Untukmu... Terima Kasih

Untukmu... Terima Kasih
Penulis: akuhujann

Semua tak lagi sama ketika satu kata itu terucap.

Zoya mematut dirinya di depan cermin, gaun merah marun selutut tanpa lengan melekat elok pada tubuh moleknya. Binar bahagia tak henti berpendar di kedua mata cokelatnya, malam ini adalah malam yang sangat dinantikan Zoya selama tiga tahun di SMA. Promnight sekaligus anniversary  Zoya dan dia, cowok yang selama empat tahun ini memenangkan hatinya.

Zoya menyelipkan anak rambut hitamnya yang menjuntai indah ke belakang telinga, membiarkan surai gelombang itu tergerai elok menutupi punggungnya yang terbuka. Zoya tersenyum, sempurna. Ia sudah siap menyambut malam yang sudah sangat didambakan.

Sudah belasan orang yang Zoya jumpai dalam perjalanan menuju ruangan di mana pesta itu akan dimulai. Semenjak Zoya keluar dari toilet lima menit yang lalu, ia telah bertemu dengan teman-teman satu angkatannya yang malam ini tampil dengan sangat cantik dan tampan. Namun, Zoya belum juga melihat batang hidung Adnan, cowok jangkung itu seharusnya tak sulit untuk ditemukan.

Zoya mengedarkan pandangannya ke sana-kemari. Ia melirik jam putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri, lima menit lagi acara akan dimulai. Pikirannya berkecamuk, mungkinkah Adnan mengalami sesuatau dalam perjalan kemari? Ataukah Adnan tidak akan menghadiri malam perpisahan mereka? Zoya berusaha membuang jauh-jauh semua pikiran negatif itu, ia melangkahkan kaki dan memilih duduk di meja tengah-tengah ruangan, tempat paling strategis untuk menyaksikan acara dan kabur dari acara saat sudah bosan.

Lampu menyala dengan terang mengisi ruangan saat acara inti dimulai. Dekorasi senada berwarna emas menghiasi ruangan. Beberapa alumni terlihat ikut menikmati acara, mereka adalah pengurus inti OSIS dan ketua-ketua organisasi angkatan terdahulu. Guru-guru pun hampir semuanya ikut hadir merayakan malam ini.

Zoya dinobatkan sebagai Queen of the night melalui hasil voting satu angkatan. Seharusnya juga ada Adnan yang dinobatkan sebagai King of the night. Namun, cowok itu tampaknya masih belum terlihat tanda kehadirannya, sehingga King digantikan oleh Rio, ketua ekstrakulikuler jurnalistik.

Banyak yang mengeluh akan terpilihnya Rio menjadi King, tapi banyak juga yang bersyukur. Karena dengan begitu, Zoya dan Adnan tidak melulu berdua dan dinobatkan sebagai Best Couple of The Year untuk yang ke empat kalinya.

Zoya berusaha mempertahankan senyumannya, jangan sampai dirinya memperlihatkan binar kekecewaan malam ini.

"Zoy, pangeran lo nggak dateng?"

Zoya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan temannya yang merupakan ketua ekstrakulikuler modelling.

"Sayang banget, padahal harusnya kalian bisa dinobatkan lagi sebegai Best Couple of The Year. Secara, kan cocok gitu, Ratu olimpiade dan Kapten basket yang eksisnya nggak ketulungan, ya nggak?"

Lagi, Zoya hanya tersenyum. Gadis itu pun berlalu meninggalkan Zoya dengan minuman lemon di atas mejanya.

