12. Ody: Fears

Papa dan Mama ikut menemani malam itu. Regan sempat pulang sebentar untuk mengambil baju bersih dan memasukkan baju kotor ke laundry. Dia juga mengambil laptop, dua hari ini dia mengambil cuti, toh pekerjaannya bisa dikerjakan dari rumah dan mana saja—setidaknya itu yang coba ditekankan Mbak Anggun supaya aku tidak memikirkan bagaimana pekerjaan Regan. Atau kemungkinan lelaki itu yang akan kelelahan bekerja dan masih harus menjagaku di sini.

Mbak Anggun tadi datang menjelang sore. Hanya sebentar. Tidak bisa hingga malam karena ada anak kecil di rumah. Aku justru tidak enak kalau semua orang harus ikut menemani di sini. Untung Mama dengan tegas 'mengusir' mereka, bahkan Mbak Maya yang tinggal sejak tadi pagi, tetap tak bisa menolak usiran Mama.

"Nggak bisa tidur, Dy?"

Lampu sudah temaram, tapi mataku enggan terpejam.

"He'em." Aku menatap Mama yang masih duduk di tepi ranjang. Papa sedang keluar membeli teh hangat. "Aku bisa pulang kapan, Ma?"

"Kamu jangan mikir kerjaan dulu. Regan udah urus cuti kamu selama seminggu ini."

"Kok seminggu, Ma?"

"Supaya kamu benar-benar pulih dulu." Mama mengusap kepalaku.

"Ma, yakin cuma tipes? Aku ngerasa ada yang nggak beres. Badanku kadang ngilu. Ini ruam-ruam di pipi juga muncul di tangan."

"Afirmasi ke diri sendiri ya. Biar cepet sembuh." Mama menolak kuajak berpikir macam-macam. Mungkin karena ini sudah malam, saatnya tidur dan bukan melantur bicara yang tidak-tidak.

"Mama udah ngantuk belum?"

"Belum. Kamu mau makan buah?"

Aku menggeleng. Lalu, "Ma ... kelonin."

Mama berdiri, menepuk pantatku pelan. Aku nyengir seraya bergeser. Mama naik ke kasur dan membetulkan letak selimutku. Menepuk-nepuk lenganku. Aku membenamkan wajah di dadanya. Seperti kembali menjadi anak kecil.

"Mama nggak ingat kapan kamu terakhir manja begini, Dy. Anak terakhir Mama yang justru lebih dewasa ketimbang dua kakaknya." Mama bersuara lirih. "Tapi ternyata kamu manjanya pas lagi sakit begini."

"Ah, nggak juga. Mas Kinan tetap yang paling dewasa, Ma. Kalau aku sama Mbak Maya, nah baru bener kalau aku lebih dewasa."

Pelukan Mama sedikit melonggar. Mungkin ingat kalau aku tadi bilang merasa ngilu. "Sekarang pas hamil, semakin kekanakan kayaknya. Untung dia dapat suami yang sabar ya, Dy. Mama bersyukur, anak-anak Mama mendapat pasangan yang sabar semua."

"Mungkin doanya Papa dan Mama juga. Kami bisa bertemu dengan orang-orang yang juga mampu jagain kami."

Mama mengecup pelipisku. "Udah ngantuk?"

"Lumayan, Ma."

Pintu berkerit. Papa datang membawa dua cup teh hangat. Disusul oleh Regan yang membawa tas besar di lengan kanan dan tas laptop di tangan kiri.

"Asyik sendiri ya kalian." Papa mendekat, berkacak pinggang. "Yuk, Re, kita nongkrong di koridor aja. Banyak suster cantik."

Mama mendelik dan lekas bangun. Turun dari ranjang dan mencubit lengan suaminya. Lantas membuka pintu menuju kamar tunggu. Papa menyusul ke sana. Salah satu fasilitas yang didapat di kamar inap VVIP. Aku tidak tahu-menahu soal kamar megah ini. Mas Kinan menjelaskan singkat kalau yang tersisa hanya kamar ini. Bahkan, dia sudah membayar DP. Tidak dibayar lunas sekalian karena mungkin menghargai Regan.

