3. °Maafkan aku, Ibu°
***
Kini Kania dan juga nek Ami sudah berada di dalam mobil, menempuh perjalanan ke rumah Kania yang tidak jauh dari mesjid itu. Sepanjang perjalanan Kaia hanya bisa menangis dengan bibir yang bergetar. Tidak ada percakapan apa-apa, semua berita tadi benar-benar mengejutkan. Tidak pernah sedikitpun Kania tidak menunggu kepulangan sang ibu, bahkan saking rindunya Kania karap kali bermimpi Arum pulang membawakannya sebuah boneka tedi besar, boneka yang selalu Kania minta saat pergi ke pasar, sayangnya waktu itu kehidupan mereka sangat pas-pasan, sehingga Kania harus menahan keinginannya, tidak seperti anak-anak lain yang bisa mendapatkan kemauannya. Sebagai gantinya, Arum melukiskannya sebuah boneka tedi besar, berharap setiap kali Kania melihatnya akan menjadi doa. Di dalam mimpi itu, Kania merasa menjadi gadis kecil lagi, berlari mendekati ibunya yang membawakan oleh-oleh dari kota. Kania memeluk boneka itu lalu mencium pipinya. Tapi, saat membuka matanya, Kania menagis, itu semua hanya sebuah mimpi indah, mimpi yang tidak akan mungkin pernah terujudkan. Apalagi sekaranh ibunya sudah tiada, membuat Kania merasa sia-sia jika harus melanjutkan cita-citanya. Untuk apa kesuksesannya kalau bukan dibanggakan pada ibunya? Tidak bisa membelikan ibunya sebuah rumah? Lantas, untuk apa jerih payahnya kelak, sementara orang yang akan menikmatinya sudah meninggalkanya.
"Nenek tahu kamu sedang bersedih, Kania. Tapi, berhentilah menangis, kasihan ibumu jika dia melihatmu seperti ini."
"Gimana mungkin aku bisa berhenti nangis, nek. Sementara aku tau, kalau aku nggak bakal pernah bisa ketemu sama ibu aku lagi. Nenek bisa bayangin, selama belasan tahun aku nunggu ibu pulang, nganggap dia hidup bahagia di luar sana, tapi nyatanya dia udah terkubur di dalam tanah, selama ini aku nggak tau, dan aku nggak ada di saat ibu dimakamin." Kania mulai menggelugut, kepalanya benar-benar terasa pening. Kania hanya berharap ini semua mimpi, atau bisa menganggap orang yang ada di sampingnya sedang bersandiwara, lalu memberikan kejutan berupa pertemuannya bersama sang ibu. Namun, kenyataannya sudah pupus, Kania harus menerima kenyataan yang pelik ini.
"Nenek tahu, nenek mengerti bagaimana perasaanmu, Kania. Tapi menangis dan berlarut dalam kesedihan tidak akan mengembalikan ibumu, kamu hanya akan membuatnya bersedih."
"Sekrang, aku benar-benar nggak punya siapa-siapa lagi, nek. Ayah dan ibu aku udah nggak ada, aku cuma hidup sendiri, dan akan terus sendiri."
"Tidak Kania, kamu salah. Kamu tidak sendirian, ada nenek yang akan menjagamu, kamu akan ikut nenek, tinggal bersama nenek dan menjadi bagian dari keluarga nenek."
Tangis Kania makin pecah, ada rasa haru dan sedih yang menyatu, Kania tidak menyangka kalau dirinya akan mendapatkan seorang nenek yang baik.
"Kamu tidak usah khawatir, kamu tidak akan pernah sendirian lagi, karena nenek akan ada di sampingmu."
Kania bisa tenang di dalam pelukan nek Ami, olukan hangat seorang nenek yang bisa Kania dapatkan dari sosok Nek Ami, perempuan baik yang mau menepati janjinya.
***
"Jadi, ini rumah kamu?" nek Ami duduk di atas kursi rotan, matanya liat menatap foto yang terpajang di dinding, nek Ami tidak menyangka kalau ayah Kania adalah seorang tentara, pria yang gugur lalu mati meninggalkan anak dan istri, semenjak itu hidup Kania dan juga ibunya jatuh terpuruk, kekurangan kebutuhan hidup.
