Kita Hanya Sebatas Mantan
Kita Hanya Sebatas Mantan
Penulis: Ratnagdsky
Aku ikrarkan putus dengan dalih "Katanya pacaran dosa. Dan aku udah tanya ke google tentang dalil pacaran, ternyata nggak ada. Malah merembet ke pacaran itu zina, banyak maksiat di dalamnya. Dan banyak dalil yang menyerukan 'Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.' Makanya, aku mau putus."
Dan dia menerima alasanku. Selanjutnya, hubungan kami bisa dibilang "mantan tapi mesra". Aneh memang, sudah putus tapi masih balas chatting, pake sayang-sayangan. Yang manggil sayang itu sih dia, bukan aku!
Bertahan selama dua bulan dalam hubungan 'MTP' sampai akhirnya kabar itu datang. Hari Jumat di pengajian sekolah, tanpa diduga wajahku dan Alena yang semula ceria langsung sirna dengan kabar yang dibawa orang lain.
Aku bertemu dengan pacar teman Ilham. Kami bersalaman. Jabat tangan yang kutahu juga sebagai penggugur dosa. Tanpa basa-basi dia langsung to the point bertanya padaku. "Kamu putus sama Ilham?"
"Udah dari dua bulan yang lalu kali," jawabku dengan ekspresi yang dibuat baik-baik saja. Padahal hatiku menunjukkan sebaliknya.
"Oh, pantes saja dia punya yang baru lagi."
Seperti habis mendengar petir di siang bolong. Sumpah, aku langsung lemas seketika! Seumpama kaca, hatiku yang semula masih mendapat retakan kecil, kembali dijatuhkan dari ketinggian. Gadis itu yang bahkan kulupa namanya, setelah menorehkan luka, melenggang dengan santai. Alena mengusap punggungku guna menyalurkan kekuatan. Rasanya ingin menangis keras-keras.
Ternyata begini rasanya patah hati. Aku nggak mau lagi! Nggak mau!
Setiba di rumah, aku mendapat chat Ilham. Aku mengabaikannya. Waktu berlalu sampai adzan Ashar dikumandangkan, chat dari dia terkumpul ratusan. Gak ada kerjaan banget ini orang ya!
Dia hafal dengan sikapku, jika tidak membalas pasti ada apa-apa. Makanya, dia spam chat untuk meluluhkanku. Tapi tidak berlaku untuk sekarang, aku tak akan luluh lagi dengan kata-kata dustamu!
Sampai malam harinya tak kunjung kubalas, meski sudah kuread kemudian langsung kuhapus. Untuk jatuh cinta yang pertama dan berakhir patah hati yang pertama. Semoga ini juga patah hati yang terakhir kali. Mungkin, hal yang membuatnya lebih menyakitkan adalah harapanku yang terlalu membumbung sampai lupa daratan. Padahal, setinggi apa pun pesawat terbang, pada akhirnya mendarat juga, kan?
Telepon masuk berkali-kali, dia chat semua media sosialku, sampai mengutus teman untuk ngechat dan bilang, "Syifa, kata Ilham balas chatnya."
Apa pun yang berkaitan dengan Ilham, aku tak mau meladeninya! Cukup read saja tanpa membalas.
"Syifa, kata Ilham, kalau ada masalah, ngomong. Jangan diem aja."
Ck, temannya Ilham mau-mau saja jadi kurir! Padahal aku yakin dia tidak dibayar. "Bilangin juga sama dia, nggak usah spam chat! Tetiba jempolku sakit kalau mau ngetik balasan di room chat dia."
Alasanku tidak membalasnya memang sekadar bualan. Tetapi, soal sakit aku tidak bohong, sakit hati, bukan sakit jempol. Lama aku diamkan dia. Sampai hari keempat, dia berkata jujur. Hari itu yang membuatku seolah tertampar, terbanting, dan tertusuk hingga rasanya aku ingin menenggelamkan diri saja.
"Iya, Fa, aku ngaku salah."
"Aku minta maaf."
"Aku udah menghianati kamu."
"Aku jahat sama kamu! Aku nggak punya perasaan!"
"Aku udah punya yang baru. Itu yang membuatku jarang ngasih kabar ke kamu belakangan ini, terkesan cuek sampai kamu bertanya, 'yang aneh itu aku atau kamu?' Maka aku jawab, aku, Fa. Aku yang aneh."
"Sekarang terserah kamu... Mau kamu lanjut atau enggak hubungan kita, semua ada di tangan kamu."
Yang menjadi pertanyaanku, kenapa dia tidak jujur dari awal? Kenapa aku harus tahu dari orang lain? Sampai saat itu chatnya belum dibalas. Membuat dia di ujung keputusasaan.
