2. °Terungkap°


***

Nek Ami baru saja keluar dari dalam kamar, lalu melihat om Alex dan juga tante Sonia duduk di atas sofa sambil menonton TV yang menyiarkan acara gosip pagi para artis. Sementara om Alex sibuk dengan koran yang ada di tangannya, tidak memerdulikan mulut istrinya yang berkomat-kamit meprotes gosip yang dibawakn host.

"Sonia, ibu mau bicara."

"Nanti aja ibu."

"Ini penting, menyangkut anakmu."

Mendengar pengakuan nek Ami, sontak tante Sonia merespon, mengecilkan volume TV lalu pokus kepada wajah ibunya.

"Adrian?"

Nek Ami mengangguk, lalu duduk di samping anaknya.

"Ini sudah satu bulan lebih Adrian ditinggalkan Nabila, sampai sekarang Adrian tetap sama. Ibu rasa dia harus dinikahkan lagi, agar saat dia memiliki istri baru yang bisa menemaninya, dia bisa melupakan Nabila."

"Apa itu mungkin? Ibu tau sendiri, anak itu sangat mencintai istrinya. Lagipula, sama siapa dia mau dinikahkan?" tanya tante Sonia bingung, om Alex yang semulanya acuh tak acuh kini ikut memasang wajah serius, seperti tertarik dengan ucapan mertuanya, om Alex merasa setuju dengan apa yang dikatakan perempuan itu.

"Ibu kepikiran, bagaimana kalau dia dijodohkan dengan Kania?"

"Kania, Kania siapa?"

"Kamu lupa? Dia anak Arum, perempuan yang sudah menolong ibumu ini."

Kening tante Sonia mengerut, kemudian menggelengkan kepalanya.

"Nggak, bu. Kita nggak tau di luar sana dia jadi perempuan seperti apa, gimana kalau dia jadi wanita liar? Dia nggak pantas harus bersanding sama Adrian, aku nggak setuju."

"Kamu jangan berfikiran seperti itu, Sonia. Kalaupun dia menjadi wanita yang tidak benar, itu semua karena dia kehilangan didikan dari ibunya. Biarkan ibu yang akan merubah sifat buruknya. Tapi, ibu yakin kalau dia tumbuh menjadi perempuan yang baik," kata nek Ami yakin, ia berusaha meyakinkan Sonia. Tapi perempuan itu tampak tidak paham, ia masih belum bisa menganbil keputusan, tidak mau memiliki menantu yang tidak punya etika.

"Lebih baik, cari dia sampai ketemu. Kalau memang dia perempuan yang baik, aku setuju untuk menikahkan dia dengan Adrian, tapi kalau dia bukan wanita baik-baik, maafkan aku, aku tidak mau menerimanya menjadi seorang menantu." Om Alex mengambil keputusan. Jika Kania seorang wanita yang baik, sudah pasti dia bisa membawa Adrian kembali, melupakan masalalu yang menyedihkan, lalu hidup normal kembali seperti dulu.

"Pah, kenapa papah mutusin gitu. Lagipula, mau kita cari kemana anak itu. Udah lama kan ibu berusaha nyari dia, tapi nggak ketemu."

"Apa aku tidak berhak mengambil keputusan di rumah ini?" wajah om Alex mengerut kesal, seolah istrinya itu tidak pernah mau menerima apapun keputusannya menyangkut soal anak, Sonia selalu merasa benar saat mengurus urusan anak, termasuk sekolah dan pekerjaannya. Sebenarnya om Alex cukup merasa jengah dengan tabiat buruk Sonia yang seperti itu, rasanya om Alex ingin sekali menceraikan Sonia, lalu mencari wanita lain yang bisa menghargainya. Tidak berdebat soal keputusan yang selalu berselisih paham. Tapi, itulah hakikatnya, karena semua laki-laki tidak selalu mengambil keputusan saat marah. Saat om Alex berniat menceraikan istrinya itu, ia selalu mengingat bagaimana perjuangan Sonia saat melahirkan anak-anaknya, mepertahukan nyawanya antara hidup dan mati, merawat anaknya dan itu semua disaksikan om Alex sendiri. Jadi, emosinya akan segera melebur, karena menganggap bahwa pengorbanan yang pernah tante Sonia berikan tidak akan pernah sebanding dengan prilakunya yang buruk seperti itu.

