[Materi] Menyisipkan Amanat Spiritual ke dalam Cerita tanpa Terkesan Menggurui

KELAS UMUM JURUSAN SPIRITUAL

Pemateri: Windy Haruno windyharuno
Materi: Menyisipkan Amanat Spiritual ke Dalam Cerita Tanpa Terkesan Menggurui
Hari/Tanggal: Kamis, 16 Mei 2019
Pukul: 10.00-11.00 WIB
Novel: Kekasih Halalmu, JEAN, NAYLA, dll
Moderator: @Hilda
Notulis: @Liza

••••••••••••••••••••

Bismillah.

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Alhamdulillah hari ini aku diberi kesempatan oleh Allah dan Spiritual The WWG untuk mengisi materi hari ini dengan tema "Menyisipkan Amanat Tanpa Terkesan Menggurui".

Langsung saja, ya. Berikut materinya.

Salah satu guna fiksi spiritual adalah tentu untuk menyentuh hati pembacanya agar tergerak untuk memperbaiki diri tanpa merasa disalahkan. Istilahnya menyentil lewat tulisan.

Menulis di genre spiritual itu bisa diartikan juga sebagai tujuan untuk berdakwah secara halus. Karena menurutku, menulis di genre ini bukan sekadar nulis aja, tapi ada misi dakwah di dalamnya.

Terus, gimana caranya agar tulisan kita tidak terkesan menggurui?

Tentunya, selipkan dakwah secara tidak terang-terangan. Nah, pesan-pesan dakwah itu dapat disampaikan melalui;

1. Tokoh. Ini bisa dilakukan melalui apa yang diucapkan, dipikirkan, dilakukan, dipakai, dan lain-lain oleh tokoh. Tapi, bisa juga menuliskan atau menyisipkan quote di awal part atau di akhir part. Biar lebih ngena.

2. Jalan Cerita. Dialog yang penuh berisi ayat, hadis dan pesan-pesan secara gamblang cenderung membosankan pembaca. Lewat jalan cerita yang dibuat sedemikian rupa, pembaca akan memetik hikmahnya tanpa merasa telah didakwahi. Biarkan pembaca dengan sendirinya merasa tersentuh lewat jalan cerita yang kita tulis. Dakwah tidak selalu harus disampaikan oleh karakter ustad, haji dan ulama. Bisa dari sahabat atau orang tua tokoh. Semisal di ceritaku yang Nayla, di cerita ini yang paling banyak berperan untuk mendakwahi Nayla adalah sahabatnya.

3. Yang disebut cerita spiritual tidak melulu HARUS menceritakan seputaran jilbab, masjid, ustad, dll yang berlabel islam. Contohnya yang ditulis oleh rekan-rekan di SWP Gen 2, mereka mengangkat cerita dengan tema keluarga, tentu dengan alur yang berbeda-beda. Jadi di genre spiritual itu intinya yang penting yang ditulis itu mengandung nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan syariat islam. Misal menulis tentang khamr tetapi bukan dalam konteks mengajak untuk meminum khamr. Melainkan menggiring opini pembaca agar menyetujui bahwa khamr itu tidak baik atau bertentangan dengan ajaran islam.

Untuk contoh karya-karya yang tidak menggurui versiku itu ada karya Kak Alnira, yg Purpose of Life. Menurutku, karya Kak Alnira itu bener-bener ngalir apa adanya, aku sendiri banyak belajar dari tulisan beliau. Ada karya Kak Shineeminka, Ima madani, dan masih banyak lagi.

Intinya, cerita yang tidak menggurui itu bisa membawa pembaca hanyut dan berpikir 'oh, iya, iya. Bener juga.' atau 'ya ampun, cerita ini memotivasi banget!', 'Banyak banget pelajaran yang kupetik dari cerita ini', dll.