Regan mendekat ke meja. Menyimpan tas di laci paling bawah. "Pas aku lewat nggak ada suster cantik kok."

"Ya kalau ada juga nggak apa-apa. Aku tahu kamu nggak mungkin kepincut."

"Dokter udah visit, Sayang?"

Aku mengangguk.

"Terus dokter bilang apa?"

"Aku harus tes lagi besok. Entah untuk apa. Tapi udah jelas tipes 'kan, Mas?" Aku menatap heran. "Kenapa mesti tes lagi?"

Regan duduk di tepi kasur. Menggenggam tangan kananku yang tidak diinfus. "Ikutin aja apa saran dokter, Sayang. Hanya tes. Untuk memastikan aja. Jangan mikir apa-apa dulu."

"Tapi aku tetap aja kepikiran."

"Mikirin aku aja, bisa? Nggak usah yang lain." Dia mengerling sok ganteng. Tapi ya memang ganteng sih. Aduh, kenapa wajah lelahnya itu bisa terlihat menggemaskan? Wangi sabun tercium. Rambutnya sekilas masih basah.

Aku mendecak. "Kalau yang itu nggak perlu disuruh juga."

"Kamu tidur ya." Kurasakan dahiku dikecup lama.

Dengan cepat aku tahan lengannya ketika merasa dia hendak beranjak. "Mas, mau ke mana? Di sini aja."

"Ada kerjaan yang mesti diberesin. Aku di sofa aja, boleh?"

"Ya udah." Toh, dari sini aku masih bisa melihatnya. "Jangan jauh-jauh, aku gampang kangen."

Regan mendecak geli.

***

Keesokan harinya, sahabat dan teman kerja datang menengok, silih berganti. Tadi yang pertama, teman-teman satu divisiku. Daffa juga ada di antaranya. Setelahnya, teman-teman kantor Regan. Dan petangnya, sahabat terdekat kami. Ruangan nyaris penuh karena semenit kemudian, Om Ardi dan Tante Fatma datang bersama Adriana.

Dengan penuh pengertian, para sahabat pindah ke ruangan sebelah. Membiarkan yang lebih tua yang mengobrol denganku dulu. Pertanyaan yang diajukan rata-rata sama. Seputaran kondisiku dan kapan aku bisa pulang. Dua pertanyaan sederhana yang sulit kujawab. Aku menoleh ke Regan, meminta bantuan.

"Kalau perlu seminggu, Om. Aku mau Ody benar-benar sembuh dulu."

Om Ardi mengangguk setuju. "Tentu saja. Lama nggak apa-apa. Yang penting pulih. Pekerjaan jangan dipikirkan dulu."

Kami berbicang beberapa hal sebelum mereka pamit. Adriana memilih tinggal, pulang bersama Kiki nanti.

Rana baru datang, terpisah dari rombongan tadi. Dia mendekat ke ranjang, sementara yang lain masih di sebelah. Duduk di tepi kasur setelah mencium kedua pipiku.

"Kecapekan, Dy?"

"Iya, Na. Tapi rutinitas gue kayak biasa kok. Gue nggak yang kerja berat. Apalagi sekarang udah nggak jadi reporter lapangan. Gue duduk anteng di studio bacain berita."

"Udah sejak kapan ngerasa capek?"

"Ehm, nggak lama. Ya puncaknya pingsan di rumah Mas Kinan itu."

Tiba-tiba Rana memegang lenganku sedikit kencang. "Dy, sakit?"

Aku meringis. Sakit.

Bertanya lirih. "Dokter udah saranin tes ANA?"

Keningku berkerut. Tes apa?

"Tes imun, Dy."

"Belum."

