dulu."
"Soal biaya? Kamu nggak usah khawatir. Berapa pun, Papa yang akan tanggung."
Sumpah demi apa pun, ini bukan masalah biaya. Aku akan mencari berapa pun dana yang dibutuhkan untuk pengobatan Ody. Aku mencoba maklum, Papa masih terkejut, hingga apa yang terlontar hanya menuruti logika saja.
Mas Kinan akhirnya bersuara. Matanya memerah. "Kami yakin lo tahu yang terbaik buat Ody, Re. Lo balik dulu ke rumah sakit. Ody nggak bisa tidur kalau belum lihat lo."
Sebelum pulang, Mbak Anggun membawakan kotak makan susun. "Cuma cemilan. Salam buat Tante Diana dan Adriana ya."
"Mbak ...."
Mbak Anggun menyeka hidungnya. Menyusut air mata di sudut mata. "Kami sama sekali nggak meragukan kamu, Re. Papa hanya terlalu khawatir. Jangan dimasukin hati. Kamu yang penting selalu ada di samping Ody."
"Dalam situasi terburuk pun, tempatku memang di samping Ody, Mbak. Begitu juga sebaliknya."
***
Kaca jendela besar itu basah oleh air hujan. Senja baru saja tenggelam. Dari ranjang, aku bisa melihat pemandangan itu selama lima hari ini. Seperti sekarang ini. Setelah mengatur ranjang Ody senyaman mungkin, aku lantas duduk di ujung ranjang. Menemaninya menatap langit barat di sela hujan.
Aku memegang pisau dan apel. Mengupasnya untuk Ody. Aku menatap tangannya yang terulur, tapi tanganku melewatinya. Memilih menyuapkan potongan apel ke mulutnya. Tidak membiarkannya makan sendiri.
"Seriusan besok boleh pulang?"
"Iya, boleh."
Dia terdengar senang. "Jam berapa?"
"Pagi."
"Udah kangen kasur di apartemen." Lalu meringis.
"Mungkin kangen tidur sama aku kali. Bukan sama kasurnya." Aku melempar godaan. Dan benar, wajahnya langsung memerah.
Ody memajukan tubuhnya. Menaruh dagunya di bahuku. "Iya. Kangen kamu banget. Di sini nggak bebas mau peluk-peluk."
"Ini kamu ngapain kalau bukan meluk?" Aku kembali menyuapkan potongan apel.
Sambil mengunyah. "Ya tapi nggak sebebas kalau cuma berdua."
"Hayo, mikir jorok ya."
"Ih, enggak."
Aku tertawa.
"Adriana nikah kapan sih, Mas? Aku nggak sengaja lihat ada undangan banyak di tasnya pas mampir ke sini kemarin."
"Bulan depan. Mungkin udah nyicil nyebar undangan ke temen-temennya."
"Suka deh lihat kamu pakai beskap lagi."
"Pakai jas. Akhirnya ikut yang umum-umum aja, Dy."
"Oh, gitu. Ya nggak apa-apa. Kamu pakai jas juga keren."
"Emang aku yang gini nggak keren?" Aku memang hanya mengenakan celana selutut dan kaus hitam.
Pipiku dicium. "Selalu ganteng."
Aku balas mengecup sudut bibirnya. Hanya sebentar. Takut kebablasan. "Buat kamu, apa hal yang paling menakutkan di dunia ini, Dy?"
"Kehilangan kamu."
"Udah tahu kalau itu." Aku senang-senang saja mendengar jawaban itu. Tapi bukan itu yang ingin kudengar.
"Hm, apa ya? Mungkin jauh dari kamu."
Lalu apa bedanya dengan jawaban tadi?
"Oke, aku anggap kamu nggak punya ketakutan apa-apa."
"No, no, aku punya kok."
"Apa?"
"Bikin orang-orang di sekitar sedih."
"Kamu bukan malaikat, Dy." Aku ingin menggenggam tangannya, tapi takut jika genggamanku justru membuatnya sakit. "Nggak perlu jadi orang yang selalu sempurna."
"Karena udah ada kamu ya? Kamu yang bertugas menyempurnakanku."
"Selalu bisa ya melintir omonganku."
"Kalau kamu, paling takut sama apa?" baliknya.
Aku menghentikan gerakan memotong apel. Saat menoleh, aku terperangkap di matanya yang tetap teduh. Aku hanyut sesaat. Ody masih menunggu jawabanku.
"Jawabanku bakal klise," elakku.
"Aku mau dengar."
"Nggak mau."
Ody menggoyangkan bahuku dengan dagunya. Memaksa. "Ayo, jawab, apa."
"Selama sama kamu, aku nggak takut apa-apa."
"Oh ya?"
"Tuh, kamu nggak percaya."
Ody tergelak. Tawanya kemudian reda, perlu mengonfirmasi sekali lagi. "Bahkan di situasi terburuk pun, saat kita benar-benar di titik nol, kamu nggak bakal takut apa-apa selama ada aku di samping kamu?"
Situasi terburuk dan titik nol itu nyaris dekat, Dy. Aku benci karena harus mengetahui fakta ini.
Menghela napas pelan, mataku menyusuri setiap jengkal kulit wajahnya sebelum kembali ke sepasang mata teduhnya. Aku tak perlu menjawabnya. Ody sudah tahu. Buktinya, sudut bibirnya terangkat. Tersenyum malu-malu.