Untuk tahu, apakah tulisanmu sudah tidak terkesan menggurui, teman-teman bisa melakukan interaksi dengan pembacanya. Misal dengan menulis di author note 'Bagaimana kesan kalian sejauh ini terkait cerita ini?' Nah, biasanya pembaca yang aktif itu akan merespons dengan komentar-komentar yang kadang menjurus ke kesan atau bahkan kritikan.

Ini salah satu contoh hadist yang dituliskan di alur cerita.

Oke deh, cukup sekian dari aku. Mohon maaf apabila ada salah kata atau tulisan yang menyinggung teman-teman. Sungguh aku tidak bermaksud.


••••• Sesi Tanya Jawab •••••

Tanya: Aku ambil genre romance dewasa dan ketika aku bahas efek buruknya reaksi pembaca malah bertentengan. Aku gak menyampaikan secara eksplisit tentang efek buruknya. Di part jauh di belakang akan dijelaskan amanat yang lebih jelasnya, tapi setelah melihat respon pembaca yang demikian aku agak ragu untuk melanjutkan.

Jawab : Menurutku 'orang yang tidak merasa seperti itu dengan kebiasaan sex-nya' memang masih sangat tersirat atau bahkan tidak bisa dianggap sebagai pesan buruk dari sex bebas itu sendiri. Mungkin kalau aku yang baca juga tidak bisa langsung menangkap maksud kamu hanya dengan membaca ketidakpuasan tokoh itu dengan sex yang biasa dilakukannya. Bisa saja orang-orang beranggapan bahwa maksud dari adegan itu adalah karena si tokoh itu maniak sex atau justru pasangannya yang kurang. Tidak seperti pasangan yang lainnya.
Kalau pesannya masih ada di part selanjutnya, menurutku ya gak pa-pa. kan nanti di part selanjutnya ada penjelasan yang lebih detail.

Tanya: Menyisipkan pesan spiritual dalam adegan bercanda apakah efektif?

Contoh:
X: "Pakek jilbab biar rambut lo yang kayak mi enggak kelihatan?"
Y: "Pakek jilbab bukan nutupin rambut kayak mi, tapi ini kewajiban umat muslim."

Jawab: Kalau saranku lebih baik jangan. Mengingat walaupun dalam konteks bercanda sebenarnya kurang baik. Seperti contoh di atas. Pake bilang rambutnya kayak mi. Meskipun itu hanya bercanda, itu udah masuk ke dalam kategori body shaming. Dan itu tidak baik. Lagipula, kalau ngingetinnya bercanda nanti dikiranya nggak serius lagi. Semisal contoh yang di atas. Nyuruh pakai hijab biar rambutnya yang kayak mi nggak kelihatan itu bisa saja cuma dianggap bercandaan oleh temannya. Atau bisa karena sakit hati dengan bercandaan itu, si temannya itu malah ngejauh.

Tanya: Apakah di setiap part itu harus selalu disisipkan amanat? Kadang, aku suka ngerasa nggak pede dengan ceritaku yang mungkin isi ceritanya udah terlalu mainstream. Jadi, kalau mau nyisipin amanat kadang suka mikir, "ah, gak usah kali yah... toh udah banyak penulis yang nulis kayak gini." Mohon pencerahannya, Kak.

Jawab: Aku sendiri kadang nulis gak nyisispin semacam amanat, sih. Dan it's okay. Amanat itu tidak selalu berupa quotes bijak dan semacam nya. Bahkan kalimat percakapan dalam tulisanmu seperti "Senyum dong, Nak. Biar bisa sedekah." Itu juga bisa termasuk amanat.

Tanya: Saat kita akan menyisipkan ada adegan tentang Guru Spiritual yang sedang bersama muridnya, bukankah itu termasuk dalam konteks menggurui? Mohon penjelasannya, Kak.

Jawab: Gak masalah. Itu kan adegan ya. Seperti penjelasaku di awal. Amanat bisa diberikan melalui tokoh, dan jalan cerita. Nah, adegan yang kamu maksud itu termasuk di kategori jalan cerita.