Jarum jam terus berputar, Zoya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menatap jenuh pertunjukan yang tengah berlangsung. Kata-kata yang diucapkan oleh pembawa acara dan suara obrolan dari teman-temannya tak lagi terdengar di telinga Zoya. Ponsel hitam yang diletakkan di atas meja itu tak sekali pun menampilkan adanya notif masuk dari Adnan, cowok itu benar-benar menghilang malam ini.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, saatnya MC mengucapkan salam perpisahan untuk menutup acara. Semua orang menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda, ada yang tersenyum dan tertawa bahagia, bahkan ada yang menangis tersedu. Mereka berkumpul untuk berfoto beramai-ramai, mengabadikan momen malam ini untuk kenangan di hari esok. Zoya tetap tak beranjak dari tempatnya, iris cokelat itu hanya berpendar mengamati orang-orang di sekelilingnya. Merasa tak ada lagi yang perlu dilakukan di tempat ini, Zoya beranjak dan melangkah keluar. Tidak ada yang tahu akan kepergian Zoya, kecuali seseorang yang juga duduk menyendiri di meja belakang paling ujung.

Zoya menyeret kedua kakinya tanpa semangat, semuanya benar-benar di luar ekspektasi. Seharusnya malam ini ia bisa tersenyum bahagia, tapi semua itu rasanya hanya angan belaka. Ia pulang sendiri dengan taksi dan sampai di rumah pukul dua belas malam. Aini, ibunya yang cemas menanti pun ia abaikan.

Gadis itu berlalu, membanting pintu kamarnya.  Ia menyalakan ponsel yang tadi sempat tertinggal, mencoba menelpon Adnan yang sampai detik ini masih tak ada kabar.

"Pacar apanya? Di malam penting begini aja dia nggak datang! Liar! Big Liar!"

Zoya mendecak frustrasi, Adnan tak kunjung menjawab teleponnya. Padahal nomor cowok itu masih berada dalam jangkauan. Sampai ia menyerah, dihempasnya benda pipih itu ke atas ranjang berseprai putih. Belum sedetik kemudian, terdengar suara nyaring yang membuat Zoya nyaris melompat, bergegas memungutnya.

"Adnan!" Zoya berseru, tebakannya benar. Dengan cepat ia mengangkat panggilan. Belum sempat ia bicara, Adnan lebih dulu mengatakan maksud dan tujuannya menelepon.

"Halo, Zoya? Aku mau minta maaf, aku nggak bisa hadir nemenin kamu di malam promnight tadi, aku juga minta maaf karena nggak ngerayain anniv keempat kita. Aku harap kamu ngerti ya? Aku mau bilang, selamat anniversary ke empat. I love you, my little lovely."

Tampak hening di seberang sana, kedua sudut bibir Zoya menenuk ke atas, kupu-kupu merah jambu mulai bertebrangan dalam perutnya, menyeruak ke dada, membuat jantungnya berpacu lebih cepat.

"Tapi... ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu, Zoya." Adnan menjeda kalimatnya, membuat Zoya membeku seketika. "Aku nggak bisa nemenin Zoya di Indo lagi. Hari ini aku terbang ke Jerman dan sekarang aku baru aja sampai di apartemen. Aku minta maaf karena nggak kasih tahu tentang ini ke Zoya sebelumnya. Aku harap Zoya bisa maafin aku, ya? Ini demi masa depanku. Aku mohon kamu mengerti." Zoya terdiam, dahinya mengerut, menerka-nerka perkataan kekasihnya.
"Halo, Zoya?" Adnan menyadari bahwa sejak tadi Zoya tak bicara sepatah kata pun, gadis itu masih mendengarkan sepenuhnya setiap kata yang diucapkan Adnan. Namun, lidahnya terasa kelu untuk menjawab.

"Zoya? Tolong dengar hal ini. Aku tahu kamu mendengarku. Aku minta maaf. Aku sayang Zoya, tapi keadaan sudah tidak memungkinkan untuk kembali seperti sedia kala. Maaf, aku bertindak pengecut. Tapi, kita harus berpisah."

"Ap-apa maksud kamu?" Zoya tersentak, sempat kehilangan kata-kata, meski akhirnya ia membuka suara pertama kali.

"Kita sampai di sini. Maaf, Zo---"

"Ken-kenapa? Kenapa kita nggak bisa LDR aja? Bukannya kamu bilang mencintaiku? Aku sanggup menunggu. A-aku bisa menunggu kamu, Adnan."

"Zoya, maaf---"

"Enggak, Nan! Kamu nggak bisa mutusin aku kayak gini! Ini gak adil buat aku!"

