i. kalau objeknya saya 'keren' itu fakta bukan opini

Tak kenal maka tak sayang.

Percaya sama kalimat itu? Kalau iya, berarti kita sama.

Kalau enggak, ya berarti kita beda.

Tapi saya enggak ngerti, deh, sama yang enggak percaya sama kalimat itu. Jelas-jelas kalimat itu terbukti benar. Mau salah satu buktinya?

Saya belum kenalan sama Grant Gustin. Makanya sampai sekarang, dia enggak sayang saya.

Eh, tunggu sebentar. Grant Gustin kan pacar saya. Kok saya bisa lupa, ya?

Oke, karena saya enggak mau menuai sensasi lebih banyak lagi, saya balik ke topik aja.

Karena tak kenal maka tak sayang, saya mau kalian kenal saya. Saya mau kalian sayang saya. Saya mau kita satu-dua-tiga-sayang-semuanya!

Jadi, ini dia, fakta-fakta dan opini tentang saya yang harus kamu tahu:

Fakta pertama: Nama saya Arsanta Artema Pradana.

Fakta kedua: Saya dipanggil Arsa. Dan saya paling enggak suka kalau ada yang mau sok-sokan bikin panggilan sayang. Soalnya saya udah kebiasa dipanggil Arsa. Dan emangnya mereka mau panggil saya pakai sebutan apa? Anta? Berasa punya punuk.

Fakta ketiga: Saya cewek. Ini penting banget buat ditegaskan. Soalnya, kebanyakan nama Arsa emang dipakai buat anak cowok. Mungkin normal kali ya, kalau kalian mikir, "Oh itu orangtuanya mungkin salah kasih nama. Dikirain anaknya cowok, ternyata cewek."

Yah, mungkin emang enggak normal-normal banget, tapi coba bandingin sama alasan orangtua saya. Papa bilang, "Papa suka nama Arsa. Papa enggak peduli anaknya cewek atau cowok. Papa mau namain anak Papa, Arsa." (Untung Papa enggak mau namain anak Jono atau siapa.)

Kalau alasan Mama, "Mama dulu punya pacar. Namanya Arsa. Kita putus gara-gara waktu itu, Mama enggak suka kalau dia namanya Arsa. Habis putus, Mama nyesel banget. Ternyata kalau dipikir-pikir, nama Arsa itu bagus. Jadi ya udah deh, Mama namain kamu Arsa."

Fakta keempat: Saya penyihir.

Tolong, jangan bayangin saya pakai jubah hitam panjang dan bawa-bawa tongkat yang ujungnya bisa nyala.

Apalagi bayangin saya dengan muka peot dan ramuan hijau enggak jelas di depan saya. Karena,

Fakta kelima: Saya keren.

Oke, oke, sebelum Bu Intan (guru Bahasa Indonesia saya), ngejelasin panjang lebar tentang perbedaan fakta dan opini, saya koreksi dulu.

Opini pertama: Saya keren.

Ini buktinya:

Karena sekarang dunia kita ini udah terciprat sama westernisasi, dan terkena dampak globalisasi, jadi saya bikin tren baru.

Jubah mini.

Celana aja bisa mini. Kenapa jubah enggak bisa?

Jadi jubahnya ini kayak jubah biasa, tapi bagian lengannya enggak selebar jubah, dan bagian bawahnya cuma sampai bagian perut.

Dan satu lagi fakta kerennya, jubah ini dibeli Mama di ITC.

Yang artinya, orang-orang jadi enggak bakal curiga kalau saya penyihir. Karena jubah ini mirip cardigan.

Saya emang keren. (Sebenernya, ini lebih ke fakta. Karena, apanya sih yang opini? Tapi ya udah, lah.)

Opini kedua: Tongkat sihir saya adalah tongkat yang paling hebat di seluruh dunia!

Tolong dicatat, saya enggak pakai tongkat yang panjang ramping dan gampang patah. Kan kalau patah harus beli lagi. Lah kalau keseringan patah? dompet saya kosong. Tolong ya, penyihir kan juga manusia, punya dompet (pengennya), punya duit. Lagian tongkat sihir kayak gitu kan, cuma bisa nyala ujungnya doang. Kecil lagi lampunya.

