2. Knock me out

"Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru dan setiap waktu adalah kesempatan untuk bisa saling berbagi pengalaman."

Selamat ulang tahun kakak @widy4HS maaf kadonya telat. Ini aku persembahkan untukmu kak. Selamat hari guru juga kakak, terima kasih telah menjadi guruku walau hanya dari layar flatku. Jangan bosan - bosan untuk menasehatiku jika aku salah.

Ini juga untuk semua adek - adekku yang selalu memberi semangat kepadaku. Maaf, kalian terlalu banyak untuk aku sebutkan satu - persatu. Kalian semua adalah guru - guruku di dunia maya.

Thank you so much more my beloved readers ^^

And Happy reading.

****

Keenan mengacak rambutnya frustasi. Pertemuannya dengan Gadis siang tadi, membuat dirinya kehilangan fokus untuk bekerja. Hanya ada Gadis yang telah memenuhi isi otaknya kali ini. Anindya Gadis Pratista, sahabat baiknya sedari SMA yang mampu membuat dirinya tak berpaling dari wanita manapun hingga detik ini. Wanita yang memiliki tempat terkhusus di hatinya.

Kali ini Keenan akan berusaha untuk bisa mendapatkan Gadis kembali. Ia tak akan melepaskan Gadis untuk yang kedua kalinya. Ia tak peduli jika dirinya berbeda dengan Gadis. Dirapikannya berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Dalam hitungan detik meja itu telah rapi dari kertas-kertas yang sudah menyita waktunya. Tak lupa Keenan pun mematikan laptopnya sebelum beranjak dari kursi kerjanya. Ia mengambil jas yang tersampir di kursi kerja, lantas mengambil smartphone-nya dan segera melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya.

Keenan menghela napasnya, mencoba meredakan kegugupannya kali ini. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang ketika mobilnya mulai mendekati tempat tinggal Gadis. Ia tak pernah bisa mengontrol detak jantungnya ketika berhadapan dengan Gadis. Hanya Gadis yang mampu membuat kinerja jantungnya menjadi tak normal.

Mobil Keenan berbelok, memasuki halaman rumah kuno bergaya kolonial Belanda yang masih berdiri dengan kokoh dan megah. Kedua sisi bibirnya tertarik ke atas ketika membaca beberapa kata yang terpampang di sebuah papan yang tak asing untuknya. Panti Asuhan Cinta Kasih. Otaknya mulai memutar kembali kenangan-kenangan indah bersama Gadis dan juga Kara, almarhumah istrinya. Tempat ini adalah saksi bisu bersemainya benih - benih cinta antara dirinya, Gadis dan Kara.

Sudah berulang kali Keenan mengembuskan napasnya. Ia benar-benar tak mampu menetralkan detak jantungnya yang sedang berdisko ria saat ini. Dibukanya pintu mobil perlahan, lantas kaki jenjangnya melangkah untuk keluar dari dalam mobil. Ia berdiri mematung sesaat setelah langkah keenamnya. Ia memandang sekitar halaman rumah yang masih terawat sedari dulu.

"Abang cari Kak Gadis?" suara lantang dari seorang anak laki-laki mengagetkan Keenan.

Dahi Keenan mengerut samar, sebelum senyumnya tersungging, "Kamu tahu dari mana kalau Abang ingin bertemu dengan Kak Gadis?"

"Aku pernah melihat foto Abang di kamar Kak Gadis. Tapi Kak Gadis lagi nggak ada, lagi ngelesin. Siapa nama Abang? Abang itu pacarnya Kak Gadis ya?!" tebak anak lelaki itu.

Keenan tersenyum mendengar ocehan anak lelaki itu. Ia baru mengetahui pekerjaan Gadis yang lain. Ia pun teringat dengan cita - cita Gadis kala itu, menjadi seorang guru.