"Oke, terserah kamu mau kayak gimana. Aku minta maaf atas semua ini."
Tanpa sadar sepenuhnya, jariku bergerak merangkai huruf dan menghasilkan kalimat. "Minta maat apaan?"
"Aku udah nyakitin kamu."
"Enggak kok. Lagian kita udah putus, hak kamu mau punya pacar lagi." Setelah mengirimnya, aku menyesal telah pura-pura tak tersakiti, padahal merasakan sakit. Harusnya aku bilang saja aku tidak rela jika dia bersama orang lain. Tetapi, itu akan membuatku terlihat bodoh.
"Jadi, kamu mau maafin aku?"
Lagi, tak kubalas.
Pertemuan di sekolah tak terhitung sepuluh jari. Sosoknya tak lagi terlihat. Hanya ilusi yang tercipta sendiri yang membuatku akhirnya merutuki diri. Ada orang lain lewat, tasnya sama dengan dia, aku kira itu Ilham. Kelihatan dari belakang jika itu Ilham, pas dia menoleh ternyata bukan. Aku tersiksa dengan hal seperti ini.
Awalnya, aku hanya mencari kesibukan untuk tidak memikirkan dia. Aku butuh penasihat, dan tujuanku jatuh ke Taman Surga. Berbagai kajian aku ikuti bersama Fatima, teman yang Allah utus untuk membimbingku ke jalan shirāthalmustaqīm.
Niatku jelas untuk mencari kesibukan, bukan karena Allah, sehingga aku mulai lelah dengan semua itu. Ketika bayang dia tak lagi menghantui, niatku berubah lebih buruk lagi. Aku berharap semoga saja ketika dia melihatku berubah, dia menyesal telah menyakiti dan meninggalkanku.
Ustadzah Ruhama menegur, setelah kuceritakan apa yang terjadi. "Innamal a'malu bi anniat. Ali bin Abi Thalib pernah berkata 'Balas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan diri kita lebih baik.' Tetapi, bagaimana pun niatnya yang menentukan akan ke mana dan bagaimana nantinya." Wanita itu mengembangkan senyum. Menasehatiku untuk mengubah niat terlebih dulu sebelum mempelajari lebih jauh.
"Eh, Fa, lihat deh. Bagus banget quote-nya. Nih ya, aku baca, 'Ketika kita ingin bicara dengan Allah, salatlah. Dan ketika Allah ingin bicara kepada kita, bacalah Al-Quran."
Perkataan Fatima memberi penerangan dari kelam batinku yang dirundung kerisauan. Aku selalu merasa gelisah memikirkan Ilham, hubungan yang belum tentu akan dibawa kemana. Aku baru menyadari bahwa selama ini yang kukerjakan hanya membuatku semakin jauh dan jauh.
Al-Quran yang usang itu perlahan dibuka menyeruakkan bau debu. Betapa hinanya aku telah mengabaikan dia selama ini. Hurufnya yang mulia tidak dapat lagi dibaca. Larilah aku ke pasar, ditemani Fatimah membeli Al-Quran dan terjemah. Satu ayat terlantun, aku tergugu. Aku menyesal, semua hubungan itu ternyata begitu melalaikanku selama ini.
Di sanalah aku mulai mendapat cahaya. Banyak kisah di dalamnya menginspirasi dan menjadi cerminan hidup kita. Ditunjang lagi dengan kajian kitab di sekolah setiap hari Jumat pagi. Hidupku jadi makin cerah.
"Syifa, nyalakan alarm jam 3. Terus nanti telepon aku, ya."
Aku mendapat pesan dari Fatimah. Awalnya bingung dengan tujuan menyalakan alarm jam 3. Makanya aku menuntut penjelasan. "Buat apa?"
"Tahajudan, hehe."
"Oh, ok."
Ditambah lagi sahabat hijrahku yang menyempurnakan. Tanpa kusadari, kini niat hijrahku bukan lagi untuk balas dendam. Karena ada dorongan dari hati untuk memperbaiki diri untuk terlihat pantas di hadapan Allah subhanahu wata'ala.
Kala aku bertemu dia, tak ada lagi sakit yang dirasa, tak ada lagi pengharapan untuk memiliki. Kugantungkan semua harapan kepada-Nya karena Al-Quran menyuruh langsung dalam surah As-syarh ayat 8; "Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap." Karena ketika manusia berharap pada sesama, tak ada jaminan mereka tak 'kan kecewa. Lalu, kenapa tidak memilih kepada Tuhanmu yang menjaminnya?
Semua bergulir begitu saja, sadarku dalam keadaan telah berdamai dengan kenangan. Melupakan kesenangan dan kepahitan yang telah terjadi. Barulah setelah itu, aku tancapkan dalam hati kalimat ma fi qalbi ghairullah. Muslimah sejati pandai jaga hati. Tak tersakiti dan bahagia menanti. Berkobarlah semangat hijrah, istiqomahkan hati tanpa batas.
