Takdir Pernikahan Rumana
Takdir Pernikahan Rumana
Penulis: heuladienacie
"Baru pulang, Bu Dokter." Sapaan seseorang membuat Rumana menoleh. Ia memelankan skuter matiknya, menyejajari penjual cilok keliling sekaligus adik sahabatnya, Fuad. Berjarak lima tahun usianya. Sebenarnya, Rumana jarang mengobrol dengan Fuad tanpa Farihah, dia juga tidak terlalu dekat dengannya. Yang Rum tahu, bahwa adik Farihah itu memilih untuk meniti usahanya sendiri dari nol, meski hidup mereka telah berubah lebih baik semenjak kakaknya menjadi dokter.
"Iya nih, Ad. Kamu baru pulang juga? Gimana? Laris dagangannya?"
"Alhamdulillah, Bu Dokter. Yang namanya jualan kadang laris, kadang rugi. Semua rezeki, jodoh, ajal Allah yang ngatur. Manusia kan bisanya hanya berikhtiar, berdo'a, dan tawakkal. Betul, kan, Bu Dokter?"
Rumana sedikit tersentil dengan ke-qana'ahan Fuad. Mengingat dirinya yang selalu menggerutu karena belum diberikan pendamping yang tepat.
"Bu Dokter, awas!"
Rum mengerem motornya secara mendadak setelah terjaga dari alam lamunan. Hampir saja dia menabrak seekor kucing yang tiba-tiba melompat.
"Bu Dokter baik-baik saja?" Fuad turun dari sepeda, menghampiri Rumana yang tampak pucat. Rum menatap wajah khawatir Fuad dan tersenyum getir. Dia menggelengkan kepala, lalu kembali menyetater motornya yang mati.
"Kalau gitu saya duluan ya," pamit Rum meninggalkan Fuad yang kebingungan di belakang punggungnya.
***
"Assalamualaikum. Rum pulang, Bu."
Rumana menutup pintu depan rumahnya. Tak biasanya, sesampai di rumah ibunya menyambut dengan wajah lebih semringah. Rumana merasakan hawa berbeda, pasti ada kabar baik yang akan segera ia dengar.
"Wa alaikum salam, anakku yang paling cantik."
"Ih, Ibu seneng sekali kayanya." Rumana meletakkan bawaan di meja, ia beranjak membuka kulkas dan mengambil air untuk minum. Dia butuh penyegar untuk suasana hatinya yang mendadak kelabu. Ibunya menyeretnya duduk berhadap-hadapan.
"Ada apa sih, Bu?" tanya Rumana heran dengan sikap aneh ibunya.
"Pak Joko mau ngelihat kamu."
"Hah? Pak Joko?"
"Bukan Pak Jokonya, keponakannya yang baru pulang dari luar negeri. Masih muda dan mapan. Kamu mau, ya?"
Mungkin ini saatnya, pikir Rumana. Tanpa berpikir panjang, Rumana langsung menyetujui. Sudah terlalu banyak kali dia menolak orang-orang itu sejak dulu dengan alasan melanjutkan sekolahnya, sehingga harus menanggung akibatnya belum menikah di angka kepala tiga sekarang ini. Meski tak kalah banyak juga yang dikenalkan ibunya dan berakhir dengan ketidakcocokan.
Ibunya bersorak, cepat-cepat mengabarkan pada Pak Joko. Hari Minggu besok mereka akan datang. Dan suka cita itu menular pada yang lain. Ibunya mempersiapkan banyak kudapan sebagai suguhan tamu. Bapaknya menghafal pertanyaan yang hendak ia tanyakan nantinya. Sedangkan, Adiknya berubah menjadi pegawai salon pribadinya. Rumana geleng kepala melihat keantusiasan keluarganya sendiri.
"Masyaallah cantiknya kakakku. Pasti nanti dia langsung terpesona sama Kak Rum."
Rumana mencubit gemas pipi chubby adiknya, Zaitun. Sesaat, suara desing mobil berhenti tepat di depan kediaman rumah mereka. Tanda bahwa tamu yang mereka nanti telah tiba. Bapak dan ibunya menyambut tamu di bawah. Rumana turun dengan gugup. Begitu banyak harapan tergantung di benaknya. Ia tak ingin mengecewakan bapak-ibunya, terlebih juga keinginannya.