Anak lelaki yang sebaya dengan Keira itu sungguh sangat menggemaskan. Keenan pun teringat akan dirinya sewaktu kecil. Ia selalu bertanya apa pun hingga membuat semua orang kalang kabut untuk menjawab pertanyaannya, kecuali bundanya, Keiza.

"Keenan," ucap Keenan seraya mengulurkan tangan kanannya untuk memperkenalkan diri, "siapa nama kamu?"

Anak lelaki itu menatap Keenan dengan lekat. Ia meneliti Keenan, mulai dari atas kepala hingga ujung kaki sebelum membalas uluran tangan Keenan.

"Aku Reza, Muhammad Fahreza," ucap anak lelaki itu, "Abang Keenan belum jawab pertanyaan aku, Abang itu pacarnya Kak Gadis?!"

Keenan tersenyum. Mulutnya ingin sekali mengatakan bahwa Gadis adalah kekasihnya. Namun ia tahu bagaimana statusnya saat ini.

"Reza! Sini kamu, Dek!" seru seseorang memanggil Reza.

Reza yang merasa namanya dipanggil segera bersembunyi di balik tubuh tinggi tegap milik Keenan. Ia memegang kedua kaki jenjang Keenan dengan erat. Keenan tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bang Keenan?!" panggil seseorang yang membuat Keenan menoleh ke arah sumber suara.

"Galang?" sahut Keenan.

Keenan tersenyum kepada Galang. Ia tak menyangka jika Galang telah tumbuh menjadi anak remaja yang tampan. Galang segera berlari kecil ke arah Keenan. Ia benar-benar terlihat bahagia melihat Keenan yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri.

"Abang, apa kabar? Galang kangen banget sama abang," ucap Galang setelah mencium punggung tangan Keenan.

"Abang baik. Abang juga kangen sama kamu," balas Keenan.

"Abang kemana saja selama ini? Semenjak Kak Gadis kuliah ke luar negeri, Abang nggak pernah main ke sini lagi," tutur Galang yang membuat Keenan terkekeh kala mendengarnya.

"Abang kan juga kuliah," jawab Keenan, "Abang bawa banyak makanan dan susu kotak untuk kamu dan juga saudara-saudara kamu."

Galang tersenyum bahagia. Sedari dulu Keenan selalu membawa makanan atau minuman untuk anak - anak di panti. Kedua orang tuanya pun menjadi donatur tetap di panti asuhan ini.

"Abang bawa apa? Reza minta boleh?" ujar Reza yang tiba-tiba saja keluar dari persembunyiannya.

"Nggak boleh!" seru Galang kesal.

Reza mengerucutkan mulutnya, tangannya menarik-narik tangan kanan Keenan, "Abang! Abang Keenan nggak pelit kan kayak Bang Galang?!"

Keenan tertawa mendengar ucapan Reza. Reza sangat mirip dengan dirinya sewaktu kecil. Pintar, lucu, mengesalkan sekaligus menggemaskan. Hal itulah yang selalu dikatakan orang-orang kala bertemu dengannya.

"Kamu tuh yang nakal! Kembalikan dulu spidol milik Abang! Baru Abang bagi jajan dari Bang Keenan," kata Galang.

"Spidolnya sudah nggak bisa dipakai. Tadi Reza pakai buat gambar-gambar sama Dek Diva," aku Reza jujur.

Galang mendelik tak percaya, "Reza!!!" pekik Galang yang membuat Reza bersembunyi kembali di balik tubuh Keenan.

Keenan tersenyum. Ia merasa sedang flashback dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Dulu Galang pun pernah seperti itu, menggunakan spidol Gadis untuk bermain. Hingga Gadis marah besar kepadanya.

"Sudah, nanti Abang belikan spidol yang baru buat kamu. Sekarang bantu Abang buat bawa makanan dan minumannya ke dalam," lerai Keenan.

"Siap bang!" sahut Galang.

"Reza juga mau spidol Bang," rengek Reza dengan wajah memelas.

"Iya, nanti Abang belikan juga buat Reza," balas Keenan.