"Aku kira hijrah itu sebuah akhir. Ternyata awal semuanya," Aku baru menyadarinya. Saat itu aku menangis ketika keimanan mulai turun. Terasa sekali tidak nikmatnya ibadah, malas menghadiri Taman Surga, ponsel digunakan untuk mencari hiburan.
"Makanya jangan menyepelakan hijrah orang lain. Percayalah, di balik seseorang yang bertekad hijrah ada air mata, doa, dan bimbingan untuk terus berada di jalan yang benar. Perlunya sahabat dalam hijrah bukan untuk sok-sok an, tapi sebagai gemblengan. Kala lalai, sahabat yang baik akan menampar untuk membuat sadar." Itulah nasihat Fatimah yang akan selalu kuingat.
Tentang Alena, kami telah menjauh sejak aku bertekad hijrah dan menyebarluaskan tidak diperbolehkannya pacaran. Kami bertolak belakang. Aku terus menegur dia dengan lembut, tidak boleh pacaran, nanti sakit hati. Tetapi pendiriannya tetap kuat untuk tidak mau putus. Sampai saatnya dia ada masalah dengan pacarnya, hanya ada banjir air mata. Keesokan harinya, ia sudah menggaet laki-laki baru.
Layaknya ponsel, keimanan juga harus dicas. Bedanya charger ponsel berupa kabel, dan keimanan berupa pengajian, amalan-amalan baik untuk dilaksanakan.
"Beratubat-bertaubat, Fa. Tadi sentuhan tuh sama Fauzan. Tahu kan kalau bersentuhan dengan yang bukan mahrom itu lebih baik ditusuk jarum besi?"
"Iya tahu-tahu. Nanti ah, pas aku berdoa sehabis salat."
"Gimana kalau umurmu tidak sampai dzuhur nanti? Kan Allah bebas mau nyabut nyawa kapan aja." Aku tertegun tak dapat berkata-kata. "Ingat tak, hadist yang mengatakan; 'orang-orang yang mendapat keutamaan, bijaksana dan mulia adalah yang mengingat kematian dan gigih berusaha mempersiapkan kematiannya, mereka akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan keutamaan di akhirat," Fatimah menambahkan.
Dulu, aku tidak pernah mengingatnya. Ketika aku berkhalwat dengan dia, atau ketika mengucapkan kata-kata mesra, bagaimana jika Allah mencabut nyawaku saat itu juga? Naudzubillah. Setiap manusia akan dimatikan sesuai dengan kebiasaannya ketika di dunia. Karena kematian tidak menunggu kita siap, tetapi kita yang harus mempersiapkan diri untuk menunggunya. Maka, kujadikan hal itu sebagai cas keimananku yang lain.
Tidak disangka, ujian kembali menerjang. Dia kembali muncul dengan bertanya kabar. Mengutarakan penyesalan telah menyakiti dan ingin kembali bersamaku.
"Aku menyesal, Fa. Beri aku kesempatan kedua buat memperbaikinya. Janji, kali ini tidak akan menyia-nyiakan lagi. Akan kupenuhi janjiku yang dulu sama kamu."
Janji yang mana? Yang terlintas dalam otakku hanya janjian setelah lulus akan kuliah di Universitah Gajah Mada.
"Aku tahu kamu kayak gini karena aku. Aku telah nyakiti kamu. Maafkan aku, Syifa. Aku nyesel. Aku kangen kita yang dulu. Kamu yang dulu. Kamu pernah takut kehilangan aku? Hanya karena mimpi aku sakit parah sampai jam 1 kamu chat aku." Aku menghela napas lelah dengan semua ini. Dia masih berbicara sendiri tanpa repot-repot kusela.
"Oh iya, dulu aku pernah VN surah apa, ya? Kamu masih ingat, nggak?"
Al-Kahfi. Iya, aku masih ingat. Itu hadiah ulang tahun ke-16 dari kamu. Sebuah VN yang kini sudah lama kuhapus.
"Syifa, kita balikan lagi, ya?"
Teguhkan hatimu, Syifa! Jangan sampai karena modus, hatimu jadi goyah. Maka, balasan yang tepat untuk itu adalah ....
"Maaf, muslimah sejati menolak untuk pacaran. Dan ya, kamu sudah ngaji surah Al Israa ayat 23?"
Cowok di seberang telepon itu terdiam, mungkin terkejut dengan pernyataan spontanku.
"Assalamualaikum." Aku memutus sambungan, menghapus kontak atas namanya, dan tersenyum menang.
[Tamat]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top