"Ini ayah kamu?"
Kania mengangguk, sambil memberikan teh hangat untuk nek Ami, lalu duduk di samping perempuan tua itu.
"Iya, tapi sayangnya aku belum ketemu sama Ayah. Kata ibu, ayah meninggal satu bulan setelah dia tau kalau aku ada di dalam perut ibu. Jadi, aku nggak pernah ngerasain dipegang sama ayah."
Nek Ami mengangguk mengerti, ternyata hidup Kania jauh dari bayanganya. Nek Ami tidak bisa membawakan bagaimana jika itu terjadi pada dirinya. Kehilangan ayah sebelum lahir, lalu kembali kehilangan ibu saat masih membutuhkan.
"Terus, pas aku umur lima tahun, ternyata aku juga udah kehilangan ibu aku. Aku nggak tau, dan selama belasan tahun, aku udah berprasangka buruk sama ibu. Tuhan cuma kasih waktu aku sebentar sama ibu."
"Tapi, harusnya kamu bersyukur Kania. Karena kamu tumbuh menjadi perempuan yang baik. Jadi, kedua orang tuamu pasti sangat bangga. Mereka tidak perlu bersedih, karena anaknya tidak tumbuh menjadi perempuan liar," takdir membawa Kania masuk ke dalam panti asuhan, mendapatkan teman-teman yang baik, serta kasih sayang ibu panti yang sangat baik. Karena tidak pernah mendapatkan orang tua angkat, Kania dibesarkan di panti. Baru-baru ini ia memutuskan kembali ke rumahnya, ingin hidup sendiri dan berniat mencari ibunya.
Kania hanya tersenyum simpul, rasanya masih benar-benar begitu terasa samar. Kenyataan yang pahit harus diterima. Kania tidak pernah membenci ibunya, itu sebabnya sangat perih ketika mengetahi kabar itu.
Diam-diam nek Ami mengambil ponselnya, lalu membuka aplikasi kamera. Dia memoto Kania yang masih duduk diam dengan wajah yang datar, nek Ami akan menunjukan pada Sonia, anaknya. Bahwa Kania sangat cantik, tidak seperti yang Sonia takutkan.
'Ibu sudah menemukan, Kania. Bagaimana? Dia cantik bukan?'
Pesan whatsapp sudah terkirim, dan Sonia tampak sudah melihat kiriman gambarnya. Di dalam layar itu, menunjukan bahwa Sobia sedang membalas pesannya.
'Gimana ibu bisa yakin itu, Kania?'
'Ibu yakin, nanti akan ibu ceritakan.'
'Baiklah,'
Nek Ami tersenyum, tidak ada protes lagi yang keluar dari Sonia, itu artinya rencananya akan lebih mudah, sangat yakin bahwa Adrian akan bisa dinikahkan dengan Kania.
"Teh buatanmu sungguh enak Kania,"
"Nenek bisa aja, itu hanya teh biasa. Bikinnya juga sama kok."
"Bagi nenek, ini sangat berbeda, kau tahu kenapa?"
Kening Kania mengerut bingung, tidak tahu.
"Kenapa?"
"Karena ini dibuat oleh tangan seorang perempuan yang sangat cantik."
Pipi Kania bersemu merah, antara malu dan berterimakasih atas pujian itu. Kania bersyukur bisa memiliki wajah seperti ibunya, perpaduan wajah ayaj dan ibunya membuatnya terlihat sangat sempurna, wajahnya nan mulus mengesankan kecantikan yang luar biasa. Ini tidak berlebihan, tapi ini adalah salah satu bentuk kuasa tuhan, menciptakan wanita cantik dengan hati yang begitu rendah.
"Kalau kamu ikut nenek, pasti cucu nenek langsung jatuh hati."
"Apa?"
"Iya, kamu dan dia sangat cocok."