Reza tersenyum senang, "Terima kasih Abang Keenan."

Galang dan Keenan tersenyum. Tangan kanan Keenan mengacak-acak rambut mohawk milik Reza. Sedangkan Galang yang sedari tadi sudah gemas dengan adik senasibnya itu segera mencubit pipi gembil Reza dan berlalu menuju mobil Range Rover Keenan.

"Abang!!!" pekik Reza geram kemudian berlari menyusul Galang untuk membalas.

Keenan tersenyum melihatnya. Sudah lama ia tak pernah tersenyum tanpa beban seperti malam ini.

---

Gadis menatap buku di atas mejanya dengan tatapan kosong. Tangan kanannya memainkan pensil dengan perlahan. Bertemu dengan Keenan membuatnya kembali merasa tak nyaman. Lima tahun dirinya berusaha menghindar dari kedua sahabat tercintanya, Keenan dan Kara. Namun hari ini rasanya usaha Gadis selama ini kembali sia-sia. Entah mengapa takdir selalu menempatkan dirinya dalam posisi tersulit. Ia seakan tak mempunyai pilihan lain untuk menghindar. Bayangan Keira pun selalu muncul di benaknya. Keira, Keenan, Kara, tiga nama yang sedang menari-nari di otaknya saat ini. Membuatnya kembali mengingat hal mengharukan yang terjadi di sekolahnya siang tadi.

***

Gadis tersenyum sembari bertepuk tangan ketika melihat Keira menerima piala. Keira mungkin akan mendapatkan juara satu, jika dirinya tak membantu menjawab kala itu. Keira segera berlari ke ayahnya sesaat setelah menerima sebuah piala juara harapan. Ayahnya segera mengangkat tubuh mungil Keira untuk digendong. Membuat senyum Gadis tersungging kembali ketika melihat kedekatan Keira dan ayahnya.

"Anak Ayah kenapa ini, hmmm?!" tanya Keenan sembari mengusap punggung Keira.

Keira memeluk ayahnya dengan erat. Ia menenggelamkan wajahnya di antara bahu dan leher Ayahnya.

"Keira, kenapa? Kok anak Mama jadi gini sih?!" tanya Oma Keira.

Sedangkan Opanya hanya tersenyum melihat cucunya seperti itu.

"Keira nggak juara satu Yah. Miss Anind dan teman-teman pasti kecewa sama Keira," keluh Keira yang membuat ayahnya, oma dan opanya tersenyum.

"Kata siapa Keira nggak juara satu? Keira tetap juara, dan akan selalu menjadi nomor satu buat Ayah," ucap Keenan menenangkan.

Keira mengangkat kepalanya, lantas menatap wajah tampan ayahnya sembari mengerucutkan mulutnya, "Tapi ini sama aja Keira kalah!"

"Sini Sayang, lihat Mama!" titah Oma Keira sembari mengusap punggung cucu kesayangannya.

Keira pun menurut. Ia memandang omanya dengan lekat.

"Menang atau kalah itu biasa. Keira sudah menjadi pemenang sejak awal. Lihat, cuma Keira yang di pilih Miss Anind untuk mewakili kelas. Iya kan?" ucap Oma Keira.

"Miss Anind sudah menunggu Keira itu," ujar Opa Keira.

Keira langsung menoleh ke arah Gadis. Gadis pun tersenyum, membuat kedua sisi bibir Keira terangkat ke atas.

"Ayah, Keira mau ke tempat Miss Anind," ujar Keira.

Keenan tersenyum, kemudian menurunkan Keira dari gendongannya. Senyum manis Keira pun mulai menghiasi wajah cantik imutnya. Keira bergegas menghampiri Gadis setelah ayahnya menurunkannya dari gendongan.

"Ini buat Miss Anind," ujar Keira sembari menyodorkan piala kecil yang berada di genggaman kedua tangannya.

