5. °Kuterima Segala Keputusanmu°
***
Kania tidak menyangka akan terjadi dalam waktu sesingkat ini. Dalam hitungan hari berada di kota, sekarang ia sudah resmi menjadi istri dari seorang pria, lelaki yang harus ia hormati, mengikuti semua perintah yang ia berikan.
Kania menatap dirinya di depan cermin, masih mengenakan baju pengantin. Semua dilakukan dengan cara sederhana. Tanpa resepsi dan hiasan gedung seperti kebanyakan pasangan lain, tidak dengan undangan tamu yang mencapai ribuan orang. Hanya ada keluarga Adrian, dan beberapa karyawan di kantor. Itu semua juga permintaan Adrian. Sekarang, Kania mengerti. Bahwa Adrian sama sekali tidak menginginkan pernikahan itu. Harusnya Kania marah, dan bisa menghentikan perniakahan itu. Tapi saat melihat nek Ami dengan raut bahagia menyambut pernikahannya, membuat Kania tidak berdaya. Ia memilih diam, melanjutkan dengan hati yang sudah diserahkan kepada Adrian.
'Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku tidak ingin kamu salah paham, sebab aku menikahimu hanya karena permintaan nenek.'
'Makdsudnya?'
'Aku sangat mencintai mendiang istriku. Tidak mungkin aku melupakannya, karena hanya dia perempuan yang akan terus aku cintai. Kamu tidak usah khawatir, tinggal di rumahku kamu juga akan merasa aman.'
Mendengar semua pengakuan Adrian, hati Kania benar-benar hancur berkeping. Jika Kania bisa membedah dadanya sendiri, mungkin ia bisa melihat bagaimana keadaan hatinya yang sudah hancur lebur. Luka, tapi tidak berdarah. Orang mengatakan mencintai tanpa dicintai rasanya sangat sakit, itu semua Kania anggap bohong, sebab rasanya tidak hanya sakit, batinnya ikut tertekan. Membuat Kania mengalami kematian pada organ jantungnya.
Kania memejamkan matanya, membuang jauh pikiran buruk yang akan terjadi ke depan. Ia tidak ingin berburuk sangka lagi pada Allah, percaya jika ia lebih bersabar lagi menghadapi ini, bayaran yang akan terima tidak akan terduga. Kania sudah mengikhlaskan segalanya, melangkah tanpa berniat untuk mundur, tidak perduli bagaimana nanti badai yang akan melayangkan tubuhnya di udara.
Tapi, Kania tidak perduli. Mungkin untuk saat ini ia akan menerima semua keputusan suaminya. Namun, Kania akan berusaha membuat Adrian mau menerimanya menjadi seorang istri. Menyimpan namanya di dalam hati.
"Aku harus kembali ke kantor."
Adrian bersuara dingin, tidak memandang Kania dengan lebih. Pria itu mengambil jas hitam yang ada di dalam lemari, ia tidak bisa berlama-lama di dalam ruangan ini bersama Kania.
"Kenapa nggak libur aja? Kita kan baru aja melangsungkan pernikahan?"
"Ini masih jam sebelas siang. Jadi, lebih baik aku menggunakan waktu untuk bekerja."
Sebisa mungkin Kania berusaha tersenyum, memberikan Adrian mengambil keputusan. Lagipula Kania juga tidak tahu harus bagaimana, sikap Adrian yang tidak mau perduli membuat Kania kebingungan sendiri. Kania pikir, menikah adalah hal yang paling gampang, bisa hidup saling berbagi cerita, mencintai satu sama lain. Tapi Kania hanya gadis belasan tahun yang tidak mungkin satu pemikiran dengan Adrian.
"Dasinya, mau aku yang masangin?"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri, lebih baik kamu cari pekerjaan lain, tidak usah mengurusku." Adrian berucap datar, namun lumayan menohok dada Kania yang mendengarnya. Adrian sama sekali tidak memberinya celah untuk lewat, membuat Kania merasa terkepung dalam jurang kelaraan. Kedua mata Kania merasa memanas, ingin sekali menangis. Seandainya Kania masih memiliki seorang ibu, mungkin dia bisa mengatakan ini, berbagi kesedihan dengan air mata yang akan jatuh kentara. Namun, Kania tidak memilikinya, satu-satunya tempat Kania mengadu tidak akan pernah bisa memeluknya. Kania masih tetap merasa sendiri, jika harus mengadu pada Nek Ami, ia sangat merasa canggung, ia hanya perempuan asing yang diundang dengan cara yang begitu mewah, lalu bagaimana mungkin ia harus mengadu?