Pria berpakaian jas rapi, berwajah manis dan memakai kacamata gaya yang ia temukan. Pria itu membuka kacamatanya, menscan Rumana dari atas sampai bawah. Bapak mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat sambutan darinya. Pak Joko menegurnya, ia menjabat tangan Bapak tanpa menciumnya. Poin minus satu di mata Rumana.
Beralih kepada Rumana, pria parlente beraroma luar negeri itu mengulurkan tangan. Rumana membalas dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada. Fikri, nama pria itu, menaikkan dagu dan dengan gaya slonong boy duduk di sofa ruang tamu rumahnya tanpa dipersilakan. Kakinya ia naikkan ke atas meja. Lagi-lagi Pak Joko menegur. Ia menurunkan dan menopangkannya satu sama lain, tangannya merentang ke sisi-sisi. Kampungan, ia mencibir dalam hati melihat rumah sederhana gadis secantik Rumana.
Dalam hati Rumana menghitung poin minus ketiga dari pria di hadapannya. Ia semakin tak bisa berkata-kata saat pria itu mengomentari interior rumahnya. Bapak tertegun, agak sedih karena semua di luar ekspektasinya. Pertanyaan yang ia siapkan, ia taruh kembali. Tiada senyum ataupun keluguan bapak, pertanda buruk bagi Rumana.
"Dia ini lulusan terbaik bidang arsitektur di Amerika," Pak Joko memulai." Pak Misra, Ayah Rumana, mengangguk-angguk. Meski tak bertanya lebih jauh, pria itu mejelaskan panjang lebar mengenai kekayaan keluarganya.
"Saya punya tiga mobil dan tiga rumah seharga jutaan dollar, sangat jauh dari rumah kecil kalian."
"Saya harap rumah kecil kami tidak terlalu sempit untuk Anda masuki. Silakan dicicipi." Bapak melihat Rumana, tidak menyangka anaknya akan nyeletuk begitu saja. Sambil lalu pria itu masih mengoceh tentang kekayaan keluarganya. Ibunya datang membawa suguhan lain.
"Ini makanan apa, rasanya tidak enak."
Pak Joko menegur, lagi. Lama kelamaan Rumana tak tahan untuk diam. Dia menggeser kursi dengan keras hingga berdecit. Bangkit dengan gaya menantang.
"Jika Anda tidak berkenan, silakan keluar dari rumah kami. Terima kasih sudah datang."
Fikri menatap tak suka dengan perlakuan Rumana.
"Orang miskin saja belagu! Perawan tua gak laku aja sombong! Cih!"
Rumana mengepalkan tangan, geram bukan main. Begitu juga ayahnya yang urat-urat lehernya mulai terlihat. Pria itu bangkit, mencaci maki, misuh-misuh keluar dari rumahnya tanpa berniat meminta maaf atas perlakuannya. Pak Joko meminta maaf dengan sangat sebelum ikut pergi. Bapak dan ibunya tampak marah dan sedih. Rumana berbalik menuju kamar, tak ingin diganggu.
***
"Tenang aja, Rum. Kalau kamu mau, aku kenalkan sama sepupuku Raffi. Dia memang bukan orang yang berpendidikan tinggi, tapi dia sudah cukup mapan dengan bisnis waralabanya."
Farihah, sahabat karibnya menekan tombol hingga lift menutup, keduanya menuju tempat yang sama, Ruang Bougenville untuk melakukan visit.
"Aku bukan pemilih, Far. Cuma para lelaki sudah keok duluan setelah tau jenjang pendidikan dan pekerjaanku."
Farihah tersenyum seolah mendapat gambaran. "Kalau kamu berpikiran seperti itu, kamu udah cocok sama Raffi."
Lift berhenti di lantai lain, seorang pria pemilik senyum paling ramah di rumah sakit, Irwan mengganjilkan jumlah mereka. Rumana menunduk dalam-dalam, tangannya mencubit lengan Farihah.
"Selamat siang, Doctor's."
"Selamat siang," jawab keduanya berbarengan.
"Bagaimana kabar keluarga?"
"Ba-baik, Dok," jawab Rum gugup.
"Adikmu tidak pernah ke sini lagi ya, Rum?"
"Oh, Zaitun. Dia sedang sibuk mempersiapkan skripsi."
"Oh iya, Far. Bilang sama Fuad kalau main futsalnya ditunda minggu depan," ujarnya dengan cepat berpindah topik.
"Nanti saya sampaikan."
"Kapan-kapan saya traktir kalian, bawa adik kalian masing-masing."