Gadis tersenyum lantas menumpukan lututnya untuk berdiri sejajar dengan Keira, "Itu punya Keira. Keira boleh membawa pulang pialanya."

"Ini juga punya Miss Anind. Miss sudah membantu Keira tadi, dan ini untuk Miss Anind," ucap Keira tulus.

Keenan berdiri tegap dalam diam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana slim fit-nya. Kedua matanya menatap Gadis dan Keira dengan tatapan tajam menyeruak. Rasanya ia ingin memeluk keduanya dengan erat tanpa ingin melepaskannya kembali.

"Jadi, ini piala milik kita?" ujar Gadis yang disambut anggukan kepala dari Keira.

Gadis pun tersenyum, "Kalau begitu, pialanya Keira saja yang simpan. Ini hadiah dari Miss Anind untuk Keira. Bagaimana?"

Keira mengangguk menjawab pertanyaan Gadis, "Terima kasih Miss Anind," ucap Keira.

Gadis tersenyum, "Sama-sama Keira."

"Miss," panggil Keira sembari menatap Gadis dengan lekat.

"Iya Keira, ada apa?"

"Bolehkah Keira memanggil Miss Anind 'Bunda'?"

Deg.

Gadis terperanjat. Begitu pula dengan Keenan. Jantung keduanya tiba-tiba saja berhenti berdetak. Keduanya terlalu terkejut mendengar permintaan Keira. Sedangkan Gadis merasa dadanya sesak karena terkejut bercampur haru. Kedua matanya pun mulai merebak dan memanas. Berusaha menahan air mata yang hampir menetes.

"Keira janji, Keira akan memanggil Miss Anind 'Bunda' kalau di luar sekolah. Boleh kan Miss?" pinta Keira memohon.

Gadis terdiam. Ia menoleh ke arah Keenan, sahabatnya, yang sekaligus adalah ayah Keira. Mereka saling beradu pandang. Keira pun menoleh ke belakang. Ia menatap Ayahnya yang hanya terdiam.

"Ayah, boleh kan?" tanya Keira meminta ijin.

Perlahan namun pasti, kepala Keenan mengangguk. Ia pasti akan mewujudkan keinginan putri semata wayangnya dan juga cita-citanya sedari dulu, menjadikan Gadis sebagai wanita terakhir di hidupnya. Sebulir air mata Gadis menetes tanpa ijin. Gadis tersentak saat sentuhan lembut dari tangan Keira menyeka air matanya.

"Kenapa Miss Anind menangis? Keira nggak akan memaksa kalau Miss Anind nggak mau. Buat Keira, Miss Anind adalah Bunda Keira." Keira mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

Gadis terenyuh. Air matanya kembali menetes. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Keira kembali menghapus air mata yang membasahi pipi Gadis.

"Miss Anind, jangan menangis lagi ya! Maafkan Keira," tutur Keira merasa bersalah.

Gadis menggeleng. Lidahnya seakan kelu untuk membalas ucapan Keira. Ia menatap Keira dengan tatapan teduh namun menyedihkan. Sorot mata Keira menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Gadis tahu apa yang sedang Keira rasakan saat ini.

"Keira pulang dulu ya Miss," pamit Keira karena sedari tadi tak mendapat respon apa pun dari Gadis.

Gadis menggenggam tangan Keira. Ia menahan Keira untuk beranjak pergi. Membuat Keira bingung dan hanya terdiam menatap guru tersayangnya. Kebingungan itu mulai terlihat jelas dari raut wajah Keira yang sangat mudah terbaca oleh semua orang. Keenan, oma dan opa Keira hanya mampu terdiam melihatnya. Ketiganya seakan tak mampu untuk berucap apa pun melihat apa yang Keira lakukan.

"Keira," ucap Gadis mencoba untuk bersuara.

Gadis menelan saliva kembali dengan susah payah. kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Keira boleh memanggil Miss Anind dengan sebutan Bunda," lanjut Gadis, "kapan pun Keira mau."