Jadi, saya punya alternatif lain. Gara-gara benda ini, saya enggak bakal dikira penyihir. Dan gara-gara ini juga, saya kelihatan normal.

Yah, enggak sepenuhnya juga, sih. Kadang ada beberapa teman yang nyeletuk, "Woy Arsa! Lo ngapain bawa-bawa senter mulu, dah?"

Kalau udah kayak gini, biasanya saya bakal matiin senter (mereka bahkan enggak nyadar kalau saya enggak mencet tombol apa pun dan senternya mati), terus dalam hati berharap biar teman-teman saya itu tahu kalau senter ini bukan senter sembarangan.

Senter ini bisa digunain kayak tongkat sihir pada umumnya. Jadi bisa aja saya acungin senter ke mereka terus neriakkin mantra biar mereka semua berubah jadi kudanil.

Saya cuma terlalu baik, makanya semua teman saya masih berwujud manusia sekarang.

Fakta kelima: Saya kelas 9. Kelas 3 SMP. Tahu kan artinya apa?

Artinya, saya harus siap menghadapi UN.

Omong-omong, soal UN, tahu kan, kalau rumus Un barisan geometri di matematika itu:

Un= suku pertama (a) x rasio (r) pangkat n-1?

Kalau rumus Un versi Ujian Nasional, itu:

Un = suku pertama (a) x rasio (r) x gravitasi (g) x ketinggian (h).

Jadi, Un= argh.

Kalau mau lebih realtistis lagi:

Un= aaarrrrggghhhh.

[.]

Kayaknya udah cukup sedikit fakta (dan opini) tentang saya. Sekarang, saya mau cerita soal keluarga saya. Soalnya kan, kalau kita udah satu-dua-tiga-sayang-semuanya, dan berniat melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, bukannya kita harus mengenal keluarga masing-masing?

Keluarga saya emang bukan keluarga paling absurd di dunia. Tapi keluarga saya juga bukan keluarga paling normal.

Maksud saya, secara harfiah, keluarga saya emang enggak normal.

Coba deh, di pelajaran Biologi, kalau kalian dikasih soal tentang pewarisan sifat, emang pernah ya, ada fenotipe Penyihir Hebat (yang bergenotipe PP) disilangkan dengan Penyihir Payah (yang bergenotipe pp) dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya....

Enggak, kan?

Nah itu.

Keluarga saya mewariskan gen penyihir!

Gen penyihir sebenarnya dari Papa. Mama seratus persen manusia normal. Tanpa embel-embel penyihir. Tapi kemudian, dia ketemu sama Papa. Di tengah hutan. Di malam hari. Dengan latar bulan purnama di belakang... suara jangkrik... angin bertiup pelan...

dan saya lahir.

Eh, maksudnya, bukannya saya langsung lahir. Maksudnya kan, enggak lucu kalau fertilisasi di hutan. Ya oke, saya tahu, fertilisasi emang di dalam tubuh Mama, tapi... ngerti maksud saya, kan?

Dan bukannya mereka beneran ketemu di hutan juga...

Intinya, Mama nikah sama Papa dan saya kedapatan gen penyihir. Oke, enggak cuma saya, adik saya juga dapat gen penyihir. Tapi dia beda kelas.

Oke deh, saya jelasin satu-satu.

Pertama, saya mau jelasin tentang Papa. Papa itu bener-bener biasa-biasa aja. (Maksudnya penampilan luarnya. Ingat kan, dia itu penyihir.) Papa bener-bener enggak mirip sama artis-artis luar negeri. Eh, jangan ngatain saya durhaka dulu. Emang Papa mirip Kendall Jenner? Enggak, kan! Ya udah.

Papa kerjanya sebagai semacam pengacara atau... apa, ya? Saya juga kurang yakin. (Iya deh, saya tadi ngomong pengacara cuma asal ceplos aja. Tapi sih, kayaknya bener.) Papa enggak pernah ngomongin soal pekerjaannya di rumah. Kalau udah nyampe rumah, kerjaannya cuma nanya, "Gimana? Kamu tadi udah nyoba nerbangin nenek-nenek di pinggir jalan?" ke saya atau adik saya, si Sara.

