Takdir Cinta Aisyarah
Takdir Cinta Aisyarah
Penulis: Nurmoyz
Kutatap gugusan awan mendung di atas langit. Hujan gerimis yang menimbulkan hawa dingin seakan tak berpengaruh bagiku. Siang ini tak secerah hari kemarin. Seolah bersekongkol agar membuat hatiku semakin tak menentu saja.
Kuembuskan napas berat, sembari kutatap foto seorang laki-laki berkacamata yang ada dalam genggaman. Laki-laki di foto ini bernama Abizar, lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, yang belum lama ini pulang setelah menyelesaikan pendidikannya. Setidaknya hanya itu info yang kudapat dari Pak Kyai Lutfi. Kyai Lutfi adalah pemilik pondok pesatren dekat tempat tinggalku. Di pesantren itu lah dulu aku menimba ilmu agama setelah lulus SMA. Berkat kebaikan beliau pula aku diterima di salah satu Poltekes negeri beberapa tahun lalu. Hingga kini aku sudah bekerja di salah satu rumah sakit.
Pak Kyai bilang Abizar ingin menghkitabahku. Tapi sudah hampir seminggu semenjak Kyai memberitahukan soal Abizar, selama itu pula aku belum menentukan pilihan. Sementara keluarga laki-laki itu akan datang ke rumah hari Ahad besok.
"Aku harus bagaimana ya Allah? Beri aku petunjuk-Mu," gumamku sembari menengadahkan wajah menatap bentangan awan mendung yang berarak. Berharap untuk kali ini Allah mengabulkan doa terbaik.
Kata orang, hujan adalah waktu dimana doa mudah di ijabah. Jika begitu adanya, aku mohon berikan pilihan terbaik untukku. Ijinkan aku melupakan dia yang jauh di sana yang bahkan keadaannya pun aku tak tahu, agar aku bisa menerima niat baik laki-laki ini. Aku mohon ya allah.
"Ais," sapaan lembut dibarengi tepukan itu membuat anganku buyar seketika. Kudapati Bibi Laela menyunggingkan senyum sebelum memilih duduk di sampingku. Ada keheningan di antara kami. Bibi Laela adalah adik kandung ibu satu-satunya. Rumahnya terletak dekat dengan rumahku. Hanya dia keluarga yang aku miliki setelah nenek.
"Apa yang kamu risaukan? Apa masih soal laki-laki yang ingin mengkhitabahmu itu?" tanya Bi Laela memecah keheningan. Aku tak langsung menjawab pertanyaannya.
"Ais hanya bingung, Bi. Ais takut nggak mampu menjadi istri yang baik untuknya. Sementara jauh di dasar hati Ais masih ada nama laki-laki lain." Kulihat Bibi mengalihkan pandangannya ke arah langit. Embusan napas beratnya terdengar di antara gerimis yang membasahi bumi.
"Terkadang kita harus melupakan sesuatu yang memang bukan untuk kita. Mungkin ini adalah jalan dari Allah agar kamu mengakhiri penantian panjangmu. Sadarlah, Ais, jangan buat dirimu lebih menderita lagi dengan ketidak pastian itu. Umurmu sudah nggak muda lagi," Aku tertegun ketika Bibi mengatakan hal demikian, seolah ia tahu mengenai Kak Jovan. Sementara aku tak pernah merasa memberitahu ia soal ini. Bibi yang seolah tahu rasa heranku tersenyum.
"Kamu pikir Bibi nggak tahu soal dia. Foto laki-laki berseragam SMA yang hanya tampak samping itu. Yang di belakangnya kamu beri nama My guardian." Mendengar Bibi berujar seperti itu aku menatap beliau dengan rasa heran makin menjadi. Senyumnya merekah lagi seolah paham apa yang tengah kupikirkan.
"Maaf, bukannya Bibi lancang. Beberapa tahun yang lalu Bibi nggak sengaja melihat foto itu di meja belajarmu. Khadijah juga sudah memberi tahu Bibi soal laki-laki itu."
"Jadi Bibi sudah lama tahu? Lalu kenapa Bibi terus saja menjodohkan Ais dengan semua laki-laki tempo hari itu. Apa jangan-jangan Mas Abizar juga Bibi yang merencanakan?" ucapku sedikit kesal. Pasalnya ini bukan kali pertamanya ada laki-laki datang ke rumah untuk mengatakan niat baiknya meminangku.
"Nggak, untuk Nak Abizar murni Kyai Lutfi yang mencarikannya untukmu. Bibi mohon Ais, kali ini saja cobalah menerima Nak Abi. Bibi yakin dia yang terbaik karena Kyai Lutfi sendiri yang memilihnya. Pertimbangkan keadaan nenekmu yang terpenting. Coba pikirkan keinginan terakhirnya melihatmu menikah." Lagi, selalu kata-kata itu yang Bibi jadikan senjata. Kata-kata yang seolah mengandung ancaman hingga membuatku tak berdaya. Membayangkan keadaan Nenek, selalu saja membuatku tak bisa mengotrol kesedihan.