Sungguh, jantung Kania langsung berdebar kencang. Selama ini, Kania tidak pernah dekat dengan lelaki manapun, Kania selalu tidak ingin perduli dengan makhluk seperti itu, bagi Kania mereka belum memiliki cinta yang tulus, lelaki yang hanya ingin jatuh cinta karena paras saja.
"Nenek ada-ada aja. Mana mungkin, aku cuma gadis desa, sementara cucu nenek kan udah lama tinggal di kota. Nenek berlebihan, becandain aku sampe segitunya."
"Loh, siapa yang bercanda? Nenek serius loh. Nenek dari dulu memang berniat menjodohkan kalian. Tapi kamunya yang susah ketemu."
Tiba-tiba Kania menjadi kikuk, ia bisa melihat keseriusan dari wajah nek Ami. Tidak ada main-main.
"Aku belum ketemu sama dia, jadi aku belum bisa mutusin apa-apa."
"Nenek nggak maksa kamu harus bilang iya, tapi nenek berharap kamu mau dijodohkan sama cucu nenek. Karena nenek cuma ingin kamu tetap bersama nenek."
Sebelumnya Kania tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan dijodohkan dengan seorang lelaki dari kota. Bahkan sekalipun tidak pernah terkintas di pikiran Kania hal seperti itu. Tapi, jika memang pria itu jodohnya, Kania hanya ingin tuhan menjatuhkan hatinya sedalam-dalamnya kepada pria itu, bisa menerima apapun kekurangan yang dia miliki.
***
Besoknya Kania dan juga nek Ami sudah berada di Jakarta. Mereka langsung menuju pemakaman Arum, ibu yang Kania rindukan. Memijakan kaki di tanah itu membuat Kania tidak kuasa menahan tangis, kuburan itu benar-benar makam milik ibunya, tempat dimana ibunya tidur selama ini. Kedua kaki Kania melumer, ia menjatuhkan tubuhnya begitu saja, bersimpuh di hadapan makam ibunya. Sangat menyakitkan, Kania tidak bisa menyampaikan bagaimana dukanya saat ini, kesedihan yang ia rasakan tiada taranya dari rasa sedih yang pernah ia rasakan. Tangan kanan Kania kini terangkat untuk memegang tulisan yang tertera di sana, mengusapnya dengan pelan. Dadanya terasa sangat sakit, menyebabkan tidak mampu bersuara lagi.
"I--ibu..," Kania membuang nafas beratnya, air matanya sudah tumpah meruah sejak tadi. Rasanya, Kania ingin sekali membongkar makam itu, lalu memeluk jasat ibunya sereat mungkin.
"Kenapa ibu ninggalin aku, kenapa ibu bohongin aku, bu. Ibu bilang cuma pergi sebentar, nyatanya?" suara Kania kian menyesak, kedua bahunya ikut naik turun.
"Ibu bilang, ibu cuma mau pergi ke kota beberapa hari, dan ibu udah bohong."
Kania menenggelamkan wajahnya di tangannya, menangis pilu di sana. Tidak ada seorang anak yang rela ditinggalkan orang tuanya. Melihat ibu terkubur di dalam sana, dan sadar tidak akan bisa melihat tawanya lagi.
"Maafin aku, bu. Aku udah pernah berburuk sangka sama ibu, aku udah nuduh ibu yang macem-macem."
"Tenangkan dirimu, Kania. Kamu di sini bukan untuk menangis, tapi doakanlah ibumu, dia sangat menunggu itu darimu."
Kania menciumi batu nisan ibunya, memejamkan matanya sambil membayangkan bagaimana saat pertama kali ditinggalkan ibunya. Awalnya Kania ingin di ajak, tiba-tiba Ibunya meminta Kania tinggal, diam di rumah dan menunggu kepulangannya.
Satu jam Kania larut dalam kesedihannya, sekarang Kania dan nek Ami sudah berada dalam perjalanan menuju rumah nek Ami. Tidak ada yang bisa Kania katakan, diam adalah opsi terbaik baginya saat ini.
"Kalau kamu masih merindukan ibumu, besok kita bisa datang lagi ke sana."