Tangan Rana bergerak ke rambutku yang tergerai. Dia menyugar turun, mengikuti panjang rambutku. Ada banyak helai yang ikut di telapak tangannya.

Aku menelan ludah. "Iya, akhir-akhir ini emang rontok, Na. Mungkin samponya nggak cocok."

Rana sempat bengong. Menatap telapak tangannya sendiri. Kemudian mendongak, menatapku. Seakan meneliti wajahku.

"Lo alergi kosmetik?"

"Kayaknya iya. Keluar dari sini, mau coba ke dokter kulit."

Mendengar Regan yang mendekat, Rana cepat berdiri. "Bicara sebentar, Re?"

Melihat wajahku yang bingung, Rana mendekat dan berbisik. "Mau curhat soal Ari yang aneh akhir-akhir ini. Pinjem suami lo bentar ya."

***

Hari ke empat di rumah sakit, aku merasakan badanku semakin aneh. Nyeri memang bisa diatasi dengan obat pereda nyeri. Dokter penyakit dalam baru saja keluar dari kamar inapku. Suster jaga baru saja mengambil sampel darahku. Kunjungan biasa yang tak biasa menurutku. Kenapa bukan dokter yang biasanya? Kenapa dokter spesialis penyakit dalam?

Saat menoleh, aku sempat menangkap raut berbeda dari Regan. Apa ada yang disembunyikan?

Setelah sarapan yang hanya masuk dua suapan—selera makanku hilang—aku minta diantar ke taman di bawah sana. Terlihat menyenangkan sewaktu dilihat dari jendela. Aku ingin merasakan keramaian secara langsung. Bosan kalau hanya terus mendekam di dalam sini terus.

"Mas, aku bisa jalan sendiri." Ketika melihat suster masuk membawakan kursi roda.

"Iya, tahu." Regan menyibak selimutku. "Tamannya jauh di bawah sana, Sayang. Mending kamu duduk, terus aku dorong. Nggak apa-apa kalau kelihatan manja. Kamu istriku kok. Nggak salah kalau suami manjain."

Bukan masalah manja atau tidak. Tapi aku masih bisa jalan sendiri kok. Aku menurunkan kedua kakiku dari ranjang. Masih menolak menggunakan kursi roda. Baru saja telapak kakiku menginjak lantai, aku ambruk begitu saja. Aku panik, seketika mencari pegangan apa pun yang bisa kuraih.

Beruntung sebelum lututku mencium lantai, Regan sigap menahan kedua lenganku.

"Mas?!" Kepanikan menderaku dengan cepat. Kutatap matanya, mencari jawaban. Suaraku meninggi. "Aku kenapa?"

Regan tidak menjawab. Dia mendudukkanku di kursi roda. Menggantungkan tabung infus di tiang kursi roda. Dia menoleh ke suster, mengangguk berterima kasih. Lantas suster meninggalkan ruanganku.

Aku menahan kursi roda. Mencegah Regan yang hendak mendorongnya. Aku ingin dijawab lebih dulu.

Hingga kemudian Regan berjongkok di depanku. Menjawab dengan lembut. "Kaki kamu mungkin kram aja barusan. Kamu yang biasanya beraktivitas harus tiduran empat hari ini, jadi wajar kalau kram, Sayang." Kemudian memakaikan sandal slop di kakiku.

Jawaban itu belum bisa membuatku puas. Aku tahu ada raut tak biasa di wajah Regan. Aku ingin bertanya lagi, tapi urung. Kursi roda sudah didorong menuju lift khusus pasien. Kami hanya berdua di sana.

"Kamu nggak kerja, Mas?"

"Jagain kamu lebih penting."

"Kalau kamu dipecat gimana?"

"Nggak masalah. Penting aku bisa nemenin kamu terus."

"Aku bisa ditemenin Mbak Maya kok, Mas, selagi kamu kerja."