"Oh iya, pas kemarin 'kan aku diambil lagi darahnya, itu buat tes apa, Mas?"
"Yang mana?"
"Kemarin pagi, sebelum kita turun ke taman."
"Oh itu." Aku turun dari ranjang. Tatapannya mengikutiku yang meletakkan pisau di meja dan mencuci tangan di westafel. Mengulur waktu. Sejenak kabur dari pertanyaan Ody barusan.
Beruntung Mbak Anggun yang muncul di pintu, membuat Ody lupa dengan pertanyaan itu.
***
Namun, ini hanyalah masalah waktu, esok harinya ketika kami bersiap pulang, Ody akhirnya tahu. Dokter yang visit terakhir, sudah pasti mengatakan hasilnya. Terlambat. Aku tidak bisa lari atau menyembunyikan hal itu lebih lama.
Waktu melambat. Aku yang baru saja mengurusi administrasi, terpaku di ambang pintu. Hatiku remuk demi melihat seraut wajah itu menahan tangis.
"Mas ...." Ody memecah kebekuan.
Aku menatap Mama yang menyeka pipi. Segera bisa membaca situasi. Meninggalkan pintu, aku berderap menghampiri Ody yang duduk di ranjang.
"Udah beres semua, Dy?" Aku cepat menoleh ke Mama sebelum Ody menjawab. "Mama mau aku antar pulang atau ikut kami ke apart—"
"Aku udah mau mati ya, Mas?"
Ruangan besar itu senyap. Hanya derak gorden yang sesekali tertiup angin dari sela jendela. Aku tergugu di tempat.
Detik berikutnya, tanpa bisa kucegah, tangisnya pecah. Air mata itu susul-menyusul. Membasahi kedua pipi. Bahu itu berguncang. Sebentuk kehancuran yang tidak ingin kulihat akhirnya terhampar di depan mata. Begitu dekat. Begitu nyata. Aku ingin lari, bersembunyi. Tapi bagaimana dengan Ody kalau aku memutuskan sembunyi? Sedangkan, aku ingin terus berada di sampingnya. Menemani segala hal menyakitkan yang akan menghadang kami.
Maka, aku mendekat, kurengkuh tubuhnya hati-hati. Tangisnya yang sedikit teredam bahuku, semakin terdengar mengiris hati.
"Mas—" Suara itu bergetar. "Aku ... takut."
"Kamu boleh takut, Dy. Ada aku di sini. Kita hadapi ketakutan kamu sama-sama."
Demi tubuh rapuh yang tersedu dalam pelukanku, aku ingin sekali menggantikan posisinya. Biar aku saja yang hancur menerima kenyataan jika penyakit itu harus ada di dalam tubuhku. Biar aku saja yang merasakan sakit itu. Aku tidak senang melihat Ody menangis dan ketakutan seperti ini.
Suaranya semakin bergetar. Ketakutan itu benar-benar nyata. "Kenapa harus aku? Apa karena aku terlalu bahagia akhir-akhir ini?"
Aku menggeleng. "Karena Tuhan percaya kamu bisa melewati ini semua. Kamu punya orang-orang yang siap support kamu, Dy. Ada aku, Papa, Mama, Mas Kinan, Mbak Maya, sahabat-sahabat. Orang-orang yang sayang sama kamu. Percaya sama aku, kamu nggak akan sendirian."
***
Tebakan kalian di bab sebelumnya 90% bener.
Lupus.
Aku udah pengin angkat tentang Lupus sejak nulis Juna kemarin. Makanya aku sempat singgung Odapus di salah satu bab Juna. Dan akhirnya, aku bawa Lupus di cerita Regan-Ody.
Aku angkat cerita Lupus bukan tanpa alasan.
Aku punya sahabat dan temen kerja yg kena Lupus.
Sahabatku lupusnya keturunan gen. Imunnya nyerang darah. Dia sempat kemo beberapa kali.
Ketemu sm sahabatku ini, Desember tahun lalu, pas tes CPNS. Rumah kami jauh. Jadi pas lulus kuliah emg jarang bgt ketemu. Pas ketemu, dia udah remisi, tinggal minum vitamin2 katanya. Dia siap buat memulai semuanya lagi. Dia cerita banyak bgt pokoknya dan aku yakin she's totally fine. Dia yakinin aku kalau dia udah gak apa2. Karena ya emang selama kuliah, dia orang yg kuat. Jarang sakit. Aktif bgt.
Dan itu terakhir kalinya aku ketemu dia.
April tahun ini, dia dipanggil menghadap Allah 😭😭😭
Lalu, temen kerja, dia berhasil survive. Imunnya nyerang sendi. Sempat lumpuh satu tahun lebih. Terapi kurang lebih 8 bulan. Tapi lupusnya bukan karena keturunan. Entah faktor apa. Dokter jg gak bisa nentuin secara pasti. Ada beberapa faktor kayak: stress, faktor lingkungan, pola hidup, alergi obat, dll. Kalau pun faktor keturunan, hanya 10%.
Jadi, yg dialami Ody di sini adalah hasil riset ke temen kerja. Dia excited bgt pas aku bilang pengin ngobrol soal Lupus.
Bagi kalian yang paham tentang Lupus, minta tolong awasi cerita ini ya. Bantu aku jadi proofreader biar gak ada ketimpangan logika. Dan kalau kalian nemu ada yg aneh di tulisanku, let me know ya. Bisa lewat pm di wattpad. Makasih 😆
Rabu, 20/11/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top