Rumana memandang Farihah yang sama-sama menahan senyum.
"Te-tentu, Dokter."
Pintu lift terbuka, Irwan keluar lebih dulu karena telah sampai di lantai yang dituju.
"Kayaknya dia mau mendekati kamu deh, Rum. Secara aku udah nikah. Siapa lagi kalau bukan kamu yang mau didekati," ujar Farihah sesaat lift kembali menutup.
"Husss! Dia ngajak makan sama adik-adik juga loh."
"Yah, itu mah modus kali, Rum."
Rumana tampak berpikir. Perkataan Farihah begitu berpengaruh baginya, sampai-sampai hinggap ke dalam mimpinya. Rumana bermimpi bahwa Irwanlah yang akan menjadi calon imamnya nanti.
Waktu demi waktu, perhatian Irwan mulai membuatnya salah paham. Pria itu kerap kali datang sekadar memberikan makanan atau buah-buahan ke rumahnya. Rumana tidak salah menangkap bahwa apa yang dilakukan Irwan adalah untuk mendapatkan simpati dan menarik hati orang tuanya.
"Irwan itu pria baik. Bapak ingin berbicara sama dia. Siapa tahu dia berjodoh dengan Rum."
"Ssst, Bapak jangan keras-keras bicaranya, nanti Rum dengar."
Rumana memang tak sengaja mendengar percakapan keduanya. Hatinya diliputi pendaran kebahagiaan. Di saat dirinya hampir menyerah, Allah datangkan seorang pria baik di hidupnya. Lambat laun harapannya melambung pada sosok seorang Irwan yang telah lama ia kagumi.
Kabar Irwan hendak meminang ke rumahnya, diembuskan oleh Farihah. Dengan segera ia berkemas untuk pulang. Benar saja, mobil Irwan telah terparkir manis di halaman rumahnya. Ibunya sempat melihat dan menggerutu karena ia tak mengangkat ponselnya sejak tadi.
Rumana mematut di depan cermin setelah mengganti pakaian, gamis pastel ia pilih sebagai penyempurna. Zaitun mengetuk pintu dan menampilkan diri sebatas wajah.
"Kak Rum, bisa tolong antarkan kue ke depan. Masa Ibu nyuruh aku, aku lagi ada kerjaan."
Rumana tertegun. Ibunya menyuruh Zaitun, yang hanya berarti satu hal, Irwan tidak datang untuknya. Benarkah? Setelah sekian lama, akhirnya ia mengerti alasan di balik perhatian Irwan selama ini bukan untuknya. Bukan dirinyalah yang dituju, melainkan orang lain.
"Kak Rum?"
"Eh? Iya iya, kamu masuk dulu."
Meski bingung, Zaitun menuruti keinginan kakaknya. Rumana memilihkan baju dan memasangkan kerudung. Mengamati adiknya lebih intens, bermaksud mencari-cari kelebihan Zaitun yang membuat Irwan jatuh hati. Adiknya memang periang dan muda, dua hal yang tidak lagi ia miliki.
"Kak Rum, ada yang mau melihat aku ya?"
Rumana mengangguk. Ada rasa kebas yang tiba-tiba menjalari hatinya. Begitu adiknya keluar, ia menekan dadanya yang terasa sesak. Membayangkan pria yang pernah ia cintai justru akan menjadi iparnya. Ia menghela napas berat, memantapkan langkah untuk menemui Irwan sekali lagi, memastikan kebenaran bahwa yang sebenarnya dipilih pria itu memang bukanlah dirinya.
Irwan dengan tampilan agamisnya, Rum menahan napas. Senyumnya tak henti tersungging, meski matanya ia lekatkan pada lantai, alih-alih Zaitun, embusan perasaan cinta begitu terasa hanya untuk adiknya. Rumana tak sanggup. Ia memilih berbalik dan bersembunyi. Biarlah risalah hati hanya akan ia jadikan rahasia.
***
"Nak, jangan gegabah memutuskan. Coba pikirkan dulu. Lelaki seperti Nak Irwan itu langka, apalagi langsung serius mengungkapkan maksudnya."
Dalam hati Rumana membenarkan perkataan sang ibu. Rum meminta ibunya keluar, karena dia ingin berbicara empat mata dengan adiknya.
"Aku ndak bisa menerimanya. Aku tahu, Mas Irwan adalah orang yang Kak Rum suka." Ia sudah dapat menebaknya sejak awal. Tak ayal, justru membuatnya semakin serba salah.
