ix. buktinya, ada senyawa
Saya baru sempat mengecek nasib ponsel saya begitu Rangga pulang ke rumahnya. Dan seperti yang sudah saya perkirakan, teman-teman saya heboh menanyakan kenapa saya dan Rangga tiba-tiba lenyap dari sekolah.
Baru kali ini saya merasakan yang namanya kebanjiran notifikasi LINE.
Saya tahu saya menyedihkan.
Notifikasi sih, kebanyakan dari grup LINE. Mulai dari grup LINE kelas, grup LINE cewek-cewek kelas IX-2, sampai grup LINE bangku barisan tengah (ini seriusan ada. Saya termasuk di dalamnya. Grup ini emang semacam grup kurang kerjaaan yang berdirinya dipelopori oleh Manda.)
Ada beberapa notifikasi lewat pesan pribadi juga. Paling banyak sih, dari Fia.
Nafiara Wijaya: Woy, kok lo ilang?
Nafiara Wijaya: Gue punya firasat aneh.
Nafiara Wijaya: Kok Rangga juga ilang?
Nafiara Wijaya: Lo kabur sama Rangga?
Nafiara Wijaya: Woy, ini ada hubungannya sama sihir, kan?
Nafiara Wijaya: WOYYY
Nafiara Wijaya: jangan kacangin gue woy!
Nafiara Wijaya: Songong banget lo
Nafiara Wijaya: Gue tadi sempet ngerasain ada bau-bau sihir gitu
Nafiara Wijaya: Mana sempet gue ngerasa kecekek gitu lagi
Nafiara Wijaya: Abis itu lo ilang
Nafiara Wijaya: Maunya apa sih
Nafiara Wijaya: ARSAA
Nafiara Wijaya: Gue enggak bisa diginiin.
Saya membalas,
Arsara Pradana: Besok gue jelasin di sekolah.
Saya kemudian membuka notifikasi chat saya dengan Kania.
Kaniara: Arsaa. Lo kok ilang, sih? Sama Rangga lagi
Kaniara: Lo masih mau denger cerita gue enggak?
Kaniara: Eh, ceritanya enggak bisa sekarang, deh. Gue masih sakit hati : "
Saya membalas,
Arsara Pradana: Terserah, asal bener lo bakal cerita.
Saya sengaja tidak menjawab pertanyaannya yang pertama. Soal itu, saya belum dapat ide sama sekali.
Saat saya sedang sibuk berpikir tentang alasaan apa yang sebaiknya saya gunakan, ada satu pesan muncul dari Rangga.
Rangga A: Woy, anak-anak pada nanyain. Mau jawab apa?
Saya berpikir sebentar sebelum menjawab,
Arsara Pradana: Lo bilang aja, lo tiba-tiba kebelet BAB terus mencret dan harus pulang detik itu juga. Kalau gue, ya, paling gue ngarang-ngarang alasan yang bikin gue harus langsung pulang juga
Rangga A: Yekali pada percaya
Arsara Pradana: Makanya lo harus meyakinkan ngomongnya. Gue juga.
Rangga A: Ada saran lain?
Hampir saja saya mengusulkan Rangga untuk menyebarkan berita bahwa dirinya dan Kania putus. Berita itu pasti mengalihkan perhatian teman-teman yang lain.
Tapi saya enggak sejahat itu.
Arsara Pradana: kagak. Lo?
Rangga A: punya, sih. Cuma susah ngejelasinnya.
Halah.
Arsara Pradana: yaudah. Pakai cara gue yang tadi aja.
Rangga A: Ya udah.
[.]
Pagi ini, begitu saya sampai di kelas saya langsung menjumpai Fia di ambang pintu.
Fia udah kayak mas-mas yang suka jagain toilet umum di rest area.
"Hai," sapa saya sambil nyengir-nyengir bak bayi tanpa dosa.
Ya, siapa tahu aja kan, senyuman saya bisa membuat Fia melupakan kejadian kemarin?
Kemarin, saya udah ngasih alasan ke temen-temen lewat grup LINE, kalau mendadak, Mama minta saya pulang karena ada urusan penting di rumah. (Seenggaknya, saya enggak sepenuhnya bohong, karena emang ada masalah penting di rumah kemarin.)
Teman-teman saya yang lain sih, kayaknya percaya-percaya aja. Soalnya, mereka lebih tertarik sama alesannya Rangga. Mereka curiga, masalah BAB Rangga itu disebabkan sama nasi goreng di kantin. Makanya kemarin, mereka malah asyik bahas soal makanan kantin.