"Kalau masuk kerja tapi pikiran aku di sini terus, nggak bisa konsen nanti. Sama aja. Kerjaan berantakan. Kena marah bos."

"Tapi kamu—"

"Ssst, udah ya. Kamu ngajak debatnya pas udah sembuh aja."

Lift berdenting. Tiba di lantai satu. Regan mendorong kursi roda ke pintu di samping. Hamparan rumput hijau langsung menyejukkan mata.

Regan merunduk, berbisik. "Nanti rumah kita juga bakal ada ruang terbuka hijau gini."

"Oh ya?" Aku antusias.

"Anak-anak kita nanti bisa main di rerumputan, kamu sambil masak bisa awasin mereka main. Sorenya, setelah aku pulang kerja, baru main di pantai deh."

Mataku pasti berbinar-binar. "Kok nyenengin sih, Mas? Ini baru bayangin, belum beneran nyata. Tapi aku udah bahagia banget."

Regan mengecup puncak kepalaku. Kursi roda kembali didorong pelan, melewati jalan setapak yang dibuat melingkari taman.

"Mas mau punya anak berapa?" Melihat anak-anak kecil bersliweran di taman membuatku ingat dengan rencana kami.

"Semampu kamu aja, Sayang."

"Bilang aja."

"Dih, gaya ya kamu."

"Tiga? Lima? Sepuluh?"

Dijawab diplomatis. "Sedikasihnya aja sama Tuhan."

"Iya deh." Aku tersenyum. Menyudahi paksaan supaya dia mau menyebut angka.

Kami berhenti di bawah pohon rindang yang bunganya gugur mengotori—yang anehnya justru memperindah—taman. Regan duduk di kursi semen. Mengedarkan pandangan. Menikmati suasana taman yang asri.

Tanganku terangkat, menyibak rambut bagian depan Regan. Membuat perhatiannya kembali padaku. "Hari ini Mama sama Mbak Maya yang jagain, sama Mas Iyan juga. Bahkan kamu bilang Mama Diana juga datang. Udah banyak. Kamu pulang aja ya, tidur di rumah."

"Nggak mau."

"Kamu kalau di sini, pasti selalu kebangun tiap satu jam. Aku padahal tidur, nggak butuh apa-apa."

"Katanya tidur, tapi kok kamu tahu?"

"Adriana yang bilang."

"Aku refleks aja bangun. Takut kamu mungkin kebangun dan butuh apa gitu. Kamu 'kan suka sungkan bilang. Nggak mau ngerepotin."

"Aku tidurnya ngebo, kamu tahu itu. Jadi jarang kebangun."

"Dy ...." Regan menatapku serius. "Karena kita bukan lagi orang asing, kita nikah juga lewat proses yang panjang, jadi jangan pernah merasa sungkan. Buat aku, kamu udah kayak separuh tubuhku. Jadi bagian hidup yang sedekat nadi. Aku mungkin bisa baca pikiran kamu, nebak ingin kamu, tapi aku nggak bisa nebak isi hati kamu."

"Isi hatiku? Ya kamu lah."

Regan tersenyum.

"Maaf ya, Mas, kalau sikap independenku kadang ganggu." Aku sering bilang hal ini. Takutnya, aku sendiri justru tidak sadar kalau sikapku sudah melebihi batas. Jika keterlaluan, aku ingin diingatkan.

"Nggak ganggu. Aku cuma pengin jadi orang yang pertama kamu cari kalau butuh apa-apa. Orang yang bisa kamu percayai. Yang bisa kamu andalkan."

"Nggak usah minta, kamu udah jadi semua itu."

Hal yang sejak tadi kuabaikan, kini tergurat jelas lagi di wajah Regan. Kenapa? Apa yang sedang coba kamu sembunyikan?

Kekhawatiran ... atau ketakutan?

Apa yang sedang kamu takutkan, Re?

***








Dari ciri2 di atas, kalian udah bisa nebak sakitnya Ody apa? :(


Minggu, 17/11/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top