Adrian berlalu begitu saja, tanpa berpamitan atau hanya sekedar membiarkan tangannya dicium Kania. Bagi Adrian memenuhi keinginan neneknya dan mengubah status gadis itu menjadi istrinya sudah sangat jauh dari kata cukup. Adrian tidak akan mungkin memenuhi hal yang lain, termasuk memerhatikannya. Adrian mengerti, tidak seharusnya ia melakukan hal ini, tapi ia juga tidak bisa menerima Kania menjadi istrinya dan menggantikan Nabila dengan begitu gampangnya. Kania sudah berhasil menyenggol Nabila dari hati mamah dan neneknya, Adrian tidak ingin menyingkirkan Nabila dari hatinya hanya karena gadis itu.
Setelah Adrian benar-benar pergi, disitulah pertahanan Kania akhirnya runtuh, ia menangis sendirian di dalam kamar itu. Belum genap satu hari Kania sudah merasa tidak sanggup, tidak tahu harus mendapatkan tenaga dari mana lagi untuk nanti dan seterusnya.
"Ya Allah ..., beri aku kekuatan. Aku hanya ingin suamiku juga mencintaiku." air mata Kania sudah semakin tumpah, membahasi pipinya yang putih, tenggorolan Kania terasa mengetat sangat menyakitkan di dalam dada.
Kania menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya agar tidak goyah. Ia tidak ingin jika ada yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar lalu melihat keadaannya seperti itu. Bagaimanapun, Kania tidak ingin memancing masalah baru dalam keluarga itu.
***
Adrian berjalan masuk ke dalam gedung kantornya. Tidak memerdulikan tatapa dari beberapa karyawan yang merasa keheranan. Meraka benat-benat merasa bingung, padahal ini adalah hari pernikahan Adrian dan istrinya, seharusnya pria itu tidak berada di tempat ini.
"Adrian, kenapa kamu malah dayang ke sini?"
"Aku rasa pekerjaanku lebih penting. Lagipula, untuk apa aku di rumah?"
Om Alex tidak habis pikir. Padahal tadi ia sudah melarang Adrian untuk datang ke kantor, tapi tetap saja anak itu membangkang, terlalu keras kepala dan tidak mau mendengarkan siapapun.
"Tapi ini adalah hari pernikahanmu dan juga Kania, harusnya kamu menemaninya di rumah."
"Sudahlah, pah. Lagipula dia tidak sendiri di rumah, ada mamah, nenek dan juga Amel. Jadi, apa aku harus menemaninya juga? Nanti juga aku akan pulang, kan?"
Om Alex mendesah resah, percuma berbicara dengan Adrian, karena sampai kapanpun anak itu tidak akan pernah mau mendengarkannya. Jika bukan di kantor, mungkin saja om Alex sudah hilang kendali, memberikan tamparan untuk menyadarkan Adrian.
"Lebih baik, papah tidak usah mengurusku."
Adrian melangkah jauh, masuk ke dalam ruangan pekerjaannya. Di sini, ia bisa jauh lebih tenang, bisa memandangi foto Nabila dengan lama-lama. Tidak akan ada yang berani memprotesnya, atau bahkan mengusik ketenangannya.
Seorang karyawan laki-laki masuk ke dalam ruangan Adrian, dengan wajah yang ramah sebagai tanda bahwa dia sangat menghormati Adrian. Kedua alis Adrian menyatu saat melihat kedatangan laki-laki.
"Maaf, pak."
"Ada apa?"
Dengan gerakan canggung ia berusaha memberanikan diri, karena ini adalah jalan satu-satunya agar istrinya bisa di operasi untuk mengekuarkan bayinya.
"Apa saya boleh, meminta gaji saya lebih awal? Kalau boleh saya juga ingin meminjam uang sekitar dua puluh juta untuk biaya operasi istri saya. Nanti, untuk bayarannya bapak bisa memotong gaji saya."
"Kamu meminjam uang dengan saya sebanyak itu?"
Pria itu hanya mengangguk, dengan wajah penuh harap agar Adrian mau memenuhinya.
"Kamu saya pecat!"
Kedua mata pria itu terbelalak kaget, Adrian memecatnya?
"A--apa, pak? Saya dipecat?"
