xvii. kepunahan bisa disebabkan oleh huruf kapital yang tidak pada tempatnya

a.n oke, sebelum kalian mulai baca chapter ini, aku mau minta maaf karena cerita ini molor banget update-nya. Maaf banget yaa : ( Dan, btw, ini adalah chapter terakhir dari cerita penyihir-penyihiran ini. Maaf ya kalau ceritanya absurd abis dan gajelas. Haha. Selamat membaca semua! : )


--


Saya memelotot.

"Pranada?!" tanya saya. "Dia salah nulis apa gimana? Soalnya, nama keluarganya dia Hartana. Mirip-mirip lah, sama nama musuh bokap gue. Siapa tahu aja, bokap gue yang enggak tahu soal musuhnya dia...."

Fia mengangkat bahunya. "Gue juga enggak tahu, Sa."

Saya menoleh ke arah Naufal yang masih tertidur pulas. "Bangunin aja si Naufal," kata saya. Saya sudah berderap ke arah kasur Naufal, bak kuda penuh nafsu menuju medan perang, ketika Rangga berbicara.

"Woy, ada kertas terbang," katanya.

Saya sontak menoleh ke arah Rangga. Cowok itu memungut kertas putih yang tergeletak di atas lantai. Saya dan Fia menghampiri Rangga.

Rangga meletakkan kertas tersebut di atas meja. Kami membacanya.

NAUFAL HARTANA, gue kasihan sama lo.

Gue tahu, lo DISURUH BOKAP LO BUAT ngerjain anak musuhnya kan? NAMA MUSUH BOKAP LO Anton Pranada?

Nah, dia BOKAP GUE. Artinya, lo disuruh buat NGERJAIN GUE. Bikin gue enggak lulus UN dan sebagainya.

Tapi emang lo yang tolol ATAU GIMANA, LO malah ngincer si ARSA. ARSA emang penyihir, tapi DIA PRADANA. Harusnya lo ngincer gue, TIARA PRANADA.

Gue SENDIRI ENGGAK keberatan, soalnya ARSA EMANG NGESELIN. Dia gunain GUE DAN malu-maluin GUE DI KELAS. Tapi TETEP AJA, gue kasihan sama LO, FAL.

Untuk ARSA, gue tahu lo bakal baca INI. GUE BISA lihat masa depan.

Intinya, GUE MAU BILANG, pas Rangga ngerebut SENTER lo, dia itu dibawah sihir GUE. Gue NGENDALIIN RANGGA kayak lo ngendaliin gue waktu itu.

Gue YANG SEBENERNYA pengen ngerebut SENTER LO. Tapi, lo MALAH NGEREBUT SENTER lo dari Rangga, dan gue gagal. TAPI, gue waktu itu MASIH BISA ngontrol RANGGA--walaupun DIKIT-DIKIT, dan cuma SATU KALI. Satu kesempatan itu, GUE GUNAIN buat bikin RANGGA NGOMONG biar kalian ke RUMAH LO (gue tahu kalian BERDUA CABUT). Gue sebenernya MAU GUNAIN Rangga lebih lanjut, TAPI EFEK SIHIRNYA udah abis.

Untung, LO NGERJAIN GUE DI KELAS Bahasa Indonesia. Gue jadi PUNYA ALESAN buat ngambil senter lo. TAPI, LO gagalin rencana gue lagi.

Kalau lo tanya gue, kenapa gue mau ambil SENTER LO, gue kasih tahu lo, ya, SENTER LO ITU salah satu dari sekian banyak TONGKAT SIHIR TEREFEKTIF di BPP.

Tapi ya UDAH, LAH. GUE BISA CARI yang lain. BANYAK AIR di laut.

Untuk RANGGA, DAN FIA.

Rangga, LO PERNAH GUNAIN GUE buat manggil TEMEN-TEMEN LO. Lo KIRA GUE TOA?!

Tapi, gue kayaknya harus bilang MAKASIH sama LO. SOALNYA, waktu Fia sama Arsa nyari GAGASAN UTAMA, gue masuk barengan sama LO. Jadi, si FIA ngiranya, LO YANG PENYIHIR, bukan GUE.

Fia, LO udah nyuruh ARSA buat malu-maluin gue. DAN, LO bikin gue repot dengan HARUS BELAJAR CARA nyembunyiin aura KEPENYIHIRAN GUE dari lo, setelah lo coba-coba cara GAGASAN UTAMA WAKTU ITU (berhasil sih. Lo enggak PERNAH NGERASAIN aura-aura dari gue, kan? Tapi caranya RIBET BANGET).