Kembali kualihkan tatapan ke arah langit. Aku memejamkan mata sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bibi. Maaf Kak Jovan. Maaf, karena aku memilih menyerah dengan penantian ini. Maaf aku tak bisa lagi menunggumu. Jika aku dan dia memang tak berjodoh, aku mohon jangan pernah hadirkan dia dalam hidupku lagi ya Allah.
Aku membuka mata dan menatap Bibi. Kuucap bismillah dalam hati. Bibi tampak harap-harap cemas di depanku. Sepersekian detik setelah aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan, senyum Bibi merekah.
"Alhamdulillah. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini Bibi akan memberi tahukan kabar ini pada Kiyai. Setelah itu kamu ikut Bibi ke pasar untuk membeli keperluan buat besok sekaligus baju yang paling indah untukmu."
Aku hanya mengangguk mendengar nada antusias Bibi. Setelah itu ia bergegas pergi dengan terburu-buru.
Aku memutuskan beranjak masuk setelah Bibi pergi. Langkah kaki membawaku menuju ke kamar Nenek. Kulihat wanita tua paling berarti dalam hidupku itu tengah duduk di kursi rodanya tepat di depan jendela terbuka yang menghadap ke halaman depan. Aku memutuskan masuk dan menghampiri beliau.
"Nenek ngapain di depan jendela? Udara di luar sangat dingin," ujarku sembari merapatkan selimut yang menutupi tubuh kurusnya. Tak ada suara balasan dari tubuh tua itu. Hanya gerakan tangan dan matanya yang memberi isyarat padaku.
Sesekali ia mengeluarkan suara seakan hendak memberi tahu aku sesuatu. Sudah satu tahun semenjak Kakek meninggal, Nenek mengalami stroke. Aku memutuskan berjongkok tepat di depan kursi rodanya. Kutatap mata tuanya yang penuh kasih sayang. Kusungkingkan senyum sedih ke arahnya.
"Me ... kah ... lah." Gumaman tak jelas itu keluar dari bibir nenek. Rasa sesak di dadaku makin menjadi. Jika saja aku bisa mengatur perasaan ini sesuai kehendakku mungkin tak akan sesulit ini. Air mata ini tak lagi mampu kubendung.
Aku bersimpuh di pangkuannya. Kugenggam tangan tua yang bergetar itu sembari mengucap banyak terimakasih. Terimakasih untuk semua kasih sayangnya selama dua puluh tahun ini. Dua puluh tahun yang begitu berat dan penuh air mata ini tak ada apa-apanya dibanding perjuangan beliau membesarkan aku. Aku yang hanya seorang anak mantan teroris. Begitu lah dulu semua orang memanggilku. Gadis yatim-piatu miskin yang beruntung karena dipertemukan dengan banyak orang baik.
"Jika ini yang Nenek inginkan, Ais janji akan menikah dengan laki-laki itu. Ais mohon Nenek tetap di sisi Ais. Jangan tinggalin Ais sendiri. Terima kasih untuk semuanya. Ais pasti akan bahagia. Ais janji, Nek. Ais janji."
***
Pagi ini, suara bising dari seluruh sudut rumah menyambut kepulanganku. Di depan teras tampak Uwak Hadi, suami Bibi Laela, sedang sibuk menata dekorasi untuk acara pernikahan dengan dibantu beberap tetangga. Tiga bulan berlalu setelah acara lamaran, tersisa dua hari dimana Mas Abi akan resmi meminangku.
Kutarik napas dalam-dalam sebelum kulangkahkan kaki mendekat ke arah mereka. Hari ini adalah hari penentuan, tak ada lagi jalan untukku mundur dengan pernikahan ini untuk alasan apapun .
"Assalamualaikum," ucapku. Membuat perhatian Wa dan semua orang teralihkan.
"Kamu dah pulang, Nduk," ucap Wa dengan senyum lebar dan mendekat padaku. Laki-laki paruh baya itu lantas berteriak memangil semua keluarga yang tengah sibuk di dalam.
"Laela, Khadijah, Hasan! Aisyah pulang iki!" teriak Wa sebelum kemudian ia meraih barang bawaan yang aku pegang. Dari ambang pintu keluar Bibi Laela dan dua sepupuku menyambut. Mereka pun tak kalah senangnya.
"Syukurlah, Nduk. Kamu pulang. Tadinya Bibi dah khawatir kamu bakal batalin pernikahan ini," ucap Bibi mengelus dada. Aku tersenyum mendengar ucapannya.
"Ya nda lah, Bi. Ais nggak sejahat itu sampe mau mempermalukan keluarga," aku menjawab sembari mepangkah masuk
"Gimana kerjaanmu?"
"Alhamdulillah lancar. Nenek mana, Bi?"