"Zoya maafkan aku, akan lebih baik kalau semua kita akhiri---"

"Tega sekali kamu ngelakuin ini sama aku! Apa salahku, Nan? Semua yang udah kita lalui, nggak ada satu pun yang berharga di mata kamu? Apa semua yang kulakuin enggak cukup pantas untuk kamu perjuangkan?" Zoya menahan air matinya mati-matian, meski suara paraunya telah lebih dulu menunjukkan.
"Zoya, aku harus pergi. Selamat tinggal."

Zoya membeku, matanya lekat memandang sambungan telepon yang terputus.  Adnan memutus sambungan terlebih dulu. Menyisakan hatinya yang remuk redam. Tanpa penjelasan manusiawi! Badannya merosot ke lantai. Amarah dan kecewa memenuhi saraf-saraf di tubuhnya, membuatnya gemetar hebat, hendak meledak. Aini berlari seketika mendengar teriakan dari dalam kamar anak semata wayangnya.

Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari sewaktu ia membuka kamar Zoya yang seperti dihantam badai. Beruntung, pintu di kamar Zoya tak pernah ia biarkan dapat terkunci dari dalam. Aini terkesiap mendapati anaknya meringkuk di pojok kamar dengan kaki ditekut hingga lutut.

"Zoya!" Bergegas, ia menghampirinya,  Zoya menghambur memeluknya. "Nak, ada apa? Apa yang terjadi?"

Tangis Zoya makin pecah dalam pelukan ibunya.Tangan halus Aini mengusap pelan punggungnya, mengalirkan kehangatan di sana, menjalar, menyentuh hati yang patah.

"Istighfar, Nak,  istighfar." Zoya menghela napas dan membuangnya. Lidahnya kelu hendak menuruti ibunya.

"Aku... aku nggak bisa hidup tanpa Adnan, Bun. Aku nggak bisa." Zoya menggeleng-geleng, tangisnya masih banjir. Hanya isakan yang terus keluar dari bibirnya. Sesaat Aini mengerjap terkejut dengan pernyataan Zoya. Sedikit banyak ia mengerti permasalahan yang dialami putrinya.

Aini mengangkat dagu Zoya perlahan, memaksanya untuk beradu tatap. Kemarin-kemarin ia telah mengalah, memberi ruang agar putrinya tidak merasa terkekang di masa pubertas. Tetapi, perkiraannya yang salah justru membawa petaka. Anaknya berada di titik rentan, sedangkan ia malah membiarkan. Sudah cukup ia mentolerir segala kesibukan yang membuat Zoya semakin jauh dari siraman spiritual. Ia kini memilih berada di sisi Zoya kala masa-masa sulit yang menghimpitnya.

"Zoya sayang, jangan berkata begitu. Kamu sudah bisa hidup tanpa Adnan bahkan sebelum kehadirannya. Nak, mencintailah sewajarnya, membencilah seperlunya. Allah mencemburui hati yang mencintai orang lain melebihi cinta kepada-Nya."

Zoya tertegun untuk sesaat. Perkataan ibunya menembus tepat di lubuk hatinya.

"Allah nggak tidur sayang. Lepaskan dia. Kalau nanti memang kalian berjodoh, Allah pasti akan berikan Adnan lagi untuk Zoya. Zoya jangan bersedih, yang terpenting, Zoya harus menata hidup Zoya. Allah kangen sama Zoya, kangen suara Zoya, kangen sujud Zoya, Allah selalu menunggu Zoya"

Allah menunggu Zoya. Butuh waktu untuk membawa Zoya kembali, dan Aini tidak akan pernah berhenti. Memang apa yang ia katakan tak langsung mendapat respon positif, tetapi yang terpenting dia harua tetap berada di sisinya, membimbing Zoya agar membuka hati kembali

"Bun... Bunda benar. Harusnya Zoya dengerin nasihat Bunda waktu itu. Maafin Zoya, Bun."

Aini memeluk erat putrinya. Zoya sesenggukan dalam dekapannya.