"Dek, apa dengan kamu menolaknya, semua akan lebih baik? Dia sudah melabuhkan hatinya sama kamu. Irwan pria yang baik, dia ahlul masjid dengan sederet kebaikan yang kak Rum tak tahu. Kalau alasan kamu menolaknya karena Kakak, Kakak akan semakin bersedih telah menjadi penghalang kamu menikah."
Zaitun menggeleng, mengelak bahwa bukan begitu yang ia maksudkan.
"Tidak ada alasan yang tepat kamu menolaknya. Kalau kamu masih ragu, bertanyalah langsung kepada Allah."
Dan Allah Maha Tahu yang terbaik, karena setelahnya pernikahan terjadi. Tanpa menyangsingkan takdir dan perdebatan hebat antara Zaitun dan dirinya, gadis yang diam-diam juga menyukai Irwan, akhirnya luluh.
Di saat dirinya merasa Irwan adalah pria terakhir yang ia berikan kesempatan itu, Farihah kemudian memperkenalkannya kepada Raffi, seorang pria yang semoga kelak benar-benar menjadi imamnya.
***
Alhamdulillah. Tiada hentinya kata syukur terlontar dari bibir Rumana. Raffi adalah calon imamnya. Ia menari di antara jutaan perasaan yang tak mampu terungkap. Harapan itu akan jadi nyata.
"Rum."
Ibunya membuka pintu, melihat anaknya tersenyum bahagia di depan cermin mengenakan kebaya pengantin. Ia mengelus lembut punggung putrinya dengan sayang.
"Ibu dak pernah menyangka, pada akhirnya bisa melihat kamu menikah, Nak." Tangis haru meluncur perlahan dari mata tua wanita itu. Rumana menggenggam balik tangan ibunya yang berada di pundak.
"Oh itu, Ibu sampai lupa mau bilang. Ada Farihah sama Fuad datang. Mereka pengen ketemu kamu."
Rum mengangguk dan keluar bersama ibunya. Di ruangan lain, Farihah dan Fuad terlibat pembicaraan yang tak sengaja didengarnya.
"Sudah saatnya kamu melupakan perasaan kamu itu. Dokter Rumana akan jadi milik Raffi toh. Itu kesalahan kamu sendiri. Lagian ya, Fuad, apa kamu tidak tahu usia Dokter Rum itu hampir sama dengan kakakmu ini!"
Fuad hanya terdiam dan menghela napas lelah. "Aku akan sebentar di sini."
"Kenapa begitu?" Farihah jadi gemas sendiri dengan adiknya satu itu.
"Mengertilah, Kak. Ini sangat berat buatku."
Rumana tidak ingin mengerti pembicaraan itu. Ada Raffi di depan matanya. Fuad harusnya menyadari, masih memendam perasaan untuknya saat ini hanya akan menyakiti diri sendiri. Rumana menemui keduanya. Dan ia tak salah melihat Fuad dengan tatapan memuja setiap tak sengaja bersitatap dengannya.
"Terima kasih banyak Farihah, Fuad. Aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikan hati kalian."
Fuad yang terlihat gusar bermaksud hendak pamit, namun Rum mencegahnya. Menyuruhnya untuk tetap di sana hingga acara selesai. Rum mungkin sedikit kejam. Namun, sedikit sakit hati mungkin juga dapat membuat pria itu mengerti.
Akad nikah akan segera dilangsungkan. Raffi memasuki tempat yang tersedia, sudah genap ayah, Pak Modin, dua saksi yang akan membantu mereka. Rum menunggu di balik hijab yang dipasang menyekat ruang pria dan wanita. Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan resmi menjadi seorang istri. Impian yang begitu ia idam-idamkan setelah lama hidupnya begitu kosong.
Tiap-tiap acara berlangsung khidmat. Ia mendengar keributan di belakang undangan wanita. Zaitun mendekat berbisik memberitahun Fuad hendak meminta untuk berbicara dengannya. Apa yang terjadi?
Kata Zaitun kembali, karena acara masih berlangsung, ia memberikan amplop dan berkata harus segera pergi.
Rumana cemas, entah mengapa hatinya tak tenang. Tidak bisa, mengapa hatinya berniat mendua sedangkan Raffi sudah di depan matanya. Dialah yang akan menjadi calon imam dan penyempurna agamanya.