Tapi, dari tampang Fia sekarang, kayaknya dia masih enggak percaya (ya iya, lah) dan siap nagih saya soal cerita yang sebenarnya.
"Hai-hai kepala lo hai," gerutu Fia enggak jelas.
"Kepala gue hai?" balas saya.
Fia memutar kedua bola matanya. "Ceritain sekarang, Arsa. Gue yakin kemarin enggak ada urusan mendadak di rumah lo."
"Sok tahu banget," komentar saya sambil melangkah memasuki kelas. Fia mengikuti di belakang saya.
Saya meletakkan tas dan pantat saya di atas bangku. Fia melakukan hal serupa di bangku sebelah saya.
"Buruan cerita," desak Fia.
Saya menghela napas. "Oke, jadi kemarin, ada Thomas Sangster di sekolah."
Dan saya pun mulai bercerita.
[.]
Kata-kata pertama Fia begitu saya selesai bercerita adalah, "Kenapa lo enggak ngehidupin waktu buat gue juga, Sa? Gue kan juga mau foto-foto sama Thomas Sangster!"
Saya cuma bisa cengo.
Dari tadi, saya sibuk berceloteh sampai busa di mulut saya melebihi busa di iklan pemutih pakaian, dan kata-kata pertama Fia adalah itu?
Gagasan utamanya apa, coba?
Fia tertawa melihat ekspresi saya. "Bercanda, bercanda," katanya. "Walaupun gue agak kesel juga, sih. Tunjukkin foto lo sama Thomas Sangster dong, gue mau lihat."
Saya merogoh saku lalu mengeluarkan ponsel. "Yang di handphone gue, cuma foto Thomas Sangster yang di kedai minuman. Yang foto gue, nyokap gue, sama Thomas Sangster, ada di handphone nyokap gue."
Saya kemudian menunjukkan foto Thomas Sangster di kedai minum kepada Fia.
Fia melongo. "Itu Rangga?"
"Kagak. Ini Thomas Sangster beneran," balas saya sambil memutar kedua bola mata.
"Mirip banget sama Thomas Sangster!" seru Fia.
"Hah? Masa, sih? Oh iya, ya. Kenapa gue baru nyadar?" balas saya lagi.
Fia terkekeh. "Terus, terus, Rangga gimana?"
"Gimana apanya?" tanya saya.
"Begitu lo jelasin soal dunia sihir-menyihir," jawab Fia. "Reaksinya gimana?"
"Ya, dia penasaran gitu," jawab saya.
Fia berpikir sebentar. "Mungkin enggak sih, Sa...."
"Apaan?" tanya saya.
"Kalau Rangga itu, 'penyihir lain' di kelas ini?" tanya Fia.
Saya memelotot. "Lo dapet fantasi dari mana, Fi?" tanya saya, tidak habis pikir. "Rangga itu, orang terakhir yang bakal gue curigain."
"Kenapa?"
"Karena... dia kelihatan bener-bener polos soal sihir-menyihir," jawab saya. "Lagian, kenapa lo tiba-tiba ngira kalau Rangga itu si 'penyihir lain'?"
"Ya, kalau dipikir-pikir, aneh enggak sih, dia berusaha ngerebut senter lo. Terus, dia berdiri di depan lo, dan tiba-tiba, senter lo ngeluarin mantra ke dia? Kalau dia beneran penyihir, bisa aja, dia ngeluarin sihir dari senter lo ke diri dia sendiri," jelas Fia. "Dan oh ya, gue juga ngerasain aura-aura dari Rangga waktu kita nyari gagasan utama!"
Saya memikirkan kemungkinan itu. "Enggak masuk akal, ah. Lagi pula, kalau Rangga beneran penyihir, buat apa juga Rangga ngelakuin itu? Ngasih mantra ke diri dia sendiri, maksudnya," tanya saya. "Lagian, waktu lo ngerasain aura-aura itu, bukannya lo lagi kacau? Lo juga ngerasain aura-aura ke Naufal!"
"Inget cerita si Parni sama Jona?" tanya Fia. "Bisa aja, Rangga disuruh orangtuanya buat mata-matain keluarga lo," kata Fia. "Bukannya dia yang ngusulin kalian ke rumah lo kemarin?"
Saya berpikir sejenak. "Iya, sih, tapi kayaknya bukan dia."