"Bunda yakin Allah punya rencana-Nya sendiri, dan Zoya hanya perlu tahu bahwa Allah telah menyiapkan yang terbaik buat Zoya." Zoya mengangguk, masih dalam dekapan ibunya. "Kita ngaji, yuk.  Bunda kangen sama lantunan bacaan Al-Qur'an Zoya. Bunda pingin dengar suara Zoya ngaji. Terakhir yang Bunda ingat, waktu Zoya ngajari Bunda surah An-Naba', dan itu waktu Zoya kelas satu SMP, ya?"

Aini menyeka pipi putrinya yang basah, mengecup kening putrinya sekilas.

"Iya, Bun."

Ia menarik pelan pergelangan tangan Zoya. Putri kecilnya yang beranjak dewasa. "Ayok."

***

Zoya menyeka sudut matanya yang berair. Ketika mengingat masa-masa ia baru saja bangkit dari kandasnya hubungan dengan Adnan. Ingatan itu berhasil membuat Zoya kembali bersedih karena bersama ingatan menyedihkan itu, terselip perasaan rindu akan sosok Bundanya. Ya, Bunda telah pergi selamanya dari hidup Zoya beberapa tahun setelah ia memutuskan move on dan berhijrah.

Ia membersit ingus, bersiap hendak beranjak pergi. Banyak perubahan yang terjadi di hidupnya selama ini, namun---

"Kak Zoya!"

Zoya menoleh. Dilihatnya gadis cantik dengan kerudung baby pink menghampirinya.

"Ya, Ri? Alhamdulillah, kamu sudah berhijab?" tanya Zoya pada adik tingkatnya itu.

"Alhamdulillah. Malam ini aku ke rumah Kakak, ya. Mau belajar ngaji, boleh, 'kan?"

"Boleh dong."

"Sip! Eh, omong-omong, aku harus pake jilbab panjang kayak Kakak juga?" Airi menatap hijab Zoya yang panjang hampir menyerupai gamis yang dikenakannya.

"Nggak harus kok. Kita mulai dengan bertahap saja. Nanti kalau kamu sudah paham, kamu juga insyaallah bakal pingin dengan sendirinya. Zoya mengembangkan senyum, meski Airi tak mungkin melihatnya dengan jelas. Airi mengangguk-angguk, mengerti.

"Oke, Kak. Sampai ketemu nanti. Aku duluan. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam wa rahmatulllahi wa barakatuh."

Zoya bergegas merapikan tumpukan bukunya. Menghadapi tugas skripsi di semester akhir membuatnya kewalahan. Meski begitu, Zoya tidak boleh meninggalkan kewajibannya menjalankan tugas agama. Ia melangkah pelan menuju masjid di dekat perpustakaan tempatnya tadi. Pandangan orang-orang yang berbagai macam arti sudah bukan hal yang aneh lagi. Terlebih mahasiswa baru banyak yang menatapnya dengan sorot penuh tanya.

Langkahnya terhenti. Ia ragu untuk melanjutkan, sesaat menyadari sosok yang tak asing baginya. Setelah tiga tahun lamanya, banyak perubahan yang terjadi di hidup Zoya, pria itu kembali. Membuat detak yang telah lama surut berangsur pulih meski lemah, meski berbeda. Semua tak pernah sama setelah kata putus hari itu ia ucapkan.

Zoya menepis. Adnan tidak akan mengenali gadis bercadar yang pernah ia porakporandakan hidupnya, meski pada akhirnya karena pria itulah ia mendapat secercah cahaya yang membentuknya hari ini.

Ia mengangkat kedua ujung bibir dan melanjutkan perjalanan.  "Terima kasih untukmu, yang tak membiarkan aku terjun ke dalam kubangan dosa lebih jauh. Terima kasih untukmu, Bunda, yang selalu berada di sisiku. Dan terima kasih, untuk-Mu... yang telah memberikan cahaya hidayah di hatiku."

Zoyaa berlalu, tidak akan berbalik. Melewati Adnan yang celingukan mencari seseorang di depan kampusnya. 

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top