"Bukan gitu, pah. Tapi mamah nggak mau aja nanti punya menantu yang nggak benar."

"Ibu yang akan menjamin itu, Sonia. Sekarang, biarkan ibu kembali ke bandung, dan mencarinya."

"Kenapa harus ibu? Kenapa bukan orang lain aja, kita bisa bayar orang itu."

Nek Ami mendesah resah, "kalau ibu melakukan itu, berarti ibu melanggar janji pada almarhum ibunya. Sudahlah Sonia, berhanti berfikir yang tidak-tidak."

Tante Sonia mengumpat di dalam hati, mau tidak mau harus menuruti kemauan ibu dan suaminya. Tante Sonia tidak bisa membayangkan gadis kampung yang tidak tahu tabiatnya, apalagi wajahnya. Memang Arum pernah menyelamatkan nyawa ibunya, tapi tetap saja tante Sonia belum pernah bertemu anak wanita itu.

***

Adrian tidak bisa menahan emosinya, salah satu staf telah melakukan kesalahan saat membuat sebuah proposal. Padahal, itu semua bisa ditangani, hanya saja Adrian tidak bisa menerima dengan hati yang kacau, benci melihat orang-orang yang tidak bisa memenuhi keinginannya, lantas Adrian memecat mereka seenaknya, seolah-olah jerih payah mereka selama ini tidak menghasilkan apa-apa, Adrian memberhentikan mereka secara serta merta, tidak memikirkan dampak yang akan dialami oleh orang lain. Adrian bagaikan ingin menghancurkan perusahaan papahnya sendiri.

"Kamu saya pecat!" itulah kata-kata yang Adrian lantarkan dengan raut wajah ketus, tidak berdahabat.

"Tapi, pak..," perempuan itu tidak bisa memprotes apa-apa, karena Adrian sudah lebih dulu pergi dari hadapannya. Adrian tidak mau mendengar penjelasan apa-apa, keputusannya sudah mutlak, dia berhak mempekerjakan ataupun memberhentikan siapa saja, karena itu adalah perusahaan milik ayahnya.

Perempuan itu menunduk sayu, tidak percaya kesalahan kecil akan membuatnya kehilangan pekerjaannya. Padahal, dia juga membutuhkan biaya untuk kuliahnya, juga untuk kebutuhan lainnya. Kalau dia memiliki kekusaan tinggi seperti Adrian, mungkin ia sudah membalaskan apa yang sudah Adrian lakukan.

"Si bos kenapa sih, sampai mecat kamu kayak gitu?"

Rissa hanya mengangkat bahunya, tidak tahu.

"Nggak tau,"

"Perasaan sejak istrinya meninggal, dia sering banget marahin karyawan di sini."

Rissa hanya tersenyum tipis, sambil sibuk membereskan barang-barang. Tiga tahun bekerja di sini, benar-benar menambakan kesan yang sangat baik. Berawal dari masa magang, hingga terpilih menjadi karyawan yang membawanya bisa mengenal para teman-teman yang baik. Sekarang, Rissa harus meninggalkan itu semua, berharap di tempat lain bisa mendapatkan pekerjaan yang baik.

Sementara itu, di dalam ruangannya Adrian menangis, sangat merindukan sosok Nabila. Satu bulan tanpa Nabila benar-benar membuatnya hampa. Tidak ada lagi orang yang bisa menenangkan hatinya, Adrian benar-benar merasa sangat kacau.

Sambil memeluk foto istrinya itu, air mata Adrian kembali tumpah meruah, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut, sekarang air mata itu adalah jawaban dari luka terdalamnya.

"Aku merindukanmu, sayang ."

***

Nek Ami sudah berada di dalam mobil, sudah hampir setengah jalan menempuh perjalanan menuju kota bandung, di antar oleh seorang supir, nek Ami benar-benar berharap bisa menemukan anak perempuan itu. Nek Ami memandangi foto kecil yang ada di tangannya. Perempuan yang sedang memangku anaknya lalu tersenyun menghadap ke depan. Begitupun dengan anak itu, terlihat sangat menggemaskan. Nek Ami sangat yakin, anak itu tumbuh menjadi gadis yang sayangat cantik jelita.

"Aku berjanji Arum, aku akan berusaha untuk mencari anakmu. Kali ini, aku tidak akan menjadikannya seorang cucu saja. Aku akan menikahkan dia dengan cucuku."

