14
Katakan jika kau butuh seseorang.
Katakan jika kau membutuhkan perlindungan.
Semua mengkhawatirkan mu.
•
•
•
Soukoku
Selamat membaca
__________________
Di hari natal saat itu Dazai ingat dengan betul bagaimana acara perpisahan nya dengan Chuuya. Anak senja itu diadopsi sepasang suami istri yang ternyata adalah paman kandung Chuuya. Anak itu tersenyum senang saat mengetahui ia masih memiliki keluarga yang tersisa. Di hari perpisahan itu Dazai memberikan gelang yang ia buat sendiri, katanya jangan pernah Chuuya melupakan nya, ia akan menyusul Chuuya ke Yokohama suatu saat nanti.
Itu janji Dazai, dan Chuuya berjanji untuk tidak akan pernah melupakan nya.
Dazai tidak rela ditinggal pergi seperti ini akan tetapi melihat senyum bahagia yang terukir di wajah Chuuya membuatnya hanya bisa pasrah.
Asalkan Chuuya bahagia itu sudah cukup.
🌹🌹🌹🌹🌹
"Tiga bulan setelah kau pergi dari panti aku juga diadopsi. Oleh seorang pasangan yang memiliki kehidupan bagus. Ayah ku seorang dokter dan ibu ku seorang perawat." Dazai menjelaskan setelah Chuuya berhenti bercerita.
"Siapa?"
"Mori Ougai. Dia ayah angkat ku. Ibu ku meninggal karena kecelakaan."
Chuuya mengangguk, ia kembali menatap langit di malam hari. "Bibi ku juga meninggal karena sakit. Seseorang yang sudah ku anggap sebagai ibu."
"Kau bilang Oda saku itu paman mu? Artinya dia mengenal seseorang yang mengadopsi mu?"
"Ya, tentu saja dia mengenal nya. Tapi paman ku itu tidak tahu jika aku tinggal di sini." Chuuya tersenyum kecut. "Mungkin tidak akan mempedulikan lagi."
"Itu bagus artinya kau bisa pindah sekolah."
Semilir angin diniatkan memainkan anak rambut senja. Memperhatikan seseorang yang sangat berharga itu di pintu depan. Bagaimana caranya memakai sepatu kala hendak berangkat pergi. Ia tidak dapat menahan kepergian nya karena orang itu juga memiliki keluarga, ia hanya mempersilahkan nya datang dengan pintu terbuka lebar.
Hari ini sang paman melarangnya untuk ke Sekolah, ia bilang akan menyelesaikan semuanya untuk memastikan keamanan Chuuya. Dazai juga setuju dengan keputusan itu, ia bahkan yang melarang Chuuya lebih sering daripada sang paman.
"Kau tidak apa sendirian?"
Hening menyapa. Sang senja terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan teman di hadapan nya itu. Mengulum bibir sendiri akibat afeksi menahan kalimat di ujung lidah.
Namun pada akhirnya Chuuya hanya mengangguk sebagai penjawab.
Dazai mengulas senyum lembut.eraih tangan mungil seseorang yang ia sayangi, permukaan tangan di elus lembut seolah mengutarakan perasaan khawatirnya.
"Telfon aku atau Oda jika terjadi sesuatu."
Seharusnya ia di sini saja menetap bersama. Menjaga si senja itu jikalau paman jahatnya tiba-tiba datang hendak menyakiti, akan tetapi Oda berkata kalau kakak nya itu tidak mengetahui rumahnya. Dazai memahami mengapa keluarga ini saling menutup diri satu sama lain. Ada yang melindungi diri sendiri dan ada yang dilindungi. Brunette itu lega mengetahui tidak lagi ada jarak canggung antara Chuuya dan sang guru.
Genggaman tangan di lepas, meraih bag sport nya setelah memakai sepatu.
"Aku akan langsung ke sini setelah-"
"Tidak. Ayah mu pasti merindukan mu di rumah."
Kalimat itu tak terselesaikan. Dazai terdiam menatap, memikirkan dengan dalam kalimat yang barusan Chuuya lontarkan. Detik jam dari ruang tengah terdengar, mungkin efek dari hening nya suasana membuat suaranya dapat berdetak lebih kencang.
"Baiklah."
Padahal ia ingin lebih lama bersama sang lentera. Padahal ia ingin lebih lama menghabiskan waktu dengan si senja. Perasaan yang memahami arti kerinduan pada sebuah keluarga itu membuatnya melarang nya untuk datang setelah pulang Sekolah. Dazai memaklumi hal itu dan ia tidak kecewa karena nya.
Di tempelkan bibir nya pada kening sebelum ia benar-benar beranjak pergi. Ia akan kesepian di Sekolah, tanpa si senja siapa yang akan ia goda hingga wajahnya kemerahan menahan kesal? Dazai menyukai respon si lentera kala ia mengusik ketenangan nya.
"Jaga sarapan mu. Aku pergi dulu."
Ia menjauh. Membuka pintu kemudian melangkah keluar. Dirinya berbalik sejenak hanya untuk menatap Chuuya di sisa waktu.
"Sudah sana, kau bisa terlambat."
"Bahkan Oda baru saja berangkat sepuluh menit yang lalu."
"Dia guru, jadwal nya tidak ada yang pagi hari ini."
"Jadi karena guru dia bisa datang terlambat?"
Chuuya faham kalau Dazai sengaja menciptakan keributan kecil ini hanya untuk mengulur waktu, ia tidak sebodoh itu. Maka dari itu tangan nya mendorong punggung kokoh itu untuk segera berangkat. Chuuya hanya tidak ingin melihat Dazai menambahkan daftar telat nya di dalam buku guru piket.
🌹🌹🌹🌹🌹
Derap kaki melintas cepat di jalanan Yokohama setelah mendapatkan sebuah telfon dari seseorang yang ia pikirkan keselamatan nya selama di Sekolah. Dazai pulang lebih lambat karena menghadiri jadwal les piano nya dan ia kesal karena itu. Seharusnya ia tidak pernah menyetujui keputusan ayah nya soal les apapun itu. Ia bisa belajar privat di rumah mengingat memiliki fasilitas yang lengkap.
Dadanya bergemuruh kala membayangkan kondisi sang lentera seperti apa yang dijelaskan di dalam sebuah panggilan lima belas menit yang lalu.
Oda mengatakan mendapati keadaan Chuuya bersimbah darah di rumahnya ketika ia pulang namun sosok senja itu tidak sekarat. Ia masih bisa terduduk lemah seraya bersandar di tembok dengan tangan yang menahan luka pendarahan nya. Pria yang usianya hampir berkepala tiga itu lantas membawa sang keponakan ke rumah sakit dengan cepat.
Mengingat hal itu membuat larian nya tidak fokus, ia hampir terjungkal mencium aspal kala kakinya saling menyandung satu sama lain. Decakan kesal terdengar, otaknya tidak merespon cepat. Mengapa tidak menggunakan taksi dari sebelumnya agar cepat?
Segera ia memanggil taksi kemudian memerintahkan sang supir untuk mengemudi dengan cepat. Ia tidak peduli aturan lalu lintas sekarang, difikirkan nya hanya ada keselamatan sang senja.
🌹🌹🌹🌹🌹
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Dazai bertanya setelah melihat kondisi Chuuya di ruang IGD.
Iris kecokelatan nya tak putus menatap dalam. Menyesali kebodohan nya karena meninggalkan Chuuya sendirian. Bukan hanya dirinya, sang paman juga menyalahkan dirinya sendiri. Dazai memahami hal itu setelah melihat raut wajah semi sendu nya.
"Kakak ku sepertinya datang dan memaksa Chuuya kembali akan tetapi ia menolak dan terjadilah keributan."
"Chuuya tidak menelfon?"
"Bagaimana ia bisa menelfon ketika tubuhnya di tusuk tiga kali?"
Dazai mengulum bibir nya rapat rapat. Tak lagi bicara setelah Oda mengatakan hal itu. Pria paru senja baya itu benar, jika ia berada di posisi Chuuya ia tidak akan sanggup meraih ponsel nya yang terletak di kamar sementara ia tengah sekarat di ruang tengah.
"Apa dia akan baik baik saja?"
"Tidak mengenai titik vital, semoga saja ia cepat sadar."
Hening sejenak. Biarpun kedua nya tampak tenang namun di hati mereka terdapat gemuruh yang melanda. Bahkan keduanya tak saling mengakrabkan diri seperti sebelum sebelum nya di saat situasi sedih seperti ini. Oda maupun Dazai kalut dalam pikiran masing-masing juga menyalahkan diri sendiri.
"Chuuya..tertidur." Suara Oda kembali memecahkan keheningan
Menarik atensi Dazai kembali pada nya.
"Ia membutuhkan waktu cukup lama untuk istirahat. Dokter bilang luka di tubuhnya infeksi, karena hal itu dapat membahayakan keselamatan nya."
"Maksud mu?"
"Ia bisa koma kapan pun karena pendarahan kecil di kepala. Mungkin ia pernah terbentur dengan keras atau dihantam sesuatu."
Pernah, kepala Chuuya sering berbenturan dengan benda keras atau dihujam dengan kencang. Ingatan ketika Dazai mendapati Chuuya dihantam tongkat besbol oleh tiga orang di Sekolah kembali terlintas, kemudian ketika ia mendapati Chuuya dalam kondisi memprihatinkan di malam hari.
Chuuya menahan sisa sakit itu walau sudah diobati.
"Mengapa dia menahan nya? Oda kembali membuka suara.
"Karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Karena ia tidak ingin membuat seseorang repot karena nya." Dazai menjawab tanpa menatap Oda.
Bersambung
Next?
09/07/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top