Senyum bahagia Keira tersungging. Ia segera mengalungkan kedua tangannya di leher Gadis. Ia memeluk Gadis dengan sangat erat. Membuat kedua sisi bibir Keenan sedikit tertarik ke atas dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Selama ini Keira tak pernah menanyakan ibunya. Hanya satu kali Keira pernah menanyakan kemana ibunya kepada Keenan. Ia menanyakannya ketika dirinya baru menjadi siswa baru di taman kanak-kanak. Dan sekarang ia pun mengerti bahwa ibunya tak akan pernah menemaninya sampai kapanpun.

"Terima kasih Bunda," ucap Keira diiringi air bening yang menetes dari kedua matanya.

Gadis mengangguk. Lidahnya kelu. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir tipisnya. Ia menangis terharu. Dipeluknya Keira dengan erat. Mencoba mencari pereda sakit untuk dadanya yang merasa sangat sesak. Ia tak bisa menghindari masa lalunya kali ini. Tidak akan pernah bisa.

***

"Miss!" seru Glandis, salah satu murid Gadis di Bimbel.

Gadis bergeming. Ia masih terhanyut dalam lamunannya. Semua murid-muridnya menatap Gadis dengan tatapan yang berbeda-beda.

"Miss Anind!" pekik Rafi menyadarkan.

Gadis tersentak mendengar pekikan salah satu murid lesnya.

"Akhirnya, Miss Anind kembali juga ke dunia nyata," celetuk Ricky.

Gadis mengerutkan dahinya, "Have you finished?"

"Not yet Miss," jawab ke enam murid-muridnya serempak.

"Habis ketemu mantan ya Miss?" ledek Revo.

Gadis terkesiap. Tubuhnya menegang seketika. Ia terdiam. Semua murid-muridnya tersenyum kala melihat perubahan di raut wajah Gadis.

"Miss Anind butuh aqua?" tawar Rafi dengan nada meledek.

Murid -murid Gadis pun kembali tertawa membahana. Gadis tersenyum kikuk. Ia terbiasa dengan ledekan dan celotehan aneh dari murid-murid lesnya yang bertingkat menengah ke atas. Gadis selalu memposisikan dirinya sebagai teman untuk murid-muridnya. Candaan dan lelucon-lelucon khas mereka itu seperti pasokan energi dan semangat baru untuknya.

"Okey, back to your assignment!" titah Gadis.

Murid-muridnya pun terkikik geli melihat wajah cantik Gadis yang mulai bersemu memerah.

"Miss, what's the meaning of opposite?" tanya Dyah.

"Nomor berapa Dyah?" tanya Gadis.

"Number twenty six Miss," sahut Vina.

Gadis pun segera mencari nomor yang dimaksud, "It means that opposite has the same meaning with antonym."

"So, what's the antonym of the word send in the text?" lanjut Gadis.

"C Miss," jawab Revo.

"Check your dictionary Revo!" Seru Gadis gemas.

"Bener dong Miss, deliver kan artinya juga bisa mengirim," protes Rafi.

Gadis menepuk dahinya perlahan, lantas menghela dan mengembuskan napasnya perlahan, "Butuh aqua berapa galon Raf?!"

Glandis, Dyah, Vina, Ricky, Revo tertawa mendengar ucapan Gadis yang sedang meledek Rafi dengan ledekan yang sama. Rafi tersenyum.

"Antonym Bro! Lawan kata," seru Ricky yang membuat Rafi malu.

"D Miss, receive," sahut Glandis.

"Yes, right. The answer is receive," Jawab Gadis.

Gadis melirik jam tangannya yang melingkar manis di tangan kanannya. Di sana telah menunjukkan pukul delapan malam. Ia pun segera mengakhiri sesi belajar tambahan malam ini bersamaan dengan bel yang berbunyi.

"Okey, it's enough. Thanks for your attention and see you next time," ucap Gadis.

"See you, Miss Anind," balas semua muridnya serempak.