Biasanya kalau udah kayak gitu, Mama bakal ketawa ngakak. Ketawa kayak penyihir di film kartun gitu. Kadang saya bingung, yang penyihir itu sebenernya siapa, sih?

Yang kedua, ada Mama. Mama bener-bener manusia normal. Udah dicek ke dokter. Katanya darahnya seratus persen normal. Warna merah. Bukan biru (soalnya Mama emang bukan anaknya Cut Nyak Dien atau siapa).

Tapi, Mama suka banget sama hal aneh-aneh. Makanya dia sama sekali enggak jantungan pas Papa bilang kalau dia penyihir (bukannya saya ngeliat kejadiannya, tapi Mama pernah cerita). Saya kadang curiga, lima puluh persen alasan Mama naksir Papa, adalah karena dia aneh. Kan udah saya bilang, Mama suka yang aneh-aneh. (Semoga Papa enggak baca ini.)

Penampilan luar Mama juga biasa-biasa aja. Enggak cantik banget yang sampai bikin cowok-cowok muter kepalanya tiga ratus enam puluh derajat tujuh kali berlawanan arah jarum jam. Tapi enggak jelek-jelek banget sampai cowok-cowok nundukkin kepalanya sembilan puluh derajat menghadap tanah gersang nan tandus. Ya pokoknya, biasa-biasa aja.

Saya ada sedikit cerita tentang wajah biasa-biasa aja Mama. Jadi,bsaya pernah nanya sama Mama gini, "Ma, enggak bosen apa punya muka yang biasa-biasa aja?"

Terus Mama jawab, "Enggak. Mama bersyukur. Soalnya kalau ada preman-preman tukang perkosa plus mutilasi, Mama jadi enggak pernah diincer."

Karena bingung, saya nanya lagi, "Kalau gitu alasannya, kenapa enggak sekalian ngejelekkin muka aja?"

Mama bilang, "Jangan. Kalau muka udah jelek keterlaluan, itu juga bahaya."

"Kenapa?"

Dan Mama jawab, "Soalnya preman bakal mikir, 'ah, ini orang udah jelek, abisin aja sekalian dah'. Gitu."

Selanjutnya ada Sara atau adik saya. Dia cuma beda satu setengah tahun sama saya. Dia juga penyihir. Tapi dia kayak jenis penyihir yang udah keren dari sananya.

Contohnya gini, waktu itu Papa nawarin apa saya sama Sara mau bawa tongkat sihir modern ke mana-mana. Tentu aja kita berdua bilang iya. Terus diundi. Dan saya dapet senter. Sara dapet... sumpit! Sumpit yang kecil nan ramping bin keren binti praktis! Bisa diselipin di mana-mana! Lah apa kabar senter?

Tapi saya udah ikhlas.

Yang bikin saya agak enggak ikhlas, Sara itu jenis cewek yang cantiknya bikin cowok-cowok muter kepalanya tiga ratus enam puluh derajat tujuh kali berlawanan arah jarum jam.

Kalau di materi pewarisan sifat gini:

Papa: Biasa-biasa aja (Bb)

Mama: Biasa-biasa aja (Bb)

Disilangkan menghasilkan:

Bb: 2 (Mama dan Papa).

BB: 1 (Sara).

bb: 1 (Saya).

Saya kedapatan yang bb alias terlalu biasa sampai menderita kebiasaan akut yang menyebabkan penyakit kejelekan sampai mati!

Sedangkan Sara, dia dapet BB. Yang artinya cantik luar biasa sampai ke setingkat Aphrodite. (Saya curiga dia pernah ngerumpi sama Aphrodite sambil ngocok arisan.)

Yah, seenggaknya saya cuma satu di keturunan Papa dan Mama. Saya spesial...

Tapi bentar..

KAN BB JUGA CUMA SATU![]

24 Desember 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top