Adrian mengangguk, "kamu pikir kamu bisa melunasinya? Itu mustahil! Sekarang, kamu pergi dari sini. Kamu dipecat tanpa diberikan gaji bulan ini."
Adrian memasang wajah bejat. Mana mungkin ia mau menolong orang lain untuk menyelamatkan istrinya, sementara dia sendiri harus kehilangan istrinya. Tidak adil jika istri orang lain bisa selamat, lalu mereka masih bisa hidup bahagia.
Pria itu memicingkan matanya, berusaha menahan emosi agat tidak meledak. Adrian sudah menghinanya dan membuatnya kehilangan pekerjaan. Padahal, selama ini ia sudah selalu komitmen dengan segala pekerjaannya. Tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa, bahkan sekarang ia dipecat hanya kerena meminta gaji dan meminjam uang.
Akhirnya, pria itu memilih pergi. Berharap di luar sana nanti bisa mendapatkan pinjaman uang. Atau mungkin bahkan bisa bersujud di kaki dokter untuk meminta agar istrinya segera dioperasi. Pada akhirnya pria itu meninggalkan ruangan Adrian dengan tatapan benci.
Setelah memecat pria itu, Adrian tidak menunjukan reaski apa-apa, terlalu tidak perduli dengan kesulitan orang lain. Bagi Adrian, orang lain harus merasakan apa yang ia rasakan, kehilangan istri agar semuanya sama impas. Jika takdir tuhan sangat kejam padanya, maka mulai detik ini Adrian akan berlaku sama, ia akan membuat siapapun merasakan apa yang ia rasakan.
"Adrian!"
Adrian membuang wajah ke samping, menatap sang papah yang masuk ke dalam ruangannya. Wajah laki-laki itu memerah dengan rahang yang ikut mengetat.
"Ada apa lagi?"
"Apa yang kamu lakukan dengan perusahaan ini, kamu ingin membuat papah bangkrut?!" om Alex melempar berkas berwarna hijau di atas meja Adrian. Adrian hanya menatap benda itu dengan santai, bersikap acuh seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa semua data penting ini bisa bocor pada saingan kita. Apa yang kamu lakukan Adrian!"
"Aku tidak tahu,"
Om Alex mengepalkan kedua tangannya. Benar-benar tidak bisa mentoleransi lagi kesalahan Adrian. Jika Adrian terus-terusan begini, sudah di pastikan, kalau om Alex akan kehilangan perusahaannya. Sebuah hasil kerja kerasnya sejak masa dulu akan hancur karena anaknya sendiri. Om Alex memicingkan matanya, berusaha mengontrol emosi yang mendesak.
"Besok, kamu tidak usah datang ke sini."
Om Alex keluar dengan dari ruangan Adrian. Lama-lama berada di dalam itu hanya aka semakin memancing emosinya. Om Alex sampai kehilangan cara untuk mengembalikan Adrian seperti dulu. Hanya Kania yang ia harapkan, mengubah Adrian kembali menjadi Adrian seperti dulu. Bisa membanggakannya dan kembali mengembangkan usahanya.
***
"Kania, kamu habis menangis?"
Nek Ami baru sadar dengan raut jawah Kania. Matanya sembab denga hidung yang merah. Tapi, Kania langsung menggeleng. Memberikan jawaban agar perempuan itu tidak khawatir.
"Bukan nek, aku cuma lagi flu aja."
"Kalau kamu sakit jangan lakukan pekerjaan ini, Kania. Kita di sini punya asisten rumah tangga. Jadi, biarkan mereka melaksanakan tugasnya."
"Nggak apa-apa, Nek. Lagipula, aku juga bingung kalau harus diam di dalam kamar aja."
"Yasudah, kalau kamu memang mau begitu."
Kania hanya tersenyum, tidak bicara apa-apa lagi.
"Bagaimana, Adrian memperlakukan kamu dengan baik, kan?"
"Adrian, dia baik nek. Sangat baik," sebisa mungkin Kania memberika jawaban yang aka membuat nek Ami merasa senang. Dengan begitu ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Kania. Sebab, Adrian adalah satu-satunya lelaki yang nek Ami percayakan untuk menjaga Kania. Juga berharap, Adrian bisa mencintai Kania, hidup bahagia tanpa berada dalam kelaraan.
"Syukurlah, Kania. Nenek senang sekali. Melihat kalian bisa menjadi sepasang suami istri."
***
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top