Mereka saling mengantri untuk menjabat tangan Gadis. Murid lelakinya selalu menggoda Gadis sebelum mereka beranjak pulang.

"I'll always miss you, Miss Anind, in every single day," ucap Rafi setelah mencium punggung tangan Gadis.

Gadis terkekeh geli. Ia sudah terbiasa dengan goda-godaan konyol dari murid-murid lelakinya yang baru saja mendapat SIM dan KTP.

"Modus lo!" pekik Glandis dan Dyah bersamaan.

Gadis tersenyum simpul. Sedangkan Revo berjalan sembari menoyor kepala Rafi.

---

"Bagaimana kabar Ayah dan Bunda kamu, Keenan?" tanya Ummi Salma, Kepala Pengurus di panti.

Keenan tersenyum, "Alhamdulillah, Ayah dan Bunda sehat."

"Syukurlah, Ummi sudah lama tidak bertemu dengan mereka. Dengan Bunda kamu saja hanya lewat telepon," cerita Ummi Salma.

Keduanya saling melempar senyum. Anak-anak di panti terlihat bahagia ketika melihat Keenan membawa beberapa jenis makanan dan minuman. Mereka saling berebut, namun mereka pun juga saling berbagi. Dua kebiasaan yang selalu mewarnai kehidupan di panti. Kebiasaan yang selalu membuat Keenan merindukan suasana bahagia di panti.

"Keenan, kamu kesini untuk bertemu dengan Gadis?" tebak Ummi Salma.

Keenan mengangguk. Ummi Salma terdiam sembari menatap Keenan dengan lekat, lantas tersenyum. Ia mengetahui segalanya tentang Gadis dan Keenan dulu. Ia adalah satu-satunya orang yang sangat dekat dengan Gadis sepeninggal kedua orang tuanya, sekaligus pemilik panti ini.

"Gadis telah berubah saat ini. Dia bukan Gadis yang dulu kamu kenal. Ummi harap kalian bisa menyembuhkan luka di hati kalian berdua. Luka yang telah kalian buat sendiri," ujar Ummi yang membuat Keenan terperanjat.

Keenan terdiam. Jantungnya kembali berdetak tak normal, diiringi hatinya yang merasa teriris dan teremas.

"Ummi tahu apa yang kalian lakukan dulu adalah bentuk kasih sayang kalian terhadap Kara. Kalian selalu memikirkan perasaan orang yang sangat kalian sayangi. Namun kalian juga yang membuat diri kalian terluka," lanjut Ummi Salma.

"Apakah kalian memikirkan perasaan Kara saat itu?!" tanya Ummi Salma, "dia pun ikut merasakan sakit atas apa yang kalian perbuat. Berulang kali Kara meminta maaf kepada Ummi dan memohon agar bisa bertemu dengan Gadis. Hingga akhirnya Ummi mendengar kabar bahwa Kara sudah meninggal."

"Maafkan Keenan Umi," ucap Keenan menyesal.

Lidah Keenan seakan kelu. Ia benar-benar merasa tertohok atas cerita Ummi tentang almarhumah istrinya, Kara. Bukan hanya Kara yang merasakan kesakitan itu, Keenan pun merasakan hal yang sama.

"Semua sudah berlalu, Ummi berharap kamu dan Gadis bisa memperbaiki hubungan kalian seperti dulu. Ummi rindu dengan kalian berdua," ujar Ummi menasehati Keenan.

Keenan tersenyum, "Aamiin. Semoga Gadis mau bertemu dengan Keenan sekarang."

"Ummi selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Ummi, terutama kamu dan Gadis," balas Ummi.

"Terima kasih Ummi," ucap Keenan.

Suara nyaring dari motor matic pun terdengar. Ummi tersenyum sembari menatap Keenan.

"Itu Gadisnya kamu. Ingat pesan Ummi, jangan biarkan Gadis pergi lagi!" peringat Ummi Salma.