Tanya: Saat menyisipkan sebuah amanat atau pelajaran yang (misalkan) kita ambil dari sebuah hadist, apa harus dibacakan hadits nya? Atau hanya dengan perilaku/interaksi tokoh saja sudah cukup? Dan bagaimana menyampaikan amanat agar tidak monoton?

Jawab: Dua-duanya boleh, kok. Di atas ada yang bahas pembaca yang gak terlalu suka dengan tulisan yang banyak hadisnya.

Jujur, aku salah satunya. Kenapa? Karena aku cepet bosan orangnya. Aku mau yang membangkitkan imajinasi, hadist itu dikembangkan lagi semisal di dalam percakapan.

Contoh: "Fin, kamu jangan cemberut gitu dong. Karena sesungguhnya senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah."

Tapi kalau mau nyisipin hadist atau ayat juga boleh. Perilaku/interaksi tokoh juga boleh banget. Sebenarnya gak ada yang salah. Tergantung senyamannya kamu aja nulis gimana.

Untuk amanat yang monoton, biar nggak biasa, ya amanatnya itu adain di dialog atau alurnya. Seperti punya Kak Shineeminka. Dia itu menyampaikan amanat melalui dialognya, jadi pembacanya nggak cepet bosan.

Tanya: Kak, kalau misalnya kita menuliskan amanat tersebut di narasi apakah bisa dikatakan menggurui?

Jawab: Nggak, kok.

Tanya: Apakah kita perlu menanyakan seberapa jauh kesan/pemahaman pe,baca atas tulisan kita? untuk memastikan tidak ada kesalah pahaman. Kalau ternyata pembaca tidak mendapat apa yang kita ingin sampaikan. Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jawab: Boleh banget. Di materi yang ada di atas kan sudah kujelaskan ya. Itu terkait interaksi antara pembaca dan penulisnya.

Perspektif pembaca tiap tulisan yang dibaca kan berbeda. Tetap lanjutkan menulis. Saat cerita sudah tamat, minta lagi ke pembaca memberikan kesannya setelah membaca ceritanya.

Karena kesan pembaca sebelum membaca hingga akhir dan setelah membaca hingga akhir itu pasti beda.

Tanya: Kak, misalnya ada tokoh yang menceritakan kejadian masa lalu misalnya tentang masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Bagaimana cara kita menuliskannya agar tidak disebut sebagai plagiat?

Jawab: Boleh di tulis dengan memakai tata bahasa kamu sendiri.

Tanya: Dari adegan ini aku ingin sampaikan: istri harus patuh atas ajakan suami, suami harus memperlakukan istrinya dengan baik. Apakah cerita ini bsa masuk ke dalam kategori spiritual? Dan melihat respon pembaca, mereka cuma marah ke sosok suami. Apakah caraku menyampaikan terlalu implisit?

Jawab: Tapi, apakah usia pembacanya benar-benar sudah paham terkait hadist itu?

Implisit sebenarnya boleh, tapi kalau semisal pembaca kamu emang nggak terlalu paham tentang hadis kan juga sulit untuk member pemahaman tanpa ada hadisnya.

Kita nggak bisa nentuin tulisan kita mau dibasa oleh umur berapaan. Meski sudah centang bahwa itu tulisan dewasa, anak di bawah umur dengan keingintahuannya yang tinggi akan tetap membacanya.

••••• Pesan Tutor •••••
Menulislah untuk kebaikan dunia dan akhiratmu. Karena tidak hanya perilaku dan ucapan, setiap tulisan akan dimintai pertanggung jawabannya kelak.
••••••••••••••••••••••••••••

Terima kasih juga untuk semuanya.

Mohon maaf jika ada salah kata sehingga menyinggung hati teman-teman. Sampai jumpa di lain waktu.

Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top