Suara tegas ayahnya mengisi pengeras suara, Rum meremas amplop dari Fuad untuk meluapkan perasaannya. "Saya nikahkan ananda Raffi Andara Kurniawan, dengan Putri kami Rumana binti Ali Hamish dengan masa kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat 100 gram dibayar tunai!"
Rum tegang menunggu suara Raffi mengucapkan qabul pernikahan. Tapi yang Rum dengar justru teriakan orang-orang mengumandangkan kalimat istirja'. Zaitun masuk dengan wajah berderai air mata dan pucat.
Ada apa? Apa yang terjadi?
Tubuh Rumana bergetar hebat, saat Zaitun membisikka sebuah kalimat, sebelum jatuh tidak sadarkan diri.
***
Rumana ingat, sebelum Raffi datang meminangnya. Ada Ragil, seorang penjual kerupuk keliling yang pernah ditolaknya, setelah ia mempertanyakan kelewat sinis, apakah pria itu dapat memenuhi kebutuhannya. Meski ia hanya meyakinkan bahwa pria itu adalah seorang yang bertanggung jawab. Ia merasa telah melakukan hal keliru, seharusnya, dia tahu, bahwa dengan bekerjanya pria itu sudah membuktikannya lebih bertanggung jawab. Dan kini, ia mengerti bukan ini tujuan pernikahan itu sendiri.
"Ya Allah. Apa hamba memang ditakdirkan tidak akan bisa menikah. Ampunilah hamba Ya Rabb. Laa hawla wa laa quata illa billah. Tolong kuatkan hamba, Ya Rabb."
Rumana bersimpuh dalam tangis lara. Harapannya hancur berkeping-keping di depan matanya. Rum merasa tak kuasa. Apalagi orang-orang justru menggunjingkan Rum sebagai pembawa sial untuk para calon suaminya, sehingga ia tak kunjung menikah. Karma, mereka berkata, karena seringnya ia menolak pinangan sebelum ini.
"Allah tidak mebebani seseorang melebihi batas kemampuannya Kak Rum. Adek minta Kak Rum kuat, Kak Rum pasti bisa melalui semua ini."
Rumana menghela napas panjang. Zaitun memeluknya erat. Meski dia nyaris seperti mayat hidup setelah kematian Raffi, hanya keluarganya yang membuatnya tetap bertahan. Zaitun, adiknya malah hampir setiap hari datang, meski ia menegurnya karena kini telah berkeluarga.
Zaitun melepaskan pelukannya sesaat mendengar ketukan tergesa di pintu depan.
"Assalamualaikum! Bu Anna! Mbak Rumana! Assalamualaikum!" Keduanya bertukar pandang dan bergegas membuka pintu.
"Ada apa, Pak Komar?"
"Itu! Itu! Pak Misra, abahmu kecelakaan! Sekarang dirawat di UGD!"
"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un!"
Rumana sekeluarga bergegas menaiki mobil ke rumah sakit. Ibunya menangis sepanjang perjalanan. Rum benar-benar lemas seolah tiada tenaga tersisa.
Ya Allah musibah apa lagi ini?
Rasanya tak henti-henti musibah datang menghampiri. Belum juga dua bulan sejak kepergian Raffi, musibah lain datang merundung mereka.
Ketiganya sampai di RS saatnya Pak Misra telah dipindahkan ke ruang inap. Rumana tertegun melihat Fuad dengan baju berlumur darah, duduk di depan pintu kamar ayahnya. Ibunya menghampiri Fuad menanyakan kebenaran atas apa yang terjadi. Rumana entah mengapa enggan bertemu dengannya, ia merasa sangat malu harus bertemu dalam keadaan sehancur ini. Ibunya dan Zaitun masuk lebih dulu, Rum hendak menanti Fuad pergi lebih dulu.
Farihah terlihat baru tiba dari arah berlawan dengannya. Wanita itu menegur Fuad setelah mendengar tentang ayah Rumana.
"Fuad! Kamu gak apa-apa?"
"Aku gak apa-apa, Kak."
"Itu baju kamu... cepat cuci tangan dan ganti baju bersih deh." Fuad menanggapinya dengan malas. "Trus sekarang keadaan Pak Misra gimana?"
"Alhamdulillah sudah stabil. Pokoknya calon mertuaku masih hidup dan Dokter Rumana masih punya wali nikah saat aku nikahi nanti." Fuad terkekeh sendiri. Rum yang mendengar itu langsung tersedak.
"Kamu ini--Rum? Kamu di sini?" Farihah terperanjat seketika mendapati Rumana mengamati mereka dan mungkin mendengar percakapan tadi.