Keenan mengangguk. Beberapa anak-anak pun berhamburan untuk masuk ketika Gadis datang. Jam malam mereka untuk bermain di luar rumah akan habis ketika Gadis pulang dari tempat Bimbel.

"Assalamualaikum," salam Gadis dengan nada yang semakin melirih.

Gadis berdiri terdiam di ambang pintu. Kakinya seakan tak bisa bergerak ketika kedua matanya menatap sesosok orang yang sangat ingin dihindarinya, Muhammad Keenan Alyan Al Khatiri. Lelaki yang dulu pernah mengisi hatinya, dan hingga detik ini tak ada yang bisa menggantikan posisinya.

"Wa'alaikumsalam," sahut Ummi.

Keenan terperanjat ketika Gadis mengucapkan salam. Jantungnya seakan lolos dari tempatnya. Ia memandang Gadis dengan tatapan tajam mengintimidasi, seakan meminta jawaban atas apa yang didengarnya beberapa detik yang lalu.

"Ummi tinggal dulu ya," pamit Umi kepada Keenan dan Gadis.

Gadis masih bergeming di tempatnya. Mereka berdua saling beradu pandang. Detak jantung keduanya memacu dengan kencang dan keras. Helaan napas Keenan berembus sebelum melangkahkan kakinya ke arah Gadis.

Kedua kaki Gadis merasa kaku seketika. Jikalau bisa, ia pasti sudah berlari untuk menghindari Keenan. Salah satu kakinya mulai bergerak untuk melangkah. Dengan gerak cepat Keenan segera menahan lengan Gadis agar tetap di tempat.

"We need to talk Dis!" ucap Keenan.

Mulut Gadis sedikit terbuka untuk menyela. Namun lidahnya terlalu kelu untuk berbicara.

Tbc.

****

"Semoga bisa menghibur dan berharap feelnya berasa," harap author.

"Oh, ternyata ada ceritanya si bocah tengil juga rupanya," protes Raka.

"Wohooo ..., sabar Om Rakanya Keenan. Sekarang giliran Keenan dulu yang mau eksis," timpal Keenan.

"Ceritamu ribet Keenan, mainstream banget! Nggak yakin deh ini cerita bakal booming kayak cerita Cintanya Raka," ucap Raka dengan over confident.

"Bodo! Biar kata mainstream asal kemasannya bagus, ya nggak masalah," bela Keenan.

Cinta dan Gadis hanya terdiam memandang dua orang lelaki tampan yang masing-masing telah mengisi hati mereka. Author hanya memainkan bolpoinnya sembari menatap Keenan dan Raka yang sedang beradu mulut.

"Kakak, yang adil dong! Masa ini update satunya nggak? Udah banyak yang nunggu noh!" protes Raka geram.

"Ya elah Om, ini baru juga di update setelah sekian lama. Punya Om udah sering kali. Yang tua ngalah dong!" sungut Keenan tak kalah kesal.

"Sing waras ngalah lak wes!" ucap author santai.

Keenan dan Raka langsung menoleh ke arah author dan menatapnya dengan tajam.

"Apa kalian lihat-lihat? Mau ceritanya semakin berantakan dan aneh? JUST YOU jadi main tembak-tembakan, terus DIA jadi kembali ke masa lalu. Mau hah?!" sungut author.

"Boleh tuh kak main tembak-tembakan. Aku mau deh kalau nembak Gadis lagi. Biar dia jadi bini gue," timpal Keenan diiringi tawanya yang membahana.

"Sorry ya kembali ke masa lalu, nggak level!!! Masa depan gue lebih indah dari pemandangan di Maldives," balas Raka.

"Cieee... yang masa lalunya suram," ledek Cinta.

"Sayang, aku bungkam nih mulut kamu!" geram Raka.

"Come, come, can't wait baby!" balas Cinta menantang.

"Cinta! Raka! Keluar kalian dari ruangan gue sekarang!!!" pekik author sebelum Cinta Raka memulai aksinya.

Repost 230517.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top