"Nenekmu di kamarnya. Oh ya, tadi Nak Abi sempat menelephon katanya dia mau ke sini untuk membicarakan sesuatu. Sana kamu siap-siap." Lagi
"Bibi apaan deh. Mas Abi nggak ada ngomong sama aku. Dia tadi bilang nggak bisa jemput karena hari ini temennya dari Jakarta datang."
"Mungkin aja dia kangen kamu," goda Bibi menjadi. Aku merasa pipiku memanas saat ini.
"Biasa aja kali tu muka, Ais," timpal Khadijah yang disambut tawa Hasan dan Bibi Laela.
"Ih kamu tuh, Aisyah temuin Nenek aja deh. Dari pada diledekin kalian terus." Aku memutuskan melengang masuk tak menghiraukan Khadijah dan Hasan yang menggoda terus menerus.
Aku baru saja membereskan mukena usai solat ashar ketika dari luar terdengar Bibi berteriakr manggil.
"Ais, Keluar, Nduk! Calon suamimu sudah di luar."
"Iya, Bi." Cepat-cepat aku membenarkan letak hijab sebelum keluar menemui Bibi.
"Ayo sana temui calon suamimu. Dia datang bersama temannya. Laki-laki tampan dari kota." Aku tersenyum mendengar ucapan Bibi. Meski umurnya sudah tua, Bibi tetaplah wanita normal yang memuja pria tampan. Maklum saja, Bibi sering sekali bilang ingin memiliki mantu tampan yang sholeh. Meski aku yakin laki-laki sempurna seperti itu jarang ada di dunia ini. Kalopun ada hanya seribu satu.
Tanpa membuang waktu aku memilih keluar. Sedang Bibi memilih ke dapur untuk membuat minum. Dari ambang pintu aku bisa melihat Mas Abi tengah berbicara serius dengan temannya. Aku hanya dapat melihat punggung laki-laki yang bersama Mas Abi, karena dia duduk memunggungi pintu.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam." Mas Abi berdiri menyabut kedatanganku dengan senyum ramah khasnya. Sementara laki-laki yang bersamanya masih memilih duduk.
"Maaf menunggu lama."
"Nggak papa. Oh ya, kenalin ini sahabat Mas dari Jakarta. Kebetulan lagi ada pekerjaan di sini." Mendengar ucapannya, otomatis perhatianku teralih pada laki-laki yang tampak masih serius dengan laptop. Mas Abi yang tampak mengerti dengan tatapan heranku pada laki-laki itu tersenyum.
"Maklum dia emang workaholic." Aku hanya menanggapi ucapan Mas Abi dengan senyum maklum.
"Jo, kenalin calon istri gue." Bersamaan dengan ucapan itu, sosok tubuh tinggi di hadapanku bangkit. Aku terkesiap saat tangan besar itu mengulurkan tangannya ke arahku. Dalam jarak dekat, meski bertahun-tahun kami tak bertemu pun aku jelas ingat dengan jelas siapa laki-laki ini.
Laki-laki yang membuatku menghabiskan waktu untu memikirkannnya. Laki-laki yang bahkan hingga detik ini namanya masih kusebut dalam doa. Laki-laki yang dulu selalu ada untukku. Dia lah Jovan Ardiazka Khafi, Malaikat pelindungku. Entah apa maksud Allah dengan rencananya kali ini. Bisakah aku tetap teguh dengan pendirian atau justru kembali berharap dengan angan yang tak pasti tentang janji masa lalu.
Kak Jovan pun tampak sama terkejutnya denganku, meski beberapa detik kemudian ia berusaha mengubah mimik wajahnya menjadi datar. Laki-laki itu menyunggingkan senyum sopan sebelum mengenalkan diri dengan menangkupkan ke dua tangannya ke dada.
"Assalamualaikum, ukhti. Saya Jovan, sahabat Abizar." Aku sedikit terkejut mendengar Kak Jovan berbicara seformal itu. Dan seolah-olah kami tak saling mengenal sebelumnya.
"Wa-waalaikum salam, saya Aisyah. Salam kenal," jawabku tak kalah formal. Beberapa saat setelah itu Khadijah datang dengan dua cangkir teh hangat. Sepupuku itu tampak tersipu ketika menatap Kak Jovan.
"Mas Abi, kata ibu, Mas diminta ke dalam sama Nenek. Katanya beliau mau bicara." Aku dan dua laki-laki itu saling berpandangan.
Tanpa menunggu waktu Mas Abi bangkit dan masuk di susul aku yang mengikutinya. Sebelum pergi aku sempat bersitatap dengan Kak Jovan. Laki-laki itu tampak meremas tangannya yang ada di atas meja. Aku berusaha menghilangkan harapan semu tentang perasaan laki-laki ini padaku. Aku tahu, jalanku dan jalannya kini sudah berbeda. Kami tak akan pernah bersatu di saat aku telah memiliki calon suami. Aku pun beranjak meninggalkannya yang terpaku.
[Tamat]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top