Nek Ami tidak perduli bagaimana respon Sonia nanti, tapi dia yakin, Sonia akan luluh saat melihat gadis itu. Nek Ami akan menunjukan pada Alex dan Sonia, kalau dia tidak akan mungkin salah memilihkan seorang istri untuk cucunya. Nek Ami tidak bisa membalas apa-apa atas kebaikan Arum, kecuali membuat putrinya hidup bahagia, nek Ami tidak bisa membayangkan bagaimana bocah lima tahun itu harus hidup tanpa orang tuanya, nek Ami berharap, agar ada orang baik yang bisa menjaganya hingga tumbuh besar, memberikannya kasih sayang yang tiada tara.

Nek Ami tidak perduli seberapa lelah ia harus mencari Kania, petunjuknya sangat sempit, di KTP Arum, alamat yang ditunjukan berasal dari Bogor, sementara Arum mengatakan anaknya ada di Bandung, nek Ami juga pernah datang ke Bogor, mencari informasi dan nyatanya meraka memang sudah lama pindah ke Bandung. Itu sebabnya kenapa sejak awal nek Ami tidak pernah berhasil menemukan Kania.

Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, nek Ami berhenti di sebuah mesjid, di sana di penuhi dengan anak-anak panti asuhan, yang sibuk belajar mengaji bersama. Hati nek Ami terenyuh, sudah lama sekali tidak melihat pemandangan seperti itu, bahkan anak ataupun cucunya tidak pernah ditemui dalam keadaan seperti ini.

Setelah memerhatikan mereka, nek Ami ikut sholat berjamaah, merasa senang berada di tengah-tengah mereka.

"Mereka benar-benar anak yang sangat rajin beribadah," kata nek Ami memuji, ia sungguh berdecak kagum.

Perempuan yang sedang melipat mukenah di sampingnya ikut menoleh, lau tersenyum ia juga merasakan hal yang sama, sangat kagum.

"Iya, nek."

"Di rumah nenek, tidak ada yang seperti ini."

"Dulu, aku juga begini nek. Hidup di panti dan pernah berada di tempat mereka."

"Oh, ya? Kemana orang tuamu?"

"Ayah aku udah lama meninggal nek, sementara ibu aku, pergi gitu aja. Dia ninggalin aku dan nggak kembali lagi."

Tiba-tiba nek Ami merasa kasihan melihat gadis itu. Kasihan mendengar ceritanya.

"Lalu, sekarang kamu masih tinggal di panti bersama mereka?"

Perempuan itu menggeleng,

"Enggak, nek. Setelah lulus, aku milih buat keluar panti, aku kerja sebelum aku kuliah nanti. Sejak kecil, aku selalu pengen di adopsi sama orang tua yang mau kasih aku kasih sayang mereka. Tapi, mungkin cuma takdir aku buat sendiri di dunia ini."

"Jangan bilang begitu, mungkin ibumu punya alasan."

"Iya, nek. Aku ngerti soal itu, makanya aku belajar buat ihklasin itu semua. Aku cuma berharap supaya aku di kasih kesempatan buat ketemu sama ibu."

Nek Ami mengangguk mengerti.

"Kayaknya nenek bukan orang sini, nenek dari mana?"

"Iya, nenek dari Jakarta. Nenek ke sini buat nyari seseorang."

"Siapa nek? Mungkin, aku bisa bantu nenek."

"Sebenarnya ini sudah lama, nenek mencari dia sejak tiga belas tahun yang lalu. Tapi, sampai saat ini nenek nggak bisa nemuin dia."

Seperti orang yang langsung akrab, nek Ami merasa cocok saat bernicara dengan gadis itu.

"Dulu, tiga belas tahun yang lalu pernah terjadi kecelakaan besar. Bus yang membawa nenek dan orang itu menuju Jakarta masuk ke dalam jurang. Awalnya nenek pikir, nenek tidak akan selamat dalam kecelakaan itu. Tapi seorang perempuan sudah menolong nenek, meski dia sedang terluka parah," Kejadian itu masih membekas di benak nek Ami, tidak akan pernah melupakan itu semua.

"Sayangnya, dia meninggal sebelum kami mendapatkan pertolongan. Tapi, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, dia pernah meminta nenek untuk mencari putrinya yang tinggal di bandung sendirian, dan sampai saat ini nenek masih belum bisa menemukan dia."