"Makasih, nek. Nenek udah baik banget sama aku."
"Ini karena nenek menyayangimu, Kania. Entah kenapa sejak pertama kali melihatmu, nenek sudah sangat menyayangimu. Seperti nenek menyayangi Amel dan Adrian."
Kania hanya tersenyum tipis, ada rasa haru yang tersimpan di dalam dada, sebentar lagi ia akan masuk ke dalam sebuah kekuarga, dan mungkin ia akan merasakan bagaimana hidup di tengah-tengah keluarga yang utuh.
"Pasti mereka cantik dan tampan ya, nek?"
"Ya. Sama sepertimu, sangat cantik."
'Makasih, bu. Berkat ibu, aku ketemu sama orang-orang baik kayak gini. Tapi, nggak ada yang bikin aku lebih bahagia selain ada ibu di sini.'
Kini Kania dan nek Ami turun dari dalam mobil, berjalan masuk ke dalam rumah. Kania sangat takjub, rumah mereka seperti sebuah istana kayangan yang pernah ditonton sewaktu kecil. Kania sangat merasa asing berada di sini. Seolah merasa tidak pantas berada di tempat seperti itu, Kania merasa malu sendiri. Orang-orang bisa menganggapnya perempuan matrealistis, yang hanya bisa memanfaatkan kebaikan orang lain, lalu menikmati kekayaannya.
"Kenapa berhenti, Kania? Ayo, masuk!"
Kania sangat kikuk, bagaimana jika kekuarga nek Ami tidak menerimanya?
"Kalian sudah datang?" Sonia turun dari lantai atas, lalu menyambut kedatangan keduanya. Setelah melihat Kania, tante Sonia berubah pikiran, mendadak menjadi luluh seketika. Ternyata ketakutannya selama ini tidak akan terjadi, sebab Kania terlihat begitu polos.
"Kania, ini Sonia, anak nenek. Dia ini ibunya Adrian dan juga Amel."
Tante Sonia tersenyum, lantas memeluk Kania langsung. Membuat perempuan itu tergemap. Tidak bisa berkata-kata karena kaget dengan perlakukan tante Sonia.
"Ternyata, aku bisa bertemu dengan anak dari orang yang sudah menyelamatkan nyawa ibuku."
Kania masih belum merespon apa-apa.
"Dimana Adrian?"
"Dia belum pulang, bu. Mungkin sebentar lagi."
Tante Sonia membawa Kania duduk di atas sofa. Ia sudah yakin, kalau Kania memang pantas untuk bersanding dengan Adrian. Keluguannya nyaris sama seperti Nabila.
"Bagaimana? Pilihan ibu tidak salahkan?"
"Ibu hebat. Aku suka."
Kania mengerutkan keningnya, belum mengerti tujuan yang sebenarnya ia dibawa ke sini. Jika memang karena ingin dijodohkan, akankah dia sanggup? Langsung menikah sementara usianya masih sangat muda. Tapi, kenapa ia malah diam tanpa melakukan penolakan? Kania sangat bingung kenapa dirinya bisa sepertu itu, harusnya ia bisa menolak, atau bahkan sekedar menunda. Namun Kania sendiri tidak mampu melakukannya.
"Bagaimana Kania? Kamu merasa nyaman kan di tempat ini?"
"Aku belum tau, nek. Rasanya masih asing,"
"Itu hal yang wajar sayang, karena kamu baru datang. Setelah satu hari, nenek yakin kamu akan sangat betah. Apalagi, di sini ada amel, dia bisa jadi teman kamu "
Kania hanya mengangguk, benar-benar merasa cangung. Baru tertemu dengan tante Sonia saja, sudah membuat jantung Kania tidak normal. Apalagi jika harus bertemu suami tante Sonia, lalu Amel. Apalagi, Adrian, laki-laki yang katanya ingin dijodohkan dengannya. Kania masih penasaran, bagaimana watak pria itu, apakah selembut ayahnya yang diceritakan sang ibu? Atau, berbanding terbalik dengan laki-laki idaman yang ada di dalam hatinya.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top