Fia memutar kedua bola matanya. "Seenggaknya, kita harus selidikin si Rangga."
"Gue bahkan enggak yakin, bokap gue punya musuh, Fi," kata saya.
"Setiap orang, pasti punya musuh," balas Fia. "Ya, seenggaknya, punya satu orang yang enggak suka sama dia--termasuk bokap lo."
Saya memikirkan kata-kata Fia. "Mungkin lo bener. Gue juga belum pernah nanya ke bokap gue, sih."
"Ya udah, lo tanya ke bokap lo," kata Fia. "Tapi, apa pun jawaban bokap lo, kita tetep harus ngawasin Rangga."
Saya mengangkat bahu, agar urusan ini cepat kelar. "Terserah lo aja, dah."
[.]
Sekarang, saya sedang makan malam bersama keluarga saya sekaligus mendengarkan Sara sedang sibuk bercerita kepada saya, Mama, dan Papa soal lomba pemandu sorak yang akan dilaksanakan minggu depan.
"Aku nanti jadi yang paling atas," kata Sara.
"Atas apaan? Atas lantai?" tanya saya.
Sara memajukan bibirnya. "Atas temen-temen yang lain, lah."
"Awas jatuh," kata Papa.
"Enggak bakal, lah. Kan kita udah latihan!" kata Sara bersemangat.
"Lagi pula, kalau kamu jatuh, kamu pasti enggak bakal kenapa-kenapa. Kamu kan punya ilmu sihir," kata Mama dengan bersemangat.
Kayaknya Mama lebih seneng kalau Sara jatuh, ya.
Omong-omong soal sihir, saya jadi ingat...
"Papa," kata saya. "Papa punya musuh enggak di dunia sihir?"
Papa menoleh kepada saya dengan heran. "Kok tiba-tiba nanya kayak gitu?" tanya Papa.
"Penasaran aja," kata saya.
Papa tampak berpikir. "Papa lupa, kayaknya...."
"Kayaknya Papa punya musuh," timpal Mama.
"Siapa?" tanya saya.
"Aduh, Mama juga lupa," kata Mama. "Namanya kayak ada huruf H-nya gitu."
"Oh!" seru Papa. "Iya, iya, Papa inget. Namanya Hartini."
"Papa punya musuh?" tanya Sara, tampak tidak percaya.
Papa mengangguk.
"Aku kira, Papa enggak punya musuh," kata Sara. "Kayak aku. Aku enggak punya musuh sama sekali."
"Setiap orang pasti punya musuh. Atau seenggaknya, punya satu orang yang enggak suka sama dia," kata saya, mengutip ucapan Fia tadi pagi.
"Mama setuju," komentar Mama. "Soalnya, enggak semua orang di dunia ini sama, makanya pasti ada yang enggak suka sama kita. Kalau semua yang ada di dunia ini sama, enggak bakal ada yang namanya senyawa."
"Mama abis nonton apa?" tanya saya.
"Abis nonton acara edukasi gitu," jawab Mama sambil tertawa.
"Ya, begitu, lah," kata Papa. "Jadi musuh Papa namanya Hartini."
"Hartini suka berkeliaran di sekitar sini, enggak?" tanya saya.
Papa tertawa. "Hartini udah tua! Umurnya udah seratus tahun lebih! Papa musuhan sama dia gara-gara waktu itu, Papa pernah ngeasih kritik buat salah satu bukunya dia. Dan sejak itu, dia enggak suka sama Papa. Tapi belakangan ini, Papa udah jarang denger soal dia."
Jangan-jangan, Hartini itu nama lain Satudua Tigaempat.
Bisa aja, kan?
Pertama, umurnya udah lebih dari seratus tahun.
Kedua, mengingat album foto Dora yang dibawa Fia, enggak heran kalau dia dapat kritikan.
"Mungkin dia udah meninggal," kata Sara.
"Mungkin," balas Papa.
"Hartini punya cucu enggak?" tanya saya.
"Seinget Mama, Hartini enggak menikah," jawab Mama.
Oke, jadi Rangga jelas-jelas bukan cucu Hartini. Kecuali kalau Rangga lahir bukan dari rahim ibu seperti layaknya manusia normal.
Tapi, bukannya emang enggak semua manusia itu normal? Bukannya emang enggak semua manusia itu sama? Bukannya emang enggak semua hal di dunia itu sama?
Buktinya, ada senyawa.[]
6 Februari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top