"Apa nenek punya petunjuk?"

Nek Ami menggeleng, "nenek hanya menemukan KTPnya dan sebuah foto. Nenek pernah datang ke alamat itu, tapi di sana orang-orang bilang kalau dia sudah lama pindah ke bandung."

Nek Ami mengambil foto yang ada di dalam tasnya, lalu memberikan benda itu pada perampuan di sampingnya.

"Mungkin, kamu pernah atau mengenal salah satu orang itu."

Saat itu juga, kedua tangan perempuan itu bergetar, serasa ada yang menghantam dadanya dengan kuat, hingga merasakan dadanya terjepit.

"I---ibu,"

Air mata Kania lolos detik itu juga, setelah mendengarkan cerita perempuan itu, Kania bisa menyimpulkan kalau ibunya sudah lama meninggal. Perempuan yang selalu ia nantikan agar segera pulang, kembali menjemputnya. Kania merasa berdosa karena sudah berburuk sangka pada ibunya sendiri. Rasanya benar-benar pelik, Kania tidak bisa lagi menahan air matanya.

"Jadi, ini yang nenek maksud perempuan yang udah nolong nenek, lalu dia meninggal?"

Mulut nek Ami terbuka lebar, mendengar pengakuan Kania yang menanggilnya ibu. Apakah semudah itu menemukan anak itu, anak yang selama ini ia cari, telah ia temukan di rumah Allah? Kekuasaan Allah benar-benar luar biasa.

"Apa maksudmu?"

"Ini ibuku. Ibu yang ninggalin aku saat aku masih berumur lima tahun, ibu yang aku anggap orang paling jahat karena udah ninggalin aku, orang yang aku tuduh udah ngebuang aku, dan orang yang selama ini aku tunggu kepulangannya udah nggak ada."

Kania memegang dadanya yang terasa sesak, ada yang menjalar begitu cepat di dalam sana, hingga menimbulkan rasa pengap yang teramat.

"Kamu, Kania?"

Kania tidak merespons apa-apa, dia hanya menangis. Bahkan ia tahu kalau ia tidak akan pernah lagi melihat wajah ibunya, memekuknya dan mengatakan betapa rindunya ia selama ini tidak akan bisa berbagi cerita karena sudah banyak cerita yang ia lalui, selalu menjadi juara kelas lalu sekarang mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke Jakarta, Kania bisa meujudkan cita-citanya dulu bersama sang ibu, saat kecil Kania sangat ingin menjadi seorang dokter, bila ibunya menua dan sakit-sakitan ia bisa mengobati ibunya tanpa harus berbayar.

"Ibu, ibu minum obat ini aja ya," Kania kecil berlari masuk ke dalam kamar, ibunya sakit-sakitan, jantungnya yang sudah rusak membuatnya tidak bisa bekerja dengan baik. Ia sering terbatuk-batuk kadang sangat sulit bernafas, Arum tidak tahu bagaimana kalau umurnya tidak lama lagi, lalu tidak ada yang menjaga putrinya.

"Terimakasih ya, sayang. Ibu akan minum obat ini, nanti ibu pasti akan sembuh, karena yang beliin ibu obat kan Kania."

"Iya ibu, nanti Kania mau jadi anak pintar, di sekolah. Terus Kania mau jadi dokter, biar Kania bisa obatin ibu sampai sembuh. Nggak kayak dokter itu, yang suruh kita pulang."

Arum tersenyum, hatinya sangat senang mendengar cerita anaknya itu.

"Nanti, kalau Kania jadi dokter, jadi dokter yang baik ya sayang. Obatin siapapun yang butuh pertolongan Kania, jangan pentingin uang, sayang. Karena uang nggak ada artinya jika kita kehilangan satu nyawa."

Kania kecil mengangguk, sangat mengerti dengan pesan ibunya itu.

"Aku mau ke makam ibu. Dimana nek, aku mau ke sana." Kania menarik kedua tangan nek Ami, lalu memohon sambil menangis, ada luka mendalam yang bisa nek Ami lihat dari mata Kania. Ia ikut menangis, merasakan kesedihan anak itu. Lantas, nek Ami membawa Kania ke dalam pelukannya, berusaha memberinya ketenangan, kabar mendadak yang terungkap ternyata sangat menyakitkan bagi Kania.

"Kita akan ke sana, nenek akan membawamu."

***

Bersambung...



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top