Rumana memandang tercengang pada keduanya. Ia merasa sanagat malu sekarang.
"Rum, dengarkan. Maksud Fuad tadi--" Fuad yang menghentikannya berbicara.
Rum tak bia berkata-kata dan berjalan cepat menghindari keduanya.
"Rum, tunggu!" Farihah hendak mengejar, namun Fuad lagi-lagi mencegahnya.
"Biarkan aku menyelesaikan ini."
Farihah terlihat cemas, tetapi ia membiarkan adiknya yang harus bertanggung jawab sendiri.
Rum sampai di lift, masih belum benar-benar pulih. Saat lift terbuka, Rum langsung masuk dan bersandar. Pintu lift belum tertutup ketika Fuad menjulurkan tangan membuat lift kembali terbuka. Rum tegang mendapati Fuad masuk dan menutupnya. Mereka hanya berdua di dalam sana, perempuan itu hanya bisa menunduk dalam.
"Izinkan..." Fuad menghela napas gugup."saya menikahi Anda, Bu Dokter." Rum jauh lebih terkejut karena Fuad benar-benar mengatakannya. Air mata Rum kembali mengalir pelan.
"Ini mungkin mengejutkan. Tetapi saya sudah meniatkannya sejak lama. Hanya dengan keyakinan kalau Bu Dokter memang berjodoh dengan saya, sampai saat saya mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, saya akan menikahi Anda."
Fuad memang bukan hanya pedagang cilok, pria itu adalah calon arsitek yang sekarang telah menjadi arsitek, jika memang yang dikatakannya tadi memang benar. Usaha cilok yang digelutinya hanya semata-mata untuk menambah pengalaman dan pembelajari berbisnis.
Rum tidak menjawab bahkan setelah keluar dari lift dan pulang dengan taksi. Fuad nelangsa karena menerka Rum telah menolaknya. Tetapi, Fuad tidak akan berhenti meyakinkan wanita yang begitu ia yakini adalah jodohnya kelak.
Ayah Rum memintanya menerima Fuad. Selain telah menyelamatkannya, Fuad adalah pribadi shalih dan tulus mencintai Rumana. Rumana, entah mengapa masih takut bahwa perkataan orang-orang itu benar adanya.
Fuad lalu datang ke rumahnya secara resmi. Didampingi ayahnya, Fuad menyatakan maksud sebenarnya.
"Bukankah sudah kukatakan kalau semua ini tak akan berhasil. Kamu juga tahu usia saya lebih tua dari kamu. Fuad, kamu bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih muda dan lebih baik dari saya."
"Apakah Anda sedang meragukan diri Anda sendiri?" Rum hanya diam, menatap ke arah lain. "Kalau bagi saya, semua itu bukan masalah berarti. Saya minta Bu Dokter tidak perlu ragu, karena saya juga tidak memiliki keraguan terhadap Anda."
"Fuad benar, Nak. Jangan selipkan keraguan atas kekuasaan Allah di dalam hatimu. Keragu-raguan itu banyak yang datangnya dari syaitan. Buang jauh-jauh perkataan orang-orang itu. Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambanya."
Rum benar-benar luluh saat kemudian ayahnya membahas usianya yang tak lagi muda. Ia ingin sekali menikahkan Rum. Sejujurnya, Rum juga diam-diam memiliki perasaan untuk pria yang duduk setelah sekian kali ia abaikan, menghadap pada ayahnya dengan ekspektasi sebesar itu untuk meminangnya.
Rum menitihkan air mata, ia menghapus cepat, menatap Fuad yang kemudian menunduk malu.
"Kalau begitu, tolong nikahi saya besok malam."
Memang tak mudah untuk Rum. Setelah berkali-kali gagal, Allah mempunyai rencana yang lebih indah. Akad nikah berlangsung lancar bahkan tanpa hambatan. Dan Rumana akhirnya yakin bahwa Fuad adalah jodoh yang Allah anugerahkan kepadanya.
Sesaat setelah pernikahan, Fuad memandangnya dan berkata, "Maukah Bu Dokter menghabiskan seumur hidup bersamaku?" Rumana bersujud syukur. Seseorang yang nyatanya begitu dekat dengannya ternyata adalah pria yang Allah tuliskan pada garis takdir pernikahan miliknya.
Semoga Allah memberkahi masing-masing di antara kita terhadap pasangan hidupnya.
[TAMAT]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top