Oke, TERAKHIR, gue cuma mau bilang, NAUFAL, ARSA, RANGGA, DAN FIA, kalian semua PUNYA SALAH SAMA GUE. (Buat Naufal, karena bokap kita MUSUHAN.)

Gue udah BILANG, KAN, gue bisa lihat masa depan? NAH, GUE BISA LIHAT, kita bertiga keterima di SMAN 999.

Jadi, HATI-HATI aja.

Tiara (BUKAN TOARA) Pranada (BUKAN PRADANA).

"Mata gue sakit bacanya," kata Rangga. "Bu Indah pasti langsung tewas kalau baca surat ini."

Saya tidak bisa tidak setuju. Kayaknya, ketoaan (apa itu bahkan kata?) Toara, udah menyebar ke tangannya, jadi dia nulis kayak gitu. Bener kata Rangga, Bu Indah pasti langsung punah kayak dinosaurus waktu baca surat Toara.

Tapi, bukan itu yang pertama kali saya pikirkan.

"GUE KETERIMA DI SMAN 999?!" tanya saya tidak percaya. "Wah, NEM gue berapa, ya?"

"Hah? Gue juga dong?!" tanya Fia, terdengar tidak percaya. "Gue enggak jadi pakai KJ lho, Sa."

"KALIAN NGAPAIN?!"

Saya, Fia, dan Rangga menoleh ke asal suara. Itu Naufal, yang sekarang udah duduk di kasurnya, menatap kami dengan ngeri.

"Fal, kita keterima di SMAN 999," kata saya, masih tidak percaya.

Naufal melongo. "Hah? NEM udah diumumin? Gue barusan jadi Aurora apa gimana? Kok gue enggak inget? Gue udah tidur berapa hari?"

Rangga menghela napas. "Oke, bukan itu intinya."

Naufal tampak bingung. "Apa?"

Rangga melemparkan surat dari Toara ke Naufal. Naufal menangkap surat tersebut, kemudian membacanya.

Setelah selesai, dia mendongak menatap kami dengan bingung.

"Oke, pertama, kenapa kalian di sini?" tanya Naufal.

Fia tampak salah tingkah. "Gue ngawasin lo. Gue ngira lo yang ngasih sihir ke Arsa biar dia enggak lulus UN... dan ternyata bener!"

Naufal mengangkat bahunya. "Emang gue."

Saya melongo. Kenapa dia bisa santai banget?!

"Tapi lo salah orang!" seru saya.

"Emang," kata Naufal. "Gue salah denger. Gue kira nama lo Pradana, Sa."

"Nama gue emang Pradana!"

"Berarti, gue enggak salah orang, dong?"

"Lo disuruh ngincer Pranada!" desis Rangga. "Si Toara. Dia Pranada."

Naufal tampak sedang berpikir. Beberapa saat kemudian, dia membulatkan mulutnya. "Ooh," katanya. "Berarti gue salah orang."

Saya melongo. "Lo dengan gampangnya bilang gitu? Kalau bukan karena Rangga nangkal sihir lo, gue bisa ngulang setahun lagi di SMP!"

Naufal mengangkat bahunya. "Sori. Semoga lo lulus, deh."

Saya menghela napas. "Baca dong di situ, gue keterima di SMAN 999."

Naufal membaca surat itu lagi. "Berarti lo lulus?"

"Menurut lo aja," balas saya.

"Woy, kita berempat punya masalah yang lebih serius sekarang," kata Fia, memotong percakapan gila saya dengan Naufal.

"Bener," kata saya.

"Kita berempat bakal mampus di SMA," sambung Fia.

"Tenang aja, SMAN 999 kan gede. Kemungkinan kita sekelas lagi sama Toara, itu kecil," kata Rangga.

"Biarpun enggak sekelas, kita tetep bisa mampus," kata Fia.

"Kira-kira, dia bakal ngelakuin apa ke kita?" tanya saya.

Fia menghela napas. "Kemungkinan terburuknya, dia bisa aja bikin kita enggak naik kelas sampai umur kita seratus tahun lebih."

Saya membayangkan diri saya menjadi nenek-nenek berumur seratus tahun lebih, masih memakai seragam putih abu-abu. Saya nyaris bisa melihat, nama di baju saya. Di situ tertulis Limaenam Tujuhdelapan.

Saya menggeleng-gelengkan kepala saya, berusaha mengusir bayangan mengerikan itu jauh-jauh.

Saya berusaha memikirkan mantra penenang. Tapi satu-satunya mantra yang terpikirkan oleh saya sekarang cuma,

Tolongguemampus.[]

24 Mei 2017

"Ini ada apa, sih?" tanya Naufal